Fariz Ziddan Kamran, CEO and Founder. Papan nama dengan ukiran berukuran cukup besar terpajang apik di atas meja. Benda itu akan berkilat-kilat ketika tersorot cahaya. Fariz menghela napas berulang, keningnya berkerut, tangannya masih dengan gencarnya memijat pelipisnya yang sejak pagi tadi berdenyut nyeri. Ia memang sedang bekerja, tapi pikiranya justru menerawang pada kejadian beberapa jam silam. Padahal setumpuk map sudah memanggil dirinya, tapi sejak tadi tak ada satupun yang berhasil tersentuh.
Tolong Ariz pikirkan baik-baik permintaan Papa-MamaSatu pesan masuk di ponselnya, lagi-lagi Fariz hanya mampu menghela napas berat. Ia seperti diteror oleh kedua orang tuanya.Fariz melirik jam yang bertengger di tangan kirinya, sudah pukul dua dini hari. Tanpa membuang waktu lagi Fariz segera bangkit dari posisi duduknya, meninggalkan ruang kerjanya setelah menyambar kunci mobil dan ponsel.Ia butuh pulang dan mandi air dingin.Tiga puluh menit Fariz sudahsampai di kediaman kedua orang tuanya. Pria berumur 36 tahun itu memang masih tinggal bersama kedua orang tuanya. Bukan karena ia tidak memiliki tempat tinggal lain, melainkan karena Lina, ibu tercintanya yang tak pernah ikhlas melepaskan putra gila kerjanya dari jangkauan matanya.Lina tahu betul tabiat Fariz yang satu itu, tidak bisa diragukan lagi. Bisa-bisa putra semata wayangnya itu akan berbeda alam jika tanpa pengawasan atau ada yang merawat."Baru pulang?" suara lembut namun tegas menghentikan langkah Fariz yang baru saja ingin meniti anak tangga pertama, balik kanan Fariz menoleh ke sumbr suara. Melihat Lina yang tengah bersedekap di depan pintu kamarnya masih mengenakan mukena berwarna biru tua."Sampai kapan kamu mau begini terus hem?" tanya Lina lagi.Fariz menghela napas panjang, memejamkan kedua matanya erat dan membukanya lagi setelahnya. "Kenapa? Capek, atau ngantuk?" cecar Lina. Fariz masih bungkam."Kamu memang pingin Mamamu ini cepat mati kok Fariz.""Ma-" baru saja ia ingin membanta, Lina lebih dulu memotongnya."Kenapa? Keberatan? Mau kamu duluan atau Mama duluan yang mati? Kamu pikir kamu bakal terus sehat dengan pola hidup seperti ini?""Mama kok ngomongnya gitu sih?" protes Fariz tak terima. Lina ini jarang sekali bicara yang buruk-buruk. Jika sudah begini berarti artinya wanita tua itu benar-benar marah atau putus asa.Lina terkekeh sinis. Membuag pandangannya sekilas sebelum akhirnya menatap Fariz nyalang lagi. "Kalau bukan kamu yang mati duluan berarti Mama, mati karena tiap hari harus mikirin tingkahmu itu."Kedua pundak Fariz melorot, badanya lunglai, kepalanya yang memang sudah nyeri sejak tadi kini jadi semakin bertambah nyeri. "Ma, Ariz capek banget. Ini juga hampir pagi Ma-" belum sempat Fariz menyelesaikan ucapanya, lagi-lagi Lina kembali menyela."Mama juga tahu ini hampir pagi, bayi baru lahir juga tahu kalau malam hari itu waktunya tidur bukan kerja." Kata Line dengan nada sewot.Fariz kembali menghela napas, kali ini terdengar cukup keras sampai-sampai Lina yang berada lima langkah darinya bisa mendengar. "Ariz sudah tidur kok tadi di kantor." Jawab Fariz sekenanya, ia tak seutuhnya berbohong karena memang tadi sempat tertidur sebentar.Lina terkekeh remeh. Raut wajahnya terlihat seolah tak percaya. "Lain waktu kalau mau bohong, lihat dulu siapa yang mau kamu bohongi. Bukan orang yang sudah mengandungmu selama sembilan bulan." Ujar Lina.Fariz meradang, emosinya tersungut. "Oke, Ariz mengaku. Ariz memang cuma ketiduran sebentar tadi. Jadi tolong izinin Ariz ke kamar buat istirahat Ma," katanya mengiba. Otaknya sudah penuh, badanya lelah, kepalanya sakit, matanya juga berat. Tapi Lina justru seperti ingin terus mengajaknya berdebar di jam rawan seperti ini."Mama saja sudah bangun, sudah salat tahajud, sudah mau menyiapkan sarapan di dapur. Tapi kamu-" Lina tak langsung menyelesaikan ucapanya, ia lenggang sesaat. Kepalanya menggeleng berulang sambil memamerkan wajah mengejek yang terlalu ketara."Boro-boro salat tahajud, tidur saja belum. Mama sudah tidak tahu lagi harus bagaimana mengurus kamu. Mungkin kalau Mama mati besok, kamu baru mau nurut.""Mati terus, mati terus. Tidak ada kata lain selain mati Ma?" tanya Fariz dengan nada naik satu oktaf. Tapi Lina sudah keburu kembali kedalam kamar sambil membanting pintu keras-keras.*****Sang surya masih mengintip malu-malu, tapi Fariz sudah mengendarai Aston Martin hitam kesayanganya dengan setelan kerjanya, kemeja panjang putih dan celana panjang berwarna silver. Ia pergi pagi-pagi sekali hanya untuk menghindari Lina.Niat awal ingin pulang dan beristirahat sejenak, nyatanya hanya numpang mandi dan ganti baju saja. Desakan Lina dan Bian bagai hantu yang terus bersemayang dan menakut-nakutinya. Fariz bukanya tak ingin menikah. Ia juga ingin memiliki keluarga lengkap seperti kedua orang tuanya. Memiliki penerus yang mirip seperti dirinya. Ia selalu menyukai anak kecil terutama yang berjenis kelamin laki-laki. Tapi masalahnya, masa lalu yang justru mengikatnya kencang-kencang untuk terus berada di zona ini.Ditinggalkan selama berulang karena masalah yang sama itu bukan perkara yang mudah. Lima kali ia sempat menjalin hubungan dengan wanita namun lima kali itu juga ia ditinggalkan hanya karena satu permasalahan, Fariz tergolong kedalam pria maniak kerja. Tiada hari tanpa bekerja dan tidak bisa diganggu ketika sedang bekerja. Mereka bosan, mencari pengganti dan akhirnya meninggalkannya.Teman-temannya pun tak berbeda jauh, mereka memilih menjauh dari Fariz dengan berbagai macam alasan, Fariz terlalu sibuk, Fariz tidak bisa di ajak nongkrong, Fariz terlalu kaku dan Fariz-Fariz yang lain."Pagi Pak Fariz." Sapa Tiara, sekretaris Fariz ketika Fariz baru saja sampai di lantai ruangannya, lantai teratas gedung pencakar langit.Seketika langkah Fariz terhenti, kepalanya menoleh kekiri, mendapati Tiara yang sedang tersenyum hangat kepadanya. Fariz memindai penampilan gadis itu hingga setengah badan karena tertutup meja kerja panjang yang biasanya ditempati dua orang. Tiara dan Tian, sekretaris Fariz yang lain. "Pagi. Tumben pagi-pagi sudah datang Tiara.""Ah, iya pak itu, saya meninggalkan berkas untuk rapat pagi ini. Ada beberapa yang perlu saya cek kembali, jadi saya sengaja berangkat pagi," jawab Tiara apa adanya. Ia tidak mungkin mau datang dua jam lebih awal dari jam masuk kantor jika tidak ada keadaan yang mendesak.Fariz bungkam sesaat, ia masih mengamati penampilan asisten pertamanya yang super duper berantakan. Wajah polos tanpa riasan, rambut yang biasanya terikat rapi kini masih tergerai setengah basah, kemeja yang satu kancing bawahnya belum terkancing. Mencerminkan jika Tiara memang buru-buru datang kekantor."Jam berapa saja saya rapat hari ini?" tanya Fariz.Tanpa membuka lembar jadwal Tiara langsung menjelaskan lancar. "Bapak Full jadwal hari ini, pagi dengan Pak Baron di hotel LeIM, siang hari sambil makan siang dengan Pak Jack membahas desain Iklan Mie instan yang harus launching bulan depan, lalu setelahnya di lanjut dengan membahas hasil rapat dengan para desainer, kreatif dan sorenya jika masih ada waktu dengan Social Media Office, membahas tentang strategi baru yang akan diterapkan bulan depan."Fariz mengangguk berulang. "Pak Jeck masih belum mau dengan Lusi saja? Hal semacam itu seharusnya berurusan dengan bagian Account Executive," tanya Fariz.Tiara menggeleng pelan tanda tidak bisa. Fariz hanya bisa menghela napas panjang. Klien nya yang satu itu memang sedikit rewel dan banyak maunya. Tanpa memperpanjang Fariz segera berlalu meninggalkan Tiara yang kembali duduk dan disibukkan dengan komputer di hadapannya.Sesampainya didalam ruangan Fariz segera mendaratkan tubuhnya di kursi kebangganya, meraih ponsel dari dalam saku celana kanannya dan mengotak atiknya. Baru saja Fariz ingin membuka aplikasi pesan, lebih dulu ponsel itu bergetar, menampilkan pesan masuk dari Lina.Anak kurang kasih sayang memang kamu ini Ariz. Bukannya bujuk Mamanya yang sedang merajuk malah melarikan diri. Awas saja kamu-MamaFariz terkekeh ia tak membalasnya. Jemarinya justru bergerak lincah mengirim pesan kepada satpam kantornya untuk meminta tolong dibelikan kopi dan sarapan. Kenapa justru satpam bukan Office Boy/Girl? Jawabnya sudah pasti karena hanya satpam yang bisa dimintai tolong kapanpun Fariz membutuhkanya. Pegawai lain tidak mungkin ada di kantor di jam luar jam kerja."Dok tekanan darah pasien yang baru saja masuk 180/90 mmHg, nadi 95 kali per menit, suhu tubuh 38 °C, pernapasan 14 kali permenit."Kaira membolak balik rekam medis milik pasien yang tergeletak di atas brankar tak jauh dari ia berdiri. Kedua telinganya ia pasang tajam-tajam untuk mendengarkan semua informasi yang disampaikan oleh perawat wanita yang berdiri di sisi kanannya. Dari pemeriksaan fisik pasien hingga tanda-tanda vital (TTV)."Dari rekam medisnya, pasien memang ada riwayat hipertensi Sus," kata Kaira menginformasi. Keda matanya masih gencar memindai setiap angka dan huruf hasil tulisan tangan pada lembar kertas yang bersampul map putih bertuliskan Rekam Medis Tn. Bahar Buqhori, dengan Nomor Pasien 230512003.Perawat wanita itu mengangguk lalu menerima rekam medis yang Kaira ulurkan padanya."Oh ya Sus, pasien kecelakaan tadi pagi gimana? Sudah mau ngasih sampel urinnya?" tanya Kaira sambil melepaskan stetoskop yang terkalung di lehernya, kemudian ia juga melepaskan jas dokte
Berbeda dengan Kaira yang tengah menyantap makan siangnya diiringi canda dan tawa, Fariz justru sebaliknya. Lagi-lagi ia harus menghadapi amukan beruang kutub, alias kedua orang tuanya yang tiba-tiba datang ke kantornya tanpa diundang.Jika kemarin hanya Bian seorang, kali ini bersama Lina. Wanita itu sudah berceramah dari sabang sampai merauke, kesana kemari dari A sampai Z sambil hilir mudik dihadapan Fariz dan juga Bian. Sedangkan kedua pria itu hanya mampu memijat pelipis masing-masing sambil menghela napas panjang. Mau kabur tak bisa, menghentikan tak berani, bertahan lama-lama telinganya jadi panas, kan serba salah itu namanya."Mama itu cuma tidak kamu jadi jomblo bangkotan lo Ariz...Ariz...""Ma siapa juga coba yang mau jadi jomblo bangkotan, jomblo tu ya jomblo saja, bangkotan ya sudah bangkotan saja namanya itu sudah tua. La Ariz kan masih muda." Protes Fariz pada akhirnya. Niatnya hanya ingin diam sepertinya harus mencoba opsi kedua yaitu menghentikan dengan cara membantah
“Seenak itu kah mie ayam tu sus?” tanya Kaira sambil menelan ludah. Tangan kanan nya tanpa sadar meremas botol air mineral yang isinya tinggal seperempat.Kaira sedang menepati janjinya menemani suster Indri makan mie ayam atas tagihan gadis itu. Umur Kaira dan suster Indri hanya berbeda tiga tahun dengan suster indri lebih tua. Tapi untuk postur tubuh, tinggi badan Kaira jauh diatas suster Indri yang hanya satu meter setengah, hanya beda sepuluh sentimeter saja sih memang.Suster Indri mengangguk antusias. Ia begitu menikmati mie ayam yang sudah berlinang saus tomat hingga berwarna merah kecoklatan itu. “Pelan-pelan saja sus, saya tidak akan minta kok,” ujar Kaira memperingati.Suster Indir menelan mie ayam dalam mulutnya kemudian mengangkat kepalanya menatap Kaira. “Kalau pun dokter minta, saya pasti kasih sih,” jawabnya. Kaira menggeleng getir.“Dokter beneran tidak mau coba? Sedikit saja tidak mau?” tawar suster Indri lagi.Kaira menggeleng. “Saya lihat suster makan saja sudah ken
Pukul dua siang, Fariz sudah berada di halaman rumah kedua orangtuanya atas permintaan Lina. Dengan wajah masam Fariz melangkahkan kakinya lebar-lebar masuk kedalam rumah sambil menjinjing tas kerjanya."Aduh anak tampan Mama akhirnya pulang juga. Gimana kerjanya, lancar? Pasti dong, anak Mama mah jangan diragukan lagi. Iya kan?" sambut Lina dengan senyum merekah. Lina sudah cantik dengan gamis merah muda dan kerudung yang menjuntai hingga batas perut.Fariz menyipitkan kedua matanya, keningnya berkerut. "Mama mau kemana Ma?" tanya Fariz."Bukan Mama tapi kita." Jawab Lina mengoreksi."Kok kita? Ariz juga?"Lina mengangguk antusias, wajahnya berseri. "Sana buruah siap-siap gih, jangan lama-lama ya!" ujar Lina sambil mendorong-dorong kecil tubuh Fariz.Fariz semakin bingung, badannya terhuyung-huyung. "Sebentar-sebentar. Memang kita mau kemana Ma?"Lina berdecak nyaring, kedua matanya melebar menatap Fariz penuh peringatan."Ya gimana Ariz mau nurut coba kalau Mama saja belum mau kasih
Nyatanya, bukan hanya sesi ta’aruf lalu lamaran seperti yang sudah direncanakan. Tapi mereka dinikahkan hari itu juga atas kesepakatan kedua belah pihak keluarga dan masing-masing mempelai, atas usulan Lina tentu saja.Kaira tidak begitu fokus sebenarnya, semua terkesan begitu mendadak dan cepat menurutnya.Tiba-tiba dijodohkanTiba-tiba bertemuTiba-tiba dinikahkanSemua juga terkesan buru-buru, hanya dalam kurun waktu setengah bulan semua sudah selesai hingga dalam tahap pernikahan. Apakah ini yang namanya keistimewaan jodoh dan kekuatan Tuhan? Semua seakan mudah terjadi jika Tuhan sudah berkehendak. Serba kilat ini membuat Kaira sulit untuk memahami segalanya. Yang pasti saat ini dia sudah sah saja menjadi istri dari seorang pria yang bahkan baru ia ketahui nama lengkapnya satu jam lalu. Pria yang menurut mata telanjang Kaira sulit untuk dilewatkan, meskipun pria itu memberi kesan kaku dan juga dingin sejak awal pertemuan. Yah, walaupun lumayan sih memang secara fisik.“Untuk pend
"Mas tidak mau mandi atau setidaknya ganti baju dulu?" cekal Kaira. Reflek tangan nya memegang lengan baju Fariz.Pria itu mengarahkan pandangannya pada lengannya yang digenggam Kaira, membuat Kaira yang merasa terimidasi langsung melepas cekalan, mundur satu langkah."Maaf Mas, Ara tidak sengaja," kata Kaira sedikit canggung."Saya berangkat sekarang. Kamu bisa istirahat, hanya ada dua kamar di apartemen ini. Satu kamar saya yang catnya abu-abu tua, dan yang satu lagi kamar tamu. Kalau kamu tidak mau tidur dikamar saya, kamu bisa menggunakanya.""Mas Ariz bakal pulang jam berapa?" tanya Kaira."Tidak tahu, mungkin besok. Atau nanti malam. Tidak perlu menunggu saya. Jika ada yang kamu butuhkan dibawah ada minimarket, di seberang jalan juga ada supermarket cukup lengkap.""Mas butuh Ara siapkan baju ganti dan mengirimnya ke kantor?" tanya Kaira sebenarnya memberi saran.Fariz menggeleng tegas, dia tidak membutuhkan itu. Yang dia inginkan saat ini hanya segera kembali ke kantor dan meny
Berbeda dengan Kaira yang tenang dan menyikapinya dengan santai, Fariz justru sebaliknya. Pria 32 tahun itu berulang kali menghembuskan napasnya berat, mengusap wajahnya kasar lalu menyandarkan punggungnya di kursi kerja.Bergegas ke kantor karena pekerjaan menumpuk itu hanya akal-akalan pria itu saja. Termasuk memboyong Kaira hari ini juga itu termasuk bagian dari alasanya untuk melarikan diri. Aslinya dia belum siap dengan semuanya. Fariz malah sempat menyesal dan merasa bodoh kenapa tadi dia justru menurut saja tanpa membantah ketika kedua orang tua meminta mereka menikah saat ini juga. Mengangguk seperti anak anjing yang seakan terhipnotis akan pesona majikan barunya.Fariz sampai tidak bisa berkedip ketika pertama kali melihat Kaira, pasangannya seolah terpatri permanen tak membiarkannya untuk terlepas.Satu jam sebelum akad nikah di ikrarkan.Sesosok wanita berkerudung panjang, keluar dari persembunyiannya digandeng oleh ibunya.Gadis itu Kaira. Kepalanya menunduk, dengan kedua
Paginya. Hari pertama Kaira menjabat sebagai seorang istri.Atas izin suaminya kemarin, Kaira kembali bekerja seperti biasa. Dia hanya izin cuti satu hari kerja kepada pihak rumah sakit, karena rencana awalnya kan memang hanya sesi ta'aruf dan khitbah. Jika memang cocok dilanjutkan dengan menentukan tanggal pernikahan mungkin, jika tidak ya batal. Siapa sangka malah justru menjadi hari pernikahan mereka. Jika dijadikan FTV mungkin judulnya "pertemuan pertamaku hari pernikahanku" begitu. "Pagi dokter Ara. Kok sudah masuk saja, saya kira bakal ambil cuti panjang karena besok jadwal libur dokter Ara kan?" sapa suster Linda sambil mengecek stok alat kesehatan di lemari kaca persediaan IGD. Mencocokkan jumlah yang tertulis di kartu stok dengan fisiknya.Kaira mengenakan jas dokternya, berdiri didepan meja perawat dengan menyandarkan tubuhnya pada pinggiran meja, menoleh pada suster Linda sekilas. "Kasian dokter Andi jaga sendiri kan sus kalau saya kelamaan libur?" ujar Kaira. Benar memang