Awalnya aku merasa aneh dengan Ikal dalam film Sang Pemimpi yang begitu membenci kantor pos bahkan sampai bilang dia nggak akan pernah bekerja di sana. Walau akhirnya takdir membuat dia menjilat ludahnya sendiri dengan menempatkan Ikal di sebuah kantor pos di Bogor. Jadi, jangan pernah membenci sesuatu secara berlebihan ya, karena bisa jadi kita malah dipertemukan dengan sesuatu itu. Namun, Januari pengecualian. Kalau aku sudah bilang membencinya, selamanya akan tetap seperti itu. Pun dengan Alan Kampret plus muka songong hakikinya. Dia akan tetap kubenci meski bumi tak lagi berotasi.
Balik lagi ke Ikal dan kantor pos. Aku baru mengetahui alasan Ikal membenci kantor pos di bagian scene ayahnya merasa kecewa pada prestasinya yang menurun. Saat itu Ikal benar-benar menyesal telah meninggalkan sekolahnya hingga membuat Ayah Juara Satunya dipanggil paling terakhir pas pembagian raport. Flashback ke masa kecil Ikal. Saat itu ayahnya diberi surat oleh kurir pos. Isi suratnya adalah ayahnya diundang datang pada acara pelantikan kenaikan pangkat. Ketika sudah berkumpul di tempat acara, ayahnya tak juga terpanggil. Dan ternyata ayahnya memang tak dinaikkan pangkatnya. Surat yang datang ke rumahnya itu ternyata salah alamat. Itulah alasan kenapa Ikal membenci kantor pos. Karena surat itu membuat ayahnya kecewa. Aku mewek sambil lap ingus di scene itu.Kesalahan itu jarang sekali terulang di era sekarang. Teknologi mempermudah segalanya. Jika dulu keberadaan surat di kantor pos tak dapat dilacak di mana keberadaannya. Sekarang setiap barang atau surat yang dikirim melalui kantor pos dapat diketahui telah sampai di mana. Sekarang sistem pengiriman barang tercatat oleh komputer. Pilihan paketnya juga banyak. Ada yang paling cepat dan paling mahal, yaitu Pos Express. Pos Express datang ke tempat tujuannya cuma satu hari. Jadi, kalau aku ngirim surat hari ini, besoknya udah bisa dibaca sama doi. Ada Paket Kilat Khusus, sampai sekitar tiga hari. Ada Paket Pos Biasa yang paling murah meriah. Paket Pos Biasa sesampainya di tempat. Paling lama satu minggu.
Perangko kini sudah jarang sekali digunakan. Pengiriman surat memakai perangko cuma buat surat ke PO Box. Iya yang undian-undian gitu, lho. Soalnya ngirimnya pasti berpuluh-puluh surat. Bedanya sistem tercatat sama perangko itu kalau perangko sampainya lama banget nggak ditentukan berapa hari dan nggak bisa dilacak sudah sampai atau belum. Namun, perangko itu murah meriah cuma tiga ribu rupiah.
Kantor pos sudah bertransformasi sedemikian pesat. Di daerahku, kantor pos bukan cuma media pengiriman surat dan barang. Ngirim motor dan mobil juga bisa. Mau kirim mantan sekalian? Bisa, lho. Karungin aja atau dimasukin kardus. Dijamin kalau pake Paket Kilat Khusus yang tiga hari langsung megap-megap itu mantan kalian.
Kantor pos bisa juga sebagai media pengiriman uang. Baik lokal maupun Internasional. Juga bisa sebagai media pembayaran listrik, pajak, BPJS, angsuran kredit mobil dan motor, dan pembayaran lainnya. Bisa nabung juga di sana pakai rekening Bank BTN. Ada materai 3000 dan 6000. Aku PKL di kantor pos jadi pedagang materai 6000. Satu lembar itu isi lima puluh biji. Satu pak itu isinya sepuluh lembar. Jadi, kalau penjualannya laris manis aku bakal menghitung uang sebanyak tiga juta rupiah.
Pukul 12.00 WIB aku keluar untuk membeli jajanan di Posong. Orang-orang memanggilnya Posong entah karena kenapa. Padahal di situ nama desanya Mekarsari. Posong itu Jakarta mininya Majalengka. Jalanannya sempit karena banyak motor dan mobil suka lewat situ. Bangunan rumahnya tinggi-tinggi. Bisa dikatakan bangunan itu apartemen kecil-kecilan. Jadi, mirip dikitlah sama Jakarta.
Di warung mungil tempat biasa aku membeli es seduh sudah ada empat manusia berseragam putih abu-abu. Dua orang dari mereka aku kenal. Itu Ozan dan Januari. Duh, dosa apa aku hari ini sampai ketemu alien itu di warung?
"Hai, April," sapa Januari. Mukanya dibuat berseri-seri dan seketika aku ngeri sendiri. Angin dari Barat Daya mungkin menggeserkan otak Januari sedikit hingga membuat dia kelihatan kayak pasien rumah sakit jiwa.
"Masih waras?" tanyaku was-was.
"Alhamdulillah sehat walafiat tanpa cacat sedikit pun. Kamu sendiri? Masih gila?"
Aku melotot mendengar pertanyaannya. Kudekati dia dan kutendang lagi tulang keringnya kayak waktu itu. Dia meringis menahan nyeri.
"Duh, kudu jaga jarak aman kalau sama Bernard."
"Apa kamu bilang?"
"Shaun The Seep."
"Dasar Tokek!"
Aku tak lagi menghiraukan mereka. Fokusku kini pada penjual cilok yang sudah mendunia. Cilok Adoel. Entah penjualnya bernama Adoel atau anaknya bernama Bedul. Yang pasti cilok Adoel ini sudah membuka cabang di mana-mana. Aku kenal cilok ini sejak SMP. Sampai sekarang ini cilok nggak bangkrut-bangkrut. Keren, kan?
"Mang, tiga ribu yang pedes," kataku. Si Mamang cuma ngangguk. Mita yang sedari tadi diam cuma ikut saja. Aku memesan cilok dengan cabe bubuk dua sendok dan saos banyak dia fine-fine aja. Mungkin dia lagi PMS kali sampai males ngomong. Atau mungkin dia lagi terpesona sama anak-anak STM di ....
"Mang, cilok tiga ribuan empat. Jangan pedes-pedes," kata Ozan. W-O-W, jadi dari tadi si Mita membisu karena Ozan? Gila, mata Mita udah mau keluar dari kelopaknya ngelihatin Ozan terus. Bahaya ini kalau dia sakit mata.
"Eh, Zan."
"Eh, kita saling kenal? Kok, tahupanggilan aku?"
Huasyem. Aku jadi kayak orang SKSD banget sok-sokan panggil nama sedangkan yang dipanggil kagak kenal siapa aku. Hiks.
"Aku temen Zia. Yang kemarin-kemarin ke rumah Zia dan kalian lagi makan rujak, kan?" Oke, April, demi iler Mita yang bentar lagi mau netes. Kamu kudu membiarkan harga dirimu menggelinding di tanah.
"Oh, iya. April."
"Kenalin, Zan. Ini temenku. Namanya Mita." Aku menyenggol bahu Mita. Seketika Mita sadar dari kecengoannya.
"Hai, Mita."
Mita mesem-mesem. Lalu dia menjawab sapaan Ozan. "Hai."
Udah? Gitu aja?
"Neng, dicolok apa ditaliin?"
Si Mamang pertanyaannya ambigu gini. Aku menoleh pada Mamang cilok. "Apanya, Mang?"
"Ini ciloknya mau ditaliin?"
"Cilok bisa ditaliin?" Yaelah, kok aku jadi ikut-ikutan gaje begini.
"Plastiknya, Neng."
"Oh. Iya."
Usai bertransaksi dengan Mamang cilok, aku nggak segera meninggalkan tempat.
"A, ini plastiknya ditaliin?" Si Mamang sekarang nanya sama Ozan.
"Punya Januari dicolok, Mang."
Mita sudah menarik-narik tanganku buat pergi. Namun, sebuah ide brilian yang tiba-tiba muncul membuat aku enggan beranjak dari sana. Kesempatan muncul ketika Ozan pamit sebentar pada Mamang cilok karena uangnya ternyata kurang seribu.
"Mang, punya Januari itu yang dicolok alias nggak ditaliin plastiknya tambahin lagi cabai bubuknya," kataku.
"Tadi kata si Aa udah cukup segini aja."
"Ih, dia sms aku katanya punya temennya kurang pedes. Sini, deh, aku tambahin aja."
Aku mengambil cabai bubuk sebanyak empat sendok dari wadah. Mampus kau Januari. Selamat mangkal di WC berjam-jam.
"Ayo, Mit, balik," ajakku pada Mita sambil menggandeng tangannya.
Selepas memakan cilok dengan khidmat aku kembali ke meja kerja. Aku dan Mita kembali fokus mengisi berlembar-lembar formulir western union. Di sela-sela kegiatan kami, Mita membuka pembicaraan.
"Tadi anak STM?"
"Iya. Suka sama Ozan, ya?" Aku menggodanya dan dia shy shy cat gitu. Idih, first sight love gini-gini amat. Aku jadi ngeri melihat Mita yang tiba-tiba memandang langit-langit kantor pos sambil senyum-senyum. Number emergency berapa digit? Tolong pencet sebelum Mita kesambet dan kejang-kejang di sini.
"Ganteng," katanya. Pandangannya masih tertuju pada langit-langit. Ya ampun, warna putih di plafon aja dia bilang ganteng. Apa kabar otaknya?
***
"Iya, kamu harus tahu kalau aku tadi abis ngerjain Januari si manusia rese itu." Aku tertawa sebelum memulai cerita dengan Alfa di telepon. "Aku tadi masukin empat sendok cabe bubuk ke ciloknya. Dia pasti sekarang lagi mules-mules di WC. Hahaha ...."Di seberang sana aku cuma mendengar gumaman pelan Alfa yang kayaknya nggak terhibur dengan ceritaku."Alfa, responnya, kok, cuma hem doang?" tanyaku. Biasanya Alfa ini suka ketawa. Bacotan apapun yang keluar dari mulutku, baik yang lucu ataupun tidak, pasti Alfa selalu menanggapinya dengan ketawa. Namun, sekarang dia cuma ham-hem doang kayak yang lagi sakit gigi."Susah ketawa," jawabnya. Suaranya lemes banget."Kamu lagi sakit, ya?""Hm.""Sakit apa?""Diare.""Makanya jangan makan makanan yang pedes, Alfa. Nanti kamu
Saat tiba waktunya makan siang, aku dan Mita berniat membeli siomay di seberang jalan sana. Namun, kuurangkan niat itu karena di gerbang kantor pos sudah nemplok cicak raksasa."Kayaknya aku nggak jadi beli siomay," bisikku pada Mita yang sedari tadi senyum-senyum sendiri. Mungkin dia sedang memikirkan Ozan. Oh iya, mereka sudah mulai dekat. Sudah dua hari ini mereka sering bertukar pesan. Ini berkat aku, dong. Dengan meruntuhkan segenap harga diriku, aku meminta nomor ponsel Ozan kemarin. Aku seberani itu karena kebetulan Ozan lagi sendiri. Sebenarnya sekalian menanyakan kabar Januari. Karena sudah dua hari dia nggak masuk. Kata Ozan, Januari masih harus dirawat di rumah sakit.Sekarang, Januari sudah nyender-nyender di gerbang. Wajahnya agak sayu. Namun, senyum jahilnya yang sudah melekat di bibirnya membuat aku ingin melemparinya dengan batu."Siapa dia? Mau makan siang bareng kamu?" tanya Mita.
Rumahku itu mungil banget. Hanya terbagi dalam enam ruangan: tiga kamar tidur, satu ruang tamu yang merangkap dengan ruang TV, satu kamar mandi, dan satu dapur yang lumayan luas karena dibagi dengan tempat nyuci baju dan nyuci piring. Suara apapun--termasuk suara jangkrik--di luar rumah bakal terdengar nyaring sampai ke dapur. Meski sekarang posisiku sedang di kamar mandi dan suara air ikut menciptakan paduan suara yang merdu, suara tamu tak di undang di luar juga masih terdengar jelas. Dia kayak nggak sabaran mengucapkan salam sambil gedor-gedor pintu. Mungkin dia mikirnya aku tuli, tapi serius ini aku lagi berkepentingan di WC dan nggak bisa diganggu gugat."April ada di dalem, A. Tunggu aja. Tadi udah pulang," teriak Bi Nani, tetanggaku.Ah, ya. Rumah mungilku ini adalah satu-satunya rumah yang menghadap ke barat. Letaknya juga di atas. Ada tanjakan untuk kendaraan pribadi. Lalu, ada teras yang nggak cukup luas. Bi Nani rumahnya menghadap utara, berhada
Malam minggu adalah malam di mana para jomblowan dan jomblowati bergelung di selimut ditemani ponsel yang menyala. Jangan pikir mereka sibuk berbalas pesan dengan orang lain di sosial media, yang ada mereka sedang scrool-scrool halaman Raja Quotes.Terkecuali aku. Sebagai jomblowati yang keren dan memiliki hati setegar tiang listrik, aku anti kesepian. Ponselku ramai kayak ada organ dangdut di mana para warga bakal berkumpul. Grup chat dengan kedua sahabatku sudah nyampe 999+. Grup chat kelas sudah nyampe 999+. Ponselku sampai error saking banyaknya chat yang masuk.Niara : VcDisa : Yo pidah lineMe : BentarDisa : Cepet elahMe : sabar woyNiara : ayoMe : Yo pindahObrolan pindah ke aplikasi Line. Biar kita bisa video call bertiga. Disa memulai lebih dulu. Sedangkan, aku kini sibuk mencari-cari senter. Kenap
Pagi itu matahari terik sekali. Oktober yang biasanya dikenal dengan musim hujan, malah menampakkan bola api panas yang memancar ke setiap sudut bumi. Langit sama sekali nggak menumpahkan tangis saat menyaksikan salah satu penghuni bumi ditimbun tanah dan ditaburi bunga. Yang ada malah hujan dari mata yang merembes sejak tadi. Berkali-kali dipaksa berhenti, air sialan itu tetap saja membasahi pipi.Mati rasa. Aku mengalami itu. Aku nggak bisa melakukan apapun lagi selain menangis. Apalagi ketika aku melihat wajah Bapak untuk terakhir kalinya. Wajah damai yang menampakkan senyum terbaiknya. Namun, itu hanya sebentar. Sebentar sekali. Wajah itu kembali ditutupi kain kafan. Begitu cepat. Seolah-olah orang yang membukakan kain itu melarangku menatap wajah Bapak terlalu lama. Dia pun tak memberiku kesempatan untuk memeluk jasad Bapak. Dia tak memperbolehkanku mengotori kain bersih itu dengan air mataku. Katanya, air mataku haram untuk membekas di sana. Karena Bapak mungkin saja
Alan benar-benar menepati janjinya untuk menjemputku di kantor. Sepuluh menit sebelum aku keluar, dia sudah datang. Kini dia masih asyik bercakap-cakap dengan Pak Galih, tukang parkir. Aku melambaikan tangan padanya seraya mendekat. Alan yang menyadari kalau aku sudah selesai bekerja langsung tersenyum padaku. Gila! Baru kali ini aku melihat senyum lebar Alan. Biasanya mukanya itu kan selalu dihiasi kesinisan yang hakiki."Mau makan dulu, Pril?" tanyanya."Nggak.""Makan dululah. Aku tahu kamu pasti capek."Kiamat 2018 kalau Alan bisa semanis ini. Aku cuma mesem-mesem. Lalu, kami pamitan pada Pak Galih. Aku menerima helm yang diberikan Alan. Selanjutnya, motor Beat Alan membelah jalanan Jatiwangi. Suasana masih cukup gerah, Sist. Namun, hatiku hangat-hangat saja nggak sampai mencapai suhu maksimal dan membuat kebakaran."Kita mau makan di mana?" tanyaku ketika motor Alan sudah melewati lampu merah. Biasanya tempat tongkrongan yan
Entah sudah hari keberapa Alfa menghilang. Status WA-nya masih menampilkan laptop merek Acer dengan label DIJUAL dan selalu ia perbarui harganya. Hari demi hari dia rutin meng-update perubahan harga laptopnya yang kian menurun. Kini berada pada harga satu juta rupiah. Gila! Padahal saat pertama ia mengunggah foto itu, harga yang ia tawarkan yaitu empat juta rupiah.WA Alfa selalu aktif. Namun, dia tak pernah membalas pesanku. Terakhir kali dia membalas pesanku ketika aku baru saja memberitahunya kalau aku sedang jatuh cinta pada seseorang. Malam itu, niatnya aku mau menceritakan tentang Alan, tapi Alfa malah kabur dan nggak membalas lagi pesanku. Dia membuat alasan akan pergi bersama temannya. Kukatakan padanya, balesnya kapan aja pokoknya aku mau cerita. Dan tampaknya dia belum membaca pesan itu hingga kini.Jujur saja aku merasa kehilangan. Aku seperti telah ditinggalkan oleh sahabatku. Aku pernah merasakan ini sebelumnya. Ditinggalkan tanpa alasan yang jelas
Aku pernah kecewa sama Disa. Hal itulah yang membuat aku nggak menaruh kepercayaan lagi padanya. Karena itu juga aku selalu berpura-pura menerimanya. Selain karena Niara yang sayang pada Disa, juga karena Disa yang baik padaku. Makanya lambat laun aku mulai bisa menerima kehadirannya. Meski tak sepenuhnya menyayanginya.Dulu, Disa pernah membuat ulah. Ketika pelajaran Bahasa Indonesia tengah berlangsung, dia malah berdebat dengan Niara. Aku nggak terlalu jelas mendengarkan inti masalah mereka. Karena saat itu fokusku berhamburan. Suasana kelas ramai karena guru Bahasa Indonesia sedang memutar film di depan. Jarak mejaku juga lumayan jauh dengan mereka, karena saat itu aku nggak satu kelompok dengan mereka. Aku cuma memerhatikan dari jarak yang cukup jauh. Hingga tiba-tiba keduanya berhenti berdebat dan Disa pindah tempat duduk menjadi di pojok. Kulihat Niara kembali fokus ke film yang sudah diputar dan Disa malah memainkan ponsel.Esoknya, ada yang berubah dari s