Lilis merias wajahnya dengan bedak yang tebal. Tak lupa bibir diolesi lipstik merah menyala, dan alis diukir membentuk garis melengkung seperti tikungan Jalan Nagreg. Pakaian yang dikenakan pun merupakan pakaian terbaik Lebaran kemarin.
Ah! Ini momen yang begitu bermakna baginya. Penampilan tentu harus paripurna untuk bisa menyenggol tetangga, terutama Kesih. Belajarlah menjadi orang kaya dari sekarang. Begitu ucapnya di dalam hati.
Lilis pun terus melihat perputaran waktu. Ia tak sabar menunggu Keukeu datang. Kalimat demi kalimat sapaan telah ia susun untuk menyapa setiap warga yang nanti akan dilewati.
Duh! Emas masih di dasar sungai, belum di genggaman, tetapi ambisi untuk pamer sudah meledak-ledak.
“Mamah meni menor pisan kayak mau kondangan,” komentar Santi sambil menahan tawa.
“Tong nyengseurikeun kolot, doraka (jangan menertawakan orang tua, durhaka)!” ucap Lilis membalas candaan Santi.
“Ampun, Mah! Hehe….”
Santi memeluk sang ibu. Ada rasa bahagia melihat ibunya berdandan walau begitu gemerlap bagai hendak menari Jaipong. Ya, melihat orang tua bersolek ceria memberikan kelegaan bagi Santi.
“Coba Mamah tiap hari cantik begini, pasti si Bapak teh bungah (senang) ngelihatnya,” puji Santi.
“Kalau pengen istri cantik tiap hari mah, suami harus mau ngemodalin. Bilangin sama bapak kamu tuh.” Lilis merespon pujian dari sang anak dengan sedikit sinis. “Makanya, Neng tuh harus pandai cari suami. Suami yang rutin ngasih modal buat menghias penampilan istrinya. Bukan yang bisanya cuma menuntut, tetapi pas dimintain uang malah cemberut.
Santi merasa salah kaprah. Pujian yang ia layangkan kepada sang ibu berubah jadi sebuah serangan yang membahas calon pasangannya kelak.
“Udah, ah! Neng mau ganti baju dulu, Mamah cantik.”
Lilis tambah tak sabar menunggu pukul 10.00, waktu yang dijanjikan Keukeu untuk menjemput. Ia pun bolak-balik dari dari dalam ke depan rumah, hingga ke kamar mandi dan dapur.
Tiiiid!!! Lilis berteriak girang mendengar bunyi klakson mobil. Ia tak perlu memastikan, karena sudah pasti itu Keukeu.
Dengan sumringah, Lilis menata kerudungnya sebentar agar sejajar. Kemudian, ia melipir ke kamar Santi sebentar.
“Neng, awas ya jangan main sama si Wildan! Mamah sekalian mau jemput si Dede di sekolah. Kalau si Bapak sama Robi pulang terus nanyain Mamah ke mana, bilang aja Mamah kondangan,” amanat Lilis. Ia takut dibohongi oleh Santi. Semacam ada trauma atas peristiwa kemarin ketika mendapati kabar Wildan dan Santi berpacaran di pinggir hutan.
“I…. iya, Mah.” Santi sedikit ragu untuk mengabulkan perkataan sang ibu.
Kebohongan dibayar dengan kebohongan. Santi berjanji ini yang terakhir dia berkata tidak jujur. Semoga saja tidak ada CCTV bernafas yang memergoki pertemuannya dengan Wildan nanti, harapnya.
Setelah sang ibu pergi, Santi mengabari Wildan. Wildan yang sudah siap sedari tadi pun langsung melaju untuk menjemput si penghias mimpi. Jika kelak mereka berjodoh, ini akan jadi kisah lucu (dan mungkin inspiratif) untuk didongengkan kepada anak-anak mereka. Sebuah cerita seru nan unik di balik perjuangan menggapai restu.
Santi paham jika di dunia ini tidak ada ibu yang akan menjerumuskan anaknya pada jurang kesengsaraan. Penolakan jalinan kasihnya dengan Wildan berakar dari kekhawatiran merengkuh masa depan berkecukupan. Namun, Santi akan berusaha menunjukkan kepadanya ibunya bahwa Wildan merupakan pria yang bertanggung jawab. Materi bisa dicari, tetapi kasih sayang dan cinta harus menjadi dasar membangun bahtera kehidupan berumah tangga. Percuma tidur berselimut permata apabila tak ada kehangatan rasa yang membelai badan.
Wildan mengendarai motor dengan kecepatan sedang menuju pelan. Ia ingin menikmati setiap jarak yang dilewati dengan romantisme ala muda-mudi dalam film bergenre romansa. Jika Santi sudah mengembara ke Jakarta, tentu kebersamaan ini akan sulit diulangi. Sekarang saja untuk membentuknya harus berkamuflase seperti bunglon – menyamarkan penampilan agar tak dikenali warga.
Maklum, hidup desa dengan pemukiman yang rapat, terkadang tetangga menjadi pewarta yang ulung. Berita apa pun bisa menyebar cepat ketika para ibu-ibu mencari bahan obrolan sembari memilih sayuran di warung.
“Neng, tangannya jangan megang pinggir jok terus atuh. Udah bisa kali megang ke perut Aa,” ujar Wildan setelah melewati batas desa.
“Apaan sih, A? Aa kok otaknya mesum gini?” Santi pun menolak dengan wajah masam.
“Siapa yang mesum, Neng?! Maksud Aa pegang perut Aa, bukan yang di bawahnya. Kan kalau udah keluar dari desa, Aa bukan lagi tukang ojeg. Tetapi, sang penakluk hati Neng,” goda Wildan menetralisasi suasana. Tak ada niat sedikit pun dalam benaknya untuk menikmati kesucian Santi sebelum akad nikah dikumandangkan.
“Ogah, ah!”
Wildan perhatikan wajah Santi dari spion. “Ya udah, terserah Neng aja. Terus Neng mau makan di mana?”
“Terserah!” ketus Santi.
“Kok terserah? Neng lagi pengen makan apa? Mie ayam, bakso, atau batagor?”
“Terserah!” ulang Santi.
Wildan memutar grip gas. Santi mengaitkan kedua tangannya di perut Wildan karena terkejut akan perubahan kecepatan yang mendadak.
“Ih, Aa teh suka ngagetin. Ya udah, kita makan mie ayam aja,” kesah Santi.
“Nah, gitu dong. Aa mah paham kalau perempuan bilang terserah itu artinya harus dipaksa memilih.” Wildan cengar-cengir.
“Neng mah nggak gitu. Tadi Neng sedikit kesel aja sama Aa. Em…. apa jangan-jangan Aa punya cewek lain ya?” Santi mencubit pinggir perut Wildan. “Awas ya A kalau nanti Aa selingkuhi Neng!”
Canda dan tawa menemani perjalanan perjalanan mereka. Sungguh indah ketika asmara merekah, membuai hati dua insan manusia.
Kemudian, Wildan menepikan motornya di warung mie ayam. Tempatnya sederhana, tetapi pemandangan yang disajikan cukup memanjakan mata. Hamparan pesawahan dan jajaran bukit menambah kesan asri nan romantis.
Mengetahui Santi akan hijrah ke Kota Metropolitan, Wildan dihinggapi kegundahan semalaman. Upaya untuk meraih restu ibunda Santi pasti akan jauh lebih sulit jika Santi berhasil menjadi artis. Ia lantas mengajak Santi bertemu untuk menanam setia, karena tak lama lagi pandang akan terbias selisih tempuh.
Dua mangkuk mie ayam dan dua gelas es kelapa muda dipesan oleh Wildan. Berbicara tentang masa depan harus dalam keadaan perut kenyang agar tak diintervensi rasa lapar.
“A, Neng minta maaf kalau perkataan si Mamah kemarin-kemarin teh bikin Aa sakit hati,” lantun Santi mengawali percakapan sembari menunggu pesanan datang.
“Iya, Neng. Justru Aa teh semakin terpacu untuk mencari berbagai peluang usaha agar bisa pantas buat Neng.”
Santi juga memiliki ketakutan yang besar. Bagaimana jika Wildan memutuskan tali cinta karena terhalang restu? Santi tak mampu membayangkan kehancuran yang akan diderita. Mungkin bukan perkara sulit bagi dia mencari pria lain. Namun, untuk membangun kenyamanan yang sama seperti bersama Wildan pastilah tidak mudah.
“Oh iya, Neng kok nggak pernah cerita ke Aa kalau mau jadi artis?” Wildan masuk pada inti pembahasan.
“Ini teh bukan kemauan Neng, A. Si Mamah yang pengen Neng ke Jakarta buat jadi foto model atau artis,” terang Santi mengembangkan senyum.
“Neng sendiri gimana?”
Santi menghela nafas. “Gara-gara Neng, si Mamah dan Bapak ribut terus tiap hari. Sejak Neng lulus sekolah, seakan tiada hari tanpa pertanyaan dari si Mamah tentang kapan Neng kerja. Nah, imbasnya, jadi ke si Bapak juga yang disindir oleh si Mamah.”
“Punten (permisi) A, Teh, ini pesanannya,” ucap si penjual menginterupsi. Obrolan serius Santi dan Wildan pun terjeda sesaat.
“Kalau nanti Neng terkenal, apa Neng masih mau sama Aa?” Paras tampan Wildan disisipi guratan kegelisahan.
Santi menarik tangan kanan Wildan. “A, Neng teh nggak bisa mastiin besok nasib Neng bakal bagaimana atau jadi apa. Tapi, Neng bisa mastiin kalau di hati Neng hanya akan ada Aa salawasna (selalu).”
“Tapi kan di Jakarta teh banyak cowok-cowok yang lebih segalanya dari Aa.”
“Kalau Neng nyamannya sama Aa, kumaha (bagaimana)?” Santi memainkan mimik lucu di hadapan Wildan.
“Naha jadi Neng yang ngegombal?” Wildan pun coba menyelipkan canda.
“Huuh….” Santi melepaskan tangan Wildan. “Atuh da Aa teh pertanyaannya bikin Neng deg-degan. Apa jangan-jangan kalau Neng ke Jakarta, Aa mau pindah ke lain hati?”
Giliran Wildan menumpangkan tangannya di atas tangan Santi. Lalu, ia mengangkat jari kelingking sang pujaan hati. “Kita ucapkan janji bareng-bareng yuk!”
Santi tampak bahagia. “Janji apa sih, A?”
“Ikuti aja Aa ngomong.”
Santi mengangguk.
“Sejauh apa pun kaki kami melangkah, cinta kami tak akan berubah atau pun berpaling ke lain hati,” ucap Wildan. Kemudian, diulangi oleh Santi.
Sejoli yang tampak begitu serasi saling melemparkan senyuman mesra. Cinta bergelora di sanubari mereka. Keteguhan hati diikrarkan untuk menempuh halal tiba di suatu masa.
Wildan ambil sedotan di gelas es kelapa mudanya. Ia lipat membentuk segitiga sedikit demi sedikit hingga melingkar. Setelah berbentuk seperti kuncup bunga, sedotan tersebut ia selipkan di jari manis Santi.
“Sekarang Aa belum bisa mengikatkan cincin yang berkilau. Namun, kilauan cinta Aa untuk Neng tak akan pernah redup.”
“Gombal,” balas Santi disertai ekspresi senang.
Masa muda tak akan pernah terulang. Masa lalu tak bisa dijamah lagi ketika sudah menginjak masa depan. Santi dan Wildan melangitkan asa agar Tuhan senantiasa menjaga kisah mereka.
Lilis bersandar di jendela mobil dengan perasaan kesal. Ia mendapat kabar dari Faisal jika Wildan membawa Santi pergi. Siapa yang tidak kecewa jika ditipu oleh anak sendiri?!Sesekali, Lilis menggerutu. Pikirannya berdiskusi dengan nurani untuk memberikan peringatan yang bisa membuat Wildan jera – tak lagi menjalin kasih dengan Santi.“Kenapa sih, Ceu? Masih kurang belanjaannya?” tanya Keukeu yang tak suka melihat raut kecut yang Lilis tunjukkan.“Ng…. nggak, Keu. Ini malah lebih dari cukup.” Lilis segera memperbaiki lukisan wajahnya.“Terus kenapa mukanya ditekuk gitu? Lecek bagaikan dompet suami yang tak berisi selama puluhan purnama. Tadi Ceu Lilis heboh banget, nggak berhenti ngomong kayak kereta lagi jalan. Apa lagi lobet (low battery = baterai lemah)? Nanti Keukeu beliin powerbank deh kalau anaknya Eceu sudah menghasilkan,” sarkas Keukeu.“Bukan gitu, Keu. Ini anak saya dibawa kabur sama pacarnya. Saya teh pusing mikirinnya,” terang Lilis.Keukeu berteriak hingga sang sopir nyar
Hinaan, makian, dan hujatan masih bisa ditahan. Namun, kebohongan yang dilakukan oleh seorang anak hingga menimbulkan semua kepedihan tersebut sungguh menyayat hati. Yati ingin sekali melampiaskan luka tanpa membenturkan derita.Wildan terus bersimpuh di kaki sang ibu. Ia tak mengira dusta yang diucapkan tadi pagi mengundang petir dan badai. Prahara memang terkadang tak bisa disangka arah kedatangannya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Ia pikir tidak akan ada mata yang mengintai. Ternyata, berita mudah sekali menyebar.Entah siapa orang yang menjadi mata-mata, itu tidaklah penting. Kata maaf dari sang ibu merupakan hal utama yang harus ia gapai.“Ambu, maafin Wildan ya. Ambu dimaki-maki sama Bi Lilis teh pasti gara-gara Wildan,” ucap Wildan mengharap ampunan.Dari depan rumah hingga pindah ke dalam kamar, Yati tak menggubris sedikit pun permohonan maaf sang putra. Bibirnya tertutup rapat, tetapi air matanya tak berhenti mengalir.“Ambu, tolong jangan diemin Wildan kay
Pagi menyapa dengan cahaya yang gembira, si Bapak mengajak sang istri dan Santi untuk bertandang ke rumah Wildan. Si Bapak ingin mengucapkan permohonan maaf atas kerusuhan yang terjadi kemarin. Sayangnya, Lilis tidak mau ikut. Ia berkata tindakannya bukanlah sesuatu yang salah.Waktu menunjukkan pukul 07:00. Suara kicauan burung mengiringi setiap langkah. Sinar mentari menghangatkan badan dan membantu menyemangati niat baik pagi ini.Sesampainya di rumah Wildan, si Bapak dan Santi perlu menyerukan beberapa kali salam hingga Yati keluar. Ya, hanya Yati seorang diri yang menyambut kunjungan si Bapak dan Santi.“Teh Yati, saya atas nama pribadi, istri saya, dan juga anak saya, Santi, memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian kemarin. Saya tahu, omongan istri saya teh memang sangat menyakitkan. Tapi, saya mohon sekali Teh Yati dan Wildan memberikan kami maaf,” ucap si Bapak langsung pada maksud dan tujuannya bertamu.“Saya sudah maafkan, Cid. Saya juga sadar diri bahwa kami teh mem
Keesokan harinya, para tetangga berkumpul di depan rumah Santi dari semenjak Subuh. Mereka ingin turut memberikan semangat kepada sang calon bintang. Andai Santi terkenal, maka nama baik desa bisa terangkat. Begitu pikir mereka, berharap nasib baik Santi menular kepada generasi muda yang lain. Keukeu datang tepat waktu untuk menjemput Santi. Si Bapak pun tak bisa membendung haru. “Neng, jangan lupakan sembahyang ya! Jaga diri Neng baik-baik. Jaga juga iman Neng ya!” ucap si Bapak sambil mendekap Santi. “Teh, nanti kalau udah banyak duit beliin Obi hape ya,” ujar Robi dengan polos. “Dede juga mau, Teh,” imbuh si Dede. “Iya, doain Teteh semoga betah ya di sana. Teteh pasti kangen banget sama jagoan-jagoan kecil ini.” Santi mencubit pipi Robi, lalu memeluk erat si Dede. “Mamah mah cuma mau pesen, Neng nurut apa kata si Keukeu. Dia udah janji bakal jaga Neng. Kerja yang bener ya, Neng!” Lilis berderai air mata. Ia seakan tak rela melepas kepergian sang putri, padahal dia yang meminta
Perjalanan hidup terkadang begitu misterius. Manusia bisa merencanakan hari esok, menskenariokan hal-hal yang akan dilakukan, tetapi realitas bisa sangat berubah. Segala yang ada di bumi ini dinamis. Waktu terus bergerak maju. Pun, setiap pijakan kaki harus bisa beradaptasi dengan masa depan.Santi diwacanakan akan menjadi bintang. Akan tetapi, deskripsi pekerjaan yang kelak dilakukannya tak dijelaskan secara gamblang oleh Keukeu. Hal ini sebenarnya membuat sang kembang desa cukup resah. Apakah menjadi seorang artis cukup dengan modal wajah yang cantik? Hipotesis tersebut tak berhenti mengiang di benaknya.“Keu, saya pengen tanya sesuatu. Boleh?” ujar Santi kala mobil yang ditumpangi memasuki jalan tol. Ia duduk di samping sopir. Sementara Keukeu bersama satu bodyguardnya di kursi tengah.“Mau tanya apa? Tanya aja. Asal jangan tanya tentang Matematika dan Sejarah. Akika soalnya kalau udah sayang sama orang, nggak suka hitung-hitungan. Tapi akika juga nggak suka terjebak di ruang nosta
Keukeu segera menghubungi Lilis. Ia meminta dikirimkan nomor Santi dengan alasan Santi tersesat di rest area.Kemudian, Keukeu kembali ke lokasi tempatnya makan tadi. Ketika ditelepon, Santi mengatakan tengah menunggu Keukeu cukup lama di depan restoran.“Aduh, Santi!!! Gue udah takut banget lu kabur. Heem, kesel deh. Ubun-ubun gue hampir aja mengeluarkan abu vulkanik,” ucap Keukeu.Santi lantas bingung dengan maksud pernyataan Keukeu. “Kabur? Kenapa saya harus kabur? Saya teh malah khawatir Keukeu meninggalkan saya sendirian di sini.”“Udah, udah. Kita makan aja ya. Habis itu kita langsung melaju, melanglang buana ke ibu kota.”“Madam mau makan lagi? Bukannya tadi udah melahap dua piring?” komentar si bodyguard.Keukeu menatap tajam si bodyguard. “Nggak usah ngingetin! Gue laper lagi gara-gara kalian.”Santi memang tengah mawas diri, tetapi dia belum berencana untuk kabur saat ini. Pekerjaan yang dijanjikan oleh Keukeu masih belum tersingkap kebenarannya. Jika sudah tiba di Jakarta,
Berbagai sangkaan berputar di pikiran Santi. Ia memang tidak memiliki refensi terkait proses bekerja di dalam insdustri hiburan. Namun ia cukup sangsi kepada si pria borjuis itu.Jika produser sama dengan pemilik sebuah perusahaan, mengapa dia tidak melakukan wawancara atau tes kemampuan? Bukankah hal lumrah dalam sebuah pekerjaan bila sang pelamar diminta menunjukkan kualifikasinya? Santi berusaha menerawang misteri yang perlahan menyuburkan ketakutan dalam diri.Semalam Santi bercerita mengenai keresahan yang menusuk sanubarinya kepada Wildan via sambungan suara jarak jauh. Sang kekasih pun meminta Santi senantiasa berhati-hati, dan lekas mengabari jika terhimpit mara bahaya. Hal sama juga diungkapkan oleh si Bapak. Baru 24 jam berpisah dengan sang putri, si Bapak dibayangi rindu dan rasa khawatir.Sikap berlawanan justru ditunjukan oleh Lilis. Ia terus menasihati Santi mengenai pekerjaan - tekun dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugas. Ia sudah sangat yakin anaknya akan menj
Keukeu menutup rapat setiap pergerakan Santi. Awalnya, sang gadis akan dibawa ke apartemen. Namun, Keukeu berubah pikiran. Ia lantas membawa Santi ke lokasi “eksekusi”. Ya, sebuah bangunan berlantai tiga yang menjadi tempat Keukeu mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Dari luar tampak seperti rumah toko. Tak ada keanehan apa pun. Hingar bingar mulai terasa ketika kaki melangkah masuk, menjelajahi setiap sudut ruangan. Beberapa gadis seksi bercengkrama sembari merias diri. Hentakan musik disko semakin menambah kesan yang suram. “Halo Madam Keukeu yang makin glowing. Habis liburan langsung bawain oleh-oleh saingan nih buat eke (saya),” ujar salah seorang perempuan. “Akika butuh yang fresh, yang masih rapet. Yey semua kan kilometernya udah mulai tinggi. Hihi….” sahut Keukeu. “Biar kilometernya tinggi, tapi kita-kita ini masih kuat mendaki dan menuruni setiap jenis bukit. Iya kan, gengs. Hihi….” balas si perempuan. “Udin (sudah) ah, akika lelah, letih, Lamborghini. Akika mau istirahat!”
Sesak menyedak di dalam hati. Resah mendera mengacaukan pikiran. Santi termenung memikirkan birahi yang sempat ia salurkan kepada Wildan. Walaupun hanya sekadar mengadu sentuhan, namun cukup kuat menyulutkan rasa bersalah.“Neng mikirin apa? Mikirin Wildan?” tanya si Bapak yang gelisah melihat sikap sang putri.Santi menggelengkan kepala. “Enggak, Pak. Neng…. Neng lagi sedih aja karena besok harus balik lagi ke Jakarta,” jawabnya meniti topik yang lain.“Wildan bercerita kepada Bapak bahwa ada pria lain yang menggantikan posisinya di hati Neng. Benarkah itu, Neng?” tanya lagi si Bapak penuh rasa penasaran. Dia paham tabiat Santi yang setia. Namun, Wildan pun dirasa tidak mungkin berbohong kepadanya.Santi tak memberikan tanggapan pada pertanyaan si Bapak. Ia fokus menuntun sang ayah untuk menaiki mobil.Berbicara masalah cinta laksana menapak di atas bara. Santi tak kuasa menahan air mata bila harus membahas hubungannya dengan Wildan. Hubungan yang semakin pelik untuk diteruskan, teta
Semalaman Wildan tak bisa tidur. Tak terpikir ia akan disodorkan kenikmatan bercumbu oleh Santi. Resah dan rasa bersalah pun menggeluti pagi hingga ia merasa malas untuk berangkat bekerja.Wildan lantas mengirimkan pesan singkat kepada Santi. Isinya sebuah pernyataan untuk siap bertanggung jawab. Bagaimana pun, ia telah berdosa karena telah terpancing untuk menjamahi tubuh Santi.Beberapa menit menunggu balasan, Santi hanya mengguratkan tulisan “Tidak apa-apa, A”. Sebuah kalimat yang memiliki multi tafsir.Mengapa Santi terkesan tidak menjaga kesuciannya? Apakah ajakan permainan bibir yang dia mulai merupakan bentuk pernyataan cinta? Ataukah hanya nafsu sesaat sebagai permohonan maaf? Pikiran Wildan mengembara menerka berbagai kemungkinan.“Dan, kamu kok belum siap-siap untuk kerja?” tanya Ambu menghampiri sang anak yang terus melamun. “Oh iya, tadi di warung ramai orang-orang membicarakan Santi. Katanya, Santi sudah menjadi artis besar,” sambung Ambu mengajak Wildan berbincang.Wilda
Santi menadahkan mata melihat hamparan langit ceria. Bulan dan bintang tampak indah melengkapi kehadiran satu sama lain. Sayangnya, suasana malam yang indah sangat kontradiksi dengan perasaannya. Gundah dan gelisah membara dalam raga, membakar asa yang bersemayam dalam sanubari.Sementara itu, Wildan setia menanti jawaban Santi. Jawaban atas laju cinta yang menyerat masa depan.“Maaf, A. Neng memang sudah jatuh cinta dengan pria lain di Jakarta,” ujar Santi terisak.Wildan tidak lantas percaya dan menerima pernyataan Santi. Ia yakin ada ketidakjujuran yang dilontarkan sang pujaan hati.“Coba Neng ucapkan sekali lagi sambil tatap mata Aa,” pinta Wildan sembari menarik wajah Santi dengan sentuhan yang lembut.Santi justru memejamkan mata. Ia tak sanggup jika harus beradu pandang dengan Wildan. Bagaimana pun, sorot cahaya dari mata sulit untuk dimanipulasi.“Aa bukan tidak terima jika Neng menemukan pria yang lebih bisa membahagiakan Neng. Aa cuma merasa keputusan Neng terlalu dini. Apak
Santi menekuri setiap langkah menyusuri sudut-sudut rumahnya. Semua benda yang terpajang masih sama susunannya. Pun, tak ada perubahan pada struktur bangunan. Memang, baru satu bulan ditinggalkan. Jelas, tak akan ada banyak pergeseran.Namun, pergeseran bukan pada yang tampak di mata, melainkan yang melacur di dalam hati. Santi merasa seperti sudah bertahun-tahun terpisah dengan kesederhanaan. Kesederhanaan yang dulu menjelma memenuhi suasana hangat di dalam rumah. Mungkinkah hal tersebut bisa diulang, sedangkan jiwa sedang mengandung nista?Selagi Santi memandangi potret dapur, tempatnya mengadu cerita, suara salam menyapa dengan lantang. Lantas, ia segera menengok tamu yang datang.“Wuih, makin cantik aja nih Neng Santi. Gimana kabar si Bapak, udah mendingan? Bibi teh mau ngejenguk, tapi sibuk terus. Maklumlah, lagi ngerintis usaha di bidang kuliner. Muterin duit si Euis dengan usaha yang halal,” tutur Kesih kala Santi berdiri di hadapannya. Tawa kecil mengiringi pemaparannya, tetap
Surya berseri menyapa pagi. Hangat dan lega merengkuh raga, membasuh sukma. Air mata sirna, memuai bersama resah yang sempat mengecam nasib.Santi duduk sembari menggenggam tangan si Bapak. Semalaman dia menjaga sang ayah dengan penuh kasih. Ketulusannya pun terbayar dengan sebuah senyuman.“Kamu tampak lain, Neng. Sedikit berbeda. Neng bahagia kan kerja di Jakarta?” Si Bapak menyorot dalam pada wajah Santi. Dia mengamati hamparan kecantikan sang putri tercinta terasa penuh tipuan, tak lagi alami nan suci.Santi menarik kedua bibirnya. “Kata dokter, Bapak teh kurang makan. Ini aja tangan Bapak kayak kurusan ya, Pak. Bapak pengen makan apa? Biar Neng carikan di luar ya,” ucap Santi mengalihkan pembicaraan. Ia belum siap untuk membahas perihal pekerjaan, terlebih berhadapan dengan kondisi si Bapak yang belum stabil. Akan ada banyak desakan air mata yang mengaburkan ekspresi.“Bapak teh khawatir Neng di Jakarta tidak bahagia, tetapi Neng tetap memaksa untuk bekerja. Kerjaan Neng ngapain
Menjalani biduk rumah tangga yang layarnya sudah tak terkembang, seperti melangkah di atas pecahan beling. Ingin menyudahi kisah, tetapi khawatir tak menemukan pengganti yang lebih baik. Terpaksa merelakan hati tersakiti setiap hari hanya demi mengiba kasih sayang.Kebuntuan terus membayangi perbaikan hubungan Mariska dengan sang suami. Dia tidak menyangka, cinta yang disuguhkan selalu diuapkan oleh kesalahpahaman.Mariska memang mengakui tindakannya mengobrak-abrik ponsel Firman agak sedikit berlebihan. Namun, pembelaannya lebih besar. Bagaimana pun, tak ada istri yang tak sakit hati ketika suaminya bermain rasa dengan perempuan lain.Sembari menahan laju air mata, Mariska susuli Firman ke dalam kamar. Dia tak mau lagi menenggak masalah yang digantung tanpa sebuah penyelesaian konkret.“Mas, apa sih mau kamu? Aku sudah setia sama kamu. Aku juga sudah membantu kamu menapaki karier kamu yang sukses seperti sekarang ini. Bisa-bisanya kamu cari daun muda di luar sana?” kesah Mariska. Sua
Kematian merupakan perpisahan yang paling ditakuti manusia. Tak ada ruang untuk merajut jalinan cinta. Hilangnya kesempatan untuk memperbaiki kisah. Juga, kemungkinan untuk bertemu lagi di alam keabadian yang mungkin samar.Santi tak mau berprasangka si Bapak akan pergi untuk selama-lamanya. Namun, ia juga tak bisa menghilangkan pikiran buruk tersebut, karena dihantui tangisan sang ibu yang terdengar mencekam di lubang telepon.Air mata Santi mengiring sepanjang perjalanan. Ia berharap kepulangannya bukanlah firasat akan sebuah perpisahan dengan si Bapak.Sayangnya, berkali-kali nomor sang ibu dihubungi, tak juga mendapatkan respon. Pikiran Santi pun makin kacau balau.Si sopir menyarankan Santi untuk tidur. Sementara, Santi tidak bisa memejamkan mata sebelum mendapat kepastian bahwa si Bapak hanya menderita sakit biasa.“Coba Neng telepon tetangga yang dekat rumah Neng untuk nanyain kondisi bapak Neng,” ucap si sopir memberikan saran lain yang mungkin bisa meredakan tangisan Santi.S
Tak ada tempat yang bisa menggantikan kenyamanan kampung halaman. Sekalipun banyak hal yang membuat telinga panas, tetap saja ada banyak kenangan yang bisa mendamaikan hati. Bersama dengan orang-orang yang dicinta, api pun akan mudah untuk ditaklukan.Hari-hari berlalu dengan cepat, tetapi tak memberikan sebuah kepastian. Kepastian kapan bagi sang gadis malang bisa berhenti menjadi kupu-kupu malam.Rindu pada suasana rumah menggebu di kalbu Santi. Dia tak sabar menanti hari esok tiba. Hari libur spesial yang diberikan oleh Keukeu.Namun, antusiasme Santi mendapat interupsi sesaat. Bermacam prediksi pertanyaan dari para tetangga hinggap di kepalanya. Tentu, dia harus membuat suatu rangkaian kebohongan.Hah! Kebohongan dan kebohongan ditutupi oleh kebohongan pula. Kemarin dia berbohong kepada si Om agar bisa menyelamatkan muka dari Firman. Esok dia harus berbohong untuk menjaga raut bahagia keluarga, dan membentengi gunjingan tetangga yang pasti – satu atau dua orang/ lebih – penasaran
Santi kelimpungan memikirkan skenario agar tidak bertemu dengan Firman. Ia putar otak ke segala arah yang sekiranya bisa menghadirkan sebuah alasan. Ternyata, Jakarta tidak seluas yang ia kira.Si Om mulai tidak sabar menunggu Santi yang berkutat dengan heels-nya. Pikirannya sudah dipenuhi dengan berbagai rangkaian kata pamer. Di hadapan semua koleganya, ia akan perkenalkan Santi sebagai tambatan hati. Tak peduli, meski ia akan mendapatkan guyonan tua-tua keladi.“Sayang, apa ada masalah dengan kaki kamu? Kamu belum terbiasa ya pakai sepatu hak tinggi begitu?” tanya si Om dengan lembut.Santi tidak memberikan jawaban. Ia hanya membalas dengan sebuah senyuman tipis.“Aw!” erang Santi sembari memegangi perutnya.Si Om pun membungkuk dan sedikit khawatir melihat kondisi Santi. Dia menawarkan bahu untuk memapah Santi agar segera bisa duduk. Namun, Santi menolak dengan halus.“Maaf, Om. Sa… saya…. sepertinya datang bulan,” ucap Santi. Tak ada pilihan lain, kecuali berbohong. Anggap saja ke