Kaira menegang mendapat serangan mendadak seperti itu, tubuhnya kaku. Tangisnya tiba-tiba saja terhenti. Dia masih memproses semuanya dalam diam, sedangkan Fariz sudah menagis sejadi-jadinya di pundak belakang Kaira. Sebut saja Fariz cengeng. Tapi dia tak perduli jika wanita di depanya itu berpikir demikian, hatinya ngilu karena rasa bersalah yang begitu besar hingga menggeroti sampai ke tulang-tulang. “Mas, ada apa?” tanya Kaira pada akhirnya, memecah saling bungkam yang terjadi selama 15 menit ini. Suara gadis itu serak karena menangis tadi. Bukanya menjawab Fariz justru mengeratkan pelukanya, menelusupkan wajahnya di lehet Kaira yang terbalut mukena. “Mas Ariz ngerasa sakit lagi? Apa yang sakit Mas? Ayo Ara perika!” “Hatinya yang sakit.” Jawab Fariz asal, sedikit merengek.“Hati? Hati Mas Ariz sakit? Nyeri? Kalau gitu, ayo kita ke rumah sakit, kita ke dokter penyakit dalam!” Lain di otak Fariz lain juga di otak Kaira. Yang Fariz maksud sakit hati dalam bahasa kiasan, Kaira pik
Paginya keinginan Fariz akhirnya terealisasikan. Membuktikan ucapan Pak Manut soal nikmatnya kopi buatan istri."Ternyata benar ya tidak ada duanya." Celetuk Fariz tiba-tiba, sambil menghirup aroma kopi yang masih mengepul. Dia baru saja mencicipinya.Kaira menyipikan kedua matanya. "Apanya yang tidak ada duanya Mas?" tanyanya.Wanita itu berdiri di sisi Fariz yang duduk di salah satu kursi di depan meja makan. Ingin melihat reaksi Fariz setelah meminum kopi buatannya. Dia belum pernah membuat kopi sebelumnya, takut-takut tidak enak atau terlalu pahit. Mau mencicipi dulu juga tidak bisa, karena Kaira tidak bisa minum kopi walau hanya sedikit. Makan permen rasa kopi saja perutnya langsung bereaksi, walaupun mungkin itu sugesti juga."Kopi buatan istri," jawab Fariz."Sudah ah, Ara mau buat sup iga dulu. Mas sudah lapar kan pasti?""Banget, lapat banget-banget." Jawab Fariz jujur. Dia belum makan dari kemarin sore karena meladeni semua pikiran negatifnya tentang istrinya."Sudah tahu la
“Pasien kasus apa sus?” Tanya Kaira sambil berlari. Suster Tere memanggilnya di ruang dokter meminta Kaira untuk datang ke IGD.“Pasien anak-anak dok. Korban kekerasan seksual. Tidak mau disentuh dan didekati sama dokter Boy.” Jawab suster Tere menyamai langkah Kaira.“Astagfirullah, umur berapa sus?”“Delapan tahun.” Jawab suster Tere dan mereka sampai di depan pintu IGD. Tanpa membuang waktu Kaira langsung masuk menghampiri pasien itu. Betapa terkejutnya Kaira melihat bocah kurus kecil, meringkuk di pelukan ibunya yang sedang menangis.“Hei sayang, tidak apa-apa sama dokter ya.” Ujar Kaira lembut ketika dia sampai di samping bed anak itu.Anak malang itu semakin masuk dalam pelukan ibunya. Wajahnya dibenamkan di dada ibunya.“Namanya siapa sayang? Boleh tidak kalau dokter lihat wajahnya?” tanya Kaira lagi, masih berusaha membujuk. Kaira takut ada luka serius di wajah anak malang itu.Anak itu menggeleng. Sang ibu mengusap rambut putrinya lembut. Kaira tahu betapa hancurnya hati wani
Fariz akan menyampaikan permintaanya tentang ucapan Pak Manut setelah satu minggu setelahnya. Jadwal mereka selalu bertabrakan. Hari pertama itu Kaira shift siang, pulang malam sudah lelah. Gadis itu juga lesu bukan main karena kejadian soal Mila.Dua hari setelahnya Kaira juga masih shift siang, Fariz tidak tega karena istrinya terlihat lelah setiap pulang kerja. Lalu tiga hari setelahnya Kaira shift malam, justru tidak bertemu sama sekali. Kaira berangkat jam tujuh malam, dan Fariz tiga hari itu jadwalnya full ada pertemuan bisnis yang menjadikan pria itu pulang lebih lambat. Lalu ketika Kaira pulang Fariz sudah berangkat kekantor. Kemarin Kaira libur, tapi justru di sabotase oleh Lina hingga gadis itu menginap.Pagi tadi tekat Fariz sudah bulat, jika dia pulang istrinya belum pulang juga kerumah, dia sendiri yang akan menjemput Kaira di rumah orang tuanya.Dan ternyata benar, Fariz pulang Kaira tidak ada di rumah.“Ma... dimana istri Ariz Mama umpetin.” Seru Fariz padahal baru saja
Selepas bangun tidur keadaan Kaira mulai membaik, demamnya sudah berkurang. Dia juga sudah bisa ikut makan malam bersama di meja makan dengan Bian dan Lina.Awalnya Fariz menolak mentah-mentah usulan makan di meja makan, pria itu sampai memberi pilihan turun digendong atau tidak turun sama sekali. Kaira yang merasa sudah jauh lebih baik juga menolak keras. Hingga terjadi adu cekcok untuk pertama kalinya dalam sejarah rumah tangga mereka yang baru menginjak hampir dua bulan.Tiga puluh menit sebelum menuju meja makan."Makan di kamar saja Ara, Mama Papa pasti maklum kok. Kan kamu lagi sakit," kata Fariz."Ara sudah enakan Mas, demamnya juga sudah turun." Bantah Kaira.Fariz tak ingin kalah, menempelkan punggung tangannya di leher istrinya. "Ini masih hangat. Tidak, pokoknya tidak usah turun," katanya tidak ingin dibantah.Kaira ikut memegang keningnya sendiri. Tubuhnya sudah jauh merasa enakan sekarang. Mungkin berkat pelukan hangat suaminya. "Ara tidak enak sama Papa Mama Mas, lagian
Sesampainya mereka di dalam kamar dan Fariz langsung mengunci pintu rapat-rapat. Menubruk tubuh Kaira yang berdiri di sisi ranjang dan membelakangi Fariz, hingga si empunya terhuyung bahkan nyaris jatuh andai pria itu tidak menahannya dengan pelukan."Maafin Mas sayang," ujar Fariz lirih. Kaira tahu apa yang dimaksud suaminya. Pasti bukan kesalahan pria itu yang menubruknya melainkan masalah yang dibahas di meja makan tadi."Tidak apa-apa Mas, kan kita juga baru menikah wajar kalau ada yang salah. Namanya juga belajar."Fariz melepaskan pelukannya, membawa Kaira naik ke atas kasur dan duduk disana saling berhadapan. Pria itu juga melepaskan kerudung Kaira dan membuangnya asal, lalu menggenggam kedua tangan mungil Kaira."Mas mau cerita apa yang sebenarnya terjadi semuanya sama Ara." Ujar Fariz, Kaira hanya bungkam, memperhatikan Fariz secara seksama."Jadi sebenarnya Mas pulang malam itu karena hal ini. Mas baru tahu tentang itu dari satpam di kantor Mas yang waktu itu antar Mas ke ru
"Dokter Ara yakin mau keluar kerja?" tanya dokter Kian. Suaranya patah-patah karena napasnya yang tersengal-sengal. Dia tadi baru saja dapat kabar dari ners Tomi jika Kaira mengajukan resign dan saat ini sedang membereskan barang-barangnya. Terbirit-birit dia berlari ke ruang dokter sampai membiarkan pasiennya menunggu. Tidak profesional sekali, yah namanya juga cinta.Kaira menoleh ke sumber suara, aktivitasnya memasukkan buku-buku kedalam tas mini dihentikan."Kenapa dokter Ara resign? Ada masalah?" cecar dokter Kian lagi.Kaira menarik sudut bibirnya simpul membalas tatapan dokter Kian. "Tidak ada masalah dok. Cuma ingin fokus urus suami saja di rumah," ujar Kaira sekenanya.Tangan dokter Kian yang semula memegang gagang pintu langsung lunglai."Ada apa dokter kesini? Sedang tidak ada pasien?" tanya Kaira."Ah itu-" dokter Kian menoleh ke belakang sambil mengulurkan telunjuknya menunjuk arah ruangan nya. "Itu tadi ners Tomi bilang katanya dokter Ara resign."Kaira terkekeh lalu men
Kaira baru tahu jika ruang petinggi perusahaan itu benar-benar seperti yang ditampilkan di film-film. Besar dan mewah. Ruangan luas, dengan arsitektur yang elegan dan nuansanya putih dan abu-abu. Sangat kental dengan seorang Fariz. Ada foto dirinya juga yang terpajang di atas meja kerja Fariz.Foto yang entah kapan pria itu ambil, yang jelas ketika Kaira sedang memasak dan diambil dari arah samping.“Mas kok punya foto Ara? Kapan ambilnya?” tanya Kaira sambil mengangkat pigura foto berukuran 10R.Fariz yang sedang mengeluarkan bekal yang Kaira bawa menoleh sebentar. “Oh, itu foto Mama yang ambil,” katanya.“Ini foto pertama kali Ara belajar masak sayur pare sama Mama kan?” tanya Kaira, seperti tidak asing dengan foto itu.Fariz mengangguk.“Mas simpen foto beginian? Mana segala dicetak. Memalukan,” ujar Kaira sambil menatap ngeri figura foto.“Mas punya banyak foto Ara, tapi semua lepas kerudung jadi cuma itu yang bisa di cetak.”“Kapan Mas ambilnya?” Dia meletakkan kembali pigura fot