Tengah malam, lebih tepatnya pukul dua dini hari. Fariz terbangun dari tidurnya, tenggorokanya kering. Pria itu menoleh melihat ke atas meja di sisi ranjang, hanya ada teko yang air yang isinya tinggal seperempat bagian tanpa ada gelas disana.Ketika menoleh ke sisi kiri tempat tidurnya, kosong. Tidak ada Kaira disana, istrinya belum juga kembali kedalam kamar. Tebakan Fariz mengatalan istrinya itu memilih tidur di kamar tamu untuk menghindari dirinya.Tanpa pikir panjang Fariz bangung, berjalan gontai dengan mata merem melek keluar dari dalam kamar. Suasana luar kamar hening dan gelap. Hanya ada sorot lampu dari sela pintu kamarnya yang terbuka separuhnya saja yang menyinari ruang keluarga. Sebelum Fariz melangkah, spontan kepalanya menoleh kekiri tempat kamar Tamu yang terlihat gelap gulita itu tertutup rapat.“Mas...butuh sesuatu?” suara yang sangat-sangat Fariz kenali membuat Fariz terperanjat. Pandangan pria itu menajam mengarah ke sumber suara.“Mas Ariz mau minum?” tanya Kaira
Yang dikhawatirkan pun terjadi. Saida Hospital digemparkan oleh kasus kepulangan pasien yang ternyata tidak layak untuk dipulangkan. Salah satu dari lima pasien korban keroyok masal itu meninggal ketika baru sampai di polda Semarang.Dokter dan semua nakes yang berjaga di IGD kala itu disidang oleh direktur rumah sakit disaksikan oleh pihak kepolisian. Hari itu Kaira dinas siang, mendengar desas-desus para pegawai membicarakan berita terpanas itu."Ada apa ramai sekali dok?" tanya Kaira pada dokter Andi. Ia baru saja sampai di ruang dokter dan melepas tas selempangnya."Pasien tahanan kemarin itu meninggal dok.""Yang dikeroyok masal itu?" tanya Kaira sedikit meninggikan suaranya.Dokter Andi berdehem. "Tumben sekali kau datang awal-awal dok. Kesambet setan apa?" tanya Dokter Andi meledek. Memang jam shift nya baru akan dimulai satu jam lagi dan Kaira sudah datang. Teladan sekali bukan?"Tidak ada apa-apa hanya ingin jadi anak rajin sehari. Lalu bagaimana dok, jadi nasib yang berjaga
Fariz pulang cepat hari ini, dia pulang selepas magrib. Semangatnya membara ingin membuktikan ucapan Pak Manut soal kopi buatan istri yang katanya pasti sedap. Langkahnya besar-besar melewati lorong apartemen yang sepi, menekan sandi pintu apartemen dan masuk kedalam rumah.Gelap, sepi, sunyi. Itu yang ia dapati ketika berhasil membuka pintu dan masuk.Fariz toleh kanan kiri, mengamati sekitar. "Kemana gadis itu? Kalau tidur tidak mungkin, ini masih sore?" tanya Fariz dalam hati, berjalan menuju dapur membuka kulkas dan menegak air mineral dingin.Otaknya berputar hebat, mempertanyakan keberadaan istrinya. Sekelebat dia mengingat keadaan Kaira yang demam tadi malam, tanpa buang waktu Fariz buru-buru meletakkan tas dan juga botol minum diatas meja makan. Dengan langkah seribu dia menuju kamar, membuka kasar pintu kamar dan menajamkan kedua matanya. Menekan saklar lampu yang ada di dekat pintu, dan kosong.Tidak ada Kaira atau tanda-tanda kehidupan di sana. Seketika napas Fariz yang pat
Fariz Pulang, Kaira masih bekerja. Kaira pulang Fariz sudah berangkat lagi. Malam ini Fariz kembali lembur di kantor. Pria itu juga membawa dua stel baju kerja untuk digunakan besok paginya dan satu lagi untuk berjaga-jaga.Fariz sudah terlanjur kecewa karena tidak mendapati istrinya di rumah ketika ia pulang. Dan Kaira juga lebih kecewa lagi, setelah perselisihan mereka kemarin pulang kerja capek-capek justru menemukan setelan batu kerja Fariz di keranjang baju kotor, dan pria itu tidak ditemukan dimanapun. Menandakan jika Fariz memang sudah pulang lalu pergi lagi.Dengan berjalan gontai, Kaira masuk kamar mandi. Melakukan ritual bersih-bersih mengganti baju dengan piyama tidur panjang bermotif bunga. Lalu mengenakan kerudung instan baru akhirnya naik ke atas kasur. Kaira memang belum berani melepas kerudungnya meskipun didalam rumah entah ada Fariz atau dirinya sedang sendiri seperti ini.Pernikahan mereka baru seumur anak ayam yang baru menetas, belum lagi Fariz juga menunjukkan k
Sabtu malam minggu, hari kedua Kaira berjaga malam. IGD Saida Hospital direpotkan dengan empat pasien sekaligus dengan kasus yang serupa. Kejang, mengamuk, pergerakan tidak terkontrol dan sejenisnya.Termasuk Kaira dibantu Karu Sinyo kebagian menangani pasien dengan kasus sindrom ekstrapiramidal atau gerakan tak menentu dan berulang yang disebabkan oleh efek samping dari obat psikotropika. Pasien itu berjenis kelamin wanita, usianya 45 tahun, dua minggu lalu baru saja diizinkan untuk pulang dari rumah sakit setelah lima kali melakukan perawatan di Saida Hospital.“Sabar sebentar ya bu, disuntik dulu sebentar.” Ujar Kaira menenangkan, sambi mengarahkan jarum suntik ke lengan wanita itu. Pergerakanya tak menentu, Karu Sinyo dan suaminya yang berusaha menahannya harus terkena lelehan air liur pasien itu yang keluar dengan sendirinya ini salah satu gejalanya juga.“Nah sudah, ini sudah berapa hari seperti ini pak?” tanya Kaira pada suami pasien, badanya kurus, tingginya hanya setinggi Kai
Wanita mana yang tiba-tiba mendapatkan telpon di tengah malam dari nomor asing mengabarkan kalau suaminya sedang sakit dan membutuhkan pertolongan. Dan parahnya lagi setelah dipastikan itu memang bernar tidak ada unsur penipuan disana.Tulang-tulang Kaira lemas seketika, wajahnya pucat, otaknya linglung, dia berdiri setengah membungkuk di depan meja perawat.“Dok, ada sesuatu yang terjadi?” tanya suster Tere, menyenggol lengan kanan Kaira.“Sus bisa minta tolong siapkan brankar satu dan di bawah kedepan?” ujar Kaira dengan suara bergetar. Seumur hidupnya Kaira belum pernah sepanik dan setakut ini sebelum nya. Albi dan Silfi belum pernah sakit parah sebelumnya, mungkin hanya demam rinangan, flu, batuk, atau diare.“Ada apa dok, ada yang sakit?”Kaira mengangguk cepat. “Tolong sus siapkan brangkarnya. Ada pasien yang sedang dalam perjalanan kemari.” Titah Kaira.“Di depan sudah ada brankar yang stand by dok. Siapa yang sakit, keluarga dokter?” Tanya suster Tere sambil menopang tubuh Kai
Nyatanya, Kaira tidak tertidur sepanjang malam hanya untuk menjaga Fariz. Mengecek suhu tubuh pria itu setiap 20 memit sekali. Fariz yang terkena efek samping dari obat yang disuntikkan ke dalam tubuhnya tidak mampu bertahan sampai lebih dari lima belas menit selepas mengatakan kata terimakasih tadi. Dia sudah tumbang alias tidur pulas sampai lupa daratan. Pengambilan darah yang semalam pikah analis lakukan saja tidak Fariz rasakan karena sangking pulasnya.Pria itu positif terserah penyakit Typhoid Fever atau demam tifoid dari hasil pemeriksaan dan juga tes darah yang sudah dilakukan.“Dok, ruang rawat suami dokter sudah di siapkan sama pihak bangsal.” Kata suster Tere. Suaranya pelan sekali agar tidak membangunkan Fariz. Sesekali wanita itu melirik tangan Kaira dan Fariz yang masih terpaut. Tangan itu tidak terlepas selama semalaman penuh.Kaira melakukan apapun dengan tangan kirinya, untung hanya lima jam dari sekarang, itu saja dia sudah pegal bukan main. Dia yang sedang kedatanga
Fariz sudah dipindahkan di ruang rawat VVIP Saida Hospital jam 10 pagi tadi. Pria itu baru bangun jam sembilan lewat, harus sarapan dulu baru dipindahkan ke ruang rawat.Jika di benak semua orang ketika mendengar kata rumah sakit jiwa itu ruang rawat yang ada adalah ruang terbuka yang dilengkapi dengan sel, bed tanpa selimut dan seprai, ruang konseling dan ruang makan yang luas dan digunakan untuk pasien yang berada di bangsal yang sama maka itu salah besar. Ruang semacam itu memang ada, tapi bukan ruang yang Fariz tempati melainkan ruang di bangsal lain.Saida Hospital memang bukan hanya menangani pasien jiwa saja, tapi juga pasien umum meskipun memang dengan penyakit-penyakit tertentu atau rujukan dari rumah sakit yang kelasnya lebih kecil. Bangsal umumnya sama seperti di rumah sakit lainya, contohnya ruang VVIP yang Fariz tempati saat ini. Ada bed pasien, lemari kecil untuk meletakkan barang-barang kecil di sebelahnya, sofa di sudut ruangan, lemari ukuran sedang, kulkas dan toilet.