Fariz pulang cepat hari ini, dia pulang selepas magrib. Semangatnya membara ingin membuktikan ucapan Pak Manut soal kopi buatan istri yang katanya pasti sedap. Langkahnya besar-besar melewati lorong apartemen yang sepi, menekan sandi pintu apartemen dan masuk kedalam rumah.Gelap, sepi, sunyi. Itu yang ia dapati ketika berhasil membuka pintu dan masuk.Fariz toleh kanan kiri, mengamati sekitar. "Kemana gadis itu? Kalau tidur tidak mungkin, ini masih sore?" tanya Fariz dalam hati, berjalan menuju dapur membuka kulkas dan menegak air mineral dingin.Otaknya berputar hebat, mempertanyakan keberadaan istrinya. Sekelebat dia mengingat keadaan Kaira yang demam tadi malam, tanpa buang waktu Fariz buru-buru meletakkan tas dan juga botol minum diatas meja makan. Dengan langkah seribu dia menuju kamar, membuka kasar pintu kamar dan menajamkan kedua matanya. Menekan saklar lampu yang ada di dekat pintu, dan kosong.Tidak ada Kaira atau tanda-tanda kehidupan di sana. Seketika napas Fariz yang pat
Fariz Pulang, Kaira masih bekerja. Kaira pulang Fariz sudah berangkat lagi. Malam ini Fariz kembali lembur di kantor. Pria itu juga membawa dua stel baju kerja untuk digunakan besok paginya dan satu lagi untuk berjaga-jaga.Fariz sudah terlanjur kecewa karena tidak mendapati istrinya di rumah ketika ia pulang. Dan Kaira juga lebih kecewa lagi, setelah perselisihan mereka kemarin pulang kerja capek-capek justru menemukan setelan batu kerja Fariz di keranjang baju kotor, dan pria itu tidak ditemukan dimanapun. Menandakan jika Fariz memang sudah pulang lalu pergi lagi.Dengan berjalan gontai, Kaira masuk kamar mandi. Melakukan ritual bersih-bersih mengganti baju dengan piyama tidur panjang bermotif bunga. Lalu mengenakan kerudung instan baru akhirnya naik ke atas kasur. Kaira memang belum berani melepas kerudungnya meskipun didalam rumah entah ada Fariz atau dirinya sedang sendiri seperti ini.Pernikahan mereka baru seumur anak ayam yang baru menetas, belum lagi Fariz juga menunjukkan k
Sabtu malam minggu, hari kedua Kaira berjaga malam. IGD Saida Hospital direpotkan dengan empat pasien sekaligus dengan kasus yang serupa. Kejang, mengamuk, pergerakan tidak terkontrol dan sejenisnya.Termasuk Kaira dibantu Karu Sinyo kebagian menangani pasien dengan kasus sindrom ekstrapiramidal atau gerakan tak menentu dan berulang yang disebabkan oleh efek samping dari obat psikotropika. Pasien itu berjenis kelamin wanita, usianya 45 tahun, dua minggu lalu baru saja diizinkan untuk pulang dari rumah sakit setelah lima kali melakukan perawatan di Saida Hospital.“Sabar sebentar ya bu, disuntik dulu sebentar.” Ujar Kaira menenangkan, sambi mengarahkan jarum suntik ke lengan wanita itu. Pergerakanya tak menentu, Karu Sinyo dan suaminya yang berusaha menahannya harus terkena lelehan air liur pasien itu yang keluar dengan sendirinya ini salah satu gejalanya juga.“Nah sudah, ini sudah berapa hari seperti ini pak?” tanya Kaira pada suami pasien, badanya kurus, tingginya hanya setinggi Kai
Wanita mana yang tiba-tiba mendapatkan telpon di tengah malam dari nomor asing mengabarkan kalau suaminya sedang sakit dan membutuhkan pertolongan. Dan parahnya lagi setelah dipastikan itu memang bernar tidak ada unsur penipuan disana.Tulang-tulang Kaira lemas seketika, wajahnya pucat, otaknya linglung, dia berdiri setengah membungkuk di depan meja perawat.“Dok, ada sesuatu yang terjadi?” tanya suster Tere, menyenggol lengan kanan Kaira.“Sus bisa minta tolong siapkan brankar satu dan di bawah kedepan?” ujar Kaira dengan suara bergetar. Seumur hidupnya Kaira belum pernah sepanik dan setakut ini sebelum nya. Albi dan Silfi belum pernah sakit parah sebelumnya, mungkin hanya demam rinangan, flu, batuk, atau diare.“Ada apa dok, ada yang sakit?”Kaira mengangguk cepat. “Tolong sus siapkan brangkarnya. Ada pasien yang sedang dalam perjalanan kemari.” Titah Kaira.“Di depan sudah ada brankar yang stand by dok. Siapa yang sakit, keluarga dokter?” Tanya suster Tere sambil menopang tubuh Kai
Nyatanya, Kaira tidak tertidur sepanjang malam hanya untuk menjaga Fariz. Mengecek suhu tubuh pria itu setiap 20 memit sekali. Fariz yang terkena efek samping dari obat yang disuntikkan ke dalam tubuhnya tidak mampu bertahan sampai lebih dari lima belas menit selepas mengatakan kata terimakasih tadi. Dia sudah tumbang alias tidur pulas sampai lupa daratan. Pengambilan darah yang semalam pikah analis lakukan saja tidak Fariz rasakan karena sangking pulasnya.Pria itu positif terserah penyakit Typhoid Fever atau demam tifoid dari hasil pemeriksaan dan juga tes darah yang sudah dilakukan.“Dok, ruang rawat suami dokter sudah di siapkan sama pihak bangsal.” Kata suster Tere. Suaranya pelan sekali agar tidak membangunkan Fariz. Sesekali wanita itu melirik tangan Kaira dan Fariz yang masih terpaut. Tangan itu tidak terlepas selama semalaman penuh.Kaira melakukan apapun dengan tangan kirinya, untung hanya lima jam dari sekarang, itu saja dia sudah pegal bukan main. Dia yang sedang kedatanga
Fariz sudah dipindahkan di ruang rawat VVIP Saida Hospital jam 10 pagi tadi. Pria itu baru bangun jam sembilan lewat, harus sarapan dulu baru dipindahkan ke ruang rawat.Jika di benak semua orang ketika mendengar kata rumah sakit jiwa itu ruang rawat yang ada adalah ruang terbuka yang dilengkapi dengan sel, bed tanpa selimut dan seprai, ruang konseling dan ruang makan yang luas dan digunakan untuk pasien yang berada di bangsal yang sama maka itu salah besar. Ruang semacam itu memang ada, tapi bukan ruang yang Fariz tempati melainkan ruang di bangsal lain.Saida Hospital memang bukan hanya menangani pasien jiwa saja, tapi juga pasien umum meskipun memang dengan penyakit-penyakit tertentu atau rujukan dari rumah sakit yang kelasnya lebih kecil. Bangsal umumnya sama seperti di rumah sakit lainya, contohnya ruang VVIP yang Fariz tempati saat ini. Ada bed pasien, lemari kecil untuk meletakkan barang-barang kecil di sebelahnya, sofa di sudut ruangan, lemari ukuran sedang, kulkas dan toilet.
“Mas, sudah ya. Sudah semakin siang loh. Mas harus minum obat juga kan?” bujuk Kaira untuk yang kesekian kalinya. Fariz benar-benar merajuk, mengabaikan Kaira, membuang muka. Ditanya jangankan menjawab, pria itu justru pura-pura tidur. Untung kesabaran Kaira setebal kasur di apartemen mereka, jika setipis tisu dibagi seribu mungkin Fariz sudah dia bekap dengan bantal karena terlampau kesalnya.“Gini deh, buat gantinya Mas boleh minta apapun sama Ara asal itu bukan yang buat Mas bahaya,” kata Kaira lagi.Fariz menoleh, menatap Kaira tajam. Yang ditatap seperti itu bukanya takut justru tersenyum simpul. Dia senang karena akhirnya bisa sedikit meluluhkan hati Fariz.“Apapun?” tanya Fariz memastikan, mulai tertarik.Kaira mengangguk mantap. “Apapun asal bukan yang menghalangi proses penyembuhan Mas.”“Janji apapun bakal kamu turuti?”“Iya Mas, apapun itu. Insya Allah Ara janji.” Jawab Kaira mantap, padahal dia belum tahu apa yang diinginkan suaminya. Masa bodo, jika belum terjadi juga bel
Kaira menjadi bahan gosip di Saida Hospital selama satu minggu full. Selayaknya tidak ada berita lain yang lebih menarik untuk dibahas selain Kaira dan suaminya. Lebih-lebih Fariz yang harus dirawat selama enam hari di rumah sakit tempat Kaira bekerja. Setelah masa cutinya habis gadis itu juga sudah kembali bekerja, dan menukar semua jadwal shift nya menjadi pagi. Pagi dia bekerja, pulangnya menjaga Fariz. Jam istirahat pun ia habiskan untuk menyuapi Fariz makan dan dirinya sendiri.Kamar yang diperuntukkan untuknya di ruang rawat Fariz nyatanya tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Selama enam hari itu dia selalu tidur di tempat yang sama dengan pria itu. Tentu saja atas permintaan anak anjing Kaira yaitu Fariz. Sampai-sampai menjadi bahan gosip terpanas, karena perawat yang sering memergoki mereka yang sedang tertidur saling berpelukan diatas tempat tidur Fariz.Tapi sesampainya di rumah ternyata semua kemanisan-kemanisan itu tertinggal di Saida Hospital. Fariz sudah kembali menjadi