“Seenak itu kah mie ayam tu sus?” tanya Kaira sambil menelan ludah. Tangan kanan nya tanpa sadar meremas botol air mineral yang isinya tinggal seperempat.
Kaira sedang menepati janjinya menemani suster Indri makan mie ayam atas tagihan gadis itu. Umur Kaira dan suster Indri hanya berbeda tiga tahun dengan suster indri lebih tua. Tapi untuk postur tubuh, tinggi badan Kaira jauh diatas suster Indri yang hanya satu meter setengah, hanya beda sepuluh sentimeter saja sih memang.Suster Indri mengangguk antusias. Ia begitu menikmati mie ayam yang sudah berlinang saus tomat hingga berwarna merah kecoklatan itu. “Pelan-pelan saja sus, saya tidak akan minta kok,” ujar Kaira memperingati.Suster Indir menelan mie ayam dalam mulutnya kemudian mengangkat kepalanya menatap Kaira. “Kalau pun dokter minta, saya pasti kasih sih,” jawabnya. Kaira menggeleng getir.“Dokter beneran tidak mau coba? Sedikit saja tidak mau?” tawar suster Indri lagi.Kaira menggeleng. “Saya lihat suster makan saja sudah kenyang sus, jadi buat suster Indri saja.”“Mana ada melihat orang makan jadi kenyang dok. Dokter Ara mah ada-ada saja.” Jawab suster Indri lalu terkekeh meremehkan.“Ini saya buktinya. Suster makan kaya orang belum makan satu minggu."“Ini namanya menikmati dok, mensyukuri apa yang Allah anugerahkan kepada setiap hambanya yang shalihah seperti saya ini.”Kaira menggaruk tengkuknya yang tak gatal dari balik kerudung, kemudian meringis getir. “Bersyukur sama maruk itu berbeda kan ya sus?” tanya Kaira.“Tentu beda dong dok—““Ya walaupun adek-kakak-an sih.” Lanjutnya, lalu terkekeh. Setelahnya ia kembali melahap satu sendok penuh mie yang sebelumnya sudah gadis itu gulung-gulung dengan garpu.Kaira mengangguk berulah sambil menahan senyum. Ini yang ia suka dari suster Indri asik tapi tidak mudah tersinggung. Terkadang suka melawak tanpa gadis itu sadari disaat-saat tertentu. Cukup bisa mencairkan Kaira yang identik serius.“Jahat sekali kau ni SusNdri. Sudah tahu kawan kau ini tidak sudah makan makanan macam begini. Masih saja kau paksa bawa kesini. Mana kau ajak-ajak kami segala pula.” Ujar dokter Andi dengan logat Sumata Utaranya yang kental. Lalu pria itu duduk di sebelah suster Indri.“Mana ada begitu DokDi, dokter Ara sendiri yang mau pula.” Jawab suster Indri menirukan dokter Andi.SusNdri artinya adalah suster Indri sedangkan DokDi artinya dokter Andi. Panggilan yang mereka buat sendiri untuk mengejek satu sama lainnya.“Tidak mungkin dokter Ara yang suka rela datang dan hanya memperhatikan kau makan dengan ganas jika bukan karena kau paksa. Aku sudah hafal betul isi otak sempit kau itu.” Serang dokter Andi.Suster Indri yang mulai terpancing mendengus panjang, meletakkan sendok dan garpunya sedikit keras hingga menimbulkan suara nyaring.TING!“Dokter Aea saja mau, kenapa kau yang jadi sewot,” kata suster Indri dengan suara sedikit tinggi, ia juga menatap dokter Andi nyalang.Dokter Andi bergeser kekiri dua jengkal. Menjauhi suster Indri. “We...we...we... jangan marah betulan. Aku cuma bercanda ini. Maafkan ya?”Suster Indri mendengus, lalu membuang muka.“Ah iya, kalian sudah dapat undangan dari dokter Alvian belum?” tanya dokter Andi mengalihkan pembicaraan.“Undangan dokter Alvian? Undangan apa dok?” tanya suster Indri kembali mengalihkan antensinya pada dokter Andi yang berada di sebelahnya.“Kau ini macam mana lah SusNdri, ya undangan pernikahan lah. Masak undangan khitanan, bisa habis punya dia nanti,” jawab dokter Andi, lalu pria itu tertawa terbahak-bahak. Sampai membuat pengunjung lain yang sama duduk dibawah tenda biru menoleh pada bangku tempat mereka.Tanpa sadar juga jika telah kembali mengibarkan bendera peperangan pada suter Indri yang sudah memasang wajah masam.Kaira ikut tertawa kecil, jika sudah bersama dengan Tom and Jerry versi Saida Hospital memang perut akan dikocok karena terus tertawa terpingkal-pingkal.“Kalian pasti lagi bahas soal dokter Alvian kan? Hayo...hayo....mengaku saja.” Timpal satu orang wanita lagi yang berseragam sama dengan milik suster Indri, dia suster Linda. Wanita itu sudah membawa semangkuk bakso yang masih mengepul, dan duduk di sisi Kaira berhadapan dengan suster Indri.“Bagaimana ini, masak kau baru datang sudah dapat bakso. Aku pun belum, padahal sudah dari tadi.” Protes dokter Andi.“Apa guna punya handphone kalau tidak dimanfaatkan dengan baik.” Jawab suster Linda sombong. Memang ia tadi izin datang terlambat karena harus izin dulu dengan suaminya. Tapi ia sudah lebih dulu mengirim pesan pada penjualnya untuk memesan. Jadilah ia sampai, hidangan sudah selesai dibuat.“Eh...eh...eh... kalian tahu tidak. Katanya to dokter Alvian itu menikah karena dijodohkan loh.” Sambung suster Linda, sambil meracik bakso miliknya dengan sambal dan kecap, tanpa saus karena wanita itu tidak menyukainya berbeda dengan suster Indri si duta saus mamang-mamang.“Mosok? Suster tahu dari mana?” tanya suster Indri antusias, hingga mencondongkan tubuhnya kedepan.Suster Indri berdecak nyaring. Ikut mencondongkan tubuhnya setelah menggeser mangkok bakso yang sudah selesai ia racik. “Beritanya mah sudah melalang buana di Saida Hospital sus. Katanya to, mosok bapaknya dokter Alvian mimpi lihat dokter Alvian nikah sama calonnya itu. Yo wes, terus mereka mau dinikahin.”Kaira yang sedang meminum air mineral tersedak, kedua matanya membola.“Kau kenapa dok? Kau punya minum ada gajahnya? Sampai terbatuk-batuk dan melotot-melotot begitu?” komentar dokter Andi. Baik suster Indri maupun suster Linda serempak menoleh pada Kaira. Tapi hanya sebentar, setelahnya mereka kembali mengobrol.“Masa iya sus, secara dokter Alvian itu kan ganteng ini ya. Masak mau-mau saja dijodohkan dikira jaman Siti Nuhalizah.” Kata suster Indri.“Siti Nurbaya SusNdri, sejak kapan Siti Nurhaliza turun panggung,” potong dokter Andi.Suster Indri menatap dokter Andi nyalang. “Diam saja kau DokDI!” ancamnya.“Eh ada dokter Kian, cari dokter Ara dok?” seru dokter Andi sedikit berteriak. Serempak ketiga yang lain menoleh ke subjek yang dokter Andi maksud.Dari arah pintu tenda, sesosok pria melangkah pasti, tingginya yang menjulang tak sepadan dengan tinggi tenda mie ayam membuatnya harus sedikit membungkukkan kepalanya. Dokter Kian ini adalah salah satu dari geng mereka juga. Tapi bedanya dokter Kian dari instalasi rawat jalan, dia dokter spesialis penyakit dalam. Sedangkan keempat yang lainya dari instalasi gawat darurat.Umur kelimanya juga tidak terlalu jauh, Suster Linda yang memimpin lalu disusul dokter Andi hanya berselang satu tahun, suster Indri dan dokter Kian seumuran. Yang terkecil adalah Kaira, si imut menggemaskan yang berusia 25 tahun yang berhasil meluluh lantahkan hati dokter Kian. Ia bukan rahasia lagi tentu saja.“Dokter...dokter. Dokter Kian juga sudah dengar kan kalau dokter Alvian mau menikah karena dijodohkan?” tanya suster Indri tiba-tiba. Padahal silawan bicaranya belum juga duduk, tapi sudah di serang.Dokter Kian tak langsung menjawab, ia lebih dulu mendaratkan tubuhnya di banngku sebelah dokter Andi kemudian menatap Kaira sebentar yang ada di hadapannya barulah menatap suter Linda. “Suster Linda pasti lagi kumat kan demam gosipnya. Jangan kebanyakan gosip sus, dosa loh.”Suster Linda berdecak nyaring. “Dokter Kian mah sama saja sama dokter Ara. Tidak asik. Jangan-jangan kalian memang jodoh lagi.” Kata suster Indri berkomentar.Dokter Kian terkekeh, lalu memandang Kaira sesaat sebelum kembali pada suster Linda. “Ya gimana ya sus, dosa masuk neraka soalnya.” Katanya sekenanya.“Yalah, yalah. Ku doakan kalian berjodoh,” ujar suster Indri.Kaira hanya mampu meringis getir, sedangkan dokter Kian meng-Aamiinkan dalam hati.Pukul dua siang, Fariz sudah berada di halaman rumah kedua orangtuanya atas permintaan Lina. Dengan wajah masam Fariz melangkahkan kakinya lebar-lebar masuk kedalam rumah sambil menjinjing tas kerjanya."Aduh anak tampan Mama akhirnya pulang juga. Gimana kerjanya, lancar? Pasti dong, anak Mama mah jangan diragukan lagi. Iya kan?" sambut Lina dengan senyum merekah. Lina sudah cantik dengan gamis merah muda dan kerudung yang menjuntai hingga batas perut.Fariz menyipitkan kedua matanya, keningnya berkerut. "Mama mau kemana Ma?" tanya Fariz."Bukan Mama tapi kita." Jawab Lina mengoreksi."Kok kita? Ariz juga?"Lina mengangguk antusias, wajahnya berseri. "Sana buruah siap-siap gih, jangan lama-lama ya!" ujar Lina sambil mendorong-dorong kecil tubuh Fariz.Fariz semakin bingung, badannya terhuyung-huyung. "Sebentar-sebentar. Memang kita mau kemana Ma?"Lina berdecak nyaring, kedua matanya melebar menatap Fariz penuh peringatan."Ya gimana Ariz mau nurut coba kalau Mama saja belum mau kasih
Nyatanya, bukan hanya sesi ta’aruf lalu lamaran seperti yang sudah direncanakan. Tapi mereka dinikahkan hari itu juga atas kesepakatan kedua belah pihak keluarga dan masing-masing mempelai, atas usulan Lina tentu saja.Kaira tidak begitu fokus sebenarnya, semua terkesan begitu mendadak dan cepat menurutnya.Tiba-tiba dijodohkanTiba-tiba bertemuTiba-tiba dinikahkanSemua juga terkesan buru-buru, hanya dalam kurun waktu setengah bulan semua sudah selesai hingga dalam tahap pernikahan. Apakah ini yang namanya keistimewaan jodoh dan kekuatan Tuhan? Semua seakan mudah terjadi jika Tuhan sudah berkehendak. Serba kilat ini membuat Kaira sulit untuk memahami segalanya. Yang pasti saat ini dia sudah sah saja menjadi istri dari seorang pria yang bahkan baru ia ketahui nama lengkapnya satu jam lalu. Pria yang menurut mata telanjang Kaira sulit untuk dilewatkan, meskipun pria itu memberi kesan kaku dan juga dingin sejak awal pertemuan. Yah, walaupun lumayan sih memang secara fisik.“Untuk pend
"Mas tidak mau mandi atau setidaknya ganti baju dulu?" cekal Kaira. Reflek tangan nya memegang lengan baju Fariz.Pria itu mengarahkan pandangannya pada lengannya yang digenggam Kaira, membuat Kaira yang merasa terimidasi langsung melepas cekalan, mundur satu langkah."Maaf Mas, Ara tidak sengaja," kata Kaira sedikit canggung."Saya berangkat sekarang. Kamu bisa istirahat, hanya ada dua kamar di apartemen ini. Satu kamar saya yang catnya abu-abu tua, dan yang satu lagi kamar tamu. Kalau kamu tidak mau tidur dikamar saya, kamu bisa menggunakanya.""Mas Ariz bakal pulang jam berapa?" tanya Kaira."Tidak tahu, mungkin besok. Atau nanti malam. Tidak perlu menunggu saya. Jika ada yang kamu butuhkan dibawah ada minimarket, di seberang jalan juga ada supermarket cukup lengkap.""Mas butuh Ara siapkan baju ganti dan mengirimnya ke kantor?" tanya Kaira sebenarnya memberi saran.Fariz menggeleng tegas, dia tidak membutuhkan itu. Yang dia inginkan saat ini hanya segera kembali ke kantor dan meny
Berbeda dengan Kaira yang tenang dan menyikapinya dengan santai, Fariz justru sebaliknya. Pria 32 tahun itu berulang kali menghembuskan napasnya berat, mengusap wajahnya kasar lalu menyandarkan punggungnya di kursi kerja.Bergegas ke kantor karena pekerjaan menumpuk itu hanya akal-akalan pria itu saja. Termasuk memboyong Kaira hari ini juga itu termasuk bagian dari alasanya untuk melarikan diri. Aslinya dia belum siap dengan semuanya. Fariz malah sempat menyesal dan merasa bodoh kenapa tadi dia justru menurut saja tanpa membantah ketika kedua orang tua meminta mereka menikah saat ini juga. Mengangguk seperti anak anjing yang seakan terhipnotis akan pesona majikan barunya.Fariz sampai tidak bisa berkedip ketika pertama kali melihat Kaira, pasangannya seolah terpatri permanen tak membiarkannya untuk terlepas.Satu jam sebelum akad nikah di ikrarkan.Sesosok wanita berkerudung panjang, keluar dari persembunyiannya digandeng oleh ibunya.Gadis itu Kaira. Kepalanya menunduk, dengan kedua
Paginya. Hari pertama Kaira menjabat sebagai seorang istri.Atas izin suaminya kemarin, Kaira kembali bekerja seperti biasa. Dia hanya izin cuti satu hari kerja kepada pihak rumah sakit, karena rencana awalnya kan memang hanya sesi ta'aruf dan khitbah. Jika memang cocok dilanjutkan dengan menentukan tanggal pernikahan mungkin, jika tidak ya batal. Siapa sangka malah justru menjadi hari pernikahan mereka. Jika dijadikan FTV mungkin judulnya "pertemuan pertamaku hari pernikahanku" begitu. "Pagi dokter Ara. Kok sudah masuk saja, saya kira bakal ambil cuti panjang karena besok jadwal libur dokter Ara kan?" sapa suster Linda sambil mengecek stok alat kesehatan di lemari kaca persediaan IGD. Mencocokkan jumlah yang tertulis di kartu stok dengan fisiknya.Kaira mengenakan jas dokternya, berdiri didepan meja perawat dengan menyandarkan tubuhnya pada pinggiran meja, menoleh pada suster Linda sekilas. "Kasian dokter Andi jaga sendiri kan sus kalau saya kelamaan libur?" ujar Kaira. Benar memang
Kaira pulang pukul 14.30 tapi tak ada tanda-tanda kehidupan di apartemen. Semua masih seperti sebelum ia tinggal pagi tadi. Fariz memang belum pulang, pria itu bahkan belum mengangkat bokongnya dari kursi kerja di kantornya sejak semalam. Baju belum ganti, masih mengenakan batik berwarna navy sisa semalam.Jangan kira kamu menikah bisa jadi seenaknya Tuan Muda Kamran, pulang sekarang atau Mama tarik telingamu—MamaFariz menelan ludahnya susah payah, menoleh kekanan dan kekiri lalu melirik pada ponselnya yang masih tergeletak begitu saja diatas meja. Dia sendiri tidak ada siapapun di ruangan, pintu masuk pun tertutup rapat dari mana Lina tahu. Fariz pulang sekarang! Tidak ada bantahan, atau kamu mau Mama yang menjemputmu?—MamaLagi-lagi ponselnya itu bergetar. Dari Lina lagi.Fariz meraih benda persegi panjang itu lalu membuka pesan Lina dan membalasnya.Ini belum waktunya jam pulang kantor Ma, dua jam lagi Ariz pulang—FarizTak butuh waktu lama Lina langsung membalas.Mana ada orang
Malam tiba. Lima kali Kaira membangunkan suaminya, lima kali juga Fariz tidak mengindahkan. Padahal waktu magrib hampir usai, dan pria itu masih seperti kerbau yang susah untuk dibangunkan."Mas, bangun yuk. Salat magrib dulu mas, tinggal 15 menit lagi loh waktunya habis." Ujar Kaira sambil mengguncang pelan lengan Fariz. Kaira juga sudah selesai masak. Tapi yang dibangunkan tak bergerak sedikitpun, matanya masih terpejam rapat. Tenang damai layaknya tak merasa terganggu sedikitpun."Ya Allah, harus gimana lagi Ara bangunin Mas Ariz ini?" gumam Kaira mulai putus asa. Lalu duduk ditepi ranjang dekat dengan Fariz. Ia lenggang sesaat, mengamati wajah suaminya. Dari wajah Fariz, neralih ke hidung, mata, bibir.Jika dilihat dalam keadaan tertidur seperti ini Fariz berbeda jauh dengan ketika pria itu terdasar. Fariz mode sadar itu memancarkan aura dominan yang kental, rahangnya tegas dan irit tersenyum semakin menyempurnakannya. Berbeda dengan Fariz yang tertidur pulas seperti ini, hanya ad
Tengah malam, lebih tepatnya pukul dua dini hari. Fariz terbangun dari tidurnya, tenggorokanya kering. Pria itu menoleh melihat ke atas meja di sisi ranjang, hanya ada teko yang air yang isinya tinggal seperempat bagian tanpa ada gelas disana.Ketika menoleh ke sisi kiri tempat tidurnya, kosong. Tidak ada Kaira disana, istrinya belum juga kembali kedalam kamar. Tebakan Fariz mengatalan istrinya itu memilih tidur di kamar tamu untuk menghindari dirinya.Tanpa pikir panjang Fariz bangung, berjalan gontai dengan mata merem melek keluar dari dalam kamar. Suasana luar kamar hening dan gelap. Hanya ada sorot lampu dari sela pintu kamarnya yang terbuka separuhnya saja yang menyinari ruang keluarga. Sebelum Fariz melangkah, spontan kepalanya menoleh kekiri tempat kamar Tamu yang terlihat gelap gulita itu tertutup rapat.“Mas...butuh sesuatu?” suara yang sangat-sangat Fariz kenali membuat Fariz terperanjat. Pandangan pria itu menajam mengarah ke sumber suara.“Mas Ariz mau minum?” tanya Kaira