Beranda / Pernikahan / Resep Cinta Dalam Doa / RCDD | 7. Hari Lamaran

Share

RCDD | 7. Hari Lamaran

Pukul dua siang, Fariz sudah berada di halaman rumah kedua orangtuanya atas permintaan Lina. Dengan wajah masam Fariz melangkahkan kakinya lebar-lebar masuk kedalam rumah sambil menjinjing tas kerjanya.

"Aduh anak tampan Mama akhirnya pulang juga. Gimana kerjanya, lancar? Pasti dong, anak Mama mah jangan diragukan lagi. Iya kan?" sambut Lina dengan senyum merekah. Lina sudah cantik dengan gamis merah muda dan kerudung yang menjuntai hingga batas perut.

Fariz menyipitkan kedua matanya, keningnya berkerut. "Mama mau kemana Ma?" tanya Fariz.

"Bukan Mama tapi kita." Jawab Lina mengoreksi.

"Kok kita? Ariz juga?"

Lina mengangguk antusias, wajahnya berseri. "Sana buruah siap-siap gih, jangan lama-lama ya!" ujar Lina sambil mendorong-dorong kecil tubuh Fariz.

Fariz semakin bingung, badannya terhuyung-huyung. "Sebentar-sebentar. Memang kita mau kemana Ma?"

Lina berdecak nyaring, kedua matanya melebar menatap Fariz penuh peringatan.

"Ya gimana Ariz mau nurut coba kalau Mama saja belum mau kasih tahu Ariz kita mau kemana."

"Mau ke tempat calon menantu, puas?"

"Calon menantu? Maksud Mama?"

Lina berdecak lagi. "Sudah to jangan banyak tanya kaya Dora. Buruan mandi terus ganti baju. Bajumu sudah Mama siapin di atas kasur," kata Lina sambil mendorong Fariz lagi.

Fariz tetap diam, ia menahan tubuhnya agar tak bergerak. "Ma-ma-ma. Sebentar dulu, maksud Mama menantu itu calon istri Ariz? Lah kan Mama tahu Ariz jomblo bangkotan kata Mama."

Lina memutar bola matanya malas. "Kamu lupa sama perjanjian kita?" tanya Lina.

Fariz lenggang sesaat, mencerna apa yang Lina ucapkan.

"Perjanjian? Perjanjian apa?" ujar Fariz dalam hati.

Sepersekian detik berlalu barulah Fariz teringat, mulutnya ternganga tanpa dikomando.

"Aaa... Mama sudah dapat calon buat Fariz, cepat banget. Mama bukan cari di biro jodoh abal-abal kan? Kalau iya Fariz nolak keras loh Ma," kata Fariz mengancam.

"Dikira Mama ini orang tua apaan, cari calon mantu kok abal-abal. Ya bukan lah, dijamin mempesona dan bisa dipastikan bibit, bebet dan bobotnya."

"Terus Mama ketemu dimana? Cantik tidak? Jangan-jangan pendek, jelek, dekil, bawel, manja. Kalau yang macam begitu Fariz ogah lah ma." Cecar Fariz.

"Kamu ini cerewet banget sih, tumben biasanya saja nolak kalau dimintai pendapat. Ini pasti akal-akalan kamu buat nolak kan?" tanya Lina, kedua matanya menyipit memandang Fariz curiga.

Fariz kelabakan, cepat-cepat ia membuang pandangannya asal. "Ya kan Ariz hanya memastikan Ma, cantik tidak, begitu."

"Kalau itu sih Mama juga tidak tahu, Mama juga belum pernah ketemu." Jawab Lina enteng. Berbeda dengan Fariz yang justru kaget.

"APA?" tanya Fariz sedikit meninggikan suaranya.

Lina menganggukan kepalanya ragu. "Ya sudah sih, lihat saja nanti. Kalau kamu oke, bisa lanjut lamaran. Kalau memang kamu kurang oke ya tergantung." Lina diam sesaat, Fariz menunggu harap-harap cemas. "Tergantung gimana dianya. Kalau No beneran Mama ikhlas kamu nolak, tapi kalau aslinya dia cantik dan good dari segala good ya Mama bakal paksa kamu biar mau," kata Lina.

Fariz membolakan kedua matanya, napasnya tercekat. "Itu mah namanya pemaksaan Ma," protes Fariz tak terima.

"Ya kalau nurutin kamu mah bisa saja cuma akal-akalan kamu buat nolak."

"Sudah lah sana siap-siap, Keburu telat kita nanti. janjinya itu selepas Ashar. Kita butuh waktu 30 menit buat sampai sana, jadi kamu jangan buang-buang waktu. Atau jangan-jangan kamu memang sengaja mau buat kita telat ya?" tanya Lina menyelidik.

Fariz mendengus masam, balik kanan ia meninggalkan Lina menuju kamarnya.

*****

Dikediaman Kaira.

Berbagai Macam hidangan sudah tersaji diatas meja makan. Hari ini Kaira mengambil libur kerja atas permintaan Silfi yang ingin Kaira menyiapkan dirinya dengan baik hari ini.

Dibalut gamis brokat elegan berwarna putih gading dan kerudung yang menjuntai panjang berwarna senada, Kaira meremas kedua tanganya yang saling terpaut dengan gencar. Peluh satu dua sudah mulai bermunculan padahal pendingin ruangan di dalam kamarnya berfungsi dengan baik.

Pikirannya dipenuhi dengan beraneka ragam hal-hal serta pertanyaan-pertanyaan negatif, seperti:

Bagaimana jika keputusan yang ia ambil ini adalah keputusan yang salah?

Bagaimana jika ternyata calon yang akan dijodohkan dengannya itu keberatan dengan rencana ini?

Bagaimana jika melihat dirinya pria itu justru tidak suka?

Bagaimana jika ia justru mengecewakan Ummi dan Abi?

Bagaimana jika sebenarnya dia ternyata belum siap menikah?

Dan bagaimana-bagaimana lainya yang pasti itu selalu kearah yang negatif.

"Sayang ada yang dipikirkan? Kok wajahnya kusut banget?" tanya Silfi yang kebetulan lewat depan kamar Kaira yang pintunya tak dikunci dan tak sengaja melihat Kaira yang duduk termenung di atas kasur dengan wajah pias.

Kaira terperanjat, kepalanya mendongak menatap Silfi. "Iya Ummi sedikit," jawab Kaira apa adanya.

Silfi melangkahkan kakinya masuk kedalam kamar Kaira. "Ummi permisi masuk ya?" ujarnya meminta izin ketika akan melewati pintu.

Kaira hanya membalas dengan anggukan.

"Ara mikirin apa? Soal nanti?" tanya Silfi, duduk di sisi kanan Kaira.

"Ara takut, khawatir, gugup, bingung dan masih banyak lagi Ummi," ujar Kaira, wajahnya sendu.

"Istighfar sayang, jangan sampai setan menguasai hati dan pikiran Ara. Namanya akan dikhitbah, sudah pasti akan seperti ini. Itu normal." Kata Silfi memberi kekuatan. Tangan kirinya sudah ia ulurkan untuk menggenggam kedua tangan Kaira yang mendingin.

"Ummi dulu juga begitu, malah lebih parah karena umur Ummi waktu itu masih 18 tahun. Walaupun belum dewasa tapi ketakutan itu lebih besar karena sebenarnya belum siap untuk menikah secara mental. Tapi... nenek bilang begini dulu sama Ummi. Hidup, mati, jodoh, rezeki itu sudah ada yang mengatur. Tinggal jalani, syukuri, berusaha dan berdoa. Selebihnya serahkan semua pada Allah."

Kaira menoleh, menatap Silfi dalam. "Ummi, jika nanti beliau menerima Ara sebagai pendamping hidupnya dan kita menikah, apa yang seharusnya Ara lakukan Ummi? Karena sebenarnya Ara sendiri belum yakin kalau Ara sudah siap menikah dan membina kehidupan dengan orang lain," tanya Kaira.

Alih-alih menjawab, silfi justru tersenyum simpul. Mengusap kepala Kaira dari balik kerudung dengan lembut dan penuh kasih sayang.

"Jadilah diri Ara sendiri, jadilah rumah ternyaman untuk siapapun yang akan menjadi suami Ara nanti. Rumah yang nyaman seperti yang Ara tinggali saat ini. Lalu, penuhi kebutuhan lahir dan batinnya." Jelas Silfi, nada suaranya lembut sekali.

"Tidak perlu menjadi sempurna sayang, jadilah apa adanya diri Ara. Ara ingat bukan jika jodoh itu saling melengkapi? Yang satu tangan kanan, yang satunya lagi tangan kiri. Yang terpenting komunikasi, bangun hubungan baik dengan dia, diskusikan apapun yang Ara rasakan, Ara mau, Ara suka dan tidak suka."

Kaira menghembuskan napasnya berat, pundaknya semakin melorot seperti ditimpa beban yang begitu berat.

"Ummi, bahkan Ara belum bisa masak. Urus pekerjaan rumah saja selama ini lebih banyak Ummi sama Mbak Num yang kerjain daripada Ara," keluh Kaira. Meskipun terlahir di desa tapi Kaira terlahir sebagai anak tunggal yang bisa dikatakan cukup berada membuat Kaira tidak terlalu terbiasa melakukan pekerjaan rumah. Selain itu jurusan pendidikan yang ia geluti cukup menguras lebih banyak waktunya.

"Kan bisa belajar pelan-pelan, belum terbiasa bukan berarti tidak akan bisa kan? Semua hanya butuh latihan dan terbiasa sayang," koreksi Silfi. Kaira hanya mampu menganggukkan kepalanya meskipun sebenarnya otaknya belum sepenuhnya bisa menerima itu dengan baik.

"Yasudah, Ummi mau siap-siap dulu didapur bantu Mbak Num." Ujar Silfi sambil bangkit berdiri.

"Mau Ara bantu tidak Ummi?" tawar Kaira.

Silfi menarik sudut bibirnya simpul lalu menggeleng. "Kali ini tidak usah sayang, bukan Ummi tidak mau dibantu, tapi mending Ara pakai buat dzikir biar tenang hati dan pikiran. Lagipula yang ditunggu mungkin sebentar lagi sampai. Ara sudah shalat Ashar kan?" tanya Silfi.

"Ara lagi ada tamu bulanan Ummi." Jawab Kaira, kemudian Silfi berlalu pergi meninggalkan Kaira yang kembali termenung. Meskipun memang hati dan pikiran jauh lebih tenang daripada sebelumnya berkat Silfi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status