Waktu menunjukkan pukul sembilan kurang sepuluh menit. Kami sudah puas bermain-main di sini. Dan aku juga sudah puas ditraktir ini dan itu oleh Januari. Aku sudah dibelikan boneka ukuran jumbo, dibelikan sandal jepit yang samaan dengan Januari, dibelikan gelang yang samaan dengan Januari, dan yang terakhir dibelikan tas slempang yang unyu. Katanya biar aku kayak cewek-cewek rempong yang perlu bawa tas untuk menampung alat make up dan benda pintar bernama ponsel. Halah, biasanya cowok suka muter bola mata kalau ceweknya rempong. Masa Januari malah menyuruhku rempong? Padahal aku sudah sangat simpel, loh. Hape sama uang udah aku taro di saku celana kulot. Dan aku nggak bawa make up. Harusnya ini orang bersyukur karena aku nggak fokus dandan mulu tiap kali di dekatnya.
"Makan dulu. Ketoprak, ya?" tanyanya meminta persetujuan.
"Iya. Apa aja yang penting dibayarin."
Sekadar info, kami sudah keluar dari Korsel. Sekarang sedang menun
Pertemuanku, Disa, Niara, dan Alan di-setting sedemikian apik oleh Disa. Kami sedang di alun-alun Majalengka sekarang. Tadinya aku sama Disa mengirimi pesan pada Niara, isinya pemberitahuan secara mendadak kalau kami nggak bisa datang, sama kayak Niara yang katanya nggak bisa datang. Kami pura-pura bertemu secara nggak sengaja di alun-alun. Aku pergi bersama Januari. Disa bersama pacarnya. Niara sama Alan. Ketika kami berpapasan, kami berpura-pura nggak menyangka akan bertemu di sini. Alhasil, kami triple date sekarang."Jadi ... kamu udah pacaran sama Alan?" tanya Disa. Sontak saja aku memasang wajah tak suka. Ih, nih orang ngapain manas-manasin aku sih?"Belum. Masih ada salah paham di sini."Disa manggut-manggut. Aku tahu Disa lagi membuka jalan untuk aku menyelesaikan masalah ini."Salah paham apa? Semuanya sudah jelas, Niara. Kamu dan Alan saling mencintai." Aku memaksakan bibirku agar ikut berkompromi. S
"Aku bisa jelasin semuanya, April."Aku sudah menahan air mataku agar tak jatuh. Namun, usaha itu sia-sia. Aku menangis, menyesali kebodohanku yang rela-rela saja ditipu oleh seorang Arkananta Januari!"Jelasin sekarang."Januari menjatuhkan dirinya di kursi. Ia menatapku tepat di bola mata. Selanjutnya, mengalirlah ceritanya."Aku menemukan puisimu di buku Jejak Rindu Sang Pemimpi. Itu buku yang dicetak khusus untuk memuat puisimu, kan? Aku menemukannya di rumah Zia. Dan aku langsung jatuh cinta pada setiap kata yang tertulis di sana. Sampai suatu ketika aku meminjam buku itu dan kucari siapa penulisnya. Aku kira, penulis buku itu bukan sahabat Zia sendiri. Aku tahu kamu sahabat Zia saat tak sengaja aku melihat profil facebook-mu dan menemukan beberapa fotomu dan Zia."Aku jatuh cinta pada puisimu. Maka dari itu segala aktivitasmu di facebook selalu aku pantau. Setiap kamu menulis puisi
Enggak, kita nggak bisa. Jelas-jelas kamu memilihku hanya untuk beristirahat. Aku cuma rest area, tempatmu berhenti sejenak ketika lelah berjalan mencapai tujuanmu. Aku cuma menawarkan dua pilihan padamu. Lanjutkan perjalananmu atau pulang? Nggak ada pilihan menetap di sini. Aku bukan rumahmu yang nyaman.Rest Area katanya? Cih, dia pikir aku itu traveller yang rela-rela saja mendatanginya hanya untuk buang air kencing. Aku cukup gila karena filosofi sialan yang keluar dari mulut Januari. Otak minimku nggak menerimanya dan menolak mentah-mentah perkataan itu. Namun, setelah tiga minggu lebih merenung di gua, akhirnya aku bisa mencerna setiap kata itu.Setiap aku punya masalah, Alfa adalah satu-satunya orang yang harus tahu masalahku. Mungkin itu maksud Januari. Dia merasa aku membutuhkannya hanya untuk berbagi masalah. Atau kami biasa menyebutnya berbagi luka. Namun, itu seharusnya impas, dong. Alfa juga sering menceritakan masalah keluarganya
Sepulang dari warung, Januari mengajakku untuk mampir ke rumah Zia. Katanya Rival hari ini ulang tahun dan Zia mau memberi kejutan. Aku, sih, manut aja dia mau membawaku ke mana. Karena aku sedang kangen padanya, maunya nempelin dia terus kayak perangko di amplop surat."Semingguan ini kamu ngehindar," ucapku. Dari Pajagan kami berjalan kaki. Matahari terik banget, tapi terasa nggak begitu panas. Hatiku adem melihat Januari yang sudah kembali ke mode awal."Namanya juga orang patah hati," jawab Januari sambil melirikku. Tanganku berada digenggamannya sejak tadi. Bikin kebas sama keringat, tapi males banget kalau harus dilepas. Haha, aku ini sudah bucin pada Januari rupanya. Seolah patah hati karena Alan itu hanya mimpi buruk yang langsung hilang dari memori ketika aku terbangun dan memulai lagi kehidupan.Mungkin saat itu, mataku lagi buram saja makanya melihat Al
Pukul tujuh malam Shopia datang ke rumah membawa jambu biji sekilo. Shopia tersenyum kelewat manis padaku, aku tahu pasti dia mau minta aku buat ngerjain PR miliknya."Bi, lagi sibuk nggak?"Nah, kan, firasatku itu nggak pernah meleset."Aku lagi sibuk," jawabku singkat. Kemudian jariku mengeser-geser menu di ponsel, pura-pura sibuk. Padahal mah aku nggak ada kerjaan. Dari tadi cuma nungguin si Januari mengirim pesan. Yang ditungguin entah ke mana. Whatsapp-nya online dua jam lalu. Mungkin dia sedang bertapa di gua kali, ya, nyari pencerahan sehabis tadi sore ditanya spontan oleh Rival soal kapan menjadikanku pacar."Bantuin kerjain PR, dong. Nih, imbalannya aku kasih jambu biji." Gadis cantik itu segera mengeluarkan berbagai alat tulis dari ransel ajaibnya. Buset, dia bawa buku tebel banyak amat udah kayak mahasiswi yang lagi
Begitu sampai di depan kantor pos, aku melihat motor Supra yang sering dibawa Januari terparkir rapi. Sudah dipastikan Ozan yang membawanya ke sini."Ngapain itu orang mangkal di depan kantor pos?" Aku turun dari motor Januari dan mendekati si Supra sambil celingukan mencari empunya."Paling abis nganter bebebnya," jawab Januari asal. Ia menerima helm yang kuberikan dan bersiap untuk pergi ke tempatnya PKL. "Udah, ya. Nanti sore aku tungguin di tempat tongkrongan.""Di mana?""Itu di tempat Wi-Fi."Aku mengacungkan jari jempol.Kantor pos masih sepi padahal waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh menit. Mungkin karena ini akhir bulan. Kantor pos ramai hanya saat awal bulan saja, karena ada ratusan pensiunan yang mengambil gaji pensiun. Juga awal
Melihat Januari tadi sore mengerjakan laporan PKL, aku jadi ketar-ketir karena belum mempersiapkan apapun. PKL tinggal sebulan lagi dan aku bingung harus melaporkan apa. Karena sudah kubilang sejak awal kalau kerjaanku di kantor pos cuma jualan materai dan jadi cewek bucin yang mengejar cowok bernama Januari. Hehe.Aku mengambil ponsel yang baru kuisi daya. Lalu, menelpon Niara dan Disa di grup untuk mendiskusikan masalah laporan ini.“Kamu lagi apa, Dis?” Aku memulai pembicaraan karena sedari tadi dua sahabatku ini diem terus kayak lagi ngemut permen. Mungkinkah Niara masih merasa canggung karena masalah Alan tempo itu?“Aku lagi main, Pril. Ini ‘kan malam Minggu,” jawab Disa. Suara bising dari knalpot kendaraan berikut klaksonnya menjadi latar suara Disa. Untungnya kupingku nggak budek, jadi masih bisa mendengarkannya.“Ugh, yang punya pacar mah beda. Kamu juga lagi malem Mingguan, Ra?” Aku memancing Niara untuk bicara. Namun, jawaban Niara hanya sebuah deh
Pukul sepuluh malam, mereka masih berada di rumahku sambil memakan gorengan yang kini tersisa beberapa buah. Aku duduk menghadap televisi yang menampilkan film action. Di sebelahku ada Januari dan Anetta. Entah kenapa cewek itu mengintili Januari terus. Bahkan saat Januari ke warung untuk membeli minuman dingin pun dia ikut, sudah seperti anak kecil yang takut ditinggalkan emaknya. Ozan, Rival, dan Zia duduk melingkari meja. Hanya Zia dan Rival yang mengobrol, sedangkan Ozan rupanya sedang video call dengan Mita.“Ah, sial!” Lagi-lagi umpatan keluar dari mulut Januari, disusul dengan teriakan Anetta. Rupanya film itu menampilkan adegan tabrak-menabrak antar mobil sampai salah satu lawannya jatuh ke jurang. Aku tidak tahu judul film yang sedang ditayangkan ini apa. Biasanya di sudut televisi ditampilkan, tapi sekarang enggak.Aku sebenarnya tidak terlalu suka film yang bikin jantung dag-dig-dug alias film laga. Berbeda dengan Januari yang sepertinya sangat m