Hari berlalu begitu saja tanpa aku bisa hentikan sejenak. Padahal aku lelah sekali. Pengin istirahat, nggak mau memikirkan masalahku yang datang silih berganti.
Malam itu aku nggak jadi menginap di rumah Zia. Setelah kuceritakan masalahku segamblang-gamblangnya pada Mama Zia tanpa sedikitpun ditambah dan dikurangi, Mama malah menyuruhku pulang untuk membicarakan masalah itu dengan Ibu. Gimana nggak dongkol ini perasaan? Udah diubek-ubek sampai jantung jumpalitan dan paru-paru sesak saking nyeseknya hati, eh malah disuruh sabar. Dikira dengan sabar doang habis perkara!
Aku menghabiskan sisa malam itu dengan menangis tersedu di telepon. Kuceritakan masalahku dengan Alfa, karena hanya dia satu-satunya orang yang bisa memberi masukan yang agak waras. Nggak kayak Januari yang malam itu malah menyuruhku bunuh diri di jembatan dekat Masjid Al-Islah. Katanya biar nanti bangkainya bisa langsung dimandikan, dikafani, dan disholatkan di masjid itu.
Mungkin ini kali kedua kami bertiga duduk di samping pusara Bapak; menaburkan bunga untuk Bapak; membaca surat Yasin bersama; memanjatkan doa untuk Bapak. Aku rindu suasana ketika kami akur seperti ini. Nggak ada lagi pertengkaran. Aku cukup tersiksa dengan perdebatan mereka berdua. Aku sakit melihat hubungan keluarga ini retak hanya karena keegoisan. Aku yakin Bapakpun menyayangi kami sama rata. Nggak dibeda-bedakan. Jadi, nggak pantas kami saling menyalahkan orang yang katanya paling disayangi sama Bapak.Usai mengaji di makam Bapak, aku berpindah ke makam Kak Juni. Kakak ketigaku yang meninggal tahun 2003 lalu. Dia meninggalkanku ketika aku masih berumur tiga tahun. Aku sendiri lupa bentuk wajahnya seperti apa. Namun, hampir seluruh tetanggaku mengatakan kalau aku merupakan jelmaan Kak Juni. Wajahku mirip dengannya.Menurut surat kematiannya, dia meninggal secara mendadak. Dokter menyebutnya heart attack. Dia meninggal di Bandung ketika bek
"Januari!" Aku memekik saking kagetnya melihat penampakan cowok ganteng yang tersenyum lebar padaku.Gila! Bisa rapi juga ini orang."Hai," sapanya. Senyumnya yang manis itu tak juga luntur. Ia memerhatikanku dari atas hingga bawah. Aku malu. Pasalnya aku cuma memakai celana trening dan kaos polos gombrang berwarna biru. Rambutku acak-acakan karena tadi kuremas-remas saat bertelepon dengan Alan."Nganggur nggak?""Eh?""Aku mau ajak kamu ke Korsel."Hah? Demi!"Serius?""Iya, ini kan malem minggu. Aku mau mengurangi penderitaanmu."Aku mendelik kesal. "Penderitaan apa maksudmu? Oh, karena masalahku yang kemarin-kemarin jadi kamu anggap aku manusia paling menderita sejagad raya?"Januari malah tertawa."Kenapa ketawa? Menertawakan penderitaanku?""Kamu lagi menstruasi?"
Waktu menunjukkan pukul sembilan kurang sepuluh menit. Kami sudah puas bermain-main di sini. Dan aku juga sudah puas ditraktir ini dan itu oleh Januari. Aku sudah dibelikan boneka ukuran jumbo, dibelikan sandal jepit yang samaan dengan Januari, dibelikan gelang yang samaan dengan Januari, dan yang terakhir dibelikan tas slempang yang unyu. Katanya biar aku kayak cewek-cewek rempong yang perlu bawa tas untuk menampung alat make up dan benda pintar bernama ponsel. Halah, biasanya cowok suka muter bola mata kalau ceweknya rempong. Masa Januari malah menyuruhku rempong? Padahal aku sudah sangat simpel, loh. Hape sama uang udah aku taro di saku celana kulot. Dan aku nggak bawa make up. Harusnya ini orang bersyukur karena aku nggak fokus dandan mulu tiap kali di dekatnya."Makan dulu. Ketoprak, ya?" tanyanya meminta persetujuan."Iya. Apa aja yang penting dibayarin."Sekadar info, kami sudah keluar dari Korsel. Sekarang sedang menun
Pertemuanku, Disa, Niara, dan Alan di-setting sedemikian apik oleh Disa. Kami sedang di alun-alun Majalengka sekarang. Tadinya aku sama Disa mengirimi pesan pada Niara, isinya pemberitahuan secara mendadak kalau kami nggak bisa datang, sama kayak Niara yang katanya nggak bisa datang. Kami pura-pura bertemu secara nggak sengaja di alun-alun. Aku pergi bersama Januari. Disa bersama pacarnya. Niara sama Alan. Ketika kami berpapasan, kami berpura-pura nggak menyangka akan bertemu di sini. Alhasil, kami triple date sekarang."Jadi ... kamu udah pacaran sama Alan?" tanya Disa. Sontak saja aku memasang wajah tak suka. Ih, nih orang ngapain manas-manasin aku sih?"Belum. Masih ada salah paham di sini."Disa manggut-manggut. Aku tahu Disa lagi membuka jalan untuk aku menyelesaikan masalah ini."Salah paham apa? Semuanya sudah jelas, Niara. Kamu dan Alan saling mencintai." Aku memaksakan bibirku agar ikut berkompromi. S
"Aku bisa jelasin semuanya, April."Aku sudah menahan air mataku agar tak jatuh. Namun, usaha itu sia-sia. Aku menangis, menyesali kebodohanku yang rela-rela saja ditipu oleh seorang Arkananta Januari!"Jelasin sekarang."Januari menjatuhkan dirinya di kursi. Ia menatapku tepat di bola mata. Selanjutnya, mengalirlah ceritanya."Aku menemukan puisimu di buku Jejak Rindu Sang Pemimpi. Itu buku yang dicetak khusus untuk memuat puisimu, kan? Aku menemukannya di rumah Zia. Dan aku langsung jatuh cinta pada setiap kata yang tertulis di sana. Sampai suatu ketika aku meminjam buku itu dan kucari siapa penulisnya. Aku kira, penulis buku itu bukan sahabat Zia sendiri. Aku tahu kamu sahabat Zia saat tak sengaja aku melihat profil facebook-mu dan menemukan beberapa fotomu dan Zia."Aku jatuh cinta pada puisimu. Maka dari itu segala aktivitasmu di facebook selalu aku pantau. Setiap kamu menulis puisi
Enggak, kita nggak bisa. Jelas-jelas kamu memilihku hanya untuk beristirahat. Aku cuma rest area, tempatmu berhenti sejenak ketika lelah berjalan mencapai tujuanmu. Aku cuma menawarkan dua pilihan padamu. Lanjutkan perjalananmu atau pulang? Nggak ada pilihan menetap di sini. Aku bukan rumahmu yang nyaman.Rest Area katanya? Cih, dia pikir aku itu traveller yang rela-rela saja mendatanginya hanya untuk buang air kencing. Aku cukup gila karena filosofi sialan yang keluar dari mulut Januari. Otak minimku nggak menerimanya dan menolak mentah-mentah perkataan itu. Namun, setelah tiga minggu lebih merenung di gua, akhirnya aku bisa mencerna setiap kata itu.Setiap aku punya masalah, Alfa adalah satu-satunya orang yang harus tahu masalahku. Mungkin itu maksud Januari. Dia merasa aku membutuhkannya hanya untuk berbagi masalah. Atau kami biasa menyebutnya berbagi luka. Namun, itu seharusnya impas, dong. Alfa juga sering menceritakan masalah keluarganya
Sepulang dari warung, Januari mengajakku untuk mampir ke rumah Zia. Katanya Rival hari ini ulang tahun dan Zia mau memberi kejutan. Aku, sih, manut aja dia mau membawaku ke mana. Karena aku sedang kangen padanya, maunya nempelin dia terus kayak perangko di amplop surat."Semingguan ini kamu ngehindar," ucapku. Dari Pajagan kami berjalan kaki. Matahari terik banget, tapi terasa nggak begitu panas. Hatiku adem melihat Januari yang sudah kembali ke mode awal."Namanya juga orang patah hati," jawab Januari sambil melirikku. Tanganku berada digenggamannya sejak tadi. Bikin kebas sama keringat, tapi males banget kalau harus dilepas. Haha, aku ini sudah bucin pada Januari rupanya. Seolah patah hati karena Alan itu hanya mimpi buruk yang langsung hilang dari memori ketika aku terbangun dan memulai lagi kehidupan.Mungkin saat itu, mataku lagi buram saja makanya melihat Al
Pukul tujuh malam Shopia datang ke rumah membawa jambu biji sekilo. Shopia tersenyum kelewat manis padaku, aku tahu pasti dia mau minta aku buat ngerjain PR miliknya."Bi, lagi sibuk nggak?"Nah, kan, firasatku itu nggak pernah meleset."Aku lagi sibuk," jawabku singkat. Kemudian jariku mengeser-geser menu di ponsel, pura-pura sibuk. Padahal mah aku nggak ada kerjaan. Dari tadi cuma nungguin si Januari mengirim pesan. Yang ditungguin entah ke mana. Whatsapp-nya online dua jam lalu. Mungkin dia sedang bertapa di gua kali, ya, nyari pencerahan sehabis tadi sore ditanya spontan oleh Rival soal kapan menjadikanku pacar."Bantuin kerjain PR, dong. Nih, imbalannya aku kasih jambu biji." Gadis cantik itu segera mengeluarkan berbagai alat tulis dari ransel ajaibnya. Buset, dia bawa buku tebel banyak amat udah kayak mahasiswi yang lagi