Aku bukan Spongebob Squarpants yang selalu semangat tiap pergi ke Krusty Krab. Aku cuma April yang doyan molor di kasur sambil meluk guling. Buat apa pula aku bangun pukul empat pagi cuma buat melamun di kantor tempatku PKL? Toh, aku janjian sama pembimbing pukul delapan. Namun, ibu tetaplah manusia cerewet yang tidak mau anaknya terlambat. Makanya pukul empat pagi dia sudah sibuk nyentilin hidungku supaya aku bangun.
"Ibu, ini masih pagi. Belum adzan shubuh pula," gumamku masih dalam keadaan mata terpejam.
"Kamu, tuh, sholat tahajud biar dilancarkan kerja pertamanya."
"Di sana aku mau belajar kerja bukan kerja beneran. Aku doanya nanti aja, Bu, pas shubuh."
"Kamu, tuh ...."
"Udah, Bu, sejam lagi ini waktu tidurku. Ibu mau aku ngantuk di meja kerja?"
Mendengar itu, ibu langsung keluar kamar dan berisik nyalain air di kamar mandi. Huasyem, bener. Dapur tiba-tiba disulap jadi pertunjukkan orkestra. Suara air keran dan ulekan yang beradu menjadi pengiring tidurku. Ditambah radio yang menyiarkan musik silat dengan terompet penari ular. Tenggelamkan aku di Danau Kaspia, please!
Belum hilang kekesalanku, kini bunyi ponsel di atas kepalaku juga ikut meraung-raung. Ya Salam, apa salah dan dosaku? Pagi-pagi sudah banyak yang ganggu!
Kuraih ponsel laknat yang nggak berhenti bernyanyi itu. Mataku langsung melotot nyaris keluar dari sarangnya.
Alfa's calling
Dengan ragu-ragu kujawab panggilannya.
"Hallo," sapaku dengan suara serak khas bangun tidur.
"Entah ini anugerah atau cobaan," jawabnya di seberang sana. Suara Alfa itu adem bener. Lembut-lembut gimana gitu. Kayak sutra.
Ini kali pertama dia meneleponku. Berani sekali. Padahal kita baru kenal lima hari. Sudah kubilang kita ini memang seperti teman lama yang baru saja dipertemukan setelah sekian lama terpisahkan. Alfa itu kayak Agis--teman SMP-ku. Dia orangnya asyik. Namun, kadang menyebalkan juga. Info terbaru yang kudapat setelah mengecek facebook-nya yang bernama Rahasia itu ternyata dia orang Majalengka. Menurut Maps, rumahnya kira-kira sekitar Yogya Grand Majalengka. Nggak ada foto sama sekali di berandanya. Jadi, aku masih belum yakin kalau Alfa ini cowok.
Aku kira dia itu cewek, karena kalau berbalas pesan denganku, bahasanya itu sopan. Pake logat aku-kamu. Nggak pake lo-gue kayak anak-anak Jakarta yang gaul. Dia juga nggak pakai bahasa Sunda. Pernah sekali-dua kali dia menggunakan bahasa Sunda. Namun, nggak kasar seperti aku. Malah kupikir dia itu suka menelan kamus bahasa Sunda tiap hari. Abis tata bahasanya rapi banget. Dia tahu kalimat apa yang digunakan untuk orang tua, teman sebaya, dan kepada yang lebih muda darinya. Aku, sih, mana bisa. Bahasa Sunda itu kadang ribet bin ruwet. Makan aja bisa nyampe tiga bahasa. Untuk orang tua kita sebut makan itu tuang, untuk teman sebaya dahar, untuk yang lebih muda dari kita emam. Pokoknya susah, deh.
Keyakinan bahwa Alfa itu laki-laki baru saja timbul sekarang. Ketika dia meneleponku dengan suaranya yang merdu dan menenangkan. Udah kayak suara Iqbaal Dhiafakhri Ramadhan aja. Pokoknya aku suka suaranya Alfa. Dia maskulin sekali.
"Maksudnya?"
"Denger suara kamu."
"Mungkin ini anugerah. Kamu harus berterima kasih kalau kupingmu masih baik-baik saja."
Aku tahu suarabangun tidurku itu mengganggu. Jadi, aku sih, berharap Alfa segera menutup teleponnya. Namun, harapanku hancur berkeping-keping. Karena Alfa justru terkekeh di seberang sana.
"Kamu lucu."
"Seratus persen aku yakin kalau kamu lihat mukaku yang baru bangun ini, kamu bakal muntah nggak berhenti-berhenti."
Tawa Alfa semakin kencang. Kujauhkan ponsel dari kuping. Perlu diruqyah ini Manusia Alfabet.
"Hallo. Kamu masih di situ?" tanya Alfa saat kudekatkan lagi ponsel ke kuping.
"Kamu berharap aku pindah planet?"
"Nggak. Nanti aku sendirian di bumi."
"Bodo amat."
Lagi-lagi Alfa itu tertawa terbahak-bahak. Aku merasa aneh sama ini orang. Hobi banget ketawa. Lima hari kenal Alfa dan aku yakin seratus persen dia gila karena sering sekali tertawa.
"Alfa," panggilku.
"Hm."
"Kamu udah pernah cek ke psikiater?"
"Belum pernah."
"Coba deh sekali-sekali cek. Siapa tahu beneran otak kamu ada yang konslet."
Dan lagi ... terjadi ...
Aku nggak tahu itu potongan lagu apaan. Pokoknya soundtrack lagu itu jadi pengiring aku mengawali pagi. Habis lagi-lagi Alfa tertawa karena omonganku.
"Alfa jangan ketawa. Kamu nggak takut pita suaramu rusak kayak si Squidward?"
"Nggak."
"Ya samhyang ..."
"Apa? Sayang?"
"Aku benar-benar merasa bersalah."
"Kenapa?"
"Karena sapaanku tadi, kamu budek beneran."
"Kamu bilang sayang tadi."
"Enggak. Suer!"
Hening beberapa menit.
"Kamu nggak ada niatan buat pasang foto kamu di akun Whatsapp gitu?" tanyanya tiba-tiba. Kok, jadi bahas beginian?
"Nggak niat."
"Kenapa?"
"Karena aku takut fotonya kamu screenshoot abis itu dicetak terus dikasih ke dukun."
"Wow, ide brilian."
"Pasti kamu juga takut aku ngelakuin gitu, kan?"
"Salah. Aku takut kamu jatuh cinta."
"No, no, no. Jangan berpikiran begitu Tuan Alfabet. Aku nggak akan jatuh cinta sama orang yang kukenal lewat Whatsaap doang."
"Yakin?"
"Astagfirullah aladzim." Aku kaget luar biasa saat melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh menit. Ya Salam, shubuhku. Segera kulempar ponsel ke kasur dan aku ngacir ke kamar mandi.
***
Bayangan-bayangan indah PKL dalam kepalaku buyar seketika. Karena saat pertama masuk ke kantor pos aku nggak disambut ala Princess Syahrini. Boro-boro berjalan di red carpet terus dikasih ucapan welcome. Pertama masuk ke gerbangnya, aku dan temanku langsung disuruh kerja. Barisan orang pensiunan yang mau ambil duit di tanggal dua merupakan hal yang menakjubkan. Iya, aku perhalus bahasanya biar nggak ngenes amat.Pembimbingku baru datang satu jam setelah aku mondar-mandir kayak orang linglung. Setelah menghadap kepala perusahaan, pembimbingku balik lagi.Udah gitu doang?Bete!Jadi beginilah nasibku dan Mita, temanku. Jadi kacung dadakan. Bisa disuruh gini-gitu, apa aja pokoknya. Dari mulai mengkilokan barang sampai disuruh melakban barang yang akan dikirim. Kerja serabutan. Giliran mendalami peran sebagai seorang akuntan, kami malah disuruh menghitung uang receh lima
Arkananta Januari. Tiga nama yang melekat dalam satu diri manusia. Bukan cuma panggilannya yang berbeda, tapi kepribadiannya juga. Aku curiga kalau Januari ini mengidap penyakit DID alias kepribadian ganda. Nanta kepribadian songong, Januari adalah kepribadian yang lemah lembut dan penyayang. Aku tadi lihat dia saat berinteraksi dengan kakeknya. Nama Januari memang kepribadiannya yang plus, nggak ada minus. Malah aku sempat terkesima dengan sikapnya yang begitu perhatian pada sang kakek. Kepribadian Arkan aku belum tahu. Jangan-jangan Arkan adalah kepribadiannya yang psikopat. Aduh, kok, jadi ngeri gini kenal sama Januari?Namun, aku kesampingkan dulu masalah Januari. Saat ini aku sedang memikirkan Alfa yang nggak mengirimiku pesan seharian. Jangan-jangan dia ditelan bumi dan nggak bisa keluar.Selepas isya, aku mengurung diri di kamar. Sudah ada niat untuk berkutat dengan ponsel dan aplikasi wattpad. Sudah kubuka juga aplikasi KBBI dan tesaurus buat mendu
Aku bukan cenayang apalagi peramal. Orang yang suka ramal cuaca saja kadang benar kadang salah. Aku tidak mau prediksiku meleset jauh kayak anak panah yang meluncur melewati sasaran. Aku tidak mau berpsekulasi macam-macam tentang kehadiran Januari, Nanta atau siapalah namanya, di balik meja itu. Oke, katanya dia mau beli materai. Namun, apa beli materai duduknya bisa sampai satu jam? Bahkan antrian orang pensiunan yang tadi duduk bareng sama dia saja sudah selesai sejak sepuluh menit yang lalu. Huasyem, aku nggak enak hati. Panas dingin rasanya pengin bakso. "Ini tolong kamu tempelin ke barang yang tadi baru saja masuk!" Bu Jihan memberikan bukti terima barang padaku untuk ditempelkan ke paket makanan yang akan diantar ke Taiwan."Oke, Bu."Aku berdiri. Sontak patung pancoran yang dari tadi duduk santai ala di pantai itu kelihatan. Duduknya tegak bener, Bro.Selesai melaksanakan apa yang disu
Awalnya aku merasa aneh dengan Ikal dalam film Sang Pemimpi yang begitu membenci kantor pos bahkan sampai bilang dia nggak akan pernah bekerja di sana. Walau akhirnya takdir membuat dia menjilat ludahnya sendiri dengan menempatkan Ikal di sebuah kantor pos di Bogor. Jadi, jangan pernah membenci sesuatu secara berlebihan ya, karena bisa jadi kita malah dipertemukan dengan sesuatu itu. Namun, Januari pengecualian. Kalau aku sudah bilang membencinya, selamanya akan tetap seperti itu. Pun dengan Alan Kampret plus muka songong hakikinya. Dia akan tetap kubenci meski bumi tak lagi berotasi.Balik lagi ke Ikal dan kantor pos. Aku baru mengetahui alasan Ikal membenci kantor pos di bagian scene ayahnya merasa kecewa pada prestasinya yang menurun. Saat itu Ikal benar-benar menyesal telah meninggalkan sekolahnya hingga membuat Ayah Juara Satunya dipanggil paling terakhir pas pembagian raport. Flashback ke masa kecil Ikal. Saat itu ayahnya diberi surat oleh kurir pos. Isi suratnya ada
"Iya, kamu harus tahu kalau aku tadi abis ngerjain Januari si manusia rese itu." Aku tertawa sebelum memulai cerita dengan Alfa di telepon. "Aku tadi masukin empat sendok cabe bubuk ke ciloknya. Dia pasti sekarang lagi mules-mules di WC. Hahaha ...."Di seberang sana aku cuma mendengar gumaman pelan Alfa yang kayaknya nggak terhibur dengan ceritaku."Alfa, responnya, kok, cuma hem doang?" tanyaku. Biasanya Alfa ini suka ketawa. Bacotan apapun yang keluar dari mulutku, baik yang lucu ataupun tidak, pasti Alfa selalu menanggapinya dengan ketawa. Namun, sekarang dia cuma ham-hem doang kayak yang lagi sakit gigi."Susah ketawa," jawabnya. Suaranya lemes banget."Kamu lagi sakit, ya?""Hm.""Sakit apa?""Diare.""Makanya jangan makan makanan yang pedes, Alfa. Nanti kamu
Saat tiba waktunya makan siang, aku dan Mita berniat membeli siomay di seberang jalan sana. Namun, kuurangkan niat itu karena di gerbang kantor pos sudah nemplok cicak raksasa."Kayaknya aku nggak jadi beli siomay," bisikku pada Mita yang sedari tadi senyum-senyum sendiri. Mungkin dia sedang memikirkan Ozan. Oh iya, mereka sudah mulai dekat. Sudah dua hari ini mereka sering bertukar pesan. Ini berkat aku, dong. Dengan meruntuhkan segenap harga diriku, aku meminta nomor ponsel Ozan kemarin. Aku seberani itu karena kebetulan Ozan lagi sendiri. Sebenarnya sekalian menanyakan kabar Januari. Karena sudah dua hari dia nggak masuk. Kata Ozan, Januari masih harus dirawat di rumah sakit.Sekarang, Januari sudah nyender-nyender di gerbang. Wajahnya agak sayu. Namun, senyum jahilnya yang sudah melekat di bibirnya membuat aku ingin melemparinya dengan batu."Siapa dia? Mau makan siang bareng kamu?" tanya Mita.
Rumahku itu mungil banget. Hanya terbagi dalam enam ruangan: tiga kamar tidur, satu ruang tamu yang merangkap dengan ruang TV, satu kamar mandi, dan satu dapur yang lumayan luas karena dibagi dengan tempat nyuci baju dan nyuci piring. Suara apapun--termasuk suara jangkrik--di luar rumah bakal terdengar nyaring sampai ke dapur. Meski sekarang posisiku sedang di kamar mandi dan suara air ikut menciptakan paduan suara yang merdu, suara tamu tak di undang di luar juga masih terdengar jelas. Dia kayak nggak sabaran mengucapkan salam sambil gedor-gedor pintu. Mungkin dia mikirnya aku tuli, tapi serius ini aku lagi berkepentingan di WC dan nggak bisa diganggu gugat."April ada di dalem, A. Tunggu aja. Tadi udah pulang," teriak Bi Nani, tetanggaku.Ah, ya. Rumah mungilku ini adalah satu-satunya rumah yang menghadap ke barat. Letaknya juga di atas. Ada tanjakan untuk kendaraan pribadi. Lalu, ada teras yang nggak cukup luas. Bi Nani rumahnya menghadap utara, berhada
Malam minggu adalah malam di mana para jomblowan dan jomblowati bergelung di selimut ditemani ponsel yang menyala. Jangan pikir mereka sibuk berbalas pesan dengan orang lain di sosial media, yang ada mereka sedang scrool-scrool halaman Raja Quotes.Terkecuali aku. Sebagai jomblowati yang keren dan memiliki hati setegar tiang listrik, aku anti kesepian. Ponselku ramai kayak ada organ dangdut di mana para warga bakal berkumpul. Grup chat dengan kedua sahabatku sudah nyampe 999+. Grup chat kelas sudah nyampe 999+. Ponselku sampai error saking banyaknya chat yang masuk.Niara : VcDisa : Yo pidah lineMe : BentarDisa : Cepet elahMe : sabar woyNiara : ayoMe : Yo pindahObrolan pindah ke aplikasi Line. Biar kita bisa video call bertiga. Disa memulai lebih dulu. Sedangkan, aku kini sibuk mencari-cari senter. Kenap