Aku pernah kecewa sama Disa. Hal itulah yang membuat aku nggak menaruh kepercayaan lagi padanya. Karena itu juga aku selalu berpura-pura menerimanya. Selain karena Niara yang sayang pada Disa, juga karena Disa yang baik padaku. Makanya lambat laun aku mulai bisa menerima kehadirannya. Meski tak sepenuhnya menyayanginya.
Dulu, Disa pernah membuat ulah. Ketika pelajaran Bahasa Indonesia tengah berlangsung, dia malah berdebat dengan Niara. Aku nggak terlalu jelas mendengarkan inti masalah mereka. Karena saat itu fokusku berhamburan. Suasana kelas ramai karena guru Bahasa Indonesia sedang memutar film di depan. Jarak mejaku juga lumayan jauh dengan mereka, karena saat itu aku nggak satu kelompok dengan mereka. Aku cuma memerhatikan dari jarak yang cukup jauh. Hingga tiba-tiba keduanya berhenti berdebat dan Disa pindah tempat duduk menjadi di pojok. Kulihat Niara kembali fokus ke film yang sudah diputar dan Disa malah memainkan ponsel.Esoknya, ada yang berubah dari sPikiranku dipenuhi oleh Niara dan kata-katanya yang menyakitkan itu. Aku tidak bisa fokus bekerja seperti biasanya. Ditambah lagi dengan Disa yang dari tadi meneleponku. Dia mau ngajak ribut lagi atau bagaimana? Aku malas meladeninya, karena nanti ujung-ujungnya dia pergi meninggalkan aku dan Niara lagi. Oh, atau nanti dia perginya sama Niara, meninggalkan aku yang terpuruk di sudut bumi.Disa: April, tolong angkat teleponkuDisa kembali mengirimi pesan. Namun, aku masih malas untuk membalasnya ataupun menjawab panggilannya. Aku benar-benar malas untuk melakukan apapun. Aku hanya ingin pulang. Dan keinginanku akan tercapai dalam waktu lima belas menit. Sebentar lagi ... dan aku akan tidur untuk melupakan semua yang terjadi hari ini. Melupakan Alan yang menjadi alasan keributan ini terjadi. Melupakan Niara yang masih mendiamkanku dengan alasan yang tidak jelas. Melupakan Disa dan perkataannya yang seolah menyudutkanku. Ah, andai saja aku memiliki gangguan ingatan
Setelah kepergian Alan, aku berjalan menyusuri trotoar. Kupukuli dada berkali-kali, berharap rasa sakit yang terasa akan hilang. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku luapkan semua emosi yang tak lagi dapat kutahan.Ini terlalu sakit, Tuhan!Aku tak percaya akan dipermainkan oleh laki-laki seperti Alan. Orang yang kubenci dan selamanya akan kubenci. Harusnya aku tak menarik kata-kataku untuk membencinya hingga bumi tak lagi berotasi. Harusnya kalimat itu tetap kuucapkan jika melihat wajah busuknya. Selamanya aku membenci Alan. Kutarik semua pengakuan sukaku padanya. Aku tidak mau mencintai orang yang sudah berbuat semena-mena terhadap diriku.Aku tak habis pikir, bisa-bisanya Alan berbuat seperti ini padaku. Kalau memang dia menyukai Niara, kenapa dia tidak mengungkapkannya langsung? Malah pakai acara mendekati sahabat Niara dulu biar bisa menerimanya. Siapa memang yang mau menjalani hubungan asmara? Mereka yang harusnya bisa saling mene
"Oke, jadi apa yang menyebabkan kamu mencuri rokok yang sedang nikmat-nikmatanya kuhisap?" tanya Januari ketika kami sudah duduk bersila berhadapan di ruang tengah rumah Ozan yang sepi kayak kuburan.Tadinya kami akan membicarakan masalah ini di rumahku. Namun, aku takut disangka macem-macem kalau bawa Januari ke rumah. Sedangkan keadaanku sedang amburadul kayak orang stres. Aku juga nggak siap dengan pertanyaan beruntun yang akan Ibu keluarkan ketika aku masuk ke rumah.Opsi kedua kami akan ke rumah Zia. Namun, setelah sampai, pintu rumahnya masih terkunci. Mama pasti masih di kios untuk berjualan jus. Zia sendiri pasti belum pulang dari tempat PKL-nya. Atau mungkin Zia sudah pulang tapi pacaran dulu dengan Rival.Jadilah kami memilih rumah Ozan. Pemiliknya entah sedang ke mana. Kebetulan Januari punya kunci cadangannya. Jadi, kami memutuskan untuk berbagi luka ronde kedua di rumah ini."Kamu kacau, Januar!"&
Januari dengan telaten mengompres lukaku dengan es batu. Sesekali aku meringis menahan nyeri. Kadang mengumpat dan menjambak rambutnya yang baru tumbuh itu demi menahan sakit. Januari juga menjerit-jerit karena kelakukanku. Sesekali dia memencet hidung atau lukaku yang menyebabkan aku menyumpahinya dengan kata-kata kotor."Bangsat, ini sakit!" teriakku ketika Januari lagi-lagi menekan luka di tanganku."Hush, kamu ngomong kayak preman gitu.""Abis, sakit. Udah, ah. Aku bukannya sembuh kalau kayak gini. Yang ada tulangku lama-lama patah karena ditekan terus sama kamu.""Apa--"Omongan Januari terpotong oleh suara salam seseorang yang kemudian disusul oleh ketukan sepatunya yang mendekat ke arah kami. Terlihat sosok jangkung berambut botak membawa sekantung belanjaan. Ia menaruh barang bawaannya di atas meja. Kemudian, matanya memerhatikan aku dan Januari bergantian."Ternyata r
Hari berlalu begitu saja tanpa aku bisa hentikan sejenak. Padahal aku lelah sekali. Pengin istirahat, nggak mau memikirkan masalahku yang datang silih berganti.Malam itu aku nggak jadi menginap di rumah Zia. Setelah kuceritakan masalahku segamblang-gamblangnya pada Mama Zia tanpa sedikitpun ditambah dan dikurangi, Mama malah menyuruhku pulang untuk membicarakan masalah itu dengan Ibu. Gimana nggak dongkol ini perasaan? Udah diubek-ubek sampai jantung jumpalitan dan paru-paru sesak saking nyeseknya hati, eh malah disuruh sabar. Dikira dengan sabar doang habis perkara!Aku menghabiskan sisa malam itu dengan menangis tersedu di telepon. Kuceritakan masalahku dengan Alfa, karena hanya dia satu-satunya orang yang bisa memberi masukan yang agak waras. Nggak kayak Januari yang malam itu malah menyuruhku bunuh diri di jembatan dekat Masjid Al-Islah. Katanya biar nanti bangkainya bisa langsung dimandikan, dikafani, dan disholatkan di masjid itu.
Mungkin ini kali kedua kami bertiga duduk di samping pusara Bapak; menaburkan bunga untuk Bapak; membaca surat Yasin bersama; memanjatkan doa untuk Bapak. Aku rindu suasana ketika kami akur seperti ini. Nggak ada lagi pertengkaran. Aku cukup tersiksa dengan perdebatan mereka berdua. Aku sakit melihat hubungan keluarga ini retak hanya karena keegoisan. Aku yakin Bapakpun menyayangi kami sama rata. Nggak dibeda-bedakan. Jadi, nggak pantas kami saling menyalahkan orang yang katanya paling disayangi sama Bapak.Usai mengaji di makam Bapak, aku berpindah ke makam Kak Juni. Kakak ketigaku yang meninggal tahun 2003 lalu. Dia meninggalkanku ketika aku masih berumur tiga tahun. Aku sendiri lupa bentuk wajahnya seperti apa. Namun, hampir seluruh tetanggaku mengatakan kalau aku merupakan jelmaan Kak Juni. Wajahku mirip dengannya.Menurut surat kematiannya, dia meninggal secara mendadak. Dokter menyebutnya heart attack. Dia meninggal di Bandung ketika bek
"Januari!" Aku memekik saking kagetnya melihat penampakan cowok ganteng yang tersenyum lebar padaku.Gila! Bisa rapi juga ini orang."Hai," sapanya. Senyumnya yang manis itu tak juga luntur. Ia memerhatikanku dari atas hingga bawah. Aku malu. Pasalnya aku cuma memakai celana trening dan kaos polos gombrang berwarna biru. Rambutku acak-acakan karena tadi kuremas-remas saat bertelepon dengan Alan."Nganggur nggak?""Eh?""Aku mau ajak kamu ke Korsel."Hah? Demi!"Serius?""Iya, ini kan malem minggu. Aku mau mengurangi penderitaanmu."Aku mendelik kesal. "Penderitaan apa maksudmu? Oh, karena masalahku yang kemarin-kemarin jadi kamu anggap aku manusia paling menderita sejagad raya?"Januari malah tertawa."Kenapa ketawa? Menertawakan penderitaanku?""Kamu lagi menstruasi?"
Waktu menunjukkan pukul sembilan kurang sepuluh menit. Kami sudah puas bermain-main di sini. Dan aku juga sudah puas ditraktir ini dan itu oleh Januari. Aku sudah dibelikan boneka ukuran jumbo, dibelikan sandal jepit yang samaan dengan Januari, dibelikan gelang yang samaan dengan Januari, dan yang terakhir dibelikan tas slempang yang unyu. Katanya biar aku kayak cewek-cewek rempong yang perlu bawa tas untuk menampung alat make up dan benda pintar bernama ponsel. Halah, biasanya cowok suka muter bola mata kalau ceweknya rempong. Masa Januari malah menyuruhku rempong? Padahal aku sudah sangat simpel, loh. Hape sama uang udah aku taro di saku celana kulot. Dan aku nggak bawa make up. Harusnya ini orang bersyukur karena aku nggak fokus dandan mulu tiap kali di dekatnya."Makan dulu. Ketoprak, ya?" tanyanya meminta persetujuan."Iya. Apa aja yang penting dibayarin."Sekadar info, kami sudah keluar dari Korsel. Sekarang sedang menun
Bisa dibilang hari ini aku sedikit beruntung, karena selain dipertemukan dengan orang ganteng aku juga diberi kesempatan untuk mengetahui namanya. Kabar baik lainnya adalah ternyata Oppa Korea yang tadi papasan sama aku di parkiran itu adalah karyawan baru yang dikirim dari kantor pusat untuk menggantikan Bu Jihan. Di sisa-sisa masa PKL ini, akhirnya aku bisa cuci mata, nggak melulu melihat wajah Pak Arip yang kerutan. Hehe.“Mit, namanya Zikri,” bisikku pada Mita yang baru saja datang. Cewek itu rupanya kesiangan karena semalam Ozan mengajaknya jalan-jalan. Pantas saja nomor WA-nya nggak aktif semalaman rupanya teman PKL-ku ini sedang berbucin ria dengan doinya.“Manggil orang yang lebih tua itu mesti pakai sapaan di depannya, Pak atau Aa, kek.”“Dia nggak pantes disebut Pak, wajahnya masih muda. Aa juga nggak pantes, karena mukanya nggak Sunda banget, mestinya dipanggil Sayang.”Aku cengar-cengir, sedangkan Mita malah
Zia mengajakku ke suatu tempat sore ini, tapi aku lagi mager banget. Kerjaan di kantor pos lumayan banyak hari ini karena Bu Jihan sudah fix resign. Aku dan Mita sampai tepar karena mengkilokan barang yang akan dikirim. Barangnya berat-berat lagi, aku yakin nanti malam punggungku pasti minta diurut.Zia: Anter, dong.Lagi-lagi Zia mengirimiku pesan. Sembari menunggu angkot lewat, aku duduk di depan warung tukang es kelapa dan menelepon Zia.“Emang mau ke mana, sih?” tanyaku saat panggilan telepon terhubung.“Mau beli kado.”“Aku heran, deh, kenapa hari ini banyak banget yang minta aku buat nganter beli kado.”“Emang siapa yang udah minta kamu anter beli kado?”“Januari.”“Buat siapa?”“Buat sang mantan,” jawabku ketus.“Wow, ada yang cemburu rupanya,” goda Zia.“Aku kesel pokoknya. Kamu beli kado buat si An
Kemarin, Januari langsung mengantarku pulang karena aku bilang merasa lelah. Tadinya dia masih ingin mengajakku jalan-jalan. Cowok itu merasa bersalah karena pagi harinya membatalkan janji untuk mengantarku. Aku, sih, nggak marah. Cuma ... ya, kesel aja. Lain kali aku nggak mau kalau dianter ke mana-mana lagi, kecuali saat mendadak mau pergi dan kebetulan dia lagi senggang baru aku terima tawarannya.Hari ini pun dia menawarkan untuk mengantarku ke tempat PKL. Karena aku bangun kesiangan, akhirnya aku terima tawarannya. Begitu mengirim pesan dan kubalas, motor dia sudah tiba di depan rumah. Aku yang masih sarapan sontak tersedak. Aku belum dandan, Genks, rambutku pun masih basah dan acak-acakan karena baru mandi. Kasihan Januari harus melihat penampakan jelekku."Buruan makannya, itu temen kamu udah jemput," kata Ibu sembari meletakkan
Bunyi perutku yang minta diisi membuat Disa kehilangan fokus saat mengetik. Dia menatapku, lalu menaruh laptop di meja. Niara pun berhenti membaca kata pengantar yang telah dicetaknya. Ia merapikan berkas yang berceceran di lantai. Kedua temanku ini sudah hapal kebiasaanku. Kalau sudah keroncongan otakku nggak bisa diajak berpikir. Mereka mulai merapikan dandanan dan bersiap pergi. Saatnya berburu makanan.“Kita mau ke mana?” tanya Disa usai memaki helm.“Alun?”“Alun Majalengka kejauhan,” protesku.“Alun Maja, April!” Kedua manusia ini bicara barengan. Ah, kalau sudah bersama mereka ketololanku emang suka muncul tiba-tiba.“Mau makan apa emang?” tanya Niara.“Seblak?” Disa bukan memberi jawaban, tapi dia merekomendasikan.“Bosen,” jawabku.“Baso aci aja, yuk. Ada kedai yang baru buka di sekitar terminal, menurut saudaraku, sih, enak
“Hallo, Dis?” Aku mendekatkan ponsel ke kuping kanan, sambil terus melangkah menuju Pajagan. Tadinya aku hendak meminta kakak iparku untuk mengantarkan, biar cepet gitu naik motor. Namun, kata Kak Okta, suaminya lagi pergi mancing sama Pak Gus, tetangganya. Alhasil sekarang aku ngos-ngosan karena berjalan, udah gitu matahari mulai merangkak naik, bikin keringat mengucur di balik baju.“Kenapa, Pril?” sahut Disa.“Kamu belom berangkat?”“Belom, aku masih di pasar. Bentar lagi pulang. Nanti aku langsung OTW.”“Aku nggak jadi diantar Januari, kita bareng, ya. Aku tunggu di pasar Kadipaten kayak biasa.”“Kenapa nggak jadi dianterin?”“Ada urusan mendadak dia.”“Oh, oke. Kabarin aja kalau udah sampe. Kamu bawa helm, ‘kan?”“Iya, bawa.”“Ya udah, aku kabarin nanti
Aku baru saja berniat untuk tidur selepas memikirkan hal-hal nggak guna. Namun, bunyi ponsel yang meraung-raung membuat mataku terbuka lagi. Ck, sial. Tahukah dia bahwa pukul dua dini hari bukanlah waktu yang tepat untuk mengobrol? Di waktu seperti ini mendingan curhat sama Allah melalui sholat tahajud, bukannya mengganggu tidur Princess.Kuraih ponsel di atas kepala, lalu melihat layarnya yang menampilkan nama Januari. Buset, rupanya si biang kerok ini yang minta dihajar. Dia nggak kasihan apa sama aku? Gara-gara kunjungan mendadak yang membawa serta mantannya itu, aku jadi nggak bisa tidur. Sekarang saat mataku lelah, dia muncul membuat jantungku dugeman."April?" suaranya menyapa gendang telingaku begitu tombol hijau di layar ponsel kugeser."Hm ...." Aku menanggapinya dengan deheman, pura-pura baru bangun tidur biar dia merasa bersalah."Jangan pura-pura tidur, aku tahu kamu belum tidur. WA kamu aja baru dilihat beberapa menit lalu," sindir Januari.
Pukul sepuluh malam, mereka masih berada di rumahku sambil memakan gorengan yang kini tersisa beberapa buah. Aku duduk menghadap televisi yang menampilkan film action. Di sebelahku ada Januari dan Anetta. Entah kenapa cewek itu mengintili Januari terus. Bahkan saat Januari ke warung untuk membeli minuman dingin pun dia ikut, sudah seperti anak kecil yang takut ditinggalkan emaknya. Ozan, Rival, dan Zia duduk melingkari meja. Hanya Zia dan Rival yang mengobrol, sedangkan Ozan rupanya sedang video call dengan Mita.“Ah, sial!” Lagi-lagi umpatan keluar dari mulut Januari, disusul dengan teriakan Anetta. Rupanya film itu menampilkan adegan tabrak-menabrak antar mobil sampai salah satu lawannya jatuh ke jurang. Aku tidak tahu judul film yang sedang ditayangkan ini apa. Biasanya di sudut televisi ditampilkan, tapi sekarang enggak.Aku sebenarnya tidak terlalu suka film yang bikin jantung dag-dig-dug alias film laga. Berbeda dengan Januari yang sepertinya sangat m
Melihat Januari tadi sore mengerjakan laporan PKL, aku jadi ketar-ketir karena belum mempersiapkan apapun. PKL tinggal sebulan lagi dan aku bingung harus melaporkan apa. Karena sudah kubilang sejak awal kalau kerjaanku di kantor pos cuma jualan materai dan jadi cewek bucin yang mengejar cowok bernama Januari. Hehe.Aku mengambil ponsel yang baru kuisi daya. Lalu, menelpon Niara dan Disa di grup untuk mendiskusikan masalah laporan ini.“Kamu lagi apa, Dis?” Aku memulai pembicaraan karena sedari tadi dua sahabatku ini diem terus kayak lagi ngemut permen. Mungkinkah Niara masih merasa canggung karena masalah Alan tempo itu?“Aku lagi main, Pril. Ini ‘kan malam Minggu,” jawab Disa. Suara bising dari knalpot kendaraan berikut klaksonnya menjadi latar suara Disa. Untungnya kupingku nggak budek, jadi masih bisa mendengarkannya.“Ugh, yang punya pacar mah beda. Kamu juga lagi malem Mingguan, Ra?” Aku memancing Niara untuk bicara. Namun, jawaban Niara hanya sebuah deh
Begitu sampai di depan kantor pos, aku melihat motor Supra yang sering dibawa Januari terparkir rapi. Sudah dipastikan Ozan yang membawanya ke sini."Ngapain itu orang mangkal di depan kantor pos?" Aku turun dari motor Januari dan mendekati si Supra sambil celingukan mencari empunya."Paling abis nganter bebebnya," jawab Januari asal. Ia menerima helm yang kuberikan dan bersiap untuk pergi ke tempatnya PKL. "Udah, ya. Nanti sore aku tungguin di tempat tongkrongan.""Di mana?""Itu di tempat Wi-Fi."Aku mengacungkan jari jempol.Kantor pos masih sepi padahal waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh menit. Mungkin karena ini akhir bulan. Kantor pos ramai hanya saat awal bulan saja, karena ada ratusan pensiunan yang mengambil gaji pensiun. Juga awal