Renjana dan Nestapa

Renjana dan Nestapa

last updateTerakhir Diperbarui : 2023-03-14
Oleh:  J. AryaOn going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Belum ada penilaian
36Bab
1.2KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Sinopsis

Santi, gadis belia yang baru lulus SMA, diimingi-imingi pekerjaan sebagai foto model dan artis. Namun, setiba di Jakarta, dia diminta menjual keperawanannya kepada pria hidung belang. Tak bisa lari, dia pun terpaksa melakoni peran sebagai wanita malam. Pijakan kakinya sudah terlalu dalam – berharap bisa mengangkat status ekonomi keluarga. Lambat laun, Santi bertemu dengan Firman, pria beristri yang mengaku tidak bahagia dalam pernikahannya. Firman jatuh hati pada kesederhanaan Santi. Sementara itu, Santi sudah terikat janji bersama Wildan, kekasihnya di desa. Apa yang harus Santi lakukan ketika berbagai rasa membayangi pikiran? Perasaan yang fluktuatif, cinta yang manipulatif, dan lingkungan yang stereotif merupakan keadaan yang kerap mendegradasi harga diri. *** “Semisal lu hilang keperawanan sama pacar lu, apa lu yakin dia bakal nikahin lu? Hidup itu keras, Say. Terkadang orang menghujat dosa orang lain hanya untuk menutupi dosanya.” – Keukeu, sang mucikari. “Mereka membenci pekerjaanku, tetapi mereka mencintai uangku. Mereka tidak ingin aku pulang. Namun, mereka selalu menunggu transferanku setiap bulan.” – Riana, teman Santi di Rumah Butterfly.

Lihat lebih banyak

Bab 1

Awal Kisah

Siapa bilang hidup di desa itu tenteram dan nyaman?! Terkadang banyak gesekan serta sindiran yang membuat telinga panas. Belum lagi harus menghadapi perbandingan kehidupan yang mengundang pertikaian orang tua.

“Mau ke mana, San? Pagi-pagi udah rapi dan cantik,” tanya seorang tetangga yang melintas di depan rumah Santi.

“Mau naruh lamaran ke Alfam*rt, Bi,” jawab Santi dengan santun.

Tangannya sibuk merapikan berkas lamaran pekerjaan.

“Oh…. Masih mau naruh lamaran sana sini ya,” si tetangga merespon bernada menyindir. “Si Euis mah bentar lagi udah mau berangkat ke Hongkong. Katanya mah sih minggu depan. Udah nggak pusinglah harus ngelamar kerja sana sini nggak jelas. Ngabisin duit. Mending yang pasti-pasti aja. Iya, kan?!”

Santi paham jika sang tetangga sedang melakukan komparasi. Namun, ia tak merasa tersinggung. Ia percaya bahwa setiap orang hidup dengan jalan cerita masing-masing.

“Syukur atuh, Bi. Mudah-mudahan sukses dan lancar,” timpal Santi.

“Pasti atuh. Apalagi di sana gajinya gede. Jaba (ditambah) si Euis mah geulis (cantik), pasti bakal disayang banget sama majikannya nanti.” Si tetangga terus berusaha memanaskan suasana pagi yang sejuk.

Bagi sebagian orang tua, suatu kebanggaan bisa memamerkan kesuksesan anak di depan orang lain. Padahal, kesuksesan dalam hidup bukan semata tentang pekerjaan dan harta. Ada jiwa yang harus bahagia dan diri yang harus bisa bermanfaat bagi sekitar.

Mendengar sang anak mengobrol dengan tetangga yang suaranya familiar di depan rumah, Lilis (ibu Santi) segera menghampiri. Ia jengah ketika mendapati kata-kata yang tidak nyaman di telinga.

“Kamu teh lewat ke sini sengaja mau pamerin tentang anak kamu yang mau berangkat jadi TKW (tenaga kerja wanita)? Segala ngomong kalau anak kamu mah cantik, pasti disayang majikan. Emangnya di sana dia mau ngapain? Mau jual diri? Atau mau ngebabu?” Lilis langsung berapi-api.

Naha ai kamu kaluar teh ujug-ujug marah-marah (kenapa kamu keluar langsung marah-marah)?” Si tetangga menyunggingkan bibir. Ia tanggapi sinis pernyataan Lilis. “Lagian ya, saya teh ngobrolnya sama anak kamu, bukan sama kamu. Kenapa malah kamu yang nyamber kayak bensin?”

Lilis maju beberapa langkah, mendekati sang lawan bicara. “Emangnya saya nggak tahu kalau kamu teh lagi nyindir-nyindir keluarga saya. Mentang-mentang anak kamu lagi di penampungan.”

Si tetangga menaikkan kedua alis sembari membanting pandangan ke arah samping.

“Heh Kesih,” bentak Lilis. Ia juga melayangkan telunjuk ke muka tetangganya tersebut. “Nggak usah ngurusin hidup orang lain. Kamu doain aja supaya anak kamu betah kerja di luar negeri. Pinta juga sama Gusti Allah semoga anak kamu nggak masuk TV, karena kasus yang bisa membuat orang-orang di desa ini malu.”

Kesih pun naik pitam. Ia tidak terima atas dampratan Lilis yang terkesan merendahkan sang anak. “Dasar kamu mah baper-an (bawa perasaan)! Bilang aja kamu sirik. Anak kamu masih keliling-keliling cari kerja, sedangkan anak saya bulan depan udah mulai kirim transferan (uang) ke saya,” pungkasnya sambil melenggang pergi.

“Saya doakan semoga anak kamu ketahan, nggak jadi berangkat. Dasar sombong! Baru segitu aja udah mau pamer. Pamer tuh kalau udah ada hasil yang nyata,” umpat Lilis kepada Kesih.

Kesih menanggapi umpatan Lilis dengan menggoyangkan pinggul.

Tak terima diledek dengan gerakan tubuh, Lilis berusaha mengejar Kesih. Santi pun terbawa panik. Ia tahan sang ibu agar tidak terjadi kontak fisik.

“Udah, Mah. Ngapain sih Mamah (mamah = mama, ditambahkan “h” sebagai penegasan aksen sapaan/ kata ganti) teh marah-marah segala?! Biarin aja Bi Kesih mau ngomong apa juga tentang kita.” Santi mencoba meredam emosi sang ibu.

“Ini teh gara-gara kamu, Neng.” Lilis justru berbalik mencaci Santi. “Coba kamu mau berangkat ke luar negeri, nggak akan si Kesih teh berani ngomong gitu ke kita.”

Lilis seolah mendapatkan momentum untuk menumpahkan kekesalan kepada sang sulung.

“Sponsor tuh udah banyak yang nanya ke Mamah soal kamu. Sementara kamu masih aja mau naruh lamaran sana sini. Emangnya bikin SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian), kartu kuning (kartu pencari kerja), fotokopi, dan tetek bengek (dan sebagainya) itu nggak pake duit? Udah berapa banyak lamaran yang kamu buat dan kamu ajukan? Terus udah ada yang panggil kamu buat interview?” sambung Lilis.

Santi berusaha tenang. “Sabar atuh, Mah. Namanya juga kan lagi ikhtiar. Semua ada prosesnya.”

“Proses apaan, Neng? Orang-orang mah udah menuju beunghar (kaya), sementara kita masih balangsak (susah/ miskin). Kamu seneng dengar keluarga kita diinjak-injak sama tetangga macam si Kesih tadi?”

“Mah….” Santi kesulitan untuk memberikan tanggapan. Ketika mental sudah terserang, maka kata-kata seakan menghilang dari kepala.

Si Bapak yang berada di belakang rumah bergegas melihat perdebatan yang suaranya makin menguat bersama laju udara.

Aya naon sih, Lis? Isuk keneh teh tos ribut. Isin kadangu tatangga teh. (Ada apa sih, Lis? Masih pagi kok sudah ribut. Malu kalau didengar oleh tetangga),” tanya si Bapak dengan suara yang halus.

Teuing ah (entahlah)! Lilis mah udah capek ngomong sama si Neng. Coba atuh Akang yang bilangin supaya si Neng mau berangkat ke luar negeri kayak temen-temennya. Kalau mau ngandelin kerja di sini mah, atuh jadi apa, Kang? Gaji teu sakumaha (tidak seberapa), sementara harga-harga kebutuhan teh makin hari makin mahal.”

Santi tertunduk. Semangat yang ia bangun untuk mencari pekerjaan runtuh seketika. Matanya pun mulai berkaca-kaca.

Lis, tong ngabahas iyeu wae atuh (jangan membahas hal ini terus)!. Hargai keputusan si Neng. Dia kan nggak mau berangkat ke luar negeri karena pengen guyub (kumpul) sama kita. Bahagia itu nggak hanya soal materi, Lis,” tutur si Bapak.

“Alah, Lilis bosen dengar kata-kata mutiara Akang. Bahagia bukan soal materi, bukan soal uanglah. Realitis, Kang! Kebahagiaan mungkin henteu (tidak) bisa dibeli dengan uang, tapi banyak uang bisa bikin bahagia, Kang,” ungkap Lilis sembari mengentakkan nafas melalui mulut. Kemudian, ia masuk ke dalam rumah dengan memasang wajah cemberut.

“Lis….” panggil Si Bapak. Ia ingin istrinya lebih memikirkan perasaan sang putri.

“Udah ah, lieur (pusing) Lilis mah,” sahut Lilis dengan ketus.

Santi tak kuasa menahan air mata. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana agar esok hari perdebatan seperti ini tidak terulang.

Santi, gadis belia berusia 18 tahun yang baru lulus SMA. Ketika para perempuan di desanya banyak yang memilih bekerja di luar negeri, Santi bertekad untuk mencari pekerjaan di desa sambil merawat orang tua dan adik-adiknya. Ia berharap suatu saat bisa mengangkat status ekonomi keluarga tanpa mengorbankan kebersamaan.

“Udah, Neng. Omongan si Mamah nggak usah Neng pikirin. Neng pergi aja. Hati-hati aja di jalan ya! Bapak nggak pernah berhenti doain Neng supaya Neng berhasil dalam segala hal.” Si Bapak coba memulihkan ekspresi Santi.

“Aamiin. Nuhun (terima kasih) ya, Pak!” ucap Santi seraya menyeka kedua sudut mata. Lalu, ia menjabat tangan sang ayah untuk pamit.

Tiba-tiba Lilis keluar lagi. “Kamu sama siapa berangkatnya? Sendiri atau sama si itu?”

“Sama A Wildan, Mah. Barusan A Wildan kirim SMS. Katanya lagi di jalan mau ke sini,” terang Santi.

Kejujuran Santi laksana percikan api yang kembali menyulut amarah Lilis. “Hubungan Neng teh sama si Wildan udah sejauh mana? Neng emang nggak bisa cari laki-laki yang lain yang mapan? Kalau Neng nggak bisa, Mamah yang carikan. Neng, kita teh orang susah. Jangan nikah sama orang susah lagi. Rek iraha (kapan) kita hidup senang? Rek iraha Neng teh bisa memperbaiki ekonomi keluarga? Ganteng doang mah nggak akan bikin perut wareg (kenyang), Neng. Contohnya tuh si Bapak.”

Si Bapak hanya bisa melafalkan Istifgfar kala dijadikan bahan perbandingan. Ia berupaya sabar menghadapi perangai sang istri. Jika ia bantah atau ladeni emosi Lilis, maka percekcokan tidak akan kunjung selesai.

Santi melihat ponselnya. Kemudian, ia meraih tangan sang ibu untuk memohon restu. Bagaimana pun, doa kedua orang tua sangat ampuh menembus langit.

“Neng pergi dulu ya, Mah. A Wildan sudah sampai di pos ronda. Doain semoga ada rezekinya Neng hari ini.”

Sang ibu tak menanggapi sepatah kata pun. Ia masih terbawa kesal dengan tragedi pagi ini.

Namun setelah Santi pergi, ia justru menggerutu. “Sampai mati saya nggak akan setuju anak saya sama kamu, Wildan.”

Si Bapak geleng-geleng kepala. Ia biarkan istrinya meluapkan segala panas hati. Daripada terbakar bara, si Bapak memilih kembali ke belakang untuk mempersiapkan perkakas yang akan dibawa berladang.

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
36 Bab
Awal Kisah
Siapa bilang hidup di desa itu tenteram dan nyaman?! Terkadang banyak gesekan serta sindiran yang membuat telinga panas. Belum lagi harus menghadapi perbandingan kehidupan yang mengundang pertikaian orang tua.“Mau ke mana, San? Pagi-pagi udah rapi dan cantik,” tanya seorang tetangga yang melintas di depan rumah Santi.“Mau naruh lamaran ke Alfam*rt, Bi,” jawab Santi dengan santun.Tangannya sibuk merapikan berkas lamaran pekerjaan.“Oh…. Masih mau naruh lamaran sana sini ya,” si tetangga merespon bernada menyindir. “Si Euis mah bentar lagi udah mau berangkat ke Hongkong. Katanya mah sih minggu depan. Udah nggak pusinglah harus ngelamar kerja sana sini nggak jelas. Ngabisin duit. Mending yang pasti-pasti aja. Iya, kan?!”Santi paham jika sang tetangga sedang melakukan komparasi. Namun, ia tak merasa tersinggung. Ia percaya bahwa setiap orang hidup dengan jalan cerita masing-masing.“Syukur atuh, Bi. Mudah-mudahan sukses dan lancar,” timpal Santi.“Pasti atuh. Apalagi di sana gajinya g
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-12-10
Baca selengkapnya
Bab 1: Terhalang Materi
Semilir angin sore membelai rambut seorang gadis cantik. Ia berjalan dengan begitu berhati-hati menyusuri bebatuan. Kakinya terasa letih, tetapi langkahnya tetap diayunkan penuh harapan. Minimnya lapangan kerja di desa, membuat dia harus berusaha ekstra. Menaruh lamaran dari satu tempat ke tempat yang lain, walau harus bersaing dengan ratusan pelamar lain. “Neng, kalau pun kamu kuliah dapet beasiswa, tetapi kan tetep aja kamu perlu kost dan perlu makan. Emang semuanya ditanggung oleh beasiswa? Neng coba pikirkan sekali lagi. Si Bapak nggak kerja, cuma ngandelin hasil tani. Perempuan itu nggak terlalu penting kuliah. Cukup pinter cari suami yang mapan aja. Lagian, Neng kenapa sih nggak mau berangkat ke luar negeri seperti yang lain?” Perkataan ibunya terus mengiang di kepala. Itulah sebab dia memilih untuk mencari penghasilan, melupakan mimpi merengkuh cita-cita. Hem! Sebagian orang masih beranggapan bahwa pendidikan tinggi bagi perempuan bukanlah hal yang krusial. Toh, katanya, tu
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-12-10
Baca selengkapnya
Bab 2: Badai Pilihan
Santi merenung. Akalnya bingung. Hatinya limbung. Harapan untuk hidup bahagia dalam kesederhanaan kerap terbentur dengan omonganya sang ibu.Semenjak melepaskan seragam putih abu-abu, rumah seakan kelabu. Bayangan masa depan seolah hanya ada dua yaitu bekerja di luar negeri atau dinikahkan dengan pria mapan.Kemapanan selalu diukur dari tingkatan ekonomi. Padahal, menjadi istri dari pria kaya belum tentu menjamin hidup sejahtera. Bisa saja hanya untuk dijadikan pajangan dan dicicipi keperawanan. Santi tidak mau menikah hanya untuk dijadikan alat.“Hari ini kamu masih mau keliling-keliling lagi cari kerja?” tanya sang ibu ketika Santi keluar kamar.“Nggak, Mah.”“Terus kapan kamu mulai kerja?”“Belum tahu, Mah.”“Kok belum tahu? Emang dari sekian lamaran yang kamu taruh masih nggak ada satu pun yang masuk?”“Saingannya banyak, Mah,” terang Santi dengan tenang.“Saingannya banyak, yang diterima hanya mereka yang punya orang dalem, kalau mau langsung masuk harus bayar sekian juta. Begitu
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-12-10
Baca selengkapnya
Bab 3: Kedatangan Keukeu
Sejatinya, setiap manusia pasti mengidamkan hidup yang nyaman, seperti batin senang dan tidur tenang. Akan tetapi, untuk mencapai kehidupan seperti itu perlu usaha. Usaha pun harus dibarengi dengan doa sebagai wujud rasa syukur.Santi bangun sembari memacu semangat. Ia tunaikan kewajiban sebelum fajar menyingsing. Setelah itu, ia mencuci piring dan baju. Lalu, menyiapkan sarapan. Semua rutinitas dijalankan dengan ikhlas.Lepas pagi menyapa, Santi berkutat dengan ponselnya. Ia sebenarnya masih berharap diterima kerja menjadi karyawan di Alfam*rt, karena lokasinya tidak jauh dari rumah. Sedangkan, untuk menuju mall butuh waktu 90 menit.Hidup selalu disusupi pilihan. Daripada diam di rumah lebih baik bekerja sambil menyusun rencana masa depan, bukan? Santi mengamini Tuhan tak akan memberikan ujian di luar kemampuannya. Semua yang tersaji merupakan anugerah.Tak terasa, siang datang. Santi kembali ke dapur untuk menyiapkan menu makan siang. Sementara itu, sang ibu duduk di teras sambil m
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-12-10
Baca selengkapnya
Bab 4: Sebuah Keputusan
Popularitas dan kemewahan seolah-olah menjadi sumber kebahagiaan. Padahal, hati yang damai akan lebih bisa mendatangkan kesenangan dalam pikiran.Setiap anak pasti ingin membuat kedua orang tuanya selalu tersenyum dan bangga. Akan tetapi, bagaimana bisa melakukan hal tersebut jika jiwa terbelenggu oleh berbagai definisi bahagia yang semu?Katanya, menjadi terkenal akan mendatangkan banyak uang. Katanya, setiap orang akan bahagia jika memiliki banyak uang. Asumsi dan praduga mengalun sendu di kepala Santi.Ia terus dicekoki oleh sang ibu agar mau menerima tawaran Keukeu. Tinggal di Jakarta, menjadi seorang penghibur.“Neng, kata si Keukeu, Neng bisa kok pulang tiap minggu ke sini. Jadi, apa yang masih memberatkan keputusan Neng?” tanya Lilis usai tinggal bertiga di meja makan. Robi dan si Dede sudah masuk ke dalam kamar untuk beristirahat.Dari siang ke sore, dari sore hingga selesai bersantap malam, Lilis terus menombakkan kemiskinan ke dalam otak Santi. Tujuannya, jelas, agar sang pu
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-12-10
Baca selengkapnya
Bab 5: Janji Cinta
Lilis merias wajahnya dengan bedak yang tebal. Tak lupa bibir diolesi lipstik merah menyala, dan alis diukir membentuk garis melengkung seperti tikungan Jalan Nagreg. Pakaian yang dikenakan pun merupakan pakaian terbaik Lebaran kemarin.Ah! Ini momen yang begitu bermakna baginya. Penampilan tentu harus paripurna untuk bisa menyenggol tetangga, terutama Kesih. Belajarlah menjadi orang kaya dari sekarang. Begitu ucapnya di dalam hati.Lilis pun terus melihat perputaran waktu. Ia tak sabar menunggu Keukeu datang. Kalimat demi kalimat sapaan telah ia susun untuk menyapa setiap warga yang nanti akan dilewati.Duh! Emas masih di dasar sungai, belum di genggaman, tetapi ambisi untuk pamer sudah meledak-ledak.“Mamah meni menor pisan kayak mau kondangan,” komentar Santi sambil menahan tawa.“Tong nyengseurikeun kolot, doraka (jangan menertawakan orang tua, durhaka)!” ucap Lilis membalas candaan Santi.“Ampun, Mah! Hehe….”Santi memeluk sang ibu. Ada rasa bahagia melihat ibunya berdandan walau
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-12-10
Baca selengkapnya
Bab 6: Amarah si Bapak
Lilis bersandar di jendela mobil dengan perasaan kesal. Ia mendapat kabar dari Faisal jika Wildan membawa Santi pergi. Siapa yang tidak kecewa jika ditipu oleh anak sendiri?!Sesekali, Lilis menggerutu. Pikirannya berdiskusi dengan nurani untuk memberikan peringatan yang bisa membuat Wildan jera – tak lagi menjalin kasih dengan Santi.“Kenapa sih, Ceu? Masih kurang belanjaannya?” tanya Keukeu yang tak suka melihat raut kecut yang Lilis tunjukkan.“Ng…. nggak, Keu. Ini malah lebih dari cukup.” Lilis segera memperbaiki lukisan wajahnya.“Terus kenapa mukanya ditekuk gitu? Lecek bagaikan dompet suami yang tak berisi selama puluhan purnama. Tadi Ceu Lilis heboh banget, nggak berhenti ngomong kayak kereta lagi jalan. Apa lagi lobet (low battery = baterai lemah)? Nanti Keukeu beliin powerbank deh kalau anaknya Eceu sudah menghasilkan,” sarkas Keukeu.“Bukan gitu, Keu. Ini anak saya dibawa kabur sama pacarnya. Saya teh pusing mikirinnya,” terang Lilis.Keukeu berteriak hingga sang sopir nyar
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-01-19
Baca selengkapnya
Bab 7: Maaf, Wildan!
Hinaan, makian, dan hujatan masih bisa ditahan. Namun, kebohongan yang dilakukan oleh seorang anak hingga menimbulkan semua kepedihan tersebut sungguh menyayat hati. Yati ingin sekali melampiaskan luka tanpa membenturkan derita.Wildan terus bersimpuh di kaki sang ibu. Ia tak mengira dusta yang diucapkan tadi pagi mengundang petir dan badai. Prahara memang terkadang tak bisa disangka arah kedatangannya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Ia pikir tidak akan ada mata yang mengintai. Ternyata, berita mudah sekali menyebar.Entah siapa orang yang menjadi mata-mata, itu tidaklah penting. Kata maaf dari sang ibu merupakan hal utama yang harus ia gapai.“Ambu, maafin Wildan ya. Ambu dimaki-maki sama Bi Lilis teh pasti gara-gara Wildan,” ucap Wildan mengharap ampunan.Dari depan rumah hingga pindah ke dalam kamar, Yati tak menggubris sedikit pun permohonan maaf sang putra. Bibirnya tertutup rapat, tetapi air matanya tak berhenti mengalir.“Ambu, tolong jangan diemin Wildan kay
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-01-22
Baca selengkapnya
Bab 8: Salam Perpisahan (bagian 1)
Pagi menyapa dengan cahaya yang gembira, si Bapak mengajak sang istri dan Santi untuk bertandang ke rumah Wildan. Si Bapak ingin mengucapkan permohonan maaf atas kerusuhan yang terjadi kemarin. Sayangnya, Lilis tidak mau ikut. Ia berkata tindakannya bukanlah sesuatu yang salah.Waktu menunjukkan pukul 07:00. Suara kicauan burung mengiringi setiap langkah. Sinar mentari menghangatkan badan dan membantu menyemangati niat baik pagi ini.Sesampainya di rumah Wildan, si Bapak dan Santi perlu menyerukan beberapa kali salam hingga Yati keluar. Ya, hanya Yati seorang diri yang menyambut kunjungan si Bapak dan Santi.“Teh Yati, saya atas nama pribadi, istri saya, dan juga anak saya, Santi, memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian kemarin. Saya tahu, omongan istri saya teh memang sangat menyakitkan. Tapi, saya mohon sekali Teh Yati dan Wildan memberikan kami maaf,” ucap si Bapak langsung pada maksud dan tujuannya bertamu.“Saya sudah maafkan, Cid. Saya juga sadar diri bahwa kami teh mem
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-01-23
Baca selengkapnya
Bab 8: Salam Perpisahan (bagian 2)
Keesokan harinya, para tetangga berkumpul di depan rumah Santi dari semenjak Subuh. Mereka ingin turut memberikan semangat kepada sang calon bintang. Andai Santi terkenal, maka nama baik desa bisa terangkat. Begitu pikir mereka, berharap nasib baik Santi menular kepada generasi muda yang lain. Keukeu datang tepat waktu untuk menjemput Santi. Si Bapak pun tak bisa membendung haru. “Neng, jangan lupakan sembahyang ya! Jaga diri Neng baik-baik. Jaga juga iman Neng ya!” ucap si Bapak sambil mendekap Santi. “Teh, nanti kalau udah banyak duit beliin Obi hape ya,” ujar Robi dengan polos. “Dede juga mau, Teh,” imbuh si Dede. “Iya, doain Teteh semoga betah ya di sana. Teteh pasti kangen banget sama jagoan-jagoan kecil ini.” Santi mencubit pipi Robi, lalu memeluk erat si Dede. “Mamah mah cuma mau pesen, Neng nurut apa kata si Keukeu. Dia udah janji bakal jaga Neng. Kerja yang bener ya, Neng!” Lilis berderai air mata. Ia seakan tak rela melepas kepergian sang putri, padahal dia yang meminta
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-01-23
Baca selengkapnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status