"Dokter Ara yakin mau keluar kerja?" tanya dokter Kian. Suaranya patah-patah karena napasnya yang tersengal-sengal. Dia tadi baru saja dapat kabar dari ners Tomi jika Kaira mengajukan resign dan saat ini sedang membereskan barang-barangnya. Terbirit-birit dia berlari ke ruang dokter sampai membiarkan pasiennya menunggu. Tidak profesional sekali, yah namanya juga cinta.Kaira menoleh ke sumber suara, aktivitasnya memasukkan buku-buku kedalam tas mini dihentikan."Kenapa dokter Ara resign? Ada masalah?" cecar dokter Kian lagi.Kaira menarik sudut bibirnya simpul membalas tatapan dokter Kian. "Tidak ada masalah dok. Cuma ingin fokus urus suami saja di rumah," ujar Kaira sekenanya.Tangan dokter Kian yang semula memegang gagang pintu langsung lunglai."Ada apa dokter kesini? Sedang tidak ada pasien?" tanya Kaira."Ah itu-" dokter Kian menoleh ke belakang sambil mengulurkan telunjuknya menunjuk arah ruangan nya. "Itu tadi ners Tomi bilang katanya dokter Ara resign."Kaira terkekeh lalu men
Kaira baru tahu jika ruang petinggi perusahaan itu benar-benar seperti yang ditampilkan di film-film. Besar dan mewah. Ruangan luas, dengan arsitektur yang elegan dan nuansanya putih dan abu-abu. Sangat kental dengan seorang Fariz. Ada foto dirinya juga yang terpajang di atas meja kerja Fariz.Foto yang entah kapan pria itu ambil, yang jelas ketika Kaira sedang memasak dan diambil dari arah samping.“Mas kok punya foto Ara? Kapan ambilnya?” tanya Kaira sambil mengangkat pigura foto berukuran 10R.Fariz yang sedang mengeluarkan bekal yang Kaira bawa menoleh sebentar. “Oh, itu foto Mama yang ambil,” katanya.“Ini foto pertama kali Ara belajar masak sayur pare sama Mama kan?” tanya Kaira, seperti tidak asing dengan foto itu.Fariz mengangguk.“Mas simpen foto beginian? Mana segala dicetak. Memalukan,” ujar Kaira sambil menatap ngeri figura foto.“Mas punya banyak foto Ara, tapi semua lepas kerudung jadi cuma itu yang bisa di cetak.”“Kapan Mas ambilnya?” Dia meletakkan kembali pigura fot
Lima bulan berlalu, hubungan Fariz dan Kaira semakin mesra dan mencengkram. “Sayang, dimana baju ganti Mas?” tanya Fariz berteriak, sambil mengobrak abrik isi lemari.“Sudah Ara gantung di kamar mandi Mas.” Jawab Kaira tak kalah berteriak. Kaira sedang beberes rumah di ruang keluarga, membawa kemoceng, lap kecil dan juga cairan pembersih. “Benarkah? Kenapa aku tidak melihatnya.” Gumam Fariz lalu memasukkan seluruh baju yang sudah tumbang ke dalam lemari. Setelahnya pria lari terbirit-birit kembali masuk ke kamar mandi, dia hanya mengenakan handuk saja untuk menutupi tubuh bagian bawahnya saja.Setelahnya semuanya lenggang, tapi baru lima menit berlalu Kaira sudah berteriak lagi. Kini wanita itu sudah berdiri berkacak pinggang di depan lemari pakaian.“Mas, kenapa ini diberantakin? Mas cari apa?” teriak Kaira nyaring, dia baru saja membuka lemari untuk mengambil baju ganti untuk dirinya. Tapi baru saja berhasil membuka pintu lemari sudah dikejutkan dengan baju yang berserakan, ada ya
Kaira memandang Fariz dan wanita itu secara bergantian. Sedangkan Fariz, pria itu sudah bergeser satu langkah berdiri di sisi Kaira sambil memandang si wanita tanpa berkedip, wajahnya pias.“Fariz, kamu sama dokter Kaira—” ujar wanita itu tidak menyelesaikan ucapanya. Menunjuk Kaira dan Fariz bergantian.“Kamu apa kabar, kita terakhir ketemu sekitar sembilan tahun yang lalu kan?” sambung wanita itu karena tak mendapat respon apapun baik dari Fariz ataupun Kaira.Fariz masih terpatri pada sosok di hadapannya. Wanita itu tersenyum lembut, rambutnya yang hitam panjang bergelombang menuntupi sebagian wajah ayunya. Sedangkan Fariz membisu pucat. “Hei, kamu baik-baik saja?” ujar wanita itu lagi.Fariz terperanjat. Lalu melingkarkan tangan kanan nya di pinggang Kaira, setelah itu mengangguk pelan tanpa ragu. “Kamu apa kabar Sindi? Ini putrimu?” balas Fariz menatap Mila.Sindi memandang Mila yang tengah menatap tiga orang dewasa dengan wajah bingungnya. Kemudian dia mengangguk sekali sembari
“Mas merasa aneh tidak sih?” tanya Kaira tiba-tiba saja di sela makan mereka. Fariz yang sedang menikmati kentalnya kuah udon seketika mengangkat kepalanya menatap Kaira yang tengah memperhatikannya.“Aneh soal?” tanya Fariz.Kaira meletakkan sendok dan sumpitnya kedalam mangkuk yang isinya masih setengah lebih. Menatap suaminya intens. “Kita nikah sudah lama kan Mas? Kok Ara belum hamil juga ya Mas?”Fariz terpaku, sendok berisi kuah udon yang akan dimasukkan kedalam mulut tiba-tiba terhenti, mematung di udara.“Aneh kan Mas? Maksud Ara kita pasangan muda, terus juga sudah lama menikah seharusnya kan Ara sudah hamil sekarang. Kita juga tidak menunda kan?”Sebelum menjawab Fariz lebih dulu meletakkan sendok itu kedalam mangkuk, pandanganya fokus pada Kaira yang duduk di hadapanya. “Mungkin Allah memang belum mau kasih sayang,” jawabnya. Berusaha terlihat santai, dia malah belum pernah berpikir ke arah sana.“Mas mau tidak kalau Ara periksa, takutnya Ara ada masalah.”“Masalah maksudny
Tidak pakai menunggu besok. Malamnya Fariz sudah menyulap ruangan yang diperuntukkan sebagai gudang menjadi ruang olahraga. Pria itu seperti orang kesetanan membeli berbagai macam alat GYM, sampai ingin membuat Kaira mengamuk sejadi-jadinya. Untung saja pria itu sedang berduka jadi Kaira masih bisa menahan dan hanya menatap Fariz nyalang.Kaira pikir ketika Fariz izin membeli alat GYM ya hanya satu saja, treadmill misal. Tapi pria itu ternyata membeli beraneka ragam. Kaira sendiri tidak tahu apa namanya dan berapa jumlahnya sangking banyaknya yang dibeli."Awas ya Mas, kalau ini nanti tidak dipakai semua?" ancam Kaira, kedua matanya sudah menyala-nyala. Ancaman itu sudah Kaira lontarkam entah untuk yang keberapa kalinya. Fariz acuh tak acuh, pria itu justru mengamati satu persatu barang barunya, mengabaikan istrinya. Tak mau semakin emosi Kaira balik kanan dan pergi, lebih baik dimasak daripada semakin emosi.30 menit Kaira bergelut dengan alat masak dan Fariz dengan alat GYM barunya
Kabar itu sama sekali tidak mengganggu pikiran Fariz. Pria itu tetap fokus bekerja, siang juga makan ditemani Kaira yang datang. Mereka juga bercanda ria layaknya pasangan yang sedang dimabuk asmara. Setelah kesepakatan mereka berdua satu minggu silam, Kaira memang setiap siang datang untuk mengantar makan siang Fariz.Fariz memang tidak memikirkan dan tidak mempermasalahkannya tapi sayang, kabar kejadian jam 10 pagi tadi sampai sudah di telinga Lina, dan tanpa membuang waktu lagi wanita tua itu langsung datang ke kantor Fariz dengan kobaran amarah tepat ketika Kaira sedang berada di dalam toilet. Bahkan tanpa Bian yang menemani."Maksudmu wanita itu apa Fariz? kamu menghamili anak orang?" tanya Lina, baru saja masuk ruang kerja Fariz dan menutup pintu cukup keras.Fariz yang duduk di sofa sambil membereskan sisa makanan dengan istrinya menoleh pada Lina yang berdiri berkacak pinggang di depan pintu. Napas wanita tua itu tersenggal-senggal."Mama..." ujar Fariz tercicit.Lina mengatur
Selepas kejadian itu tak ada yang berubah dalam rumah tangga Fariz dan Kaira. Semua nampak normal, Kaira nya juga seperti biasa, hangat, dan selalu perhatian.Siang itu juga Fariz meminta Tian untuk mencari tahu tentang Sindi. Semua tentang latar hidup Sindi tanpa terkecuali, termasuk anak wanita itu yaitu Mila.Tidak butuh waktu lama, besoknya Tian menyodorkan satu map berisi semua informasi Sindi, dari soal Sinda yang ternyata menikah empat tahun lalu dengan pria yang berbeda dengan yang menjadi alasan wanita itu meninggalkanya. Suaminya yang dipenjara karena melakukan kekerasan pada putrinya, dan dia yang bercerai dengan suaminya satu bulan lalu. Semua Fariz dapatkan termasuk alamat tempat tinggal dan tempat wanita itu bekerja.Tanpa membuang-buang waktu. Pagi itu juga jam 09.00, Fariz mendatangi alamat restoran jepang, tempat dimana wanita itu bekerja sebagai pelayan.“Fariz...” Sapa wanita itu dengan wajah berbinar.Berjalan tergopoh-gopoh mendekati Fariz dan berdiri di hadapan p