Silfi baru benar-benar menemui putrinya setelah selang waktu sepuluh menit, ia memilih menenangkan hatinya yang terguncang lebih dulu sebelum akhirnya menyampaikan berita mengejutkan itu pada Kaira.
Di depan pintu berwarna putih tulang yang tertempel tulisan "ARA ROOM" besar-besar, Silfi menghembuskan napasnya berulang. Tangannya sudah memegang gagang pintu sejak tiga menit yang lalu. Setelah melafalkan Basmalah akhirnya mantap Silfi mengetuk daun pintu itu sebanyak tiga kali dan membukanya setelah terdengar suara nyaring putrinya dari balik pintu."Masuk saja Ummi, tidak Ara kunci kok pintunya," kata Kaira. Gadis itu belum beralih dari posisi duduknya, bahkan menoleh pun tidak. Hanya mulutnya saja yang bersuara."Ummi mengganggu ya?" tanya Silfi basa basi.Kaira menggeleng cepat, barulah ia menoleh menatap Silfi, kepalanya sedikit menunduk karena pandangannya terhalang oleh kacamata baca yang sudah melorot hingga menutupi hidungnya."Tidak kok Ummi, Ara cuma lagi baca-baca saja. Ada apa ya Ummi?"Silfi duduk di pinggir ranjang tidur Kaira menghadap Kaira yang sedang duduk di kursi depan meja kerja."Emm-" Silfi mendehem panjang, ragu-ragu ingin mulai bicara.Kaira menautkan kedua alisnya, keningnya berkerut, kemudian ia melepas kacamatanya dan meletakkannya di atas meja. "Ada apa Ummi, katakan saja."Silfi menarik napasnya dalam, lalu menghembuskan perlahan. Jantungnya mulai bergemuruh hebat."Ummi minta maaf sebelumnya, ini mungkin akan mengguncang Ara. Tapi, apapun yang Ara dengan dari Ummi nanti tolong pikirkan dulu baik-baik ya sayang!"Kerutan di kening Kaira semakin menajam, tapi ia tetap menganggukkan kepalanya sebanyak dua kali meski ragu-ragu. Sedangkan Silfi justru semakin gugup dan berulang kali membuang napas berat."Putri Ummi dan Abi sudah dewasa kan sekarang? Sudah jadi dokter umum. Umurnya juga sudah 25 tahun, sudah siap untuk membina rumah tangga."Silfi bungkam sejenak, ingin tahu reaksi apa yang Kaira tunjukkan. Ekspresi Kaira masih sama, tenang. Walaupun sepertinya juga bingung secara bersamaan. Silfi kembali melanjutkan ucapannya. "Tadi sebelum Ummi kesini, Abi sempat menyampaikan satu hal yang selama satu bulan ini mengganggu pikiran Abi. Itu semua berkaitan dengan Ara."Kaira menegang, dan Silfi bisa melihat itu. Wanita tua itu kembali menjeda ucapanya sejenak."Satu bulan lalu ketika Abi mengisi tausiah di Masjid Agung Semarang, ada jama'ah yang baru mulai hijrah. Sepasang suami istri, dan beliau meminta Abi untuk dicarikan calon istri untuk putra tunggalnya yang gila kerja dan punya masa lalu buruk, ditinggalkan karena hal itu. Abi belum tahu pasti tapi yang Umi tangkap dari cerita Abi tadi seperti itu. Tapi Abi justru memiliki kecondongan untuk menjadikan anak itu sebagai menantunya, suami Ara kelak. Abi juga sudah salat istikharah selama satu bulan ini dan jawabanya justru hatinya semakin condong." Jelas Silfi panjang lebar.Tidak ada ekspresi lain lagi dari Kaira setelah yang terakhir kali Silfi lihat berupa ketegangan.Silfi bungkam, Kaira pun demikian. Kamar Kaira yang bernuansa campuran merah muda, putih dan kuning ini lenggang. Hanya suara pendingin ruangan dan jam dinding saja yang terdengar."Tadi Abi juga bilang Abi tidak memaksa, justru jawaban Ara adalah final dari salat istikharah Abi selama sebulan ini, apapun jawaban itu. Mau atau tidaknya."Kaira membuang napas sedikit keras, ia juga menggigit sebentar bibir bawahnya. "Ummi, mungkin akan terkesan gegabah kedengaranya jika Ara memutuskan sekarang. Tapi seperti yang Ummi bilang, Abi sudah salat istikharah selama satu bulan full. Tidak ada alasan lagi buat Ara ragu apalagi menolak. Abi adalah orang yang beriman, yang Abi rasakan, dapatkan, itu tidak bisa kita anggap remeh kan Ummi? Bisa jadi itu petunjuk dari Allah. Jadi, tolong sampaikan dengan Abi jika Ara menerima dengan keikhlasan hati dan kelapangan hati tanpa paksaan." Ujar Kaira.Silfi hanya mampu mematung, tak tahu harus menjawab seperti apa. Hatinya menghangat, tanpa sadar bulir bening berhasil melewati pipi kanannya.Putrinya, gadis kecil yang akan ia anggap kecil selamanya ini sudah menjadi gadis dewasa dengan kelapangan hati yang seluas samudra.Tanpa membuang waktu lama, setelah keluar dari kamar putrinya Silfi langsung membagi kabar gembira itu pada suaminya. Albi yang masih ditempat yang sama ternganga karena apa yang Silfi sampaikan."Abi... Abi dengar apa yang Ummi bilang kan?" tegur Silfi karena Albi justru melamun.Albi langsung tersadar. "Eh, dengar Ummi. Abi hanya kaget saja." Jawabnya.Silfi tersenyum simpul. "Ummi tadi juga kaget Abi, apalagi waktu lihat Ara justru seyakin itu seolah bukan hal yang besar.""Mungkin sebenarnya putri kita juga kaget Ummi, walaupun mungkin dia sungkan untuk menolak, tapi Ara juga pasti memiliki alasan tersendiri kenapa menerima begitu saja Mi. Ummi tahu sendiri Ara selama ini selalu jadi anak penurut dan berbakti. Mungkin saat ini dia menyesali keputusannya atau justru menangis."Silfi mengangguk setuju, apa yang Albi memang katakan benar. Kaira bukan anak yang pembangkang, gadis itu justru nyaris tidak pernah menolak permintaan kedua orang tuanya dengan alasan apa yang kedua orang tuanya putuskan untuk hidupnya itu adalah yang terbaik, dan ridho orangtua adalah separuh dari ridho Allah."Abi jika Ara tiba-tiba merubah keputusannya bagaimana?" tanya Silfi.Albi diam sejenak. "Insya Allah Ara tidak akan merubah keputusanya Ummi. Tapi jikapun iya, ya tidak masalah, Ara berhak menolak. Abi juga sudah mengatakan bukan kalau jawaban Ara itu menjadi final dari masalah ini?""Tapi menurut firasat Abi apa putri kita akan berubah pikiran?"Albi menggeleng pelan. "Firasat Abi bilang sih tidak Ummi. Dia sedih pasti, tapi putri kita bukan orang yang mudah goyah, sebenarnya dia pasti sudah memikirkan dan pasti punya alasan ketika memutuskan jalan yang akan dia ambil walaupun hanya sepintas memikirkanya. Putri kita punya prinsip yang kuat Ummi."Silfi hanya mampu mengangguk sebagai akhir dari perbincangan mereka tentang Kaira.Benar dugaan Albi, tidak melenceng sedikitpun. Di dalam kamar seorang diri, Kaira tengan menangis tersedu-sedu. Membenamkan wajahnya permukaan bantal untuk bisa meredam suara tangisnya. Ia tidak ingin kedua orang tuanya tahu jika ia menangis.Kaira tidak menyesali keputusannya. Apa yang Kaira katakan pada Silfi itu sebuah kejujuran. Albi itu seorang ulama, orang beriman, orang shalih yang insyaAllah dicintai Allah. Firasatnya, mimpinya, itu tidak boleh dianggap sepele dan remeh. Ia juga tidak tahu kenapa ia menangisi semua ini jika bukan karena menyesal.Kaira mengangkat kepalanya, mengibas kedua tangan didepan wajah."It's okay Kaira Qistina, ridho orang tua adalah separuh dari ridho Allah. Keputusan Abi Ummi mustahil menyesatkanmu. Jalani dengan sabar, terima dengan hati yang lapang, dan percaya jika Allah tidak mungkin memberi sesuatu tanpa maksud didalamnya." Gumam Kaira disela tangisnya.Fariz Ziddan Kamran, CEO and Founder. Papan nama dengan ukiran berukuran cukup besar terpajang apik di atas meja. Benda itu akan berkilat-kilat ketika tersorot cahaya. Fariz menghela napas berulang, keningnya berkerut, tangannya masih dengan gencarnya memijat pelipisnya yang sejak pagi tadi berdenyut nyeri. Ia memang sedang bekerja, tapi pikiranya justru menerawang pada kejadian beberapa jam silam. Padahal setumpuk map sudah memanggil dirinya, tapi sejak tadi tak ada satupun yang berhasil tersentuh.Tolong Ariz pikirkan baik-baik permintaan Papa-MamaSatu pesan masuk di ponselnya, lagi-lagi Fariz hanya mampu menghela napas berat. Ia seperti diteror oleh kedua orang tuanya.Fariz melirik jam yang bertengger di tangan kirinya, sudah pukul dua dini hari. Tanpa membuang waktu lagi Fariz segera bangkit dari posisi duduknya, meninggalkan ruang kerjanya setelah menyambar kunci mobil dan ponsel.Ia butuh pulang dan mandi air dingin.Tiga puluh menit Fariz sudahsampai di kediaman kedua orang t
"Dok tekanan darah pasien yang baru saja masuk 180/90 mmHg, nadi 95 kali per menit, suhu tubuh 38 °C, pernapasan 14 kali permenit."Kaira membolak balik rekam medis milik pasien yang tergeletak di atas brankar tak jauh dari ia berdiri. Kedua telinganya ia pasang tajam-tajam untuk mendengarkan semua informasi yang disampaikan oleh perawat wanita yang berdiri di sisi kanannya. Dari pemeriksaan fisik pasien hingga tanda-tanda vital (TTV)."Dari rekam medisnya, pasien memang ada riwayat hipertensi Sus," kata Kaira menginformasi. Keda matanya masih gencar memindai setiap angka dan huruf hasil tulisan tangan pada lembar kertas yang bersampul map putih bertuliskan Rekam Medis Tn. Bahar Buqhori, dengan Nomor Pasien 230512003.Perawat wanita itu mengangguk lalu menerima rekam medis yang Kaira ulurkan padanya."Oh ya Sus, pasien kecelakaan tadi pagi gimana? Sudah mau ngasih sampel urinnya?" tanya Kaira sambil melepaskan stetoskop yang terkalung di lehernya, kemudian ia juga melepaskan jas dokte
Berbeda dengan Kaira yang tengah menyantap makan siangnya diiringi canda dan tawa, Fariz justru sebaliknya. Lagi-lagi ia harus menghadapi amukan beruang kutub, alias kedua orang tuanya yang tiba-tiba datang ke kantornya tanpa diundang.Jika kemarin hanya Bian seorang, kali ini bersama Lina. Wanita itu sudah berceramah dari sabang sampai merauke, kesana kemari dari A sampai Z sambil hilir mudik dihadapan Fariz dan juga Bian. Sedangkan kedua pria itu hanya mampu memijat pelipis masing-masing sambil menghela napas panjang. Mau kabur tak bisa, menghentikan tak berani, bertahan lama-lama telinganya jadi panas, kan serba salah itu namanya."Mama itu cuma tidak kamu jadi jomblo bangkotan lo Ariz...Ariz...""Ma siapa juga coba yang mau jadi jomblo bangkotan, jomblo tu ya jomblo saja, bangkotan ya sudah bangkotan saja namanya itu sudah tua. La Ariz kan masih muda." Protes Fariz pada akhirnya. Niatnya hanya ingin diam sepertinya harus mencoba opsi kedua yaitu menghentikan dengan cara membantah
“Seenak itu kah mie ayam tu sus?” tanya Kaira sambil menelan ludah. Tangan kanan nya tanpa sadar meremas botol air mineral yang isinya tinggal seperempat.Kaira sedang menepati janjinya menemani suster Indri makan mie ayam atas tagihan gadis itu. Umur Kaira dan suster Indri hanya berbeda tiga tahun dengan suster indri lebih tua. Tapi untuk postur tubuh, tinggi badan Kaira jauh diatas suster Indri yang hanya satu meter setengah, hanya beda sepuluh sentimeter saja sih memang.Suster Indri mengangguk antusias. Ia begitu menikmati mie ayam yang sudah berlinang saus tomat hingga berwarna merah kecoklatan itu. “Pelan-pelan saja sus, saya tidak akan minta kok,” ujar Kaira memperingati.Suster Indir menelan mie ayam dalam mulutnya kemudian mengangkat kepalanya menatap Kaira. “Kalau pun dokter minta, saya pasti kasih sih,” jawabnya. Kaira menggeleng getir.“Dokter beneran tidak mau coba? Sedikit saja tidak mau?” tawar suster Indri lagi.Kaira menggeleng. “Saya lihat suster makan saja sudah ken
Pukul dua siang, Fariz sudah berada di halaman rumah kedua orangtuanya atas permintaan Lina. Dengan wajah masam Fariz melangkahkan kakinya lebar-lebar masuk kedalam rumah sambil menjinjing tas kerjanya."Aduh anak tampan Mama akhirnya pulang juga. Gimana kerjanya, lancar? Pasti dong, anak Mama mah jangan diragukan lagi. Iya kan?" sambut Lina dengan senyum merekah. Lina sudah cantik dengan gamis merah muda dan kerudung yang menjuntai hingga batas perut.Fariz menyipitkan kedua matanya, keningnya berkerut. "Mama mau kemana Ma?" tanya Fariz."Bukan Mama tapi kita." Jawab Lina mengoreksi."Kok kita? Ariz juga?"Lina mengangguk antusias, wajahnya berseri. "Sana buruah siap-siap gih, jangan lama-lama ya!" ujar Lina sambil mendorong-dorong kecil tubuh Fariz.Fariz semakin bingung, badannya terhuyung-huyung. "Sebentar-sebentar. Memang kita mau kemana Ma?"Lina berdecak nyaring, kedua matanya melebar menatap Fariz penuh peringatan."Ya gimana Ariz mau nurut coba kalau Mama saja belum mau kasih
Nyatanya, bukan hanya sesi ta’aruf lalu lamaran seperti yang sudah direncanakan. Tapi mereka dinikahkan hari itu juga atas kesepakatan kedua belah pihak keluarga dan masing-masing mempelai, atas usulan Lina tentu saja.Kaira tidak begitu fokus sebenarnya, semua terkesan begitu mendadak dan cepat menurutnya.Tiba-tiba dijodohkanTiba-tiba bertemuTiba-tiba dinikahkanSemua juga terkesan buru-buru, hanya dalam kurun waktu setengah bulan semua sudah selesai hingga dalam tahap pernikahan. Apakah ini yang namanya keistimewaan jodoh dan kekuatan Tuhan? Semua seakan mudah terjadi jika Tuhan sudah berkehendak. Serba kilat ini membuat Kaira sulit untuk memahami segalanya. Yang pasti saat ini dia sudah sah saja menjadi istri dari seorang pria yang bahkan baru ia ketahui nama lengkapnya satu jam lalu. Pria yang menurut mata telanjang Kaira sulit untuk dilewatkan, meskipun pria itu memberi kesan kaku dan juga dingin sejak awal pertemuan. Yah, walaupun lumayan sih memang secara fisik.“Untuk pend
"Mas tidak mau mandi atau setidaknya ganti baju dulu?" cekal Kaira. Reflek tangan nya memegang lengan baju Fariz.Pria itu mengarahkan pandangannya pada lengannya yang digenggam Kaira, membuat Kaira yang merasa terimidasi langsung melepas cekalan, mundur satu langkah."Maaf Mas, Ara tidak sengaja," kata Kaira sedikit canggung."Saya berangkat sekarang. Kamu bisa istirahat, hanya ada dua kamar di apartemen ini. Satu kamar saya yang catnya abu-abu tua, dan yang satu lagi kamar tamu. Kalau kamu tidak mau tidur dikamar saya, kamu bisa menggunakanya.""Mas Ariz bakal pulang jam berapa?" tanya Kaira."Tidak tahu, mungkin besok. Atau nanti malam. Tidak perlu menunggu saya. Jika ada yang kamu butuhkan dibawah ada minimarket, di seberang jalan juga ada supermarket cukup lengkap.""Mas butuh Ara siapkan baju ganti dan mengirimnya ke kantor?" tanya Kaira sebenarnya memberi saran.Fariz menggeleng tegas, dia tidak membutuhkan itu. Yang dia inginkan saat ini hanya segera kembali ke kantor dan meny
Berbeda dengan Kaira yang tenang dan menyikapinya dengan santai, Fariz justru sebaliknya. Pria 32 tahun itu berulang kali menghembuskan napasnya berat, mengusap wajahnya kasar lalu menyandarkan punggungnya di kursi kerja.Bergegas ke kantor karena pekerjaan menumpuk itu hanya akal-akalan pria itu saja. Termasuk memboyong Kaira hari ini juga itu termasuk bagian dari alasanya untuk melarikan diri. Aslinya dia belum siap dengan semuanya. Fariz malah sempat menyesal dan merasa bodoh kenapa tadi dia justru menurut saja tanpa membantah ketika kedua orang tua meminta mereka menikah saat ini juga. Mengangguk seperti anak anjing yang seakan terhipnotis akan pesona majikan barunya.Fariz sampai tidak bisa berkedip ketika pertama kali melihat Kaira, pasangannya seolah terpatri permanen tak membiarkannya untuk terlepas.Satu jam sebelum akad nikah di ikrarkan.Sesosok wanita berkerudung panjang, keluar dari persembunyiannya digandeng oleh ibunya.Gadis itu Kaira. Kepalanya menunduk, dengan kedua