Bayangan-bayangan indah PKL dalam kepalaku buyar seketika. Karena saat pertama masuk ke kantor pos aku nggak disambut ala Princess Syahrini. Boro-boro berjalan di red carpet terus dikasih ucapan welcome. Pertama masuk ke gerbangnya, aku dan temanku langsung disuruh kerja. Barisan orang pensiunan yang mau ambil duit di tanggal dua merupakan hal yang menakjubkan. Iya, aku perhalus bahasanya biar nggak ngenes amat.
Pembimbingku baru datang satu jam setelah aku mondar-mandir kayak orang linglung. Setelah menghadap kepala perusahaan, pembimbingku balik lagi.Udah gitu doang?
Bete!
Jadi beginilah nasibku dan Mita, temanku. Jadi kacung dadakan. Bisa disuruh gini-gitu, apa aja pokoknya. Dari mulai mengkilokan barang sampai disuruh melakban barang yang akan dikirim. Kerja serabutan. Giliran mendalami peran sebagai seorang akuntan, kami malah disuruh menghitung uang receh lima ratus ribu. Ya Salam, padahal pas pelajaran akuntansi perusahaan dagang, aku selalu menghitung uang sampai miliaran. Giliran prakteknya, aku megap-megap bareng uang recehan. Mataku melotot terus lihat uang gepokan. Kalau aku mangap dikit, pasti ilerku juga berjatuhan bagai hujan deras.
Sekitar pukul sepuluh, barulah kami bisa bernapas. Aku duduk dengan nyaman sekaligus mengistirahatkan kakiku yang terasa pegal selepas mondar-mandir.
Aku sampai lupa mengamati sekeliling kantor ini. Baiklah, kantor ini ukurannya agak besar. Cuma bangunannya dibagi dua dengan Bank Mandiri di samping kanan. Ruangan ini didominasi dengan warna putih. Bukan cuma tembok yang bercat putih, tapi mejanya juga warna putih. Meja yang ditempati karyawan memanjang dan terbagi dalam tiga sekat. Tiap meja ada komputernya dan ada lacinya buat menyimpan uang. Selain memanjang ke samping, mejanya juga memanjang ke belakang. Aku bingung mau jelasinnya gimana. Pokoknya karyawan jadi dikelilingi meja dan keluar dari celah belakang. Aku sendiri duduk di antara sekat mereka. Jadi, kalau ada yang butuh bantuanku, aku nggak ribet. Nah, di atas meja karyawan yang tadi aku jelaskan, ada meja memanjang ke samping. Itu gunanya untuk pelanggan mengisi formulir dan lain-lain. Kayak di Bank gitu, lho.
Di depan meja ada jajaran kursi tunggu. Pintu masuknya kayak pintu minimarket, tarik-dorong. Di atas pintu ada jam dinding berwarna putih juga. Samping kiri ada air conditioner dan di bawahnya ada piagam dari Bank Indonesia. Samping kananku ada kelender dan pengharum ruangan.
Di belakang ruangan kerja ini ada dua meja. Yang satu tempat menaruh barang karyawan. Satunya meja tempat menaruh barang kiriman. Ada rak khusus juga buat menyimpan surat yang sudah disortir berdasarkan desa. Di belakangnya lagi ada kamar mandi dan tempat sholat. Sudah segitu doang. Nggak luas kayak Istana Presiden, kan? Namun, semoga aku betah PKL selama tiga bulan di sini.
Pukul 12.00 WIB kami disuruh makan siang. Aku dan Mita melipir ke ruangan khusus sholat. Usai sholat aku disapa bapak-bapak. Dia kayaknya bapak yang tadi baru saja mengambil uang pensiunan. Namun, kenapa dia belum juga pulang? Malah mangkal di sebelah kantor.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanyaku, menirukan Ibu Suri yang dulu memberi materi tatakrama pas pembekalan PKL.
"Ada Januari?"
"Januari itu manusia?"
Oke, itu memang pertanyaan ambigu yang pasti dilontarkan sama orang nggak berotak. Hahaha ... Bodo amat.
"Iya. Cucu saya. Bisa dipanggilin?"
"Ciri-cirinya?"
"Masih sekolah. Kayak Neng ini. Lagi PKL di telkom Indonesia."
Lah, si Bapak suka bercanda. Kalau nyari cucunya yang di telkom, ngapain nyasar di kantor pos?
"Oh. Kenapa Bapak mencari di sini? Telkomnya di sebelah, Pak."
"Kirain yang di sebelah sana itu," kata si Bapak sambil menunjuk bangunan di samping kanan kantor pos.
"Bukan, Pak. Yang itu Bank Mandiri. Kalau telkom di samping kiri ini."
"Bisa tolong panggilin Januari nggak? Bapak nunggu di sini. Nggak kuat buat jalan ke sana."
"Tunggu ya, Pak."
Mita aku suruh menunggu si bapak, sedangkan aku langsung lari ke telkom.
Di tenda kecil tempat biasa orang numpang wi-fi ada sekumpulan anak STM. Aku tahu karena seragamnya yang ketat dan rambutnya yang digundul keren. Entah apa namanya potongan rambut itu. Cepak kalau nggak salah. Namun, meskipun dicukur pendek mereka tetap ganteng. Malah semakin terlihat gagah macem tentara.
"Selamat siang. Ada yang namanya Januari?"
Sepersekian detik kemudian, semua mata tertuju padaku. Ada yang mengernyitkan dahi, ada yang pasang muka datar, ada yang pasang muka kepo, macem-macem. Ada juga muka yang aku kenal di situ. Si Fanta. Orang yang dulu pernah nyolot depan wajahku saat menabrak ban motor Eris.
"Kamu?!" Aku memekik. Ternyata bukan hanya aku, dia juga melakukan hal yang sama.
"Alien. Kenapa sih, Tuhan mempertemukan aku dengan manusia terkutuk macam kamu?" Aku menggerutu sambil menginjak-injak tanah meluapkan emosi.
"Mulut perempuan gitu amat, Neng."
"Heh, ini mulut juga punyaku, kenapa kamu yang repot?"
"Gak jelas beneran ini cewek. Diajarin sopan santun nggak sama gurumu?"
"Diajarin tanggungjawab nggak sama ibumu?"
"Cewek gila."
Aku mengepalkan tangan kuat-kuat. Kudekati dia dan secepat kilat aku tarik kerah bajunya. Lalu, kupukuli dia kayak orang kesetanan. Bodo amat nanti malam dia bakal nelepon tukang urut juga. Yang pasti egoku tercubit saat dia panggil aku gila.
Teman-teman Nanta langsung berdiri, berniat memisahkan aku yang memukuli Nanta penuh emosi. Namun, emang dasar aku udah ahli mukul orang. Jadi, mereka pasrah temannya dianiaya. Mereka meninggalkan kami yang masih bertengkar dan adu mulut.
"Stop! Jaga jarak aman!" Dia melepaskan tanganku di kerahnya. Lalu, menjauh beberapa langkah.
"Gak bisa. Kamu udah hina aku tadi. Aku nggak gila. Seenaknya aja kamu bilang gitu."
"Oke, maaf. Namaku Januari. Ada perlu apa nyariin?"
Rahangku hampir saja menggelinding di tanah. "Nama kamu Nanta, kan?"
"Kenalin, Arkananta Januari."
"Terus ngapa Eris bilang nama kamu Nanta."
"Nanta panggilan khusus untuk orang asing. Januari panggilan dari keluarga. Arkan nama yang dikenal teman-temanku."
"Kalau malam kamu jadi Ijem?"
"Jangan ngaco."
"Namaku April."
"Oh, Ap- Apa?" Kulihat dia menampilkan ekspresi kaget. Ada yang salah sama namaku?
"Kenapa?"
"Kehabisan stok nama ya sampai ngambil dari nama bulan?"
"Sendirinya juga kehabisan stok nama ngambil nama bulan Januari. Mikir!"
***
Arkananta Januari. Tiga nama yang melekat dalam satu diri manusia. Bukan cuma panggilannya yang berbeda, tapi kepribadiannya juga. Aku curiga kalau Januari ini mengidap penyakit DID alias kepribadian ganda. Nanta kepribadian songong, Januari adalah kepribadian yang lemah lembut dan penyayang. Aku tadi lihat dia saat berinteraksi dengan kakeknya. Nama Januari memang kepribadiannya yang plus, nggak ada minus. Malah aku sempat terkesima dengan sikapnya yang begitu perhatian pada sang kakek. Kepribadian Arkan aku belum tahu. Jangan-jangan Arkan adalah kepribadiannya yang psikopat. Aduh, kok, jadi ngeri gini kenal sama Januari?Namun, aku kesampingkan dulu masalah Januari. Saat ini aku sedang memikirkan Alfa yang nggak mengirimiku pesan seharian. Jangan-jangan dia ditelan bumi dan nggak bisa keluar.Selepas isya, aku mengurung diri di kamar. Sudah ada niat untuk berkutat dengan ponsel dan aplikasi wattpad. Sudah kubuka juga aplikasi KBBI dan tesaurus buat mendu
Aku bukan cenayang apalagi peramal. Orang yang suka ramal cuaca saja kadang benar kadang salah. Aku tidak mau prediksiku meleset jauh kayak anak panah yang meluncur melewati sasaran. Aku tidak mau berpsekulasi macam-macam tentang kehadiran Januari, Nanta atau siapalah namanya, di balik meja itu. Oke, katanya dia mau beli materai. Namun, apa beli materai duduknya bisa sampai satu jam? Bahkan antrian orang pensiunan yang tadi duduk bareng sama dia saja sudah selesai sejak sepuluh menit yang lalu. Huasyem, aku nggak enak hati. Panas dingin rasanya pengin bakso. "Ini tolong kamu tempelin ke barang yang tadi baru saja masuk!" Bu Jihan memberikan bukti terima barang padaku untuk ditempelkan ke paket makanan yang akan diantar ke Taiwan."Oke, Bu."Aku berdiri. Sontak patung pancoran yang dari tadi duduk santai ala di pantai itu kelihatan. Duduknya tegak bener, Bro.Selesai melaksanakan apa yang disu
Awalnya aku merasa aneh dengan Ikal dalam film Sang Pemimpi yang begitu membenci kantor pos bahkan sampai bilang dia nggak akan pernah bekerja di sana. Walau akhirnya takdir membuat dia menjilat ludahnya sendiri dengan menempatkan Ikal di sebuah kantor pos di Bogor. Jadi, jangan pernah membenci sesuatu secara berlebihan ya, karena bisa jadi kita malah dipertemukan dengan sesuatu itu. Namun, Januari pengecualian. Kalau aku sudah bilang membencinya, selamanya akan tetap seperti itu. Pun dengan Alan Kampret plus muka songong hakikinya. Dia akan tetap kubenci meski bumi tak lagi berotasi.Balik lagi ke Ikal dan kantor pos. Aku baru mengetahui alasan Ikal membenci kantor pos di bagian scene ayahnya merasa kecewa pada prestasinya yang menurun. Saat itu Ikal benar-benar menyesal telah meninggalkan sekolahnya hingga membuat Ayah Juara Satunya dipanggil paling terakhir pas pembagian raport. Flashback ke masa kecil Ikal. Saat itu ayahnya diberi surat oleh kurir pos. Isi suratnya ada
"Iya, kamu harus tahu kalau aku tadi abis ngerjain Januari si manusia rese itu." Aku tertawa sebelum memulai cerita dengan Alfa di telepon. "Aku tadi masukin empat sendok cabe bubuk ke ciloknya. Dia pasti sekarang lagi mules-mules di WC. Hahaha ...."Di seberang sana aku cuma mendengar gumaman pelan Alfa yang kayaknya nggak terhibur dengan ceritaku."Alfa, responnya, kok, cuma hem doang?" tanyaku. Biasanya Alfa ini suka ketawa. Bacotan apapun yang keluar dari mulutku, baik yang lucu ataupun tidak, pasti Alfa selalu menanggapinya dengan ketawa. Namun, sekarang dia cuma ham-hem doang kayak yang lagi sakit gigi."Susah ketawa," jawabnya. Suaranya lemes banget."Kamu lagi sakit, ya?""Hm.""Sakit apa?""Diare.""Makanya jangan makan makanan yang pedes, Alfa. Nanti kamu
Saat tiba waktunya makan siang, aku dan Mita berniat membeli siomay di seberang jalan sana. Namun, kuurangkan niat itu karena di gerbang kantor pos sudah nemplok cicak raksasa."Kayaknya aku nggak jadi beli siomay," bisikku pada Mita yang sedari tadi senyum-senyum sendiri. Mungkin dia sedang memikirkan Ozan. Oh iya, mereka sudah mulai dekat. Sudah dua hari ini mereka sering bertukar pesan. Ini berkat aku, dong. Dengan meruntuhkan segenap harga diriku, aku meminta nomor ponsel Ozan kemarin. Aku seberani itu karena kebetulan Ozan lagi sendiri. Sebenarnya sekalian menanyakan kabar Januari. Karena sudah dua hari dia nggak masuk. Kata Ozan, Januari masih harus dirawat di rumah sakit.Sekarang, Januari sudah nyender-nyender di gerbang. Wajahnya agak sayu. Namun, senyum jahilnya yang sudah melekat di bibirnya membuat aku ingin melemparinya dengan batu."Siapa dia? Mau makan siang bareng kamu?" tanya Mita.
Rumahku itu mungil banget. Hanya terbagi dalam enam ruangan: tiga kamar tidur, satu ruang tamu yang merangkap dengan ruang TV, satu kamar mandi, dan satu dapur yang lumayan luas karena dibagi dengan tempat nyuci baju dan nyuci piring. Suara apapun--termasuk suara jangkrik--di luar rumah bakal terdengar nyaring sampai ke dapur. Meski sekarang posisiku sedang di kamar mandi dan suara air ikut menciptakan paduan suara yang merdu, suara tamu tak di undang di luar juga masih terdengar jelas. Dia kayak nggak sabaran mengucapkan salam sambil gedor-gedor pintu. Mungkin dia mikirnya aku tuli, tapi serius ini aku lagi berkepentingan di WC dan nggak bisa diganggu gugat."April ada di dalem, A. Tunggu aja. Tadi udah pulang," teriak Bi Nani, tetanggaku.Ah, ya. Rumah mungilku ini adalah satu-satunya rumah yang menghadap ke barat. Letaknya juga di atas. Ada tanjakan untuk kendaraan pribadi. Lalu, ada teras yang nggak cukup luas. Bi Nani rumahnya menghadap utara, berhada
Malam minggu adalah malam di mana para jomblowan dan jomblowati bergelung di selimut ditemani ponsel yang menyala. Jangan pikir mereka sibuk berbalas pesan dengan orang lain di sosial media, yang ada mereka sedang scrool-scrool halaman Raja Quotes.Terkecuali aku. Sebagai jomblowati yang keren dan memiliki hati setegar tiang listrik, aku anti kesepian. Ponselku ramai kayak ada organ dangdut di mana para warga bakal berkumpul. Grup chat dengan kedua sahabatku sudah nyampe 999+. Grup chat kelas sudah nyampe 999+. Ponselku sampai error saking banyaknya chat yang masuk.Niara : VcDisa : Yo pidah lineMe : BentarDisa : Cepet elahMe : sabar woyNiara : ayoMe : Yo pindahObrolan pindah ke aplikasi Line. Biar kita bisa video call bertiga. Disa memulai lebih dulu. Sedangkan, aku kini sibuk mencari-cari senter. Kenap
Pagi itu matahari terik sekali. Oktober yang biasanya dikenal dengan musim hujan, malah menampakkan bola api panas yang memancar ke setiap sudut bumi. Langit sama sekali nggak menumpahkan tangis saat menyaksikan salah satu penghuni bumi ditimbun tanah dan ditaburi bunga. Yang ada malah hujan dari mata yang merembes sejak tadi. Berkali-kali dipaksa berhenti, air sialan itu tetap saja membasahi pipi.Mati rasa. Aku mengalami itu. Aku nggak bisa melakukan apapun lagi selain menangis. Apalagi ketika aku melihat wajah Bapak untuk terakhir kalinya. Wajah damai yang menampakkan senyum terbaiknya. Namun, itu hanya sebentar. Sebentar sekali. Wajah itu kembali ditutupi kain kafan. Begitu cepat. Seolah-olah orang yang membukakan kain itu melarangku menatap wajah Bapak terlalu lama. Dia pun tak memberiku kesempatan untuk memeluk jasad Bapak. Dia tak memperbolehkanku mengotori kain bersih itu dengan air mataku. Katanya, air mataku haram untuk membekas di sana. Karena Bapak mungkin saja