"Dok tekanan darah pasien yang baru saja masuk 180/90 mmHg, nadi 95 kali per menit, suhu tubuh 38 °C, pernapasan 14 kali permenit."
Kaira membolak balik rekam medis milik pasien yang tergeletak di atas brankar tak jauh dari ia berdiri. Kedua telinganya ia pasang tajam-tajam untuk mendengarkan semua informasi yang disampaikan oleh perawat wanita yang berdiri di sisi kanannya. Dari pemeriksaan fisik pasien hingga tanda-tanda vital (TTV)."Dari rekam medisnya, pasien memang ada riwayat hipertensi Sus," kata Kaira menginformasi. Keda matanya masih gencar memindai setiap angka dan huruf hasil tulisan tangan pada lembar kertas yang bersampul map putih bertuliskan Rekam Medis Tn. Bahar Buqhori, dengan Nomor Pasien 230512003.Perawat wanita itu mengangguk lalu menerima rekam medis yang Kaira ulurkan padanya."Oh ya Sus, pasien kecelakaan tadi pagi gimana? Sudah mau ngasih sampel urinnya?" tanya Kaira sambil melepaskan stetoskop yang terkalung di lehernya, kemudian ia juga melepaskan jas dokternya."Belum dok, ditanya-tanya sama suster Linda juga belum mau jawab. Padahal mau ngobrol banyak sama keluarganya. Dibujuk keluarganya juga tetap tidak mau," jelas suster Indri."Padahal beliau baru boleh pulang kalau mau tes urine dan keluar hasilnya ya?" tanya Kaira lagi.Suster Indri mengangguk cepat. "Dugaan Dokter Andi pasien pecandu narkoba lama dok. Terus kecelakaan ini juga dugaanya karena efek dari itu. Makanya dokter Andi maksa buat tes urine, biar jelas juga.""Mungkin karena dugaan dokter Andi benar kali sus makanya beliau takut. Biar nanti saya juga bantu bujuk sus, siapa tahu sama saya beliau mau." Usul Kaira.Suster Indri tersenyum lebar, menjawil lengan kiri Kaira gemas. "Dokter Ara mah memang selalu yang terbaik kalau soal yang beginian," katanya melebih-lebihkan.Kaira membalas dengan mengusap lengan kiri suter Indri pelan, sembari tersenyum simpul. Memperlihatkan sedikit kedua lesung pipinya. "Jangan suka berlebihan sus, pamali. Nanti kalau saya terbang terus atap rumah sakit jebol kan tidak lucu dimarahi direktur. Sudah ayo ah kita ke kantin! Sudah lapar nih, gantian sama dokter Andi dan suster Linda juga kan?"Bilik kanan keduanya pun meninggalkan ruang Instalasi Gawat Darurat dengan berjalan beriringan. Langkah kaki mereka yang pendek-pendek diiringi dengan obrolan hangat."Kira-kira menu makan siang hari ini apa ya dok?" tanya suster Indri."Semoga saja bukan kecambah ya sus." Harap Kaira."Kalau saya sih berharapnya mie ayam dok." Ujar suster Indri.Kaira terkekeh kecil, kepalanya menggeleng. "Itu mah maunya suster Indri," jawab Kaira. Baginya sedikit mustahil menu kantin rumah sakit yang diatur oleh ahli gizi terbaik berisi mie ayam versi suster Indri yang tinggi akan kadar micin dan dengan limpahan saus tomat ala mamang-mamang gerobak keliling."Loh, siapa tahun kan dok ahli gizi Tia sedang berbaik hati atau kalau tidak sedang khilaf mungkin.""Aamiin, saya bantu doakan ya sus. Siapa tahu ada malaikat yang lagi lewat.""Aamiin, asal bukan malaikat maut saja ya dok yang lewat." Jawab suster Indri, berhasil membuat tawa Kaira lepas karenanya.*****Harapan tinggalah harapan, tidak ada mie ayam seperti harapan suster Indri. Yang ada hanya ayam lada hitam, cah jamur campur kecambah, capcay sawi putih campur brokoli, jagung muda dan bakso. Untuk makanan penutup salad buah berisi buah semangka, melon, apel dan juga jeruk.Disepanjang antrian mengambil makanan, kedua pundak suster Indri melorot, bibirnya mengerucut, wajahnya masam dan tak bersemangat. Kaira juga kecewa sebenarnya tapi ia masih bisa menyisihkan kecambah itu nanti. Bukan hal yang terlalu besar baginya.Kaira menepuk pundak kanan suster Indri pelan, kemudian menarik satu kursi kantin dan mempersilahkan suster Indri untuk duduk lebih dulu. "Nanti mie ayamnya kita beli diluar, oke sus?" kata Kaira mencoba menghibur, lalu mengitari meja bundar dan duduk di seberang suster Indri."Jangan berjanji kalau tidak bisa menepati, dok. Itu kata para pujangga. Digosting itu rasanya sakit sekali tahu," ujar suster Indri masih dengan wajah masamnya.Kaira meletakkan tangan kanan di atas dagunya sendiri sebagai sanggahan. "Memang siapa yang mau kasih harapan palsu sus?" tanya Kaira.Cepat-cepat suster Indri meletakkan sendoknya, lalu ikut menyanggah kepalanya dengan tangan kanannya, sama persis seperti Kaira. "Memang dokter Ara mau makan mie ayam mamang-mamang?" tanya suster Indri menggoda Kaira. Semua pekerja rumah sakit tempatnya bekerja juga tahu jika Kaira paling anti dengan makan yang tidak sehat."Memang menepati janji hanya bisa dilakukan dengan makan mie ayamnya sus?" tanya Kaira balik.Suster Indri mengangkat kedua pundaknya sekilas. "Lalu kalau tidak makan mie ayam mau ngapain dong?""Kan bisa menemani saja." Jawab Kaira.Suster Indri memutar bola matanya malas, sanggahan tangan nya terlepas. "Itu mah sama saja bohong dok, nanti dikira saya ini manusia paling tega yang memanfaatkan orang lain." Protes suster Indri sekikir sewot.Kaira terkekeh, kemudian keduanya mulai melahap makanan masing-masing. Nyatanya suster Indri yang semula terlihat tidak berselera kini justru lebih bersemangat melahap makan siangnya. Lagi-lagi Kaira hanya mampu dibuat tercengang karena tingkahnya. Ajaib."Dok nanti benar kan mau temani saya makan mie ayam?" tanya suster Indri. Kaira pikir pembicaraan tentang mie ayam sudah selesai melihat betapa lahapnya ia makan. Ternyata belum to."Suster Indri belum kenyang?" tanya Kaira, kedua alisnya berkerut."Sekarang sudah sih dok, saya kan hanya memastikan kalau dokter tidak bercanda.""Kalau suster masih kuat buat makan lagi sih tidak apa-apa, nanti saya temani beli. Tapi suster Indri ya yang tanggung jawab kalau dokter Andi sama suster Linda marah-marah karena kita kelamaan.""Kok saya?" protes suster Indri tak terima."Ya kan yang minta ditemani suster, lagian kita juga pasti sudah ditunggu sekarang. Jadi ya suster dong yang tanggung jawab kalau mereka marah-marah karena nunggu kelamaan."Suster Indri menghela napas. "Ya tidak hari ini juga sih dok, gimana kalau kapan-kapan saja selepas pulang kerja kalau jadwalnya bisa barengan kaya gini lagi. Nanti dokter Andi sama suster Linda juga diajak," kata Suster Indri memberi saran.Kaira manggut-manggut setuju meskipun otaknya justru sedang berpikir hal lain. "Tapi sus, memang suster Linda bisa diajakin pergi. Nanti kalau dia dicari suami sama anaknya bagaimana?""Ya sebentar ini dok, ya kali segala dicari-cari.""Ya mana tahu kan sus, nanti coba tanya dulu sama suster Linda.""Tapi, iya juga ya dok. Secara kan suami suster Linda over protektif, mana udah gitu galak pulang. Untung saja ga-" belum sempat suter Indri menyelesaikan ucapanya. Kaira lebih dulu menyela. "Sus," ujar Kaira memperingati.Suster Indri berdecak nyaring. "Ah tidak asik memang dokter Ara mah, tidak bisa diajak bergosip," keluh wanita itu.Kaira hanya menjawab dengan senyum simpul. Ia memang tidak pernah suka jika diajak bergosip.Berbeda dengan Kaira yang tengah menyantap makan siangnya diiringi canda dan tawa, Fariz justru sebaliknya. Lagi-lagi ia harus menghadapi amukan beruang kutub, alias kedua orang tuanya yang tiba-tiba datang ke kantornya tanpa diundang.Jika kemarin hanya Bian seorang, kali ini bersama Lina. Wanita itu sudah berceramah dari sabang sampai merauke, kesana kemari dari A sampai Z sambil hilir mudik dihadapan Fariz dan juga Bian. Sedangkan kedua pria itu hanya mampu memijat pelipis masing-masing sambil menghela napas panjang. Mau kabur tak bisa, menghentikan tak berani, bertahan lama-lama telinganya jadi panas, kan serba salah itu namanya."Mama itu cuma tidak kamu jadi jomblo bangkotan lo Ariz...Ariz...""Ma siapa juga coba yang mau jadi jomblo bangkotan, jomblo tu ya jomblo saja, bangkotan ya sudah bangkotan saja namanya itu sudah tua. La Ariz kan masih muda." Protes Fariz pada akhirnya. Niatnya hanya ingin diam sepertinya harus mencoba opsi kedua yaitu menghentikan dengan cara membantah
“Seenak itu kah mie ayam tu sus?” tanya Kaira sambil menelan ludah. Tangan kanan nya tanpa sadar meremas botol air mineral yang isinya tinggal seperempat.Kaira sedang menepati janjinya menemani suster Indri makan mie ayam atas tagihan gadis itu. Umur Kaira dan suster Indri hanya berbeda tiga tahun dengan suster indri lebih tua. Tapi untuk postur tubuh, tinggi badan Kaira jauh diatas suster Indri yang hanya satu meter setengah, hanya beda sepuluh sentimeter saja sih memang.Suster Indri mengangguk antusias. Ia begitu menikmati mie ayam yang sudah berlinang saus tomat hingga berwarna merah kecoklatan itu. “Pelan-pelan saja sus, saya tidak akan minta kok,” ujar Kaira memperingati.Suster Indir menelan mie ayam dalam mulutnya kemudian mengangkat kepalanya menatap Kaira. “Kalau pun dokter minta, saya pasti kasih sih,” jawabnya. Kaira menggeleng getir.“Dokter beneran tidak mau coba? Sedikit saja tidak mau?” tawar suster Indri lagi.Kaira menggeleng. “Saya lihat suster makan saja sudah ken
Pukul dua siang, Fariz sudah berada di halaman rumah kedua orangtuanya atas permintaan Lina. Dengan wajah masam Fariz melangkahkan kakinya lebar-lebar masuk kedalam rumah sambil menjinjing tas kerjanya."Aduh anak tampan Mama akhirnya pulang juga. Gimana kerjanya, lancar? Pasti dong, anak Mama mah jangan diragukan lagi. Iya kan?" sambut Lina dengan senyum merekah. Lina sudah cantik dengan gamis merah muda dan kerudung yang menjuntai hingga batas perut.Fariz menyipitkan kedua matanya, keningnya berkerut. "Mama mau kemana Ma?" tanya Fariz."Bukan Mama tapi kita." Jawab Lina mengoreksi."Kok kita? Ariz juga?"Lina mengangguk antusias, wajahnya berseri. "Sana buruah siap-siap gih, jangan lama-lama ya!" ujar Lina sambil mendorong-dorong kecil tubuh Fariz.Fariz semakin bingung, badannya terhuyung-huyung. "Sebentar-sebentar. Memang kita mau kemana Ma?"Lina berdecak nyaring, kedua matanya melebar menatap Fariz penuh peringatan."Ya gimana Ariz mau nurut coba kalau Mama saja belum mau kasih
Nyatanya, bukan hanya sesi ta’aruf lalu lamaran seperti yang sudah direncanakan. Tapi mereka dinikahkan hari itu juga atas kesepakatan kedua belah pihak keluarga dan masing-masing mempelai, atas usulan Lina tentu saja.Kaira tidak begitu fokus sebenarnya, semua terkesan begitu mendadak dan cepat menurutnya.Tiba-tiba dijodohkanTiba-tiba bertemuTiba-tiba dinikahkanSemua juga terkesan buru-buru, hanya dalam kurun waktu setengah bulan semua sudah selesai hingga dalam tahap pernikahan. Apakah ini yang namanya keistimewaan jodoh dan kekuatan Tuhan? Semua seakan mudah terjadi jika Tuhan sudah berkehendak. Serba kilat ini membuat Kaira sulit untuk memahami segalanya. Yang pasti saat ini dia sudah sah saja menjadi istri dari seorang pria yang bahkan baru ia ketahui nama lengkapnya satu jam lalu. Pria yang menurut mata telanjang Kaira sulit untuk dilewatkan, meskipun pria itu memberi kesan kaku dan juga dingin sejak awal pertemuan. Yah, walaupun lumayan sih memang secara fisik.“Untuk pend
"Mas tidak mau mandi atau setidaknya ganti baju dulu?" cekal Kaira. Reflek tangan nya memegang lengan baju Fariz.Pria itu mengarahkan pandangannya pada lengannya yang digenggam Kaira, membuat Kaira yang merasa terimidasi langsung melepas cekalan, mundur satu langkah."Maaf Mas, Ara tidak sengaja," kata Kaira sedikit canggung."Saya berangkat sekarang. Kamu bisa istirahat, hanya ada dua kamar di apartemen ini. Satu kamar saya yang catnya abu-abu tua, dan yang satu lagi kamar tamu. Kalau kamu tidak mau tidur dikamar saya, kamu bisa menggunakanya.""Mas Ariz bakal pulang jam berapa?" tanya Kaira."Tidak tahu, mungkin besok. Atau nanti malam. Tidak perlu menunggu saya. Jika ada yang kamu butuhkan dibawah ada minimarket, di seberang jalan juga ada supermarket cukup lengkap.""Mas butuh Ara siapkan baju ganti dan mengirimnya ke kantor?" tanya Kaira sebenarnya memberi saran.Fariz menggeleng tegas, dia tidak membutuhkan itu. Yang dia inginkan saat ini hanya segera kembali ke kantor dan meny
Berbeda dengan Kaira yang tenang dan menyikapinya dengan santai, Fariz justru sebaliknya. Pria 32 tahun itu berulang kali menghembuskan napasnya berat, mengusap wajahnya kasar lalu menyandarkan punggungnya di kursi kerja.Bergegas ke kantor karena pekerjaan menumpuk itu hanya akal-akalan pria itu saja. Termasuk memboyong Kaira hari ini juga itu termasuk bagian dari alasanya untuk melarikan diri. Aslinya dia belum siap dengan semuanya. Fariz malah sempat menyesal dan merasa bodoh kenapa tadi dia justru menurut saja tanpa membantah ketika kedua orang tua meminta mereka menikah saat ini juga. Mengangguk seperti anak anjing yang seakan terhipnotis akan pesona majikan barunya.Fariz sampai tidak bisa berkedip ketika pertama kali melihat Kaira, pasangannya seolah terpatri permanen tak membiarkannya untuk terlepas.Satu jam sebelum akad nikah di ikrarkan.Sesosok wanita berkerudung panjang, keluar dari persembunyiannya digandeng oleh ibunya.Gadis itu Kaira. Kepalanya menunduk, dengan kedua
Paginya. Hari pertama Kaira menjabat sebagai seorang istri.Atas izin suaminya kemarin, Kaira kembali bekerja seperti biasa. Dia hanya izin cuti satu hari kerja kepada pihak rumah sakit, karena rencana awalnya kan memang hanya sesi ta'aruf dan khitbah. Jika memang cocok dilanjutkan dengan menentukan tanggal pernikahan mungkin, jika tidak ya batal. Siapa sangka malah justru menjadi hari pernikahan mereka. Jika dijadikan FTV mungkin judulnya "pertemuan pertamaku hari pernikahanku" begitu. "Pagi dokter Ara. Kok sudah masuk saja, saya kira bakal ambil cuti panjang karena besok jadwal libur dokter Ara kan?" sapa suster Linda sambil mengecek stok alat kesehatan di lemari kaca persediaan IGD. Mencocokkan jumlah yang tertulis di kartu stok dengan fisiknya.Kaira mengenakan jas dokternya, berdiri didepan meja perawat dengan menyandarkan tubuhnya pada pinggiran meja, menoleh pada suster Linda sekilas. "Kasian dokter Andi jaga sendiri kan sus kalau saya kelamaan libur?" ujar Kaira. Benar memang
Kaira pulang pukul 14.30 tapi tak ada tanda-tanda kehidupan di apartemen. Semua masih seperti sebelum ia tinggal pagi tadi. Fariz memang belum pulang, pria itu bahkan belum mengangkat bokongnya dari kursi kerja di kantornya sejak semalam. Baju belum ganti, masih mengenakan batik berwarna navy sisa semalam.Jangan kira kamu menikah bisa jadi seenaknya Tuan Muda Kamran, pulang sekarang atau Mama tarik telingamu—MamaFariz menelan ludahnya susah payah, menoleh kekanan dan kekiri lalu melirik pada ponselnya yang masih tergeletak begitu saja diatas meja. Dia sendiri tidak ada siapapun di ruangan, pintu masuk pun tertutup rapat dari mana Lina tahu. Fariz pulang sekarang! Tidak ada bantahan, atau kamu mau Mama yang menjemputmu?—MamaLagi-lagi ponselnya itu bergetar. Dari Lina lagi.Fariz meraih benda persegi panjang itu lalu membuka pesan Lina dan membalasnya.Ini belum waktunya jam pulang kantor Ma, dua jam lagi Ariz pulang—FarizTak butuh waktu lama Lina langsung membalas.Mana ada orang