Fariz akan menyampaikan permintaanya tentang ucapan Pak Manut setelah satu minggu setelahnya. Jadwal mereka selalu bertabrakan. Hari pertama itu Kaira shift siang, pulang malam sudah lelah. Gadis itu juga lesu bukan main karena kejadian soal Mila.Dua hari setelahnya Kaira juga masih shift siang, Fariz tidak tega karena istrinya terlihat lelah setiap pulang kerja. Lalu tiga hari setelahnya Kaira shift malam, justru tidak bertemu sama sekali. Kaira berangkat jam tujuh malam, dan Fariz tiga hari itu jadwalnya full ada pertemuan bisnis yang menjadikan pria itu pulang lebih lambat. Lalu ketika Kaira pulang Fariz sudah berangkat kekantor. Kemarin Kaira libur, tapi justru di sabotase oleh Lina hingga gadis itu menginap.Pagi tadi tekat Fariz sudah bulat, jika dia pulang istrinya belum pulang juga kerumah, dia sendiri yang akan menjemput Kaira di rumah orang tuanya.Dan ternyata benar, Fariz pulang Kaira tidak ada di rumah.“Ma... dimana istri Ariz Mama umpetin.” Seru Fariz padahal baru saja
Selepas bangun tidur keadaan Kaira mulai membaik, demamnya sudah berkurang. Dia juga sudah bisa ikut makan malam bersama di meja makan dengan Bian dan Lina.Awalnya Fariz menolak mentah-mentah usulan makan di meja makan, pria itu sampai memberi pilihan turun digendong atau tidak turun sama sekali. Kaira yang merasa sudah jauh lebih baik juga menolak keras. Hingga terjadi adu cekcok untuk pertama kalinya dalam sejarah rumah tangga mereka yang baru menginjak hampir dua bulan.Tiga puluh menit sebelum menuju meja makan."Makan di kamar saja Ara, Mama Papa pasti maklum kok. Kan kamu lagi sakit," kata Fariz."Ara sudah enakan Mas, demamnya juga sudah turun." Bantah Kaira.Fariz tak ingin kalah, menempelkan punggung tangannya di leher istrinya. "Ini masih hangat. Tidak, pokoknya tidak usah turun," katanya tidak ingin dibantah.Kaira ikut memegang keningnya sendiri. Tubuhnya sudah jauh merasa enakan sekarang. Mungkin berkat pelukan hangat suaminya. "Ara tidak enak sama Papa Mama Mas, lagian
Sesampainya mereka di dalam kamar dan Fariz langsung mengunci pintu rapat-rapat. Menubruk tubuh Kaira yang berdiri di sisi ranjang dan membelakangi Fariz, hingga si empunya terhuyung bahkan nyaris jatuh andai pria itu tidak menahannya dengan pelukan."Maafin Mas sayang," ujar Fariz lirih. Kaira tahu apa yang dimaksud suaminya. Pasti bukan kesalahan pria itu yang menubruknya melainkan masalah yang dibahas di meja makan tadi."Tidak apa-apa Mas, kan kita juga baru menikah wajar kalau ada yang salah. Namanya juga belajar."Fariz melepaskan pelukannya, membawa Kaira naik ke atas kasur dan duduk disana saling berhadapan. Pria itu juga melepaskan kerudung Kaira dan membuangnya asal, lalu menggenggam kedua tangan mungil Kaira."Mas mau cerita apa yang sebenarnya terjadi semuanya sama Ara." Ujar Fariz, Kaira hanya bungkam, memperhatikan Fariz secara seksama."Jadi sebenarnya Mas pulang malam itu karena hal ini. Mas baru tahu tentang itu dari satpam di kantor Mas yang waktu itu antar Mas ke ru
"Dokter Ara yakin mau keluar kerja?" tanya dokter Kian. Suaranya patah-patah karena napasnya yang tersengal-sengal. Dia tadi baru saja dapat kabar dari ners Tomi jika Kaira mengajukan resign dan saat ini sedang membereskan barang-barangnya. Terbirit-birit dia berlari ke ruang dokter sampai membiarkan pasiennya menunggu. Tidak profesional sekali, yah namanya juga cinta.Kaira menoleh ke sumber suara, aktivitasnya memasukkan buku-buku kedalam tas mini dihentikan."Kenapa dokter Ara resign? Ada masalah?" cecar dokter Kian lagi.Kaira menarik sudut bibirnya simpul membalas tatapan dokter Kian. "Tidak ada masalah dok. Cuma ingin fokus urus suami saja di rumah," ujar Kaira sekenanya.Tangan dokter Kian yang semula memegang gagang pintu langsung lunglai."Ada apa dokter kesini? Sedang tidak ada pasien?" tanya Kaira."Ah itu-" dokter Kian menoleh ke belakang sambil mengulurkan telunjuknya menunjuk arah ruangan nya. "Itu tadi ners Tomi bilang katanya dokter Ara resign."Kaira terkekeh lalu men
Kaira baru tahu jika ruang petinggi perusahaan itu benar-benar seperti yang ditampilkan di film-film. Besar dan mewah. Ruangan luas, dengan arsitektur yang elegan dan nuansanya putih dan abu-abu. Sangat kental dengan seorang Fariz. Ada foto dirinya juga yang terpajang di atas meja kerja Fariz.Foto yang entah kapan pria itu ambil, yang jelas ketika Kaira sedang memasak dan diambil dari arah samping.“Mas kok punya foto Ara? Kapan ambilnya?” tanya Kaira sambil mengangkat pigura foto berukuran 10R.Fariz yang sedang mengeluarkan bekal yang Kaira bawa menoleh sebentar. “Oh, itu foto Mama yang ambil,” katanya.“Ini foto pertama kali Ara belajar masak sayur pare sama Mama kan?” tanya Kaira, seperti tidak asing dengan foto itu.Fariz mengangguk.“Mas simpen foto beginian? Mana segala dicetak. Memalukan,” ujar Kaira sambil menatap ngeri figura foto.“Mas punya banyak foto Ara, tapi semua lepas kerudung jadi cuma itu yang bisa di cetak.”“Kapan Mas ambilnya?” Dia meletakkan kembali pigura fot
Lima bulan berlalu, hubungan Fariz dan Kaira semakin mesra dan mencengkram. “Sayang, dimana baju ganti Mas?” tanya Fariz berteriak, sambil mengobrak abrik isi lemari.“Sudah Ara gantung di kamar mandi Mas.” Jawab Kaira tak kalah berteriak. Kaira sedang beberes rumah di ruang keluarga, membawa kemoceng, lap kecil dan juga cairan pembersih. “Benarkah? Kenapa aku tidak melihatnya.” Gumam Fariz lalu memasukkan seluruh baju yang sudah tumbang ke dalam lemari. Setelahnya pria lari terbirit-birit kembali masuk ke kamar mandi, dia hanya mengenakan handuk saja untuk menutupi tubuh bagian bawahnya saja.Setelahnya semuanya lenggang, tapi baru lima menit berlalu Kaira sudah berteriak lagi. Kini wanita itu sudah berdiri berkacak pinggang di depan lemari pakaian.“Mas, kenapa ini diberantakin? Mas cari apa?” teriak Kaira nyaring, dia baru saja membuka lemari untuk mengambil baju ganti untuk dirinya. Tapi baru saja berhasil membuka pintu lemari sudah dikejutkan dengan baju yang berserakan, ada ya
Kaira memandang Fariz dan wanita itu secara bergantian. Sedangkan Fariz, pria itu sudah bergeser satu langkah berdiri di sisi Kaira sambil memandang si wanita tanpa berkedip, wajahnya pias.“Fariz, kamu sama dokter Kaira—” ujar wanita itu tidak menyelesaikan ucapanya. Menunjuk Kaira dan Fariz bergantian.“Kamu apa kabar, kita terakhir ketemu sekitar sembilan tahun yang lalu kan?” sambung wanita itu karena tak mendapat respon apapun baik dari Fariz ataupun Kaira.Fariz masih terpatri pada sosok di hadapannya. Wanita itu tersenyum lembut, rambutnya yang hitam panjang bergelombang menuntupi sebagian wajah ayunya. Sedangkan Fariz membisu pucat. “Hei, kamu baik-baik saja?” ujar wanita itu lagi.Fariz terperanjat. Lalu melingkarkan tangan kanan nya di pinggang Kaira, setelah itu mengangguk pelan tanpa ragu. “Kamu apa kabar Sindi? Ini putrimu?” balas Fariz menatap Mila.Sindi memandang Mila yang tengah menatap tiga orang dewasa dengan wajah bingungnya. Kemudian dia mengangguk sekali sembari
“Mas merasa aneh tidak sih?” tanya Kaira tiba-tiba saja di sela makan mereka. Fariz yang sedang menikmati kentalnya kuah udon seketika mengangkat kepalanya menatap Kaira yang tengah memperhatikannya.“Aneh soal?” tanya Fariz.Kaira meletakkan sendok dan sumpitnya kedalam mangkuk yang isinya masih setengah lebih. Menatap suaminya intens. “Kita nikah sudah lama kan Mas? Kok Ara belum hamil juga ya Mas?”Fariz terpaku, sendok berisi kuah udon yang akan dimasukkan kedalam mulut tiba-tiba terhenti, mematung di udara.“Aneh kan Mas? Maksud Ara kita pasangan muda, terus juga sudah lama menikah seharusnya kan Ara sudah hamil sekarang. Kita juga tidak menunda kan?”Sebelum menjawab Fariz lebih dulu meletakkan sendok itu kedalam mangkuk, pandanganya fokus pada Kaira yang duduk di hadapanya. “Mungkin Allah memang belum mau kasih sayang,” jawabnya. Berusaha terlihat santai, dia malah belum pernah berpikir ke arah sana.“Mas mau tidak kalau Ara periksa, takutnya Ara ada masalah.”“Masalah maksudny
Empat tahun kemudian. Hubungan Fariz dan Kaira semakin harmonis serta mencengkram. Mereka sudah pindah kerumah yang Fariz buat, kurang lebih lima bulan yang lalu sebelum kelahiran putra kedua mereka. Teren Qoir Kamran putra pertama mereka dan Bima Lim Kamran untuk putra kedua mereka. Jika mengira hubungan mereka semulus dan seindah yang dibayangkan jawabanya tidak. Huru dan hara masih tetap menerpa keluarga kecil mereka, tapi setelah kejadian beberapa tahun silam Fariz tak lagi meragukan istrinya dia juga jadi tenang menghadapi apapun masalah rumah tangga mereka. Apapun itu mereka selesaikan bersama dan mereka pecahkan dengan kepala dingin. "Sayang, dimana dasi Mas?" teriak Fariz kencang-kencang dari arah walk in closet. Kaira tengah memandikan Teren anak sulung mereka yang umurnya sudah tiga tahun. "Sayang Bima pup." Teriak Fariz lagi. Baru beberapa menit pria itu berteriak menanyakan dasi kini sudah berteriak lagi. "Mas gantikan dulu lah!" jawab Kaira mengeraskan suaranya tapi
"Mas seneng?" tanya Kaira sembari memandang selembar Fariz yang sedang mengamati selembar kertas dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Pria itu senang sekaligus terharu. Seluruh beban di pundaknya tiba-tiba terlepas. Mereka duduk bersila di atas ranjang saling berhadapan.Fariz mengangguk, tapi enggan membalas tatapan Kaira."Masih kepikiran takut Ara tinggalin?" tanya Kaira, Fariz menganggukkan kepalanya lagi. Betapa bahagianya dia hari ini."Mas...." peringat Kaira dengan suara sedikit meninggi. Spontan Fariz menoleh, menatap Kaira.Wajah Kaira yang garang sembari menatapnya nyalang membuat Fariz mengedip-kedipkan kedua matanya tanpa sadar."Sebegitu susah dipercayanya kah Ara di mata Mas?"Fariz menggeleng, Kaira melebarkan kedua matanya. "Terus kenapa susah betul buat percaya sama Ara, apa di mata Mas Ara sebejat itu?" tanya Kaira lagi. Fariz dengan cepat menggeleng keras. Bukan itu maksudnya. Dia hanya takut, itu saja."La terus? Kenapa Mas selalu berpikir jelek tentang Ara?""Mas
Demam Fariz berlanjut hingga lima hari lamanya, bahkan bisa dikatakan semakin memburuk hingga Kaira harus memasan infus mandiri kepada Fariz. Demam Tifoid Fariz kambuh karena terlalu stres dan kelelahan. Tapi pria itu menolak dirawat di rumah sakit dengan berbagai macam alasan, yang katanya kasurnya sempit lah, makananya tidak enak lah, cat ruangan nya bikin silau mata lah, dan masih banyak lagi. Mau tidak mau Kaira mengalah dan mengizinkan Fariz dirawat di rumah saja dengan wanita itu sendiri yang turun tangan merawat suaminya.“Sayang, Ara janji kan tidak akan tinggalin Mas?” tanya Fariz hari ini sudah entah yang keberapa kalinya. Sampai Kaira muak mendengarnya.Kaira berdecak nyaring, bangkit dari posisi duduknya, berdiri di sisi ranjang menghadap suaminya sambil berkacak pinggang. Sedangkan Fariz sedang bersandar di kepala ranjang, tangan kanan nya terpasang alat infus. “Ara cuma mau ke rumah sakit lihat hasilnya Mas. Memang mas lihat ara bawa koper?” tanya Kaira kesal.Fariz meng
“Mas minta maaf dulu sebelumnya...” kata Fariz membuka cerita.Dia menarik napas dalam lalu membuangnya asal. Setelahnya pria itu menceritakan segalanya, tentang apa yang terjadi kemarin di kantor, hari ini dan beberapa tahun silam tanpa terkecuali. Dan Kaira juga menyimak tanpa menyela. Tidak ada ekspresi apapun yang wanita itu tunjukkan.Hati Fariz gelisah bukan main, tapi bebannya sedikit terangkat meskipun rasa takut semakin mendominasi dirinya.“Sebenarnya Mas yakin anak itu bukan Anak Mas. Tapi Mas tahu Ara tidak akan percaya tanpa bukti, Mama juga sudah minta bukti kalau memang dia bukan anak biologis Mas. Walaupun waktu itu mas terpengaruh sama obat dan setengah mabuk juga. Tapi mas masih cukup sadar sayang, wine yang dicampur obat itu Mas minum cuma satu tegukan." Fariz menjeda ucapanya sejenak, pikiranya mulai menerawang akan kejadian kelam beberapa tahun silam."Mas sebenarnya tahu kelakuan bejat wanita itu dari awal karena kecerobohan dia. Waktu itu mas mikirnya ya itu nor
Hasil tes DNA baru akan keluar satu sampai dua minggu lagi. Dan tidak bisa di nego, padahal Fariz sudah meminta percepatan waktu berapapun biayanya dia tidak masalah. Tapi sayangnya maju pun hanya bisa satu minggu saja. Dan Fariz tidak punya pilihan lain selain sabar menanti. “Bos, kita ke kantor?” tanya pak Manut. Melirik kaca spion depan mobil, melihat Fariz yang duduk di bangku penumpang belakang sambil memijat keningnya berulang dan mata terpejam rapat. Mobil Alphard hitam itu baru saja melaju kurang lebih lima menit.Fariz tak langsung menjawab, kepalanya pusing, banyak sekali yang memenuhi pikirannya. Niatnya dia jika hasil tes bisa keluar hari ini dia bisa menjelaskan segalanya pada Kaira istrinya, tapi malah justru baru keluar satu minggu lagi.“Bos ada masalah? Maaf nih ya bos kalau terkesan lancang. Tapi sebaiknya bos pulang saja istirahat dan cerita dengan Bos Ara, biasanya separuh beban bisa terangkat kalau cerita sama istri mah.” Saran pak Manut.Dia tidak bodoh, pak Man
Selepas kejadian itu tak ada yang berubah dalam rumah tangga Fariz dan Kaira. Semua nampak normal, Kaira nya juga seperti biasa, hangat, dan selalu perhatian.Siang itu juga Fariz meminta Tian untuk mencari tahu tentang Sindi. Semua tentang latar hidup Sindi tanpa terkecuali, termasuk anak wanita itu yaitu Mila.Tidak butuh waktu lama, besoknya Tian menyodorkan satu map berisi semua informasi Sindi, dari soal Sinda yang ternyata menikah empat tahun lalu dengan pria yang berbeda dengan yang menjadi alasan wanita itu meninggalkanya. Suaminya yang dipenjara karena melakukan kekerasan pada putrinya, dan dia yang bercerai dengan suaminya satu bulan lalu. Semua Fariz dapatkan termasuk alamat tempat tinggal dan tempat wanita itu bekerja.Tanpa membuang-buang waktu. Pagi itu juga jam 09.00, Fariz mendatangi alamat restoran jepang, tempat dimana wanita itu bekerja sebagai pelayan.“Fariz...” Sapa wanita itu dengan wajah berbinar.Berjalan tergopoh-gopoh mendekati Fariz dan berdiri di hadapan p
Kabar itu sama sekali tidak mengganggu pikiran Fariz. Pria itu tetap fokus bekerja, siang juga makan ditemani Kaira yang datang. Mereka juga bercanda ria layaknya pasangan yang sedang dimabuk asmara. Setelah kesepakatan mereka berdua satu minggu silam, Kaira memang setiap siang datang untuk mengantar makan siang Fariz.Fariz memang tidak memikirkan dan tidak mempermasalahkannya tapi sayang, kabar kejadian jam 10 pagi tadi sampai sudah di telinga Lina, dan tanpa membuang waktu lagi wanita tua itu langsung datang ke kantor Fariz dengan kobaran amarah tepat ketika Kaira sedang berada di dalam toilet. Bahkan tanpa Bian yang menemani."Maksudmu wanita itu apa Fariz? kamu menghamili anak orang?" tanya Lina, baru saja masuk ruang kerja Fariz dan menutup pintu cukup keras.Fariz yang duduk di sofa sambil membereskan sisa makanan dengan istrinya menoleh pada Lina yang berdiri berkacak pinggang di depan pintu. Napas wanita tua itu tersenggal-senggal."Mama..." ujar Fariz tercicit.Lina mengatur
Tidak pakai menunggu besok. Malamnya Fariz sudah menyulap ruangan yang diperuntukkan sebagai gudang menjadi ruang olahraga. Pria itu seperti orang kesetanan membeli berbagai macam alat GYM, sampai ingin membuat Kaira mengamuk sejadi-jadinya. Untung saja pria itu sedang berduka jadi Kaira masih bisa menahan dan hanya menatap Fariz nyalang.Kaira pikir ketika Fariz izin membeli alat GYM ya hanya satu saja, treadmill misal. Tapi pria itu ternyata membeli beraneka ragam. Kaira sendiri tidak tahu apa namanya dan berapa jumlahnya sangking banyaknya yang dibeli."Awas ya Mas, kalau ini nanti tidak dipakai semua?" ancam Kaira, kedua matanya sudah menyala-nyala. Ancaman itu sudah Kaira lontarkam entah untuk yang keberapa kalinya. Fariz acuh tak acuh, pria itu justru mengamati satu persatu barang barunya, mengabaikan istrinya. Tak mau semakin emosi Kaira balik kanan dan pergi, lebih baik dimasak daripada semakin emosi.30 menit Kaira bergelut dengan alat masak dan Fariz dengan alat GYM barunya
“Mas merasa aneh tidak sih?” tanya Kaira tiba-tiba saja di sela makan mereka. Fariz yang sedang menikmati kentalnya kuah udon seketika mengangkat kepalanya menatap Kaira yang tengah memperhatikannya.“Aneh soal?” tanya Fariz.Kaira meletakkan sendok dan sumpitnya kedalam mangkuk yang isinya masih setengah lebih. Menatap suaminya intens. “Kita nikah sudah lama kan Mas? Kok Ara belum hamil juga ya Mas?”Fariz terpaku, sendok berisi kuah udon yang akan dimasukkan kedalam mulut tiba-tiba terhenti, mematung di udara.“Aneh kan Mas? Maksud Ara kita pasangan muda, terus juga sudah lama menikah seharusnya kan Ara sudah hamil sekarang. Kita juga tidak menunda kan?”Sebelum menjawab Fariz lebih dulu meletakkan sendok itu kedalam mangkuk, pandanganya fokus pada Kaira yang duduk di hadapanya. “Mungkin Allah memang belum mau kasih sayang,” jawabnya. Berusaha terlihat santai, dia malah belum pernah berpikir ke arah sana.“Mas mau tidak kalau Ara periksa, takutnya Ara ada masalah.”“Masalah maksudny