Yang dikhawatirkan pun terjadi. Saida Hospital digemparkan oleh kasus kepulangan pasien yang ternyata tidak layak untuk dipulangkan. Salah satu dari lima pasien korban keroyok masal itu meninggal ketika baru sampai di polda Semarang.Dokter dan semua nakes yang berjaga di IGD kala itu disidang oleh direktur rumah sakit disaksikan oleh pihak kepolisian. Hari itu Kaira dinas siang, mendengar desas-desus para pegawai membicarakan berita terpanas itu."Ada apa ramai sekali dok?" tanya Kaira pada dokter Andi. Ia baru saja sampai di ruang dokter dan melepas tas selempangnya."Pasien tahanan kemarin itu meninggal dok.""Yang dikeroyok masal itu?" tanya Kaira sedikit meninggikan suaranya.Dokter Andi berdehem. "Tumben sekali kau datang awal-awal dok. Kesambet setan apa?" tanya Dokter Andi meledek. Memang jam shift nya baru akan dimulai satu jam lagi dan Kaira sudah datang. Teladan sekali bukan?"Tidak ada apa-apa hanya ingin jadi anak rajin sehari. Lalu bagaimana dok, jadi nasib yang berjaga
Fariz pulang cepat hari ini, dia pulang selepas magrib. Semangatnya membara ingin membuktikan ucapan Pak Manut soal kopi buatan istri yang katanya pasti sedap. Langkahnya besar-besar melewati lorong apartemen yang sepi, menekan sandi pintu apartemen dan masuk kedalam rumah.Gelap, sepi, sunyi. Itu yang ia dapati ketika berhasil membuka pintu dan masuk.Fariz toleh kanan kiri, mengamati sekitar. "Kemana gadis itu? Kalau tidur tidak mungkin, ini masih sore?" tanya Fariz dalam hati, berjalan menuju dapur membuka kulkas dan menegak air mineral dingin.Otaknya berputar hebat, mempertanyakan keberadaan istrinya. Sekelebat dia mengingat keadaan Kaira yang demam tadi malam, tanpa buang waktu Fariz buru-buru meletakkan tas dan juga botol minum diatas meja makan. Dengan langkah seribu dia menuju kamar, membuka kasar pintu kamar dan menajamkan kedua matanya. Menekan saklar lampu yang ada di dekat pintu, dan kosong.Tidak ada Kaira atau tanda-tanda kehidupan di sana. Seketika napas Fariz yang pat
Fariz Pulang, Kaira masih bekerja. Kaira pulang Fariz sudah berangkat lagi. Malam ini Fariz kembali lembur di kantor. Pria itu juga membawa dua stel baju kerja untuk digunakan besok paginya dan satu lagi untuk berjaga-jaga.Fariz sudah terlanjur kecewa karena tidak mendapati istrinya di rumah ketika ia pulang. Dan Kaira juga lebih kecewa lagi, setelah perselisihan mereka kemarin pulang kerja capek-capek justru menemukan setelan batu kerja Fariz di keranjang baju kotor, dan pria itu tidak ditemukan dimanapun. Menandakan jika Fariz memang sudah pulang lalu pergi lagi.Dengan berjalan gontai, Kaira masuk kamar mandi. Melakukan ritual bersih-bersih mengganti baju dengan piyama tidur panjang bermotif bunga. Lalu mengenakan kerudung instan baru akhirnya naik ke atas kasur. Kaira memang belum berani melepas kerudungnya meskipun didalam rumah entah ada Fariz atau dirinya sedang sendiri seperti ini.Pernikahan mereka baru seumur anak ayam yang baru menetas, belum lagi Fariz juga menunjukkan k
Sabtu malam minggu, hari kedua Kaira berjaga malam. IGD Saida Hospital direpotkan dengan empat pasien sekaligus dengan kasus yang serupa. Kejang, mengamuk, pergerakan tidak terkontrol dan sejenisnya.Termasuk Kaira dibantu Karu Sinyo kebagian menangani pasien dengan kasus sindrom ekstrapiramidal atau gerakan tak menentu dan berulang yang disebabkan oleh efek samping dari obat psikotropika. Pasien itu berjenis kelamin wanita, usianya 45 tahun, dua minggu lalu baru saja diizinkan untuk pulang dari rumah sakit setelah lima kali melakukan perawatan di Saida Hospital.“Sabar sebentar ya bu, disuntik dulu sebentar.” Ujar Kaira menenangkan, sambi mengarahkan jarum suntik ke lengan wanita itu. Pergerakanya tak menentu, Karu Sinyo dan suaminya yang berusaha menahannya harus terkena lelehan air liur pasien itu yang keluar dengan sendirinya ini salah satu gejalanya juga.“Nah sudah, ini sudah berapa hari seperti ini pak?” tanya Kaira pada suami pasien, badanya kurus, tingginya hanya setinggi Kai
Wanita mana yang tiba-tiba mendapatkan telpon di tengah malam dari nomor asing mengabarkan kalau suaminya sedang sakit dan membutuhkan pertolongan. Dan parahnya lagi setelah dipastikan itu memang bernar tidak ada unsur penipuan disana.Tulang-tulang Kaira lemas seketika, wajahnya pucat, otaknya linglung, dia berdiri setengah membungkuk di depan meja perawat.“Dok, ada sesuatu yang terjadi?” tanya suster Tere, menyenggol lengan kanan Kaira.“Sus bisa minta tolong siapkan brankar satu dan di bawah kedepan?” ujar Kaira dengan suara bergetar. Seumur hidupnya Kaira belum pernah sepanik dan setakut ini sebelum nya. Albi dan Silfi belum pernah sakit parah sebelumnya, mungkin hanya demam rinangan, flu, batuk, atau diare.“Ada apa dok, ada yang sakit?”Kaira mengangguk cepat. “Tolong sus siapkan brangkarnya. Ada pasien yang sedang dalam perjalanan kemari.” Titah Kaira.“Di depan sudah ada brankar yang stand by dok. Siapa yang sakit, keluarga dokter?” Tanya suster Tere sambil menopang tubuh Kai
Nyatanya, Kaira tidak tertidur sepanjang malam hanya untuk menjaga Fariz. Mengecek suhu tubuh pria itu setiap 20 memit sekali. Fariz yang terkena efek samping dari obat yang disuntikkan ke dalam tubuhnya tidak mampu bertahan sampai lebih dari lima belas menit selepas mengatakan kata terimakasih tadi. Dia sudah tumbang alias tidur pulas sampai lupa daratan. Pengambilan darah yang semalam pikah analis lakukan saja tidak Fariz rasakan karena sangking pulasnya.Pria itu positif terserah penyakit Typhoid Fever atau demam tifoid dari hasil pemeriksaan dan juga tes darah yang sudah dilakukan.“Dok, ruang rawat suami dokter sudah di siapkan sama pihak bangsal.” Kata suster Tere. Suaranya pelan sekali agar tidak membangunkan Fariz. Sesekali wanita itu melirik tangan Kaira dan Fariz yang masih terpaut. Tangan itu tidak terlepas selama semalaman penuh.Kaira melakukan apapun dengan tangan kirinya, untung hanya lima jam dari sekarang, itu saja dia sudah pegal bukan main. Dia yang sedang kedatanga
Fariz sudah dipindahkan di ruang rawat VVIP Saida Hospital jam 10 pagi tadi. Pria itu baru bangun jam sembilan lewat, harus sarapan dulu baru dipindahkan ke ruang rawat.Jika di benak semua orang ketika mendengar kata rumah sakit jiwa itu ruang rawat yang ada adalah ruang terbuka yang dilengkapi dengan sel, bed tanpa selimut dan seprai, ruang konseling dan ruang makan yang luas dan digunakan untuk pasien yang berada di bangsal yang sama maka itu salah besar. Ruang semacam itu memang ada, tapi bukan ruang yang Fariz tempati melainkan ruang di bangsal lain.Saida Hospital memang bukan hanya menangani pasien jiwa saja, tapi juga pasien umum meskipun memang dengan penyakit-penyakit tertentu atau rujukan dari rumah sakit yang kelasnya lebih kecil. Bangsal umumnya sama seperti di rumah sakit lainya, contohnya ruang VVIP yang Fariz tempati saat ini. Ada bed pasien, lemari kecil untuk meletakkan barang-barang kecil di sebelahnya, sofa di sudut ruangan, lemari ukuran sedang, kulkas dan toilet.
“Mas, sudah ya. Sudah semakin siang loh. Mas harus minum obat juga kan?” bujuk Kaira untuk yang kesekian kalinya. Fariz benar-benar merajuk, mengabaikan Kaira, membuang muka. Ditanya jangankan menjawab, pria itu justru pura-pura tidur. Untung kesabaran Kaira setebal kasur di apartemen mereka, jika setipis tisu dibagi seribu mungkin Fariz sudah dia bekap dengan bantal karena terlampau kesalnya.“Gini deh, buat gantinya Mas boleh minta apapun sama Ara asal itu bukan yang buat Mas bahaya,” kata Kaira lagi.Fariz menoleh, menatap Kaira tajam. Yang ditatap seperti itu bukanya takut justru tersenyum simpul. Dia senang karena akhirnya bisa sedikit meluluhkan hati Fariz.“Apapun?” tanya Fariz memastikan, mulai tertarik.Kaira mengangguk mantap. “Apapun asal bukan yang menghalangi proses penyembuhan Mas.”“Janji apapun bakal kamu turuti?”“Iya Mas, apapun itu. Insya Allah Ara janji.” Jawab Kaira mantap, padahal dia belum tahu apa yang diinginkan suaminya. Masa bodo, jika belum terjadi juga bel
Empat tahun kemudian. Hubungan Fariz dan Kaira semakin harmonis serta mencengkram. Mereka sudah pindah kerumah yang Fariz buat, kurang lebih lima bulan yang lalu sebelum kelahiran putra kedua mereka. Teren Qoir Kamran putra pertama mereka dan Bima Lim Kamran untuk putra kedua mereka. Jika mengira hubungan mereka semulus dan seindah yang dibayangkan jawabanya tidak. Huru dan hara masih tetap menerpa keluarga kecil mereka, tapi setelah kejadian beberapa tahun silam Fariz tak lagi meragukan istrinya dia juga jadi tenang menghadapi apapun masalah rumah tangga mereka. Apapun itu mereka selesaikan bersama dan mereka pecahkan dengan kepala dingin. "Sayang, dimana dasi Mas?" teriak Fariz kencang-kencang dari arah walk in closet. Kaira tengah memandikan Teren anak sulung mereka yang umurnya sudah tiga tahun. "Sayang Bima pup." Teriak Fariz lagi. Baru beberapa menit pria itu berteriak menanyakan dasi kini sudah berteriak lagi. "Mas gantikan dulu lah!" jawab Kaira mengeraskan suaranya tapi
"Mas seneng?" tanya Kaira sembari memandang selembar Fariz yang sedang mengamati selembar kertas dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Pria itu senang sekaligus terharu. Seluruh beban di pundaknya tiba-tiba terlepas. Mereka duduk bersila di atas ranjang saling berhadapan.Fariz mengangguk, tapi enggan membalas tatapan Kaira."Masih kepikiran takut Ara tinggalin?" tanya Kaira, Fariz menganggukkan kepalanya lagi. Betapa bahagianya dia hari ini."Mas...." peringat Kaira dengan suara sedikit meninggi. Spontan Fariz menoleh, menatap Kaira.Wajah Kaira yang garang sembari menatapnya nyalang membuat Fariz mengedip-kedipkan kedua matanya tanpa sadar."Sebegitu susah dipercayanya kah Ara di mata Mas?"Fariz menggeleng, Kaira melebarkan kedua matanya. "Terus kenapa susah betul buat percaya sama Ara, apa di mata Mas Ara sebejat itu?" tanya Kaira lagi. Fariz dengan cepat menggeleng keras. Bukan itu maksudnya. Dia hanya takut, itu saja."La terus? Kenapa Mas selalu berpikir jelek tentang Ara?""Mas
Demam Fariz berlanjut hingga lima hari lamanya, bahkan bisa dikatakan semakin memburuk hingga Kaira harus memasan infus mandiri kepada Fariz. Demam Tifoid Fariz kambuh karena terlalu stres dan kelelahan. Tapi pria itu menolak dirawat di rumah sakit dengan berbagai macam alasan, yang katanya kasurnya sempit lah, makananya tidak enak lah, cat ruangan nya bikin silau mata lah, dan masih banyak lagi. Mau tidak mau Kaira mengalah dan mengizinkan Fariz dirawat di rumah saja dengan wanita itu sendiri yang turun tangan merawat suaminya.“Sayang, Ara janji kan tidak akan tinggalin Mas?” tanya Fariz hari ini sudah entah yang keberapa kalinya. Sampai Kaira muak mendengarnya.Kaira berdecak nyaring, bangkit dari posisi duduknya, berdiri di sisi ranjang menghadap suaminya sambil berkacak pinggang. Sedangkan Fariz sedang bersandar di kepala ranjang, tangan kanan nya terpasang alat infus. “Ara cuma mau ke rumah sakit lihat hasilnya Mas. Memang mas lihat ara bawa koper?” tanya Kaira kesal.Fariz meng
“Mas minta maaf dulu sebelumnya...” kata Fariz membuka cerita.Dia menarik napas dalam lalu membuangnya asal. Setelahnya pria itu menceritakan segalanya, tentang apa yang terjadi kemarin di kantor, hari ini dan beberapa tahun silam tanpa terkecuali. Dan Kaira juga menyimak tanpa menyela. Tidak ada ekspresi apapun yang wanita itu tunjukkan.Hati Fariz gelisah bukan main, tapi bebannya sedikit terangkat meskipun rasa takut semakin mendominasi dirinya.“Sebenarnya Mas yakin anak itu bukan Anak Mas. Tapi Mas tahu Ara tidak akan percaya tanpa bukti, Mama juga sudah minta bukti kalau memang dia bukan anak biologis Mas. Walaupun waktu itu mas terpengaruh sama obat dan setengah mabuk juga. Tapi mas masih cukup sadar sayang, wine yang dicampur obat itu Mas minum cuma satu tegukan." Fariz menjeda ucapanya sejenak, pikiranya mulai menerawang akan kejadian kelam beberapa tahun silam."Mas sebenarnya tahu kelakuan bejat wanita itu dari awal karena kecerobohan dia. Waktu itu mas mikirnya ya itu nor
Hasil tes DNA baru akan keluar satu sampai dua minggu lagi. Dan tidak bisa di nego, padahal Fariz sudah meminta percepatan waktu berapapun biayanya dia tidak masalah. Tapi sayangnya maju pun hanya bisa satu minggu saja. Dan Fariz tidak punya pilihan lain selain sabar menanti. “Bos, kita ke kantor?” tanya pak Manut. Melirik kaca spion depan mobil, melihat Fariz yang duduk di bangku penumpang belakang sambil memijat keningnya berulang dan mata terpejam rapat. Mobil Alphard hitam itu baru saja melaju kurang lebih lima menit.Fariz tak langsung menjawab, kepalanya pusing, banyak sekali yang memenuhi pikirannya. Niatnya dia jika hasil tes bisa keluar hari ini dia bisa menjelaskan segalanya pada Kaira istrinya, tapi malah justru baru keluar satu minggu lagi.“Bos ada masalah? Maaf nih ya bos kalau terkesan lancang. Tapi sebaiknya bos pulang saja istirahat dan cerita dengan Bos Ara, biasanya separuh beban bisa terangkat kalau cerita sama istri mah.” Saran pak Manut.Dia tidak bodoh, pak Man
Selepas kejadian itu tak ada yang berubah dalam rumah tangga Fariz dan Kaira. Semua nampak normal, Kaira nya juga seperti biasa, hangat, dan selalu perhatian.Siang itu juga Fariz meminta Tian untuk mencari tahu tentang Sindi. Semua tentang latar hidup Sindi tanpa terkecuali, termasuk anak wanita itu yaitu Mila.Tidak butuh waktu lama, besoknya Tian menyodorkan satu map berisi semua informasi Sindi, dari soal Sinda yang ternyata menikah empat tahun lalu dengan pria yang berbeda dengan yang menjadi alasan wanita itu meninggalkanya. Suaminya yang dipenjara karena melakukan kekerasan pada putrinya, dan dia yang bercerai dengan suaminya satu bulan lalu. Semua Fariz dapatkan termasuk alamat tempat tinggal dan tempat wanita itu bekerja.Tanpa membuang-buang waktu. Pagi itu juga jam 09.00, Fariz mendatangi alamat restoran jepang, tempat dimana wanita itu bekerja sebagai pelayan.“Fariz...” Sapa wanita itu dengan wajah berbinar.Berjalan tergopoh-gopoh mendekati Fariz dan berdiri di hadapan p
Kabar itu sama sekali tidak mengganggu pikiran Fariz. Pria itu tetap fokus bekerja, siang juga makan ditemani Kaira yang datang. Mereka juga bercanda ria layaknya pasangan yang sedang dimabuk asmara. Setelah kesepakatan mereka berdua satu minggu silam, Kaira memang setiap siang datang untuk mengantar makan siang Fariz.Fariz memang tidak memikirkan dan tidak mempermasalahkannya tapi sayang, kabar kejadian jam 10 pagi tadi sampai sudah di telinga Lina, dan tanpa membuang waktu lagi wanita tua itu langsung datang ke kantor Fariz dengan kobaran amarah tepat ketika Kaira sedang berada di dalam toilet. Bahkan tanpa Bian yang menemani."Maksudmu wanita itu apa Fariz? kamu menghamili anak orang?" tanya Lina, baru saja masuk ruang kerja Fariz dan menutup pintu cukup keras.Fariz yang duduk di sofa sambil membereskan sisa makanan dengan istrinya menoleh pada Lina yang berdiri berkacak pinggang di depan pintu. Napas wanita tua itu tersenggal-senggal."Mama..." ujar Fariz tercicit.Lina mengatur
Tidak pakai menunggu besok. Malamnya Fariz sudah menyulap ruangan yang diperuntukkan sebagai gudang menjadi ruang olahraga. Pria itu seperti orang kesetanan membeli berbagai macam alat GYM, sampai ingin membuat Kaira mengamuk sejadi-jadinya. Untung saja pria itu sedang berduka jadi Kaira masih bisa menahan dan hanya menatap Fariz nyalang.Kaira pikir ketika Fariz izin membeli alat GYM ya hanya satu saja, treadmill misal. Tapi pria itu ternyata membeli beraneka ragam. Kaira sendiri tidak tahu apa namanya dan berapa jumlahnya sangking banyaknya yang dibeli."Awas ya Mas, kalau ini nanti tidak dipakai semua?" ancam Kaira, kedua matanya sudah menyala-nyala. Ancaman itu sudah Kaira lontarkam entah untuk yang keberapa kalinya. Fariz acuh tak acuh, pria itu justru mengamati satu persatu barang barunya, mengabaikan istrinya. Tak mau semakin emosi Kaira balik kanan dan pergi, lebih baik dimasak daripada semakin emosi.30 menit Kaira bergelut dengan alat masak dan Fariz dengan alat GYM barunya
“Mas merasa aneh tidak sih?” tanya Kaira tiba-tiba saja di sela makan mereka. Fariz yang sedang menikmati kentalnya kuah udon seketika mengangkat kepalanya menatap Kaira yang tengah memperhatikannya.“Aneh soal?” tanya Fariz.Kaira meletakkan sendok dan sumpitnya kedalam mangkuk yang isinya masih setengah lebih. Menatap suaminya intens. “Kita nikah sudah lama kan Mas? Kok Ara belum hamil juga ya Mas?”Fariz terpaku, sendok berisi kuah udon yang akan dimasukkan kedalam mulut tiba-tiba terhenti, mematung di udara.“Aneh kan Mas? Maksud Ara kita pasangan muda, terus juga sudah lama menikah seharusnya kan Ara sudah hamil sekarang. Kita juga tidak menunda kan?”Sebelum menjawab Fariz lebih dulu meletakkan sendok itu kedalam mangkuk, pandanganya fokus pada Kaira yang duduk di hadapanya. “Mungkin Allah memang belum mau kasih sayang,” jawabnya. Berusaha terlihat santai, dia malah belum pernah berpikir ke arah sana.“Mas mau tidak kalau Ara periksa, takutnya Ara ada masalah.”“Masalah maksudny