Berbeda dengan Kaira yang tengah menyantap makan siangnya diiringi canda dan tawa, Fariz justru sebaliknya. Lagi-lagi ia harus menghadapi amukan beruang kutub, alias kedua orang tuanya yang tiba-tiba datang ke kantornya tanpa diundang.
Jika kemarin hanya Bian seorang, kali ini bersama Lina. Wanita itu sudah berceramah dari sabang sampai merauke, kesana kemari dari A sampai Z sambil hilir mudik dihadapan Fariz dan juga Bian. Sedangkan kedua pria itu hanya mampu memijat pelipis masing-masing sambil menghela napas panjang. Mau kabur tak bisa, menghentikan tak berani, bertahan lama-lama telinganya jadi panas, kan serba salah itu namanya."Mama itu cuma tidak kamu jadi jomblo bangkotan lo Ariz...Ariz...""Ma siapa juga coba yang mau jadi jomblo bangkotan, jomblo tu ya jomblo saja, bangkotan ya sudah bangkotan saja namanya itu sudah tua. La Ariz kan masih muda." Protes Fariz pada akhirnya. Niatnya hanya ingin diam sepertinya harus mencoba opsi kedua yaitu menghentikan dengan cara membantah sebelum akhirnya harus dengan opsi pertama yaitu kabur."Mama tu capek loh Ariz, CAPEK." Keluh Lina, ia juga menekan kata capek untuk mempertegas.Fariz menghela napas putus asa. "Ariz juga capek, malah lebih capek dari Mama karena setiap hari Mama selalu maksa Ariz buat cepat menikah. Padahal jodoh saja belum kelihatan hilalnya. Pacar saja belum punya kok jodoh.""Gimana mau punya pacar kalau kamu setiap hari ketemunya sama Tiara, Tian, kertas. Kalau saja Tiara itu mau, sudah Mama nikahin kalian. Sayangnya Tiara nolak waktu Mama tanya."Kedua mata Fariz spontan membola, ia cukup terkejut dengan apa yang Lina katakan. "Mama serius?" tanya Fariz belum percaya.Lina memutar bola matanya malas. "Ngapain juga Mama bohong, kurang kerjaan banget. Sayang sih Tiara nolak kamu mentah-mentah padahal Mama suka juga sama anak itu.""Ma-" tegur Fariz berniat untuk menghentikan ucapan Lina.Lina justru membuang muka, membuat Fariz yang mulai frustasi mengusap wajahnya kasar sambil menghela napas panjang."Ma, kapan sih Mama biarin Ariz tenang. Berhenti buat bahas soal nikah, nikah, nikah mulu. Ariz pusing Ma dengarkan." Keluh Fariz mengharap belas kasih."Nunggu Mama mati baru Mama bisa berhenti. Kayaknya kamu juga nunggu Mama sekarat dulu kok baru mau ngabulin permintaan Mama.""Kenapa sih Mama selalu bilang itu terus, itu lagi. Lagipula apa kaitanya coba Fariz nikah sama Mama kenapa-kenapa?"Lina menatap Fariz nyalang, tapi Fariz belum menyadari karena wajahnya masih ia benamkan di kedua telapak tangannya. "Jadi kamu memang pingin Mama sekarang terus cepet mati?" tanya Lina, sedikit meninggikan nada suaranya.Fariz menarik napasnya berat, kemudian mengepalkan kedua tangan nya kencang-kencang sebelum akhirnya balik menatap mata teduh Lina. Semarah apapun Lina, dimata Fariz Lina selalu menatapnya dengan tatapan teduh penuh kelembutan."Ma-""Apa?" jawab Lina cepat."Apa? Mau bilang apa lagi? Mama bukanya mau keras sama kamu ya, tapi Mama juga semakin hari semakin bau tanah. Wajar Mama sudah tua, begitu kodratnya. Tapi kamu tahu? Betapa gilanya Mama sama Papamu ini cuma buat mikirin kamu ini? Anakku sudah dewasa, aku sudah tua, aku tidak bisa terus merawatnya, bagaimana anakku nanti waktu aku sudah tidak ada, siapa yang akan menjaganya menggantikanku. Begitu isi pikiran kami para orang tua. Terus, buat siapa kami selalu minta kamu buat menikah? Buat Mama? Atau buat Papa? Itu semua buat kamu Fariz. Kamu paham tidak sih?" ujar Lina panjang lebar. Susah payah ia menahan tangis. Ia tidak mau terlihat lemah saat ini.Tapi Fariz, adalah anak yang sudah dilahirkan dan dibesarkan selama 32 tahun. Hal sekecil itu mustahil untuk tidak disadari olehnya."Ma...." ujar Fariz melemah. Ia tidak tahu harus berkata apa.Buru-buru Lina mengalihkan pandanganya. Kemana saja asal tidak pada putranya.Ruang kerja Fariz lenggang sesaat. Bian juga tak berani angkat bicara. Sejak tadi ia hanya berperan sebagai penonton. Namun kini tatapan ditebarkan pada Fariz. Tatapan yang dalam sekali penuh banyak arti.Fariz yang ditatap seperti itu oleh Bian dan mendengar penuturan Lina barusan, Fariz jadi tak berdaya. Ia hanya mampu memejamkan kedua matanya beberapa saat, menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan secara berulang untuk menenangkan dirinya dan menguatkan mentalnya.Dengan sekali helaan napas panjang akhirnya Fariz berucap. "Oke Fariz nurut, sekarang terserah Mama mau seperti apa. Tolong carikan Fariz pasangan hidup." Itu katanya, setelahnya ia membenamkan wajahnya dalam kedua telapak tangannya.Lina yang semula mengalihkan pandanganya akhirnya kembali menatap Fariz terkejut, Bian pun tak kalah terkejutnya. Setelahnya keduanya serempak mengembangkan senyum penuh kelegaan."Tapi Ariz minta, selama itu tolong jangan ganggu Ariz waktu lagi kerja. Pekerjaan Ariz sudah cukup terabaikan karena masalah ini. Mau seperti apa dan bagaimana orang nya terserah Mama Papa." Ujar Fariz dengan keputusan finalnya.Ia hanya bisa berharap dalam diam, semoga tidak ada luka setelah luka.*****Selepas perdebatan yang cukup panjang dan melelahkan serta menggemparkan kala itu. Satu minggu berlalu sudah. Selama satu minggu belakangan tak ada huru hara yang terjadi dalam keluarga kecil Kamran.Kedatangan Bian Kamran dan Lina Kamran berhasil mencuri perhatian seluruh karyawan di ZK Media, perusahaan periklanan terkemuka di kota Semarang. Bagaimana tidak, kedua orang tua bos mereka itu datang dengan wajah kaku dan tegang, sedangkan pulang dengan wajah berseri-seri hingga menyapa seluruh orang yang mereka lalui.Perubahan yang terjadi pada Lina juga sangat membuat Fariz sering merasa bingung, dari peraturan di rumah yang tiba-tiba ganti secara mendadak tapi hanya khusus untuk Fariz tidak dengan Lina dan Bian. Tidak ada teriakan nyaring Lina yang mengomelinya karena sibuk bekerja dan lupa pulang atau makan. Semua hanya ada kelembutan dan kedamaian. Bukankah ajaib?Seperti pagi ini misalnya. Hari minggu jam tujuh pagi, waktunya sarapan.Fariz baru saja menyelesaikan pekerjaannya, belum sempat tidur barang semenitpun. Niat hati ia ingin turun untuk mengembalikan gelas kosong bekas kopi semalam, akan mencucinya lalu kembali ke kamar untuk mandi barulah sarapan. Tapi, baru saja ia memasuki area dapur sekaligus ruang makan, Lina sudah menyambutnya dengan senyum merekah."Ah, anak tampan Mama turun juga akhirnya. Ayo kita sarapan, Mama sudah masakin rendang daging kesukaan kamu," ujar Lina, menggiring Fariz kemeja makan.Fariz yang tak terbiasa, tentu saja menautkan kedua alisnya. Keningnya berkerut. Hatinya berkata, "sejak kapan Mamanya mengizinkan seisi rumah makan masakan berat di pagi hari. Biasanya cuma ada salad, susu, roti gandum, omelet atau makanan-makanan sehat lain yang diolah dengan cara sederhana"."Ma, Ariz belum mandi. Ariz cuma turun buat cuci cangkir kosong terus mau naik lagi mandi baru sarapan. Mama sama Papa duluan saja," kata Fariz apa adanya ia tak ingin cari masalah pagi-pagi dengan Lina. Mama nya ini juga paling anti dengan menyentuh sarapan disaat belum mandi."Ah gampang, mandi nanti saja bisa setelah sarapan. Sini cangkirnya biar Mama saja yang cuci," jawab Lina, mengambil cangkir itu dari tangan Fariz. Kemudian mendorong kecil Fariz agar duduk di kursi.Fariz semakin bingung, ia melirik Bian. Tapi sayang pria tua itu sedang asik melahap sepotong roti gandum. Dan saat itu pula Fariz menyadari perbedaan menu sarapan antara dirinya dan kedua orang tuanya.Belum sempat Fariz mengajukan protes. Lina lebih dulu mengisi piring Fariz dengan nasi dan rendang daging, mengisi gelas Fariz dengan air mineral hingga terisi penuh."Dimakan ya anak Mama tersayang, habisin. Mama mau cuci cangkir kosong kamu dulu." Katanya setelahnya berlalu meninggalkan Fariz yang terpaku dan Bian yang seolah acuh tak acuh.“Seenak itu kah mie ayam tu sus?” tanya Kaira sambil menelan ludah. Tangan kanan nya tanpa sadar meremas botol air mineral yang isinya tinggal seperempat.Kaira sedang menepati janjinya menemani suster Indri makan mie ayam atas tagihan gadis itu. Umur Kaira dan suster Indri hanya berbeda tiga tahun dengan suster indri lebih tua. Tapi untuk postur tubuh, tinggi badan Kaira jauh diatas suster Indri yang hanya satu meter setengah, hanya beda sepuluh sentimeter saja sih memang.Suster Indri mengangguk antusias. Ia begitu menikmati mie ayam yang sudah berlinang saus tomat hingga berwarna merah kecoklatan itu. “Pelan-pelan saja sus, saya tidak akan minta kok,” ujar Kaira memperingati.Suster Indir menelan mie ayam dalam mulutnya kemudian mengangkat kepalanya menatap Kaira. “Kalau pun dokter minta, saya pasti kasih sih,” jawabnya. Kaira menggeleng getir.“Dokter beneran tidak mau coba? Sedikit saja tidak mau?” tawar suster Indri lagi.Kaira menggeleng. “Saya lihat suster makan saja sudah ken
Pukul dua siang, Fariz sudah berada di halaman rumah kedua orangtuanya atas permintaan Lina. Dengan wajah masam Fariz melangkahkan kakinya lebar-lebar masuk kedalam rumah sambil menjinjing tas kerjanya."Aduh anak tampan Mama akhirnya pulang juga. Gimana kerjanya, lancar? Pasti dong, anak Mama mah jangan diragukan lagi. Iya kan?" sambut Lina dengan senyum merekah. Lina sudah cantik dengan gamis merah muda dan kerudung yang menjuntai hingga batas perut.Fariz menyipitkan kedua matanya, keningnya berkerut. "Mama mau kemana Ma?" tanya Fariz."Bukan Mama tapi kita." Jawab Lina mengoreksi."Kok kita? Ariz juga?"Lina mengangguk antusias, wajahnya berseri. "Sana buruah siap-siap gih, jangan lama-lama ya!" ujar Lina sambil mendorong-dorong kecil tubuh Fariz.Fariz semakin bingung, badannya terhuyung-huyung. "Sebentar-sebentar. Memang kita mau kemana Ma?"Lina berdecak nyaring, kedua matanya melebar menatap Fariz penuh peringatan."Ya gimana Ariz mau nurut coba kalau Mama saja belum mau kasih
Nyatanya, bukan hanya sesi ta’aruf lalu lamaran seperti yang sudah direncanakan. Tapi mereka dinikahkan hari itu juga atas kesepakatan kedua belah pihak keluarga dan masing-masing mempelai, atas usulan Lina tentu saja.Kaira tidak begitu fokus sebenarnya, semua terkesan begitu mendadak dan cepat menurutnya.Tiba-tiba dijodohkanTiba-tiba bertemuTiba-tiba dinikahkanSemua juga terkesan buru-buru, hanya dalam kurun waktu setengah bulan semua sudah selesai hingga dalam tahap pernikahan. Apakah ini yang namanya keistimewaan jodoh dan kekuatan Tuhan? Semua seakan mudah terjadi jika Tuhan sudah berkehendak. Serba kilat ini membuat Kaira sulit untuk memahami segalanya. Yang pasti saat ini dia sudah sah saja menjadi istri dari seorang pria yang bahkan baru ia ketahui nama lengkapnya satu jam lalu. Pria yang menurut mata telanjang Kaira sulit untuk dilewatkan, meskipun pria itu memberi kesan kaku dan juga dingin sejak awal pertemuan. Yah, walaupun lumayan sih memang secara fisik.“Untuk pend
"Mas tidak mau mandi atau setidaknya ganti baju dulu?" cekal Kaira. Reflek tangan nya memegang lengan baju Fariz.Pria itu mengarahkan pandangannya pada lengannya yang digenggam Kaira, membuat Kaira yang merasa terimidasi langsung melepas cekalan, mundur satu langkah."Maaf Mas, Ara tidak sengaja," kata Kaira sedikit canggung."Saya berangkat sekarang. Kamu bisa istirahat, hanya ada dua kamar di apartemen ini. Satu kamar saya yang catnya abu-abu tua, dan yang satu lagi kamar tamu. Kalau kamu tidak mau tidur dikamar saya, kamu bisa menggunakanya.""Mas Ariz bakal pulang jam berapa?" tanya Kaira."Tidak tahu, mungkin besok. Atau nanti malam. Tidak perlu menunggu saya. Jika ada yang kamu butuhkan dibawah ada minimarket, di seberang jalan juga ada supermarket cukup lengkap.""Mas butuh Ara siapkan baju ganti dan mengirimnya ke kantor?" tanya Kaira sebenarnya memberi saran.Fariz menggeleng tegas, dia tidak membutuhkan itu. Yang dia inginkan saat ini hanya segera kembali ke kantor dan meny
Berbeda dengan Kaira yang tenang dan menyikapinya dengan santai, Fariz justru sebaliknya. Pria 32 tahun itu berulang kali menghembuskan napasnya berat, mengusap wajahnya kasar lalu menyandarkan punggungnya di kursi kerja.Bergegas ke kantor karena pekerjaan menumpuk itu hanya akal-akalan pria itu saja. Termasuk memboyong Kaira hari ini juga itu termasuk bagian dari alasanya untuk melarikan diri. Aslinya dia belum siap dengan semuanya. Fariz malah sempat menyesal dan merasa bodoh kenapa tadi dia justru menurut saja tanpa membantah ketika kedua orang tua meminta mereka menikah saat ini juga. Mengangguk seperti anak anjing yang seakan terhipnotis akan pesona majikan barunya.Fariz sampai tidak bisa berkedip ketika pertama kali melihat Kaira, pasangannya seolah terpatri permanen tak membiarkannya untuk terlepas.Satu jam sebelum akad nikah di ikrarkan.Sesosok wanita berkerudung panjang, keluar dari persembunyiannya digandeng oleh ibunya.Gadis itu Kaira. Kepalanya menunduk, dengan kedua
Paginya. Hari pertama Kaira menjabat sebagai seorang istri.Atas izin suaminya kemarin, Kaira kembali bekerja seperti biasa. Dia hanya izin cuti satu hari kerja kepada pihak rumah sakit, karena rencana awalnya kan memang hanya sesi ta'aruf dan khitbah. Jika memang cocok dilanjutkan dengan menentukan tanggal pernikahan mungkin, jika tidak ya batal. Siapa sangka malah justru menjadi hari pernikahan mereka. Jika dijadikan FTV mungkin judulnya "pertemuan pertamaku hari pernikahanku" begitu. "Pagi dokter Ara. Kok sudah masuk saja, saya kira bakal ambil cuti panjang karena besok jadwal libur dokter Ara kan?" sapa suster Linda sambil mengecek stok alat kesehatan di lemari kaca persediaan IGD. Mencocokkan jumlah yang tertulis di kartu stok dengan fisiknya.Kaira mengenakan jas dokternya, berdiri didepan meja perawat dengan menyandarkan tubuhnya pada pinggiran meja, menoleh pada suster Linda sekilas. "Kasian dokter Andi jaga sendiri kan sus kalau saya kelamaan libur?" ujar Kaira. Benar memang
Kaira pulang pukul 14.30 tapi tak ada tanda-tanda kehidupan di apartemen. Semua masih seperti sebelum ia tinggal pagi tadi. Fariz memang belum pulang, pria itu bahkan belum mengangkat bokongnya dari kursi kerja di kantornya sejak semalam. Baju belum ganti, masih mengenakan batik berwarna navy sisa semalam.Jangan kira kamu menikah bisa jadi seenaknya Tuan Muda Kamran, pulang sekarang atau Mama tarik telingamu—MamaFariz menelan ludahnya susah payah, menoleh kekanan dan kekiri lalu melirik pada ponselnya yang masih tergeletak begitu saja diatas meja. Dia sendiri tidak ada siapapun di ruangan, pintu masuk pun tertutup rapat dari mana Lina tahu. Fariz pulang sekarang! Tidak ada bantahan, atau kamu mau Mama yang menjemputmu?—MamaLagi-lagi ponselnya itu bergetar. Dari Lina lagi.Fariz meraih benda persegi panjang itu lalu membuka pesan Lina dan membalasnya.Ini belum waktunya jam pulang kantor Ma, dua jam lagi Ariz pulang—FarizTak butuh waktu lama Lina langsung membalas.Mana ada orang
Malam tiba. Lima kali Kaira membangunkan suaminya, lima kali juga Fariz tidak mengindahkan. Padahal waktu magrib hampir usai, dan pria itu masih seperti kerbau yang susah untuk dibangunkan."Mas, bangun yuk. Salat magrib dulu mas, tinggal 15 menit lagi loh waktunya habis." Ujar Kaira sambil mengguncang pelan lengan Fariz. Kaira juga sudah selesai masak. Tapi yang dibangunkan tak bergerak sedikitpun, matanya masih terpejam rapat. Tenang damai layaknya tak merasa terganggu sedikitpun."Ya Allah, harus gimana lagi Ara bangunin Mas Ariz ini?" gumam Kaira mulai putus asa. Lalu duduk ditepi ranjang dekat dengan Fariz. Ia lenggang sesaat, mengamati wajah suaminya. Dari wajah Fariz, neralih ke hidung, mata, bibir.Jika dilihat dalam keadaan tertidur seperti ini Fariz berbeda jauh dengan ketika pria itu terdasar. Fariz mode sadar itu memancarkan aura dominan yang kental, rahangnya tegas dan irit tersenyum semakin menyempurnakannya. Berbeda dengan Fariz yang tertidur pulas seperti ini, hanya ad