"Pa bukan berarti harus dijodohin juga kan? Ariz bisa kok cari pendamping hidup Ariz sendiri"
"Mau sampai kapan kamu buat Papa Mama nunggu? Ayolah nak, kamu tidak kasihan dengan kami? Kami sudah semakin tua, sudah waktunya punya menantu, menggendong cucu. Teman-teman Papa Mama saja sudah punya cucu banyak." Bian mengiba, menatap putranya lembut.Fariz memutus tatapan matanya dari Bian, hatinya melemah, ia tak kuat. Fariz hanya mampu menunduk lesu sekarang. Ini masih jam kerja, baru pukul 10.30 pagi. Tapi Bian sudah datang dan menceramahinya di ruang kerja kantornya. Tadi sebelum Bian datang Fariz tengah bergelut dengan setumpuk dokumen.Seumur hidup, Fariz sebenarnya paling tidak suka jika sedang diusik ketika tengah bekerja. Terlebih membahas masalah pribadi di jam kerja dan ditempat kerja, seperti tidak ada waktu lain saja.Tapi ini Bian, ayah kandungnya sendiri. Mana berani ia mengusir pria yang telah membesarkannya hingga sebesar ini.Bian menatap Fariz dalam diam, tatapan pria tua itu mengandung banyak arti yang mendalam. Tatapan yang teramat Fariz hindari sebenarnya, pasti ia tidak akan pernah sanggup dan pasti akan luluh lantah ditangan pria tua itu.Fariz hanya mampu memijat pelipisnya perlahan, kepalanya berdenyut nyeri, sekujur tubuhnya juga merasa lelah. Dengan perasaan gundah, Fariz mengangkat kembali kepalanya, menangkap tatapan teduh Bian sambil menghembuskan napasnya berat.Tatapan itu, tatapan penuh harap itu, rasanya tidak mungkin jika tidak meluluhkan relung hatinya."Pa, bukan Ariz nolak gitu saja buat menikah. Papa sendiri tahu kan masalalu apa yang terjadi dalam hidup Ariz. Ariz cuma butuh waktu sampai benar-benar siap, setidaknya kasih Ariz waktu," kata Fariz akhirnya panjang lebar. Mengambil kesempatan terakhir yang ia punya untuk merengkuh simpati Bian.Bian menghembuskan napasnya berat, kedua pundaknya melorot, wajahnya semakin sendu. Ia tahu tentang itu, tentang masa lalu putranya. Ia juga tahu jika pekerjaan adalah hal yang disukai putranya dan sesuatu yang menolong putranya dari keterpurukan juga. Tapi ia juga sudah cukup membiarkan Fariz larut dengan dunia kerasnya selama lima tahun belakangan ini. Lina istrinya juga semakin mengkhawatirkan kondisi gila kerja Fariz yang nyaris lupa jalan pulang."Ariz pikir dulu baik-baik. Papa tidak mungkin asal meminta jika tanpa alasan jelas. Mamamu juga semakin hari semakin rentan karena terlalu banyak mikirin kamu. Jujur, jika Papa boleh memilih maka Papa akan lebih memilih Ariz dengan ekonomi yang sederhana tapi memikirkan dirinya dan masa depannya. Dibandingkan Ariz yang gila kerja meskipun berlimpah harta." Ujar Bian lembut sebagai akhir dari pembicaraan keduanya. Karena setelahnya pria tua yang rambutnya mulai memutih itu bergegas pergi meninggalkan Fariz yang terpaku tak berdaya. Hatinya bagai diremas lalu dihantam dengan induk gajah."Oh Tuhan, masalah apa lagi ini? Tidak cukupkah engkau memberikan kesakitan padaku hingga sedalam ini?" gumam Fariz putus asa sambil meremas rambutnya kuat-kuat.******Malam harinya, di kediaman Kaira.Albi, duduk termenung seorang di kuris kayu yang sudah renta, di teras depan rumahnya. Ditemani secangkir kopi hitam yang mulai mendingin. Pikirannya menerawang entah kemana, pandanganya kosong meskipun terarah pada pohon mangga yang berdiri tegak cukup jauh darinya.Semilir angin berhembus sepoy-sepoy, tak ada satupun bintang. Bulan pun hanya mengintip malu-malu karena tertutup awan mendung. Sesekali kening pria tua itu berkerut, matanya menyipit, terkadang ia juga menghembuskan napasnya berat tanpa sadar. Hatinya gelisah, ada setumpuk pertanyaan yang sebenarnya memenuhi pikirannya.Albi memegangi dagunya sendiri, lalu mengusap dagu yang hanya ditumbuhi beberapa helai rambut yang mulai memutih itu secara berulang."Abi kenapa? Ada masalah?" tanya Silfi, istrinya. Umurnya tak terlalu jauh dari pria tua itu. Hanya tiga tahun lebih muda saja. Entah sejak kapan wanita itu sudah duduk di sisinya, menatapnya dengan kening berkerut.Albi menoleh, meletakkan tangannya pada pegangan kursi lalu tersenyum simpul."Tidak ada Ummi.""Ada sesuatu yang terjadi di sekolah? Atau di majelis?" tanya Silfi belum puas.Albi tak langsung menjawab, ia justru meraih cangkir kopi yang tinggal setengah itu dan meminumnya setelah menghirup aromanya sesaat."Ada sepasang suami istri yang meminta Abi untuk dicarikan pasangan untuk putra tunggalnya.""Lalu? Bukanya sudah biasa yang seperti itu ya Abi?" tanya Silfi lagi. Albi memang kerap diminta menjadi perantara dalam proses ta'aruf.Albi mengangguk. "Tapi yang kali ini sedikit berbeda Ummi."Silfi mengerutkan keningnya. Ia masih berusaha untuk tenang meskipun rasa penasaranya sudah memuncak sejak tadi. "Berbeda bagaimana Abi? Apa terlalu rumit kriteria yang diberikan?"Albi lenggang sesaat, ia justru menebarkan pandangannya ke arah lain. Bukan lagi pohon mangga, atau silfi tapi pada bunga anggrek yang menempel pada batang pohon mangga.Harap-harap cemas, Silfi masih berusaha menunggu dengan sabar."Abi menaruh hati untuk menjadikan sepasang suami istri itu menjadi besan kita Ummi," katanya hati-hati.JEDARSilfi terperanjat. "Kenapa begitu Bi?" tanya Silfi, nada suaranya terdengar lebih keras dari sebelumnya, raut wajahnya juga berubah menjadi pias. Silfi tidak sebodoh itu sehingga tidak bisa menangkap maksud yang dikatakan suaminya.Tatapan Albi memang masih tertuju pada bunga angrek, tapi ia juga bisa melihat dari ekor matanya jika Silfi tengah mentapnya saat ini.Albi menggeleng ragu, lalu menoleh menatap Silfi. "Abi sendiri tidak tahu Ummi, Abi hanya merasa hati Abi condong ke arah sana. Abi juga sudah Salat Istikharah selama satu bulan ini. Tapi hasilnya justru semakin yakin."Silfi terpaku, ia jadi tahu apa alasanya suaminya itu terlihat murung selama satu bulan ini. Meski bersikap seperti biasanya pada dirinya dan putrinya, tapi pria tua itu lebih banyak termenung akhir-akhir ini. Lebih banyak diam, dan memasang wajah tak bersemangat.Kaira putrinya mungkin tidak merasakan perubahan-perubahan itu, tapi Silfi adalah istri dan ibu disini. Pemegang kunci kenyamanan dalam rumah sekaligus berperan sebagai rumah itu, ia pasti memahami perubahan sekecil apapun yang terjadi dari penghuni rumah tanpa terkecuali."Yang meminta adalah jama'ah Abi di majelis, mereka baru saja mulai berhijrah. Seorang orang tua sama seperti kita yang mengkhawatirkan nasib putra tunggalnya yang sudah berumur 36 tahun. Tapi, belum menemukan pendamping karena rasa traumanya. Abi belum tahu pasti karena belum sempat berbincang lagi dengan keduanya. Tapi yang pasti masalahnya berkaitan dengan putranya yang gila kerja dan lingkungan yang meninggalkannya karena sifatnya itu."Silfi belum angkat bicara, ia tidak tahu harus merespon tentang berita yang Albi sampaikan itu dengan hal apa."Abi tahu dengan kita merelakan Ara, sama saja kita mempertaruhkan masa depan putri kita satu-satunya. Itu kenapa Abi salat istikharah selama satu bulan ini dan belum menceritakan hal ini dengan Ummi." Sambung Albi masih menjelaskan.Silfi mengulurkan tangan kanannya, meraih punggung tangan kiri Albi dan mengusapnya lembut."Ummi akan menyampaikan niat baik Abi ini dengan putri kita. Terimakasih sudah mau mengatakan kejujuran ini dengan Ummi, Abi. Ummi terkejut itu pasti, tapi Ummi lebih percaya, suami Ummi adalah suami dan Ayah yang hebat. Yang selalu melibatkan Tuhan dalam setiap apa yang terjadi di kehidupannya, jadi tidak ada alasan lagi untuk Ummi ragu. Ummi yakin putri kita pun demikian," kata Silfi pada akhirnya.Albi mendengus lega, hatinya menghangat. Tangan kanan nya terulur meraih tangan Silfi yang masih menggenggam tangan kirinya. "Jika memang Ara tidak mau tidak apa-apa Mi, Abi bisa mencarikan yang lain dan mungkin jawaban Ara itu juga salah satu petunjuk dari Allah."Silfi mengangguk, wanita tua itu juga mengukirkan senyumnya sebelum akhirnya berlalu meninggalkan Albi untuk menemui putrinya.Silfi baru benar-benar menemui putrinya setelah selang waktu sepuluh menit, ia memilih menenangkan hatinya yang terguncang lebih dulu sebelum akhirnya menyampaikan berita mengejutkan itu pada Kaira.Di depan pintu berwarna putih tulang yang tertempel tulisan "ARA ROOM" besar-besar, Silfi menghembuskan napasnya berulang. Tangannya sudah memegang gagang pintu sejak tiga menit yang lalu. Setelah melafalkan Basmalah akhirnya mantap Silfi mengetuk daun pintu itu sebanyak tiga kali dan membukanya setelah terdengar suara nyaring putrinya dari balik pintu."Masuk saja Ummi, tidak Ara kunci kok pintunya," kata Kaira. Gadis itu belum beralih dari posisi duduknya, bahkan menoleh pun tidak. Hanya mulutnya saja yang bersuara."Ummi mengganggu ya?" tanya Silfi basa basi.Kaira menggeleng cepat, barulah ia menoleh menatap Silfi, kepalanya sedikit menunduk karena pandangannya terhalang oleh kacamata baca yang sudah melorot hingga menutupi hidungnya."Tidak kok Ummi, Ara cuma lagi baca-baca saja. Ada
Fariz Ziddan Kamran, CEO and Founder. Papan nama dengan ukiran berukuran cukup besar terpajang apik di atas meja. Benda itu akan berkilat-kilat ketika tersorot cahaya. Fariz menghela napas berulang, keningnya berkerut, tangannya masih dengan gencarnya memijat pelipisnya yang sejak pagi tadi berdenyut nyeri. Ia memang sedang bekerja, tapi pikiranya justru menerawang pada kejadian beberapa jam silam. Padahal setumpuk map sudah memanggil dirinya, tapi sejak tadi tak ada satupun yang berhasil tersentuh.Tolong Ariz pikirkan baik-baik permintaan Papa-MamaSatu pesan masuk di ponselnya, lagi-lagi Fariz hanya mampu menghela napas berat. Ia seperti diteror oleh kedua orang tuanya.Fariz melirik jam yang bertengger di tangan kirinya, sudah pukul dua dini hari. Tanpa membuang waktu lagi Fariz segera bangkit dari posisi duduknya, meninggalkan ruang kerjanya setelah menyambar kunci mobil dan ponsel.Ia butuh pulang dan mandi air dingin.Tiga puluh menit Fariz sudahsampai di kediaman kedua orang t
"Dok tekanan darah pasien yang baru saja masuk 180/90 mmHg, nadi 95 kali per menit, suhu tubuh 38 °C, pernapasan 14 kali permenit."Kaira membolak balik rekam medis milik pasien yang tergeletak di atas brankar tak jauh dari ia berdiri. Kedua telinganya ia pasang tajam-tajam untuk mendengarkan semua informasi yang disampaikan oleh perawat wanita yang berdiri di sisi kanannya. Dari pemeriksaan fisik pasien hingga tanda-tanda vital (TTV)."Dari rekam medisnya, pasien memang ada riwayat hipertensi Sus," kata Kaira menginformasi. Keda matanya masih gencar memindai setiap angka dan huruf hasil tulisan tangan pada lembar kertas yang bersampul map putih bertuliskan Rekam Medis Tn. Bahar Buqhori, dengan Nomor Pasien 230512003.Perawat wanita itu mengangguk lalu menerima rekam medis yang Kaira ulurkan padanya."Oh ya Sus, pasien kecelakaan tadi pagi gimana? Sudah mau ngasih sampel urinnya?" tanya Kaira sambil melepaskan stetoskop yang terkalung di lehernya, kemudian ia juga melepaskan jas dokte
Berbeda dengan Kaira yang tengah menyantap makan siangnya diiringi canda dan tawa, Fariz justru sebaliknya. Lagi-lagi ia harus menghadapi amukan beruang kutub, alias kedua orang tuanya yang tiba-tiba datang ke kantornya tanpa diundang.Jika kemarin hanya Bian seorang, kali ini bersama Lina. Wanita itu sudah berceramah dari sabang sampai merauke, kesana kemari dari A sampai Z sambil hilir mudik dihadapan Fariz dan juga Bian. Sedangkan kedua pria itu hanya mampu memijat pelipis masing-masing sambil menghela napas panjang. Mau kabur tak bisa, menghentikan tak berani, bertahan lama-lama telinganya jadi panas, kan serba salah itu namanya."Mama itu cuma tidak kamu jadi jomblo bangkotan lo Ariz...Ariz...""Ma siapa juga coba yang mau jadi jomblo bangkotan, jomblo tu ya jomblo saja, bangkotan ya sudah bangkotan saja namanya itu sudah tua. La Ariz kan masih muda." Protes Fariz pada akhirnya. Niatnya hanya ingin diam sepertinya harus mencoba opsi kedua yaitu menghentikan dengan cara membantah
“Seenak itu kah mie ayam tu sus?” tanya Kaira sambil menelan ludah. Tangan kanan nya tanpa sadar meremas botol air mineral yang isinya tinggal seperempat.Kaira sedang menepati janjinya menemani suster Indri makan mie ayam atas tagihan gadis itu. Umur Kaira dan suster Indri hanya berbeda tiga tahun dengan suster indri lebih tua. Tapi untuk postur tubuh, tinggi badan Kaira jauh diatas suster Indri yang hanya satu meter setengah, hanya beda sepuluh sentimeter saja sih memang.Suster Indri mengangguk antusias. Ia begitu menikmati mie ayam yang sudah berlinang saus tomat hingga berwarna merah kecoklatan itu. “Pelan-pelan saja sus, saya tidak akan minta kok,” ujar Kaira memperingati.Suster Indir menelan mie ayam dalam mulutnya kemudian mengangkat kepalanya menatap Kaira. “Kalau pun dokter minta, saya pasti kasih sih,” jawabnya. Kaira menggeleng getir.“Dokter beneran tidak mau coba? Sedikit saja tidak mau?” tawar suster Indri lagi.Kaira menggeleng. “Saya lihat suster makan saja sudah ken
Pukul dua siang, Fariz sudah berada di halaman rumah kedua orangtuanya atas permintaan Lina. Dengan wajah masam Fariz melangkahkan kakinya lebar-lebar masuk kedalam rumah sambil menjinjing tas kerjanya."Aduh anak tampan Mama akhirnya pulang juga. Gimana kerjanya, lancar? Pasti dong, anak Mama mah jangan diragukan lagi. Iya kan?" sambut Lina dengan senyum merekah. Lina sudah cantik dengan gamis merah muda dan kerudung yang menjuntai hingga batas perut.Fariz menyipitkan kedua matanya, keningnya berkerut. "Mama mau kemana Ma?" tanya Fariz."Bukan Mama tapi kita." Jawab Lina mengoreksi."Kok kita? Ariz juga?"Lina mengangguk antusias, wajahnya berseri. "Sana buruah siap-siap gih, jangan lama-lama ya!" ujar Lina sambil mendorong-dorong kecil tubuh Fariz.Fariz semakin bingung, badannya terhuyung-huyung. "Sebentar-sebentar. Memang kita mau kemana Ma?"Lina berdecak nyaring, kedua matanya melebar menatap Fariz penuh peringatan."Ya gimana Ariz mau nurut coba kalau Mama saja belum mau kasih
Nyatanya, bukan hanya sesi ta’aruf lalu lamaran seperti yang sudah direncanakan. Tapi mereka dinikahkan hari itu juga atas kesepakatan kedua belah pihak keluarga dan masing-masing mempelai, atas usulan Lina tentu saja.Kaira tidak begitu fokus sebenarnya, semua terkesan begitu mendadak dan cepat menurutnya.Tiba-tiba dijodohkanTiba-tiba bertemuTiba-tiba dinikahkanSemua juga terkesan buru-buru, hanya dalam kurun waktu setengah bulan semua sudah selesai hingga dalam tahap pernikahan. Apakah ini yang namanya keistimewaan jodoh dan kekuatan Tuhan? Semua seakan mudah terjadi jika Tuhan sudah berkehendak. Serba kilat ini membuat Kaira sulit untuk memahami segalanya. Yang pasti saat ini dia sudah sah saja menjadi istri dari seorang pria yang bahkan baru ia ketahui nama lengkapnya satu jam lalu. Pria yang menurut mata telanjang Kaira sulit untuk dilewatkan, meskipun pria itu memberi kesan kaku dan juga dingin sejak awal pertemuan. Yah, walaupun lumayan sih memang secara fisik.“Untuk pend
"Mas tidak mau mandi atau setidaknya ganti baju dulu?" cekal Kaira. Reflek tangan nya memegang lengan baju Fariz.Pria itu mengarahkan pandangannya pada lengannya yang digenggam Kaira, membuat Kaira yang merasa terimidasi langsung melepas cekalan, mundur satu langkah."Maaf Mas, Ara tidak sengaja," kata Kaira sedikit canggung."Saya berangkat sekarang. Kamu bisa istirahat, hanya ada dua kamar di apartemen ini. Satu kamar saya yang catnya abu-abu tua, dan yang satu lagi kamar tamu. Kalau kamu tidak mau tidur dikamar saya, kamu bisa menggunakanya.""Mas Ariz bakal pulang jam berapa?" tanya Kaira."Tidak tahu, mungkin besok. Atau nanti malam. Tidak perlu menunggu saya. Jika ada yang kamu butuhkan dibawah ada minimarket, di seberang jalan juga ada supermarket cukup lengkap.""Mas butuh Ara siapkan baju ganti dan mengirimnya ke kantor?" tanya Kaira sebenarnya memberi saran.Fariz menggeleng tegas, dia tidak membutuhkan itu. Yang dia inginkan saat ini hanya segera kembali ke kantor dan meny