Empat tahun kemudian. Hubungan Fariz dan Kaira semakin harmonis serta mencengkram. Mereka sudah pindah kerumah yang Fariz buat, kurang lebih lima bulan yang lalu sebelum kelahiran putra kedua mereka. Teren Qoir Kamran putra pertama mereka dan Bima Lim Kamran untuk putra kedua mereka. Jika mengira hubungan mereka semulus dan seindah yang dibayangkan jawabanya tidak. Huru dan hara masih tetap menerpa keluarga kecil mereka, tapi setelah kejadian beberapa tahun silam Fariz tak lagi meragukan istrinya dia juga jadi tenang menghadapi apapun masalah rumah tangga mereka. Apapun itu mereka selesaikan bersama dan mereka pecahkan dengan kepala dingin. "Sayang, dimana dasi Mas?" teriak Fariz kencang-kencang dari arah walk in closet. Kaira tengah memandikan Teren anak sulung mereka yang umurnya sudah tiga tahun. "Sayang Bima pup." Teriak Fariz lagi. Baru beberapa menit pria itu berteriak menanyakan dasi kini sudah berteriak lagi. "Mas gantikan dulu lah!" jawab Kaira mengeraskan suaranya tapi
"Pa bukan berarti harus dijodohin juga kan? Ariz bisa kok cari pendamping hidup Ariz sendiri""Mau sampai kapan kamu buat Papa Mama nunggu? Ayolah nak, kamu tidak kasihan dengan kami? Kami sudah semakin tua, sudah waktunya punya menantu, menggendong cucu. Teman-teman Papa Mama saja sudah punya cucu banyak." Bian mengiba, menatap putranya lembut.Fariz memutus tatapan matanya dari Bian, hatinya melemah, ia tak kuat. Fariz hanya mampu menunduk lesu sekarang. Ini masih jam kerja, baru pukul 10.30 pagi. Tapi Bian sudah datang dan menceramahinya di ruang kerja kantornya. Tadi sebelum Bian datang Fariz tengah bergelut dengan setumpuk dokumen.Seumur hidup, Fariz sebenarnya paling tidak suka jika sedang diusik ketika tengah bekerja. Terlebih membahas masalah pribadi di jam kerja dan ditempat kerja, seperti tidak ada waktu lain saja.Tapi ini Bian, ayah kandungnya sendiri. Mana berani ia mengusir pria yang telah membesarkannya hingga sebesar ini.Bian menatap Fariz dalam diam, tatapan pria tu
Silfi baru benar-benar menemui putrinya setelah selang waktu sepuluh menit, ia memilih menenangkan hatinya yang terguncang lebih dulu sebelum akhirnya menyampaikan berita mengejutkan itu pada Kaira.Di depan pintu berwarna putih tulang yang tertempel tulisan "ARA ROOM" besar-besar, Silfi menghembuskan napasnya berulang. Tangannya sudah memegang gagang pintu sejak tiga menit yang lalu. Setelah melafalkan Basmalah akhirnya mantap Silfi mengetuk daun pintu itu sebanyak tiga kali dan membukanya setelah terdengar suara nyaring putrinya dari balik pintu."Masuk saja Ummi, tidak Ara kunci kok pintunya," kata Kaira. Gadis itu belum beralih dari posisi duduknya, bahkan menoleh pun tidak. Hanya mulutnya saja yang bersuara."Ummi mengganggu ya?" tanya Silfi basa basi.Kaira menggeleng cepat, barulah ia menoleh menatap Silfi, kepalanya sedikit menunduk karena pandangannya terhalang oleh kacamata baca yang sudah melorot hingga menutupi hidungnya."Tidak kok Ummi, Ara cuma lagi baca-baca saja. Ada
Fariz Ziddan Kamran, CEO and Founder. Papan nama dengan ukiran berukuran cukup besar terpajang apik di atas meja. Benda itu akan berkilat-kilat ketika tersorot cahaya. Fariz menghela napas berulang, keningnya berkerut, tangannya masih dengan gencarnya memijat pelipisnya yang sejak pagi tadi berdenyut nyeri. Ia memang sedang bekerja, tapi pikiranya justru menerawang pada kejadian beberapa jam silam. Padahal setumpuk map sudah memanggil dirinya, tapi sejak tadi tak ada satupun yang berhasil tersentuh.Tolong Ariz pikirkan baik-baik permintaan Papa-MamaSatu pesan masuk di ponselnya, lagi-lagi Fariz hanya mampu menghela napas berat. Ia seperti diteror oleh kedua orang tuanya.Fariz melirik jam yang bertengger di tangan kirinya, sudah pukul dua dini hari. Tanpa membuang waktu lagi Fariz segera bangkit dari posisi duduknya, meninggalkan ruang kerjanya setelah menyambar kunci mobil dan ponsel.Ia butuh pulang dan mandi air dingin.Tiga puluh menit Fariz sudahsampai di kediaman kedua orang t
"Dok tekanan darah pasien yang baru saja masuk 180/90 mmHg, nadi 95 kali per menit, suhu tubuh 38 °C, pernapasan 14 kali permenit."Kaira membolak balik rekam medis milik pasien yang tergeletak di atas brankar tak jauh dari ia berdiri. Kedua telinganya ia pasang tajam-tajam untuk mendengarkan semua informasi yang disampaikan oleh perawat wanita yang berdiri di sisi kanannya. Dari pemeriksaan fisik pasien hingga tanda-tanda vital (TTV)."Dari rekam medisnya, pasien memang ada riwayat hipertensi Sus," kata Kaira menginformasi. Keda matanya masih gencar memindai setiap angka dan huruf hasil tulisan tangan pada lembar kertas yang bersampul map putih bertuliskan Rekam Medis Tn. Bahar Buqhori, dengan Nomor Pasien 230512003.Perawat wanita itu mengangguk lalu menerima rekam medis yang Kaira ulurkan padanya."Oh ya Sus, pasien kecelakaan tadi pagi gimana? Sudah mau ngasih sampel urinnya?" tanya Kaira sambil melepaskan stetoskop yang terkalung di lehernya, kemudian ia juga melepaskan jas dokte
Berbeda dengan Kaira yang tengah menyantap makan siangnya diiringi canda dan tawa, Fariz justru sebaliknya. Lagi-lagi ia harus menghadapi amukan beruang kutub, alias kedua orang tuanya yang tiba-tiba datang ke kantornya tanpa diundang.Jika kemarin hanya Bian seorang, kali ini bersama Lina. Wanita itu sudah berceramah dari sabang sampai merauke, kesana kemari dari A sampai Z sambil hilir mudik dihadapan Fariz dan juga Bian. Sedangkan kedua pria itu hanya mampu memijat pelipis masing-masing sambil menghela napas panjang. Mau kabur tak bisa, menghentikan tak berani, bertahan lama-lama telinganya jadi panas, kan serba salah itu namanya."Mama itu cuma tidak kamu jadi jomblo bangkotan lo Ariz...Ariz...""Ma siapa juga coba yang mau jadi jomblo bangkotan, jomblo tu ya jomblo saja, bangkotan ya sudah bangkotan saja namanya itu sudah tua. La Ariz kan masih muda." Protes Fariz pada akhirnya. Niatnya hanya ingin diam sepertinya harus mencoba opsi kedua yaitu menghentikan dengan cara membantah
“Seenak itu kah mie ayam tu sus?” tanya Kaira sambil menelan ludah. Tangan kanan nya tanpa sadar meremas botol air mineral yang isinya tinggal seperempat.Kaira sedang menepati janjinya menemani suster Indri makan mie ayam atas tagihan gadis itu. Umur Kaira dan suster Indri hanya berbeda tiga tahun dengan suster indri lebih tua. Tapi untuk postur tubuh, tinggi badan Kaira jauh diatas suster Indri yang hanya satu meter setengah, hanya beda sepuluh sentimeter saja sih memang.Suster Indri mengangguk antusias. Ia begitu menikmati mie ayam yang sudah berlinang saus tomat hingga berwarna merah kecoklatan itu. “Pelan-pelan saja sus, saya tidak akan minta kok,” ujar Kaira memperingati.Suster Indir menelan mie ayam dalam mulutnya kemudian mengangkat kepalanya menatap Kaira. “Kalau pun dokter minta, saya pasti kasih sih,” jawabnya. Kaira menggeleng getir.“Dokter beneran tidak mau coba? Sedikit saja tidak mau?” tawar suster Indri lagi.Kaira menggeleng. “Saya lihat suster makan saja sudah ken
Pukul dua siang, Fariz sudah berada di halaman rumah kedua orangtuanya atas permintaan Lina. Dengan wajah masam Fariz melangkahkan kakinya lebar-lebar masuk kedalam rumah sambil menjinjing tas kerjanya."Aduh anak tampan Mama akhirnya pulang juga. Gimana kerjanya, lancar? Pasti dong, anak Mama mah jangan diragukan lagi. Iya kan?" sambut Lina dengan senyum merekah. Lina sudah cantik dengan gamis merah muda dan kerudung yang menjuntai hingga batas perut.Fariz menyipitkan kedua matanya, keningnya berkerut. "Mama mau kemana Ma?" tanya Fariz."Bukan Mama tapi kita." Jawab Lina mengoreksi."Kok kita? Ariz juga?"Lina mengangguk antusias, wajahnya berseri. "Sana buruah siap-siap gih, jangan lama-lama ya!" ujar Lina sambil mendorong-dorong kecil tubuh Fariz.Fariz semakin bingung, badannya terhuyung-huyung. "Sebentar-sebentar. Memang kita mau kemana Ma?"Lina berdecak nyaring, kedua matanya melebar menatap Fariz penuh peringatan."Ya gimana Ariz mau nurut coba kalau Mama saja belum mau kasih