Setelah kepergian Alan, aku berjalan menyusuri trotoar. Kupukuli dada berkali-kali, berharap rasa sakit yang terasa akan hilang. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku luapkan semua emosi yang tak lagi dapat kutahan.
Ini terlalu sakit, Tuhan!
Aku tak percaya akan dipermainkan oleh laki-laki seperti Alan. Orang yang kubenci dan selamanya akan kubenci. Harusnya aku tak menarik kata-kataku untuk membencinya hingga bumi tak lagi berotasi. Harusnya kalimat itu tetap kuucapkan jika melihat wajah busuknya. Selamanya aku membenci Alan. Kutarik semua pengakuan sukaku padanya. Aku tidak mau mencintai orang yang sudah berbuat semena-mena terhadap diriku.
Aku tak habis pikir, bisa-bisanya Alan berbuat seperti ini padaku. Kalau memang dia menyukai Niara, kenapa dia tidak mengungkapkannya langsung? Malah pakai acara mendekati sahabat Niara dulu biar bisa menerimanya. Siapa memang yang mau menjalani hubungan asmara? Mereka yang harusnya bisa saling mene
"Oke, jadi apa yang menyebabkan kamu mencuri rokok yang sedang nikmat-nikmatanya kuhisap?" tanya Januari ketika kami sudah duduk bersila berhadapan di ruang tengah rumah Ozan yang sepi kayak kuburan.Tadinya kami akan membicarakan masalah ini di rumahku. Namun, aku takut disangka macem-macem kalau bawa Januari ke rumah. Sedangkan keadaanku sedang amburadul kayak orang stres. Aku juga nggak siap dengan pertanyaan beruntun yang akan Ibu keluarkan ketika aku masuk ke rumah.Opsi kedua kami akan ke rumah Zia. Namun, setelah sampai, pintu rumahnya masih terkunci. Mama pasti masih di kios untuk berjualan jus. Zia sendiri pasti belum pulang dari tempat PKL-nya. Atau mungkin Zia sudah pulang tapi pacaran dulu dengan Rival.Jadilah kami memilih rumah Ozan. Pemiliknya entah sedang ke mana. Kebetulan Januari punya kunci cadangannya. Jadi, kami memutuskan untuk berbagi luka ronde kedua di rumah ini."Kamu kacau, Januar!"&
Januari dengan telaten mengompres lukaku dengan es batu. Sesekali aku meringis menahan nyeri. Kadang mengumpat dan menjambak rambutnya yang baru tumbuh itu demi menahan sakit. Januari juga menjerit-jerit karena kelakukanku. Sesekali dia memencet hidung atau lukaku yang menyebabkan aku menyumpahinya dengan kata-kata kotor."Bangsat, ini sakit!" teriakku ketika Januari lagi-lagi menekan luka di tanganku."Hush, kamu ngomong kayak preman gitu.""Abis, sakit. Udah, ah. Aku bukannya sembuh kalau kayak gini. Yang ada tulangku lama-lama patah karena ditekan terus sama kamu.""Apa--"Omongan Januari terpotong oleh suara salam seseorang yang kemudian disusul oleh ketukan sepatunya yang mendekat ke arah kami. Terlihat sosok jangkung berambut botak membawa sekantung belanjaan. Ia menaruh barang bawaannya di atas meja. Kemudian, matanya memerhatikan aku dan Januari bergantian."Ternyata r
Hari berlalu begitu saja tanpa aku bisa hentikan sejenak. Padahal aku lelah sekali. Pengin istirahat, nggak mau memikirkan masalahku yang datang silih berganti.Malam itu aku nggak jadi menginap di rumah Zia. Setelah kuceritakan masalahku segamblang-gamblangnya pada Mama Zia tanpa sedikitpun ditambah dan dikurangi, Mama malah menyuruhku pulang untuk membicarakan masalah itu dengan Ibu. Gimana nggak dongkol ini perasaan? Udah diubek-ubek sampai jantung jumpalitan dan paru-paru sesak saking nyeseknya hati, eh malah disuruh sabar. Dikira dengan sabar doang habis perkara!Aku menghabiskan sisa malam itu dengan menangis tersedu di telepon. Kuceritakan masalahku dengan Alfa, karena hanya dia satu-satunya orang yang bisa memberi masukan yang agak waras. Nggak kayak Januari yang malam itu malah menyuruhku bunuh diri di jembatan dekat Masjid Al-Islah. Katanya biar nanti bangkainya bisa langsung dimandikan, dikafani, dan disholatkan di masjid itu.
Mungkin ini kali kedua kami bertiga duduk di samping pusara Bapak; menaburkan bunga untuk Bapak; membaca surat Yasin bersama; memanjatkan doa untuk Bapak. Aku rindu suasana ketika kami akur seperti ini. Nggak ada lagi pertengkaran. Aku cukup tersiksa dengan perdebatan mereka berdua. Aku sakit melihat hubungan keluarga ini retak hanya karena keegoisan. Aku yakin Bapakpun menyayangi kami sama rata. Nggak dibeda-bedakan. Jadi, nggak pantas kami saling menyalahkan orang yang katanya paling disayangi sama Bapak.Usai mengaji di makam Bapak, aku berpindah ke makam Kak Juni. Kakak ketigaku yang meninggal tahun 2003 lalu. Dia meninggalkanku ketika aku masih berumur tiga tahun. Aku sendiri lupa bentuk wajahnya seperti apa. Namun, hampir seluruh tetanggaku mengatakan kalau aku merupakan jelmaan Kak Juni. Wajahku mirip dengannya.Menurut surat kematiannya, dia meninggal secara mendadak. Dokter menyebutnya heart attack. Dia meninggal di Bandung ketika bek
"Januari!" Aku memekik saking kagetnya melihat penampakan cowok ganteng yang tersenyum lebar padaku.Gila! Bisa rapi juga ini orang."Hai," sapanya. Senyumnya yang manis itu tak juga luntur. Ia memerhatikanku dari atas hingga bawah. Aku malu. Pasalnya aku cuma memakai celana trening dan kaos polos gombrang berwarna biru. Rambutku acak-acakan karena tadi kuremas-remas saat bertelepon dengan Alan."Nganggur nggak?""Eh?""Aku mau ajak kamu ke Korsel."Hah? Demi!"Serius?""Iya, ini kan malem minggu. Aku mau mengurangi penderitaanmu."Aku mendelik kesal. "Penderitaan apa maksudmu? Oh, karena masalahku yang kemarin-kemarin jadi kamu anggap aku manusia paling menderita sejagad raya?"Januari malah tertawa."Kenapa ketawa? Menertawakan penderitaanku?""Kamu lagi menstruasi?"
Waktu menunjukkan pukul sembilan kurang sepuluh menit. Kami sudah puas bermain-main di sini. Dan aku juga sudah puas ditraktir ini dan itu oleh Januari. Aku sudah dibelikan boneka ukuran jumbo, dibelikan sandal jepit yang samaan dengan Januari, dibelikan gelang yang samaan dengan Januari, dan yang terakhir dibelikan tas slempang yang unyu. Katanya biar aku kayak cewek-cewek rempong yang perlu bawa tas untuk menampung alat make up dan benda pintar bernama ponsel. Halah, biasanya cowok suka muter bola mata kalau ceweknya rempong. Masa Januari malah menyuruhku rempong? Padahal aku sudah sangat simpel, loh. Hape sama uang udah aku taro di saku celana kulot. Dan aku nggak bawa make up. Harusnya ini orang bersyukur karena aku nggak fokus dandan mulu tiap kali di dekatnya."Makan dulu. Ketoprak, ya?" tanyanya meminta persetujuan."Iya. Apa aja yang penting dibayarin."Sekadar info, kami sudah keluar dari Korsel. Sekarang sedang menun
Pertemuanku, Disa, Niara, dan Alan di-setting sedemikian apik oleh Disa. Kami sedang di alun-alun Majalengka sekarang. Tadinya aku sama Disa mengirimi pesan pada Niara, isinya pemberitahuan secara mendadak kalau kami nggak bisa datang, sama kayak Niara yang katanya nggak bisa datang. Kami pura-pura bertemu secara nggak sengaja di alun-alun. Aku pergi bersama Januari. Disa bersama pacarnya. Niara sama Alan. Ketika kami berpapasan, kami berpura-pura nggak menyangka akan bertemu di sini. Alhasil, kami triple date sekarang."Jadi ... kamu udah pacaran sama Alan?" tanya Disa. Sontak saja aku memasang wajah tak suka. Ih, nih orang ngapain manas-manasin aku sih?"Belum. Masih ada salah paham di sini."Disa manggut-manggut. Aku tahu Disa lagi membuka jalan untuk aku menyelesaikan masalah ini."Salah paham apa? Semuanya sudah jelas, Niara. Kamu dan Alan saling mencintai." Aku memaksakan bibirku agar ikut berkompromi. S
"Aku bisa jelasin semuanya, April."Aku sudah menahan air mataku agar tak jatuh. Namun, usaha itu sia-sia. Aku menangis, menyesali kebodohanku yang rela-rela saja ditipu oleh seorang Arkananta Januari!"Jelasin sekarang."Januari menjatuhkan dirinya di kursi. Ia menatapku tepat di bola mata. Selanjutnya, mengalirlah ceritanya."Aku menemukan puisimu di buku Jejak Rindu Sang Pemimpi. Itu buku yang dicetak khusus untuk memuat puisimu, kan? Aku menemukannya di rumah Zia. Dan aku langsung jatuh cinta pada setiap kata yang tertulis di sana. Sampai suatu ketika aku meminjam buku itu dan kucari siapa penulisnya. Aku kira, penulis buku itu bukan sahabat Zia sendiri. Aku tahu kamu sahabat Zia saat tak sengaja aku melihat profil facebook-mu dan menemukan beberapa fotomu dan Zia."Aku jatuh cinta pada puisimu. Maka dari itu segala aktivitasmu di facebook selalu aku pantau. Setiap kamu menulis puisi