Pagi itu matahari terik sekali. Oktober yang biasanya dikenal dengan musim hujan, malah menampakkan bola api panas yang memancar ke setiap sudut bumi. Langit sama sekali nggak menumpahkan tangis saat menyaksikan salah satu penghuni bumi ditimbun tanah dan ditaburi bunga. Yang ada malah hujan dari mata yang merembes sejak tadi. Berkali-kali dipaksa berhenti, air sialan itu tetap saja membasahi pipi.
Mati rasa. Aku mengalami itu. Aku nggak bisa melakukan apapun lagi selain menangis. Apalagi ketika aku melihat wajah Bapak untuk terakhir kalinya. Wajah damai yang menampakkan senyum terbaiknya. Namun, itu hanya sebentar. Sebentar sekali. Wajah itu kembali ditutupi kain kafan. Begitu cepat. Seolah-olah orang yang membukakan kain itu melarangku menatap wajah Bapak terlalu lama. Dia pun tak memberiku kesempatan untuk memeluk jasad Bapak. Dia tak memperbolehkanku mengotori kain bersih itu dengan air mataku. Katanya, air mataku haram untuk membekas di sana. Karena Bapak mungkin sajaAlan benar-benar menepati janjinya untuk menjemputku di kantor. Sepuluh menit sebelum aku keluar, dia sudah datang. Kini dia masih asyik bercakap-cakap dengan Pak Galih, tukang parkir. Aku melambaikan tangan padanya seraya mendekat. Alan yang menyadari kalau aku sudah selesai bekerja langsung tersenyum padaku. Gila! Baru kali ini aku melihat senyum lebar Alan. Biasanya mukanya itu kan selalu dihiasi kesinisan yang hakiki."Mau makan dulu, Pril?" tanyanya."Nggak.""Makan dululah. Aku tahu kamu pasti capek."Kiamat 2018 kalau Alan bisa semanis ini. Aku cuma mesem-mesem. Lalu, kami pamitan pada Pak Galih. Aku menerima helm yang diberikan Alan. Selanjutnya, motor Beat Alan membelah jalanan Jatiwangi. Suasana masih cukup gerah, Sist. Namun, hatiku hangat-hangat saja nggak sampai mencapai suhu maksimal dan membuat kebakaran."Kita mau makan di mana?" tanyaku ketika motor Alan sudah melewati lampu merah. Biasanya tempat tongkrongan yan
Entah sudah hari keberapa Alfa menghilang. Status WA-nya masih menampilkan laptop merek Acer dengan label DIJUAL dan selalu ia perbarui harganya. Hari demi hari dia rutin meng-update perubahan harga laptopnya yang kian menurun. Kini berada pada harga satu juta rupiah. Gila! Padahal saat pertama ia mengunggah foto itu, harga yang ia tawarkan yaitu empat juta rupiah.WA Alfa selalu aktif. Namun, dia tak pernah membalas pesanku. Terakhir kali dia membalas pesanku ketika aku baru saja memberitahunya kalau aku sedang jatuh cinta pada seseorang. Malam itu, niatnya aku mau menceritakan tentang Alan, tapi Alfa malah kabur dan nggak membalas lagi pesanku. Dia membuat alasan akan pergi bersama temannya. Kukatakan padanya, balesnya kapan aja pokoknya aku mau cerita. Dan tampaknya dia belum membaca pesan itu hingga kini.Jujur saja aku merasa kehilangan. Aku seperti telah ditinggalkan oleh sahabatku. Aku pernah merasakan ini sebelumnya. Ditinggalkan tanpa alasan yang jelas
Aku pernah kecewa sama Disa. Hal itulah yang membuat aku nggak menaruh kepercayaan lagi padanya. Karena itu juga aku selalu berpura-pura menerimanya. Selain karena Niara yang sayang pada Disa, juga karena Disa yang baik padaku. Makanya lambat laun aku mulai bisa menerima kehadirannya. Meski tak sepenuhnya menyayanginya.Dulu, Disa pernah membuat ulah. Ketika pelajaran Bahasa Indonesia tengah berlangsung, dia malah berdebat dengan Niara. Aku nggak terlalu jelas mendengarkan inti masalah mereka. Karena saat itu fokusku berhamburan. Suasana kelas ramai karena guru Bahasa Indonesia sedang memutar film di depan. Jarak mejaku juga lumayan jauh dengan mereka, karena saat itu aku nggak satu kelompok dengan mereka. Aku cuma memerhatikan dari jarak yang cukup jauh. Hingga tiba-tiba keduanya berhenti berdebat dan Disa pindah tempat duduk menjadi di pojok. Kulihat Niara kembali fokus ke film yang sudah diputar dan Disa malah memainkan ponsel.Esoknya, ada yang berubah dari s
Pikiranku dipenuhi oleh Niara dan kata-katanya yang menyakitkan itu. Aku tidak bisa fokus bekerja seperti biasanya. Ditambah lagi dengan Disa yang dari tadi meneleponku. Dia mau ngajak ribut lagi atau bagaimana? Aku malas meladeninya, karena nanti ujung-ujungnya dia pergi meninggalkan aku dan Niara lagi. Oh, atau nanti dia perginya sama Niara, meninggalkan aku yang terpuruk di sudut bumi.Disa: April, tolong angkat teleponkuDisa kembali mengirimi pesan. Namun, aku masih malas untuk membalasnya ataupun menjawab panggilannya. Aku benar-benar malas untuk melakukan apapun. Aku hanya ingin pulang. Dan keinginanku akan tercapai dalam waktu lima belas menit. Sebentar lagi ... dan aku akan tidur untuk melupakan semua yang terjadi hari ini. Melupakan Alan yang menjadi alasan keributan ini terjadi. Melupakan Niara yang masih mendiamkanku dengan alasan yang tidak jelas. Melupakan Disa dan perkataannya yang seolah menyudutkanku. Ah, andai saja aku memiliki gangguan ingatan
Setelah kepergian Alan, aku berjalan menyusuri trotoar. Kupukuli dada berkali-kali, berharap rasa sakit yang terasa akan hilang. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku luapkan semua emosi yang tak lagi dapat kutahan.Ini terlalu sakit, Tuhan!Aku tak percaya akan dipermainkan oleh laki-laki seperti Alan. Orang yang kubenci dan selamanya akan kubenci. Harusnya aku tak menarik kata-kataku untuk membencinya hingga bumi tak lagi berotasi. Harusnya kalimat itu tetap kuucapkan jika melihat wajah busuknya. Selamanya aku membenci Alan. Kutarik semua pengakuan sukaku padanya. Aku tidak mau mencintai orang yang sudah berbuat semena-mena terhadap diriku.Aku tak habis pikir, bisa-bisanya Alan berbuat seperti ini padaku. Kalau memang dia menyukai Niara, kenapa dia tidak mengungkapkannya langsung? Malah pakai acara mendekati sahabat Niara dulu biar bisa menerimanya. Siapa memang yang mau menjalani hubungan asmara? Mereka yang harusnya bisa saling mene
"Oke, jadi apa yang menyebabkan kamu mencuri rokok yang sedang nikmat-nikmatanya kuhisap?" tanya Januari ketika kami sudah duduk bersila berhadapan di ruang tengah rumah Ozan yang sepi kayak kuburan.Tadinya kami akan membicarakan masalah ini di rumahku. Namun, aku takut disangka macem-macem kalau bawa Januari ke rumah. Sedangkan keadaanku sedang amburadul kayak orang stres. Aku juga nggak siap dengan pertanyaan beruntun yang akan Ibu keluarkan ketika aku masuk ke rumah.Opsi kedua kami akan ke rumah Zia. Namun, setelah sampai, pintu rumahnya masih terkunci. Mama pasti masih di kios untuk berjualan jus. Zia sendiri pasti belum pulang dari tempat PKL-nya. Atau mungkin Zia sudah pulang tapi pacaran dulu dengan Rival.Jadilah kami memilih rumah Ozan. Pemiliknya entah sedang ke mana. Kebetulan Januari punya kunci cadangannya. Jadi, kami memutuskan untuk berbagi luka ronde kedua di rumah ini."Kamu kacau, Januar!"&
Januari dengan telaten mengompres lukaku dengan es batu. Sesekali aku meringis menahan nyeri. Kadang mengumpat dan menjambak rambutnya yang baru tumbuh itu demi menahan sakit. Januari juga menjerit-jerit karena kelakukanku. Sesekali dia memencet hidung atau lukaku yang menyebabkan aku menyumpahinya dengan kata-kata kotor."Bangsat, ini sakit!" teriakku ketika Januari lagi-lagi menekan luka di tanganku."Hush, kamu ngomong kayak preman gitu.""Abis, sakit. Udah, ah. Aku bukannya sembuh kalau kayak gini. Yang ada tulangku lama-lama patah karena ditekan terus sama kamu.""Apa--"Omongan Januari terpotong oleh suara salam seseorang yang kemudian disusul oleh ketukan sepatunya yang mendekat ke arah kami. Terlihat sosok jangkung berambut botak membawa sekantung belanjaan. Ia menaruh barang bawaannya di atas meja. Kemudian, matanya memerhatikan aku dan Januari bergantian."Ternyata r
Hari berlalu begitu saja tanpa aku bisa hentikan sejenak. Padahal aku lelah sekali. Pengin istirahat, nggak mau memikirkan masalahku yang datang silih berganti.Malam itu aku nggak jadi menginap di rumah Zia. Setelah kuceritakan masalahku segamblang-gamblangnya pada Mama Zia tanpa sedikitpun ditambah dan dikurangi, Mama malah menyuruhku pulang untuk membicarakan masalah itu dengan Ibu. Gimana nggak dongkol ini perasaan? Udah diubek-ubek sampai jantung jumpalitan dan paru-paru sesak saking nyeseknya hati, eh malah disuruh sabar. Dikira dengan sabar doang habis perkara!Aku menghabiskan sisa malam itu dengan menangis tersedu di telepon. Kuceritakan masalahku dengan Alfa, karena hanya dia satu-satunya orang yang bisa memberi masukan yang agak waras. Nggak kayak Januari yang malam itu malah menyuruhku bunuh diri di jembatan dekat Masjid Al-Islah. Katanya biar nanti bangkainya bisa langsung dimandikan, dikafani, dan disholatkan di masjid itu.