Pukul dua siang, Fariz sudah berada di halaman rumah kedua orangtuanya atas permintaan Lina. Dengan wajah masam Fariz melangkahkan kakinya lebar-lebar masuk kedalam rumah sambil menjinjing tas kerjanya.
"Aduh anak tampan Mama akhirnya pulang juga. Gimana kerjanya, lancar? Pasti dong, anak Mama mah jangan diragukan lagi. Iya kan?" sambut Lina dengan senyum merekah. Lina sudah cantik dengan gamis merah muda dan kerudung yang menjuntai hingga batas perut.Fariz menyipitkan kedua matanya, keningnya berkerut. "Mama mau kemana Ma?" tanya Fariz."Bukan Mama tapi kita." Jawab Lina mengoreksi."Kok kita? Ariz juga?"Lina mengangguk antusias, wajahnya berseri. "Sana buruah siap-siap gih, jangan lama-lama ya!" ujar Lina sambil mendorong-dorong kecil tubuh Fariz.Fariz semakin bingung, badannya terhuyung-huyung. "Sebentar-sebentar. Memang kita mau kemana Ma?"Lina berdecak nyaring, kedua matanya melebar menatap Fariz penuh peringatan."Ya gimana Ariz mau nurut coba kalau Mama saja belum mau kasih tahu Ariz kita mau kemana.""Mau ke tempat calon menantu, puas?""Calon menantu? Maksud Mama?"Lina berdecak lagi. "Sudah to jangan banyak tanya kaya Dora. Buruan mandi terus ganti baju. Bajumu sudah Mama siapin di atas kasur," kata Lina sambil mendorong Fariz lagi.Fariz tetap diam, ia menahan tubuhnya agar tak bergerak. "Ma-ma-ma. Sebentar dulu, maksud Mama menantu itu calon istri Ariz? Lah kan Mama tahu Ariz jomblo bangkotan kata Mama."Lina memutar bola matanya malas. "Kamu lupa sama perjanjian kita?" tanya Lina.Fariz lenggang sesaat, mencerna apa yang Lina ucapkan."Perjanjian? Perjanjian apa?" ujar Fariz dalam hati.Sepersekian detik berlalu barulah Fariz teringat, mulutnya ternganga tanpa dikomando."Aaa... Mama sudah dapat calon buat Fariz, cepat banget. Mama bukan cari di biro jodoh abal-abal kan? Kalau iya Fariz nolak keras loh Ma," kata Fariz mengancam."Dikira Mama ini orang tua apaan, cari calon mantu kok abal-abal. Ya bukan lah, dijamin mempesona dan bisa dipastikan bibit, bebet dan bobotnya.""Terus Mama ketemu dimana? Cantik tidak? Jangan-jangan pendek, jelek, dekil, bawel, manja. Kalau yang macam begitu Fariz ogah lah ma." Cecar Fariz."Kamu ini cerewet banget sih, tumben biasanya saja nolak kalau dimintai pendapat. Ini pasti akal-akalan kamu buat nolak kan?" tanya Lina, kedua matanya menyipit memandang Fariz curiga.Fariz kelabakan, cepat-cepat ia membuang pandangannya asal. "Ya kan Ariz hanya memastikan Ma, cantik tidak, begitu.""Kalau itu sih Mama juga tidak tahu, Mama juga belum pernah ketemu." Jawab Lina enteng. Berbeda dengan Fariz yang justru kaget."APA?" tanya Fariz sedikit meninggikan suaranya.Lina menganggukan kepalanya ragu. "Ya sudah sih, lihat saja nanti. Kalau kamu oke, bisa lanjut lamaran. Kalau memang kamu kurang oke ya tergantung." Lina diam sesaat, Fariz menunggu harap-harap cemas. "Tergantung gimana dianya. Kalau No beneran Mama ikhlas kamu nolak, tapi kalau aslinya dia cantik dan good dari segala good ya Mama bakal paksa kamu biar mau," kata Lina.Fariz membolakan kedua matanya, napasnya tercekat. "Itu mah namanya pemaksaan Ma," protes Fariz tak terima."Ya kalau nurutin kamu mah bisa saja cuma akal-akalan kamu buat nolak.""Sudah lah sana siap-siap, Keburu telat kita nanti. janjinya itu selepas Ashar. Kita butuh waktu 30 menit buat sampai sana, jadi kamu jangan buang-buang waktu. Atau jangan-jangan kamu memang sengaja mau buat kita telat ya?" tanya Lina menyelidik.Fariz mendengus masam, balik kanan ia meninggalkan Lina menuju kamarnya.*****Dikediaman Kaira.Berbagai Macam hidangan sudah tersaji diatas meja makan. Hari ini Kaira mengambil libur kerja atas permintaan Silfi yang ingin Kaira menyiapkan dirinya dengan baik hari ini.Dibalut gamis brokat elegan berwarna putih gading dan kerudung yang menjuntai panjang berwarna senada, Kaira meremas kedua tanganya yang saling terpaut dengan gencar. Peluh satu dua sudah mulai bermunculan padahal pendingin ruangan di dalam kamarnya berfungsi dengan baik.Pikirannya dipenuhi dengan beraneka ragam hal-hal serta pertanyaan-pertanyaan negatif, seperti:Bagaimana jika keputusan yang ia ambil ini adalah keputusan yang salah?Bagaimana jika ternyata calon yang akan dijodohkan dengannya itu keberatan dengan rencana ini?Bagaimana jika melihat dirinya pria itu justru tidak suka?Bagaimana jika ia justru mengecewakan Ummi dan Abi?Bagaimana jika sebenarnya dia ternyata belum siap menikah?Dan bagaimana-bagaimana lainya yang pasti itu selalu kearah yang negatif."Sayang ada yang dipikirkan? Kok wajahnya kusut banget?" tanya Silfi yang kebetulan lewat depan kamar Kaira yang pintunya tak dikunci dan tak sengaja melihat Kaira yang duduk termenung di atas kasur dengan wajah pias.Kaira terperanjat, kepalanya mendongak menatap Silfi. "Iya Ummi sedikit," jawab Kaira apa adanya.Silfi melangkahkan kakinya masuk kedalam kamar Kaira. "Ummi permisi masuk ya?" ujarnya meminta izin ketika akan melewati pintu.Kaira hanya membalas dengan anggukan."Ara mikirin apa? Soal nanti?" tanya Silfi, duduk di sisi kanan Kaira."Ara takut, khawatir, gugup, bingung dan masih banyak lagi Ummi," ujar Kaira, wajahnya sendu."Istighfar sayang, jangan sampai setan menguasai hati dan pikiran Ara. Namanya akan dikhitbah, sudah pasti akan seperti ini. Itu normal." Kata Silfi memberi kekuatan. Tangan kirinya sudah ia ulurkan untuk menggenggam kedua tangan Kaira yang mendingin."Ummi dulu juga begitu, malah lebih parah karena umur Ummi waktu itu masih 18 tahun. Walaupun belum dewasa tapi ketakutan itu lebih besar karena sebenarnya belum siap untuk menikah secara mental. Tapi... nenek bilang begini dulu sama Ummi. Hidup, mati, jodoh, rezeki itu sudah ada yang mengatur. Tinggal jalani, syukuri, berusaha dan berdoa. Selebihnya serahkan semua pada Allah."Kaira menoleh, menatap Silfi dalam. "Ummi, jika nanti beliau menerima Ara sebagai pendamping hidupnya dan kita menikah, apa yang seharusnya Ara lakukan Ummi? Karena sebenarnya Ara sendiri belum yakin kalau Ara sudah siap menikah dan membina kehidupan dengan orang lain," tanya Kaira.Alih-alih menjawab, silfi justru tersenyum simpul. Mengusap kepala Kaira dari balik kerudung dengan lembut dan penuh kasih sayang."Jadilah diri Ara sendiri, jadilah rumah ternyaman untuk siapapun yang akan menjadi suami Ara nanti. Rumah yang nyaman seperti yang Ara tinggali saat ini. Lalu, penuhi kebutuhan lahir dan batinnya." Jelas Silfi, nada suaranya lembut sekali."Tidak perlu menjadi sempurna sayang, jadilah apa adanya diri Ara. Ara ingat bukan jika jodoh itu saling melengkapi? Yang satu tangan kanan, yang satunya lagi tangan kiri. Yang terpenting komunikasi, bangun hubungan baik dengan dia, diskusikan apapun yang Ara rasakan, Ara mau, Ara suka dan tidak suka."Kaira menghembuskan napasnya berat, pundaknya semakin melorot seperti ditimpa beban yang begitu berat."Ummi, bahkan Ara belum bisa masak. Urus pekerjaan rumah saja selama ini lebih banyak Ummi sama Mbak Num yang kerjain daripada Ara," keluh Kaira. Meskipun terlahir di desa tapi Kaira terlahir sebagai anak tunggal yang bisa dikatakan cukup berada membuat Kaira tidak terlalu terbiasa melakukan pekerjaan rumah. Selain itu jurusan pendidikan yang ia geluti cukup menguras lebih banyak waktunya."Kan bisa belajar pelan-pelan, belum terbiasa bukan berarti tidak akan bisa kan? Semua hanya butuh latihan dan terbiasa sayang," koreksi Silfi. Kaira hanya mampu menganggukkan kepalanya meskipun sebenarnya otaknya belum sepenuhnya bisa menerima itu dengan baik."Yasudah, Ummi mau siap-siap dulu didapur bantu Mbak Num." Ujar Silfi sambil bangkit berdiri."Mau Ara bantu tidak Ummi?" tawar Kaira.Silfi menarik sudut bibirnya simpul lalu menggeleng. "Kali ini tidak usah sayang, bukan Ummi tidak mau dibantu, tapi mending Ara pakai buat dzikir biar tenang hati dan pikiran. Lagipula yang ditunggu mungkin sebentar lagi sampai. Ara sudah shalat Ashar kan?" tanya Silfi."Ara lagi ada tamu bulanan Ummi." Jawab Kaira, kemudian Silfi berlalu pergi meninggalkan Kaira yang kembali termenung. Meskipun memang hati dan pikiran jauh lebih tenang daripada sebelumnya berkat Silfi.Nyatanya, bukan hanya sesi ta’aruf lalu lamaran seperti yang sudah direncanakan. Tapi mereka dinikahkan hari itu juga atas kesepakatan kedua belah pihak keluarga dan masing-masing mempelai, atas usulan Lina tentu saja.Kaira tidak begitu fokus sebenarnya, semua terkesan begitu mendadak dan cepat menurutnya.Tiba-tiba dijodohkanTiba-tiba bertemuTiba-tiba dinikahkanSemua juga terkesan buru-buru, hanya dalam kurun waktu setengah bulan semua sudah selesai hingga dalam tahap pernikahan. Apakah ini yang namanya keistimewaan jodoh dan kekuatan Tuhan? Semua seakan mudah terjadi jika Tuhan sudah berkehendak. Serba kilat ini membuat Kaira sulit untuk memahami segalanya. Yang pasti saat ini dia sudah sah saja menjadi istri dari seorang pria yang bahkan baru ia ketahui nama lengkapnya satu jam lalu. Pria yang menurut mata telanjang Kaira sulit untuk dilewatkan, meskipun pria itu memberi kesan kaku dan juga dingin sejak awal pertemuan. Yah, walaupun lumayan sih memang secara fisik.“Untuk pend
"Mas tidak mau mandi atau setidaknya ganti baju dulu?" cekal Kaira. Reflek tangan nya memegang lengan baju Fariz.Pria itu mengarahkan pandangannya pada lengannya yang digenggam Kaira, membuat Kaira yang merasa terimidasi langsung melepas cekalan, mundur satu langkah."Maaf Mas, Ara tidak sengaja," kata Kaira sedikit canggung."Saya berangkat sekarang. Kamu bisa istirahat, hanya ada dua kamar di apartemen ini. Satu kamar saya yang catnya abu-abu tua, dan yang satu lagi kamar tamu. Kalau kamu tidak mau tidur dikamar saya, kamu bisa menggunakanya.""Mas Ariz bakal pulang jam berapa?" tanya Kaira."Tidak tahu, mungkin besok. Atau nanti malam. Tidak perlu menunggu saya. Jika ada yang kamu butuhkan dibawah ada minimarket, di seberang jalan juga ada supermarket cukup lengkap.""Mas butuh Ara siapkan baju ganti dan mengirimnya ke kantor?" tanya Kaira sebenarnya memberi saran.Fariz menggeleng tegas, dia tidak membutuhkan itu. Yang dia inginkan saat ini hanya segera kembali ke kantor dan meny
Berbeda dengan Kaira yang tenang dan menyikapinya dengan santai, Fariz justru sebaliknya. Pria 32 tahun itu berulang kali menghembuskan napasnya berat, mengusap wajahnya kasar lalu menyandarkan punggungnya di kursi kerja.Bergegas ke kantor karena pekerjaan menumpuk itu hanya akal-akalan pria itu saja. Termasuk memboyong Kaira hari ini juga itu termasuk bagian dari alasanya untuk melarikan diri. Aslinya dia belum siap dengan semuanya. Fariz malah sempat menyesal dan merasa bodoh kenapa tadi dia justru menurut saja tanpa membantah ketika kedua orang tua meminta mereka menikah saat ini juga. Mengangguk seperti anak anjing yang seakan terhipnotis akan pesona majikan barunya.Fariz sampai tidak bisa berkedip ketika pertama kali melihat Kaira, pasangannya seolah terpatri permanen tak membiarkannya untuk terlepas.Satu jam sebelum akad nikah di ikrarkan.Sesosok wanita berkerudung panjang, keluar dari persembunyiannya digandeng oleh ibunya.Gadis itu Kaira. Kepalanya menunduk, dengan kedua
Paginya. Hari pertama Kaira menjabat sebagai seorang istri.Atas izin suaminya kemarin, Kaira kembali bekerja seperti biasa. Dia hanya izin cuti satu hari kerja kepada pihak rumah sakit, karena rencana awalnya kan memang hanya sesi ta'aruf dan khitbah. Jika memang cocok dilanjutkan dengan menentukan tanggal pernikahan mungkin, jika tidak ya batal. Siapa sangka malah justru menjadi hari pernikahan mereka. Jika dijadikan FTV mungkin judulnya "pertemuan pertamaku hari pernikahanku" begitu. "Pagi dokter Ara. Kok sudah masuk saja, saya kira bakal ambil cuti panjang karena besok jadwal libur dokter Ara kan?" sapa suster Linda sambil mengecek stok alat kesehatan di lemari kaca persediaan IGD. Mencocokkan jumlah yang tertulis di kartu stok dengan fisiknya.Kaira mengenakan jas dokternya, berdiri didepan meja perawat dengan menyandarkan tubuhnya pada pinggiran meja, menoleh pada suster Linda sekilas. "Kasian dokter Andi jaga sendiri kan sus kalau saya kelamaan libur?" ujar Kaira. Benar memang
Kaira pulang pukul 14.30 tapi tak ada tanda-tanda kehidupan di apartemen. Semua masih seperti sebelum ia tinggal pagi tadi. Fariz memang belum pulang, pria itu bahkan belum mengangkat bokongnya dari kursi kerja di kantornya sejak semalam. Baju belum ganti, masih mengenakan batik berwarna navy sisa semalam.Jangan kira kamu menikah bisa jadi seenaknya Tuan Muda Kamran, pulang sekarang atau Mama tarik telingamu—MamaFariz menelan ludahnya susah payah, menoleh kekanan dan kekiri lalu melirik pada ponselnya yang masih tergeletak begitu saja diatas meja. Dia sendiri tidak ada siapapun di ruangan, pintu masuk pun tertutup rapat dari mana Lina tahu. Fariz pulang sekarang! Tidak ada bantahan, atau kamu mau Mama yang menjemputmu?—MamaLagi-lagi ponselnya itu bergetar. Dari Lina lagi.Fariz meraih benda persegi panjang itu lalu membuka pesan Lina dan membalasnya.Ini belum waktunya jam pulang kantor Ma, dua jam lagi Ariz pulang—FarizTak butuh waktu lama Lina langsung membalas.Mana ada orang
Malam tiba. Lima kali Kaira membangunkan suaminya, lima kali juga Fariz tidak mengindahkan. Padahal waktu magrib hampir usai, dan pria itu masih seperti kerbau yang susah untuk dibangunkan."Mas, bangun yuk. Salat magrib dulu mas, tinggal 15 menit lagi loh waktunya habis." Ujar Kaira sambil mengguncang pelan lengan Fariz. Kaira juga sudah selesai masak. Tapi yang dibangunkan tak bergerak sedikitpun, matanya masih terpejam rapat. Tenang damai layaknya tak merasa terganggu sedikitpun."Ya Allah, harus gimana lagi Ara bangunin Mas Ariz ini?" gumam Kaira mulai putus asa. Lalu duduk ditepi ranjang dekat dengan Fariz. Ia lenggang sesaat, mengamati wajah suaminya. Dari wajah Fariz, neralih ke hidung, mata, bibir.Jika dilihat dalam keadaan tertidur seperti ini Fariz berbeda jauh dengan ketika pria itu terdasar. Fariz mode sadar itu memancarkan aura dominan yang kental, rahangnya tegas dan irit tersenyum semakin menyempurnakannya. Berbeda dengan Fariz yang tertidur pulas seperti ini, hanya ad
Tengah malam, lebih tepatnya pukul dua dini hari. Fariz terbangun dari tidurnya, tenggorokanya kering. Pria itu menoleh melihat ke atas meja di sisi ranjang, hanya ada teko yang air yang isinya tinggal seperempat bagian tanpa ada gelas disana.Ketika menoleh ke sisi kiri tempat tidurnya, kosong. Tidak ada Kaira disana, istrinya belum juga kembali kedalam kamar. Tebakan Fariz mengatalan istrinya itu memilih tidur di kamar tamu untuk menghindari dirinya.Tanpa pikir panjang Fariz bangung, berjalan gontai dengan mata merem melek keluar dari dalam kamar. Suasana luar kamar hening dan gelap. Hanya ada sorot lampu dari sela pintu kamarnya yang terbuka separuhnya saja yang menyinari ruang keluarga. Sebelum Fariz melangkah, spontan kepalanya menoleh kekiri tempat kamar Tamu yang terlihat gelap gulita itu tertutup rapat.“Mas...butuh sesuatu?” suara yang sangat-sangat Fariz kenali membuat Fariz terperanjat. Pandangan pria itu menajam mengarah ke sumber suara.“Mas Ariz mau minum?” tanya Kaira
Yang dikhawatirkan pun terjadi. Saida Hospital digemparkan oleh kasus kepulangan pasien yang ternyata tidak layak untuk dipulangkan. Salah satu dari lima pasien korban keroyok masal itu meninggal ketika baru sampai di polda Semarang.Dokter dan semua nakes yang berjaga di IGD kala itu disidang oleh direktur rumah sakit disaksikan oleh pihak kepolisian. Hari itu Kaira dinas siang, mendengar desas-desus para pegawai membicarakan berita terpanas itu."Ada apa ramai sekali dok?" tanya Kaira pada dokter Andi. Ia baru saja sampai di ruang dokter dan melepas tas selempangnya."Pasien tahanan kemarin itu meninggal dok.""Yang dikeroyok masal itu?" tanya Kaira sedikit meninggikan suaranya.Dokter Andi berdehem. "Tumben sekali kau datang awal-awal dok. Kesambet setan apa?" tanya Dokter Andi meledek. Memang jam shift nya baru akan dimulai satu jam lagi dan Kaira sudah datang. Teladan sekali bukan?"Tidak ada apa-apa hanya ingin jadi anak rajin sehari. Lalu bagaimana dok, jadi nasib yang berjaga