Nyatanya, Kaira tidak tertidur sepanjang malam hanya untuk menjaga Fariz. Mengecek suhu tubuh pria itu setiap 20 memit sekali. Fariz yang terkena efek samping dari obat yang disuntikkan ke dalam tubuhnya tidak mampu bertahan sampai lebih dari lima belas menit selepas mengatakan kata terimakasih tadi. Dia sudah tumbang alias tidur pulas sampai lupa daratan. Pengambilan darah yang semalam pikah analis lakukan saja tidak Fariz rasakan karena sangking pulasnya.Pria itu positif terserah penyakit Typhoid Fever atau demam tifoid dari hasil pemeriksaan dan juga tes darah yang sudah dilakukan.“Dok, ruang rawat suami dokter sudah di siapkan sama pihak bangsal.” Kata suster Tere. Suaranya pelan sekali agar tidak membangunkan Fariz. Sesekali wanita itu melirik tangan Kaira dan Fariz yang masih terpaut. Tangan itu tidak terlepas selama semalaman penuh.Kaira melakukan apapun dengan tangan kirinya, untung hanya lima jam dari sekarang, itu saja dia sudah pegal bukan main. Dia yang sedang kedatanga
Fariz sudah dipindahkan di ruang rawat VVIP Saida Hospital jam 10 pagi tadi. Pria itu baru bangun jam sembilan lewat, harus sarapan dulu baru dipindahkan ke ruang rawat.Jika di benak semua orang ketika mendengar kata rumah sakit jiwa itu ruang rawat yang ada adalah ruang terbuka yang dilengkapi dengan sel, bed tanpa selimut dan seprai, ruang konseling dan ruang makan yang luas dan digunakan untuk pasien yang berada di bangsal yang sama maka itu salah besar. Ruang semacam itu memang ada, tapi bukan ruang yang Fariz tempati melainkan ruang di bangsal lain.Saida Hospital memang bukan hanya menangani pasien jiwa saja, tapi juga pasien umum meskipun memang dengan penyakit-penyakit tertentu atau rujukan dari rumah sakit yang kelasnya lebih kecil. Bangsal umumnya sama seperti di rumah sakit lainya, contohnya ruang VVIP yang Fariz tempati saat ini. Ada bed pasien, lemari kecil untuk meletakkan barang-barang kecil di sebelahnya, sofa di sudut ruangan, lemari ukuran sedang, kulkas dan toilet.
“Mas, sudah ya. Sudah semakin siang loh. Mas harus minum obat juga kan?” bujuk Kaira untuk yang kesekian kalinya. Fariz benar-benar merajuk, mengabaikan Kaira, membuang muka. Ditanya jangankan menjawab, pria itu justru pura-pura tidur. Untung kesabaran Kaira setebal kasur di apartemen mereka, jika setipis tisu dibagi seribu mungkin Fariz sudah dia bekap dengan bantal karena terlampau kesalnya.“Gini deh, buat gantinya Mas boleh minta apapun sama Ara asal itu bukan yang buat Mas bahaya,” kata Kaira lagi.Fariz menoleh, menatap Kaira tajam. Yang ditatap seperti itu bukanya takut justru tersenyum simpul. Dia senang karena akhirnya bisa sedikit meluluhkan hati Fariz.“Apapun?” tanya Fariz memastikan, mulai tertarik.Kaira mengangguk mantap. “Apapun asal bukan yang menghalangi proses penyembuhan Mas.”“Janji apapun bakal kamu turuti?”“Iya Mas, apapun itu. Insya Allah Ara janji.” Jawab Kaira mantap, padahal dia belum tahu apa yang diinginkan suaminya. Masa bodo, jika belum terjadi juga bel
Kaira menjadi bahan gosip di Saida Hospital selama satu minggu full. Selayaknya tidak ada berita lain yang lebih menarik untuk dibahas selain Kaira dan suaminya. Lebih-lebih Fariz yang harus dirawat selama enam hari di rumah sakit tempat Kaira bekerja. Setelah masa cutinya habis gadis itu juga sudah kembali bekerja, dan menukar semua jadwal shift nya menjadi pagi. Pagi dia bekerja, pulangnya menjaga Fariz. Jam istirahat pun ia habiskan untuk menyuapi Fariz makan dan dirinya sendiri.Kamar yang diperuntukkan untuknya di ruang rawat Fariz nyatanya tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Selama enam hari itu dia selalu tidur di tempat yang sama dengan pria itu. Tentu saja atas permintaan anak anjing Kaira yaitu Fariz. Sampai-sampai menjadi bahan gosip terpanas, karena perawat yang sering memergoki mereka yang sedang tertidur saling berpelukan diatas tempat tidur Fariz.Tapi sesampainya di rumah ternyata semua kemanisan-kemanisan itu tertinggal di Saida Hospital. Fariz sudah kembali menjadi
“Bos akhir-akhir ini saya lihat sering melamun. Rindu dengan istri?” Siapa lagi yang bertanya seperti itu jika bukan Pak Manut. Hanya pria botak itu yang tahu Fariz sudah menikah.Fariz terperanjat, mengangkat kepalanya dan menatap pak Manut. Rupanya karena melamun Fariz sampai tidak sadar Pak Manut datang dan mengantarkan kopi. Sekarang sudah pukul 10 malam.“Kalau rindu istri mah pulang to Bos. Bukanya malah melamun di kantor begini.”“Pak Manut punya istri?” tanya Fariz.“Ya jelas to Bos, saya punya istri punya anak. Kalau tidak punya istri mana tahu kopi buatan istri itu yang paling enak, tidak ada duanya.” Jawab Pak Manut. “Bagaimana Bos sudah merasakan kopi buat istri belum?” tanya pria botak itu setelahnya.Fariz menggeleng lamat-lamat.Pak Manut berdecak kuat lalu berdesis, kepalanya sampai ikut bergerak kekanan. “Rugi Bos, rugi. Bos kebanyakan dikantor sih.”“Memang salah ya Pak, kalau suka bekerja?” tanya Fariz.“Yo tidak no Bos. Tidak ada yang salah, tapi kalau terlalu gila
Kaira menegang mendapat serangan mendadak seperti itu, tubuhnya kaku. Tangisnya tiba-tiba saja terhenti. Dia masih memproses semuanya dalam diam, sedangkan Fariz sudah menagis sejadi-jadinya di pundak belakang Kaira. Sebut saja Fariz cengeng. Tapi dia tak perduli jika wanita di depanya itu berpikir demikian, hatinya ngilu karena rasa bersalah yang begitu besar hingga menggeroti sampai ke tulang-tulang. “Mas, ada apa?” tanya Kaira pada akhirnya, memecah saling bungkam yang terjadi selama 15 menit ini. Suara gadis itu serak karena menangis tadi. Bukanya menjawab Fariz justru mengeratkan pelukanya, menelusupkan wajahnya di lehet Kaira yang terbalut mukena. “Mas Ariz ngerasa sakit lagi? Apa yang sakit Mas? Ayo Ara perika!” “Hatinya yang sakit.” Jawab Fariz asal, sedikit merengek.“Hati? Hati Mas Ariz sakit? Nyeri? Kalau gitu, ayo kita ke rumah sakit, kita ke dokter penyakit dalam!” Lain di otak Fariz lain juga di otak Kaira. Yang Fariz maksud sakit hati dalam bahasa kiasan, Kaira pik
Paginya keinginan Fariz akhirnya terealisasikan. Membuktikan ucapan Pak Manut soal nikmatnya kopi buatan istri."Ternyata benar ya tidak ada duanya." Celetuk Fariz tiba-tiba, sambil menghirup aroma kopi yang masih mengepul. Dia baru saja mencicipinya.Kaira menyipikan kedua matanya. "Apanya yang tidak ada duanya Mas?" tanyanya.Wanita itu berdiri di sisi Fariz yang duduk di salah satu kursi di depan meja makan. Ingin melihat reaksi Fariz setelah meminum kopi buatannya. Dia belum pernah membuat kopi sebelumnya, takut-takut tidak enak atau terlalu pahit. Mau mencicipi dulu juga tidak bisa, karena Kaira tidak bisa minum kopi walau hanya sedikit. Makan permen rasa kopi saja perutnya langsung bereaksi, walaupun mungkin itu sugesti juga."Kopi buatan istri," jawab Fariz."Sudah ah, Ara mau buat sup iga dulu. Mas sudah lapar kan pasti?""Banget, lapat banget-banget." Jawab Fariz jujur. Dia belum makan dari kemarin sore karena meladeni semua pikiran negatifnya tentang istrinya."Sudah tahu la
“Pasien kasus apa sus?” Tanya Kaira sambil berlari. Suster Tere memanggilnya di ruang dokter meminta Kaira untuk datang ke IGD.“Pasien anak-anak dok. Korban kekerasan seksual. Tidak mau disentuh dan didekati sama dokter Boy.” Jawab suster Tere menyamai langkah Kaira.“Astagfirullah, umur berapa sus?”“Delapan tahun.” Jawab suster Tere dan mereka sampai di depan pintu IGD. Tanpa membuang waktu Kaira langsung masuk menghampiri pasien itu. Betapa terkejutnya Kaira melihat bocah kurus kecil, meringkuk di pelukan ibunya yang sedang menangis.“Hei sayang, tidak apa-apa sama dokter ya.” Ujar Kaira lembut ketika dia sampai di samping bed anak itu.Anak malang itu semakin masuk dalam pelukan ibunya. Wajahnya dibenamkan di dada ibunya.“Namanya siapa sayang? Boleh tidak kalau dokter lihat wajahnya?” tanya Kaira lagi, masih berusaha membujuk. Kaira takut ada luka serius di wajah anak malang itu.Anak itu menggeleng. Sang ibu mengusap rambut putrinya lembut. Kaira tahu betapa hancurnya hati wani