“Neng!” seru si Bapak membuka mata. Ia baru saja terlelap, tetapi dalam intuisinya berkata ada hal tidak baik yang tengah mendera sang putri. Hatinya mendadak resah dan gundah. “Aya naon, Kang?” tanya Lilis yang ikut terbangun mendengar seruan si Bapak. “Lis, coba telepon si Neng. Perasaan Akang teh meni teu tenang kieu (begini),” ungkap si Bapak. “Tos wengi (udah malam) ini teh, Kang. Si Neng mungkin lagi istirahat,” terka Lilis agar si Bapak mengendalikan emosi. “Coba dulu, Lis,” pinta si Bapak. Lilis mengambil ponselnya. Ia telusuri kontak bernama Santi, lalu menekan tombol memanggil. “Teu diangkat, Kang.” “Coba sakali deui (sekali lagi), Lis. Akang meni hariwang (sangat khawatir) sama si Neng.” Si Bapak tak bisa tenang sebelum firasatnya mendapatkan jawaban. Lilis menurut walau dengan menekukkan wajah. “Masih nggak diangkat, Kang. Tunggu weh besok. Nanti si Neng pasti telepon balik,” pungkas Lilis. Si Bapak beranjak dari tempat tidur. Kemudian, ia duduk di teras rumah. Bat
Dunia Santi bak runtuh, luluh lantah dalam semalam. Kesucian yang selama ini dijaga seakan telah ditukar dengan rupiah. Diri pun terasa hina. Hidup kian merana.Dari Rumah Butterfly, Santi dibawa ke apartemen Riana. Lokasinya masih satu tower dengan apartemen Keukeu, hanya berbeda lantai.Riana mengerti kesedihan yang dialami Santi. Sejatinya, tak ada perempuan yang mau menjajakan kehormatannya kalau bukan terpaksa dan dipaksa.Kumandang Subuh bergema. Dengan kaki yang berat, Santi melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Selanjutnya, ia bingung harus bagaimana. Apakah Tuhan akan menerima sujudnya? Namun, mengapa Tuhan tidak membantunya keluar dari jerat Keukeu? Ujian ataukah teguran untuknya? Santi berdialog dengan hati kecil, meratapi nasib yang begitu malang.Cukup lama berdiam diri di dalam kamar mandi. Santi keluar dengan pakaian yang basah.Riana terbangun untuk menjalankan sembahyang pagi. Ia pun kaget melihat kondisi Santi. Lantas, ia segera mengambilkan handuk, dan
Waktu beranjak siang. Keukeu datang ke apartemen Riana. Ia membawakan pakaian Santi.“Keu, lu kenapa sih makin ke sini makin nggak punya hati?” Riana langsung menodongkan pertanyaan tajam untuk menyapa Keukeu.“Aduh duh…. ulala deh yey. Sekarang gue balik bertanya sama lu. Lu lebih milih kaya tapi tidak bahagia atau miskin tapi bahagia? Heem….” Keukeu duduk manja di sofa. “Diem kan lu. Jawabannya udah jelas, mending kaya walau tidak bahagia. Setidaknya lu bisa nangis sambil makan enak, tidur di kasur empuk, bisa jalan-jalan ke luar negeri. Miskin tapi bahagia itu mitos, Say. Justru salah satu sumber ketidakbahagiaan hidup yaitu kemiskinan.”Santi terbangun mendengar percakapan antara Riana dan Keukeu. Namun, ia memilih berdiam diri – mendengarkan obrolan mereka secara saksama.“Lu nggak bisa menyamakan semua orang sesuai dengan standar yang ada di kepala lu atau yang ada di dalam hidup. Nggak semua orang siap menceburkan diri untuk bahagia dalam lautan dosa.” Riana mencoba memberikan
Malu masih ditanggung oleh pikiran, tetapi hina selamanya akan menanggung badan. Gagal dalam sebuah pekerjaan merupakan hal yang biasa. Namun, kehilangan kehormatan merupakan kegagalan yang luar biasa dalam menjaga diri.Santi sudah resmi masuk dalam list "karyawan" Keukeu. Semuanya sudah runyam. Hanya kata "jalani" yang bisa disematkan pada langkahnya.Riana sendiri sudah bertahun-tahun “mengabdi” di Rumah Butterfly. Protistusi seakan telah menjadi candu. Ia tahu pekerjaannya tidak benar. Namun, bukan perkara mudah untuk berhenti.Lantas, tidak adakah yang berani melapor kepada polisi atau memblow up tentang Keukeu ke media sosial? Jawabannya, percuma.Keukeu memiliki sokongan yang kuat dari beberapa oknum terpandang di negeri ini. Maka dari itu, ia cukup sulit untuk dipidanakan dengan tuduhan apa pun. Pernah ada yang melaporkan, tetapi si pelapor justru berbalik mendapat ancaman.Keukeu tak hanya memiliki surat sakti berupa perjanjian kabur. Ia juga selalu merekam malam pertama seti
Gundah gulana tengah mencabar pikiran Wildan. Berhari-hari menanti kabar dari sang kekasih, tetapi satu kata pun tak ia terima. Kekhawatiran semakin menguat dalam sanubari. Adakah rindu yang ia rasakan mulai buntu?Hangatnya pelukan Santi masih Wildan rasakan menyelimuti badan. Pun, semangat, janji, kesetiaan masih mengalun mesra di telinga. Namun kini, mengapa tiba-tiba semuanya terbias semu? Seolah kemarin hanya mimpi. Seakan kasih bermetamorfosis menjadi ilusi, mengarah pada fiksi.Wildan turun dari motor dengan wajah lesu. Ia jatuhkan badan diranjang bambu sambil membuka helm.“Dan, Ambu perhatiin kamu teh belakangan kayak murung terus. Apa yang kamu pikirin?” tanya Ambu menyambut Wildan pulang dari training kerja. Dia mengamati ada tingkah yang berbeda dari Wildan beberapa hari ini.“Nggak ada apa-apa, Ambu,” jawab Wildan sambil melepas sepatunya.Ambu tidak puas dengan jawaban WIldan. Jelas ada hal yang ganjil di pelupuk mata, sang putra justru berusaha menutupi. “Dan, Ambu tahu
Irama musik disko berdengung kencang di Rumah Buttefly. Waktu baru beranjak meninggalkan Maghrib. Namun, orang-orang sudah asik menggelar pesta.Perempuan-perempuan berbusana seksi berjajar, menyambut pengunjung yang datang. Semakin malam, semakin ramai pria hidung belang mencari kepuasan seksual. Menghaburkan uang, mengkhianati pasangan.Santi berbisik kepada Riana. Ia merasa canggung dan tak nyaman. Terlebih ketika mata-mata jelatatan memandangnya sambil menjulurkan lidah.“Santai aja. Mau bagaimana lagi?! Lama kelamaan kamu akan terbiasa melayani mereka”, ujar Riana memberi ketenangan.Tenang? Pada dasarnya hati Santi tidak bisa tenang. Bagaimana bisa tenang sementara dosa mengambang di pelupuk mata.Keukeu memanggil para kupu-kupu malam dengan tepukan tangan. Ia mengumpulkan mereka di sebuah ruangan khusus dengan cahaya remang-remang.“Selamat malam, ladies – para pembuat desahan manja yang membahana, pemberi kenikmatan dunia tiada tara, dan penarik mesin ATM berjalan yang meresa
Firman menatap Santi penuh kekaguman. Ia begitu terpesona melihat sang gadis dalam balutan plaid shirt yang dipadukan dengan kulot. Tampilan Santi terbilang sederhana, tetapi begitu memanjakan mata. “Kenapa kamu melihat saya seperti itu? Apa ada yang salah dalam penampilan saya?” tanya Santi. Ia merasa risih dengan tatapan Firman yang mengiaskan senyuman. “Kamu belum menyebutkan namamu. Saya rasa kamu tidak lupa kan dengan janjimu waktu itu,” jawab Firman menegaskan harus ada perkenalan resmi. Santi menghela nafas. Mau tidak mau, dia harus menepati janji. “Nama saya teh Santi, Kang,” ucap Santi sambil menyeruput Americano. Firman mengelengkan kepala. “Jangan panggil saya dengan sebutan Kang dong. Saya bukan orang Sunda. Panggil nama saja.” Santi masih belum fasih dalam melekatkan atribut sapaan kepada orang-orang di Jakarta. Memorinya masih merekam interaksi sosial yang ada di desanya. Lagi pula, ia tidak tertarik untuk mengenal Firman lebih jauh. Ada perasaan khawatir yang memb
Ketika suatu tujuan tercapai, harusnya bahagia menyergap raga. Namun, Santi justru tampak murung. Ia berlindung di bawah bantal untuk menutupi kesedihan.Dia yang meminta Wildan mulai mencari penggantinya. Dia pula yang dilanda ketakutan, karena sudah berhari-hari tak ada satu pun riwayat di ponselnya atas nama sang kekasih. Rindu membara di dalam batin yang tersiksa.Sementara itu, Firman tak henti menghubungi Santi walau tak pernah ditanggapi. Santi sengaja mengabaikan karena takut jatuh hati kepada Firman.Untuk saat ini dia memang belum memiliki ketertarikan kepada Firman. Hanya saja, perjalanan hati terkadang sukar untuk diprediksi.“San, hape kamu dari tadi berdering terus nih,” seru Riana memberi tahu.Wildan. Semoga itu panggilan dari Wildan. Harap Santi.Kali ini, ia bertekad untuk menerima panggilan dari Wildan. Ia ingin mendengar alunan lembut suara Wildan yang mampu menenteramkan jiwa.Sayang seribu kali sayang, bukan nama Wildan yang tertulis di layar ponselnya, melainkan
Sesak menyedak di dalam hati. Resah mendera mengacaukan pikiran. Santi termenung memikirkan birahi yang sempat ia salurkan kepada Wildan. Walaupun hanya sekadar mengadu sentuhan, namun cukup kuat menyulutkan rasa bersalah.“Neng mikirin apa? Mikirin Wildan?” tanya si Bapak yang gelisah melihat sikap sang putri.Santi menggelengkan kepala. “Enggak, Pak. Neng…. Neng lagi sedih aja karena besok harus balik lagi ke Jakarta,” jawabnya meniti topik yang lain.“Wildan bercerita kepada Bapak bahwa ada pria lain yang menggantikan posisinya di hati Neng. Benarkah itu, Neng?” tanya lagi si Bapak penuh rasa penasaran. Dia paham tabiat Santi yang setia. Namun, Wildan pun dirasa tidak mungkin berbohong kepadanya.Santi tak memberikan tanggapan pada pertanyaan si Bapak. Ia fokus menuntun sang ayah untuk menaiki mobil.Berbicara masalah cinta laksana menapak di atas bara. Santi tak kuasa menahan air mata bila harus membahas hubungannya dengan Wildan. Hubungan yang semakin pelik untuk diteruskan, teta
Semalaman Wildan tak bisa tidur. Tak terpikir ia akan disodorkan kenikmatan bercumbu oleh Santi. Resah dan rasa bersalah pun menggeluti pagi hingga ia merasa malas untuk berangkat bekerja.Wildan lantas mengirimkan pesan singkat kepada Santi. Isinya sebuah pernyataan untuk siap bertanggung jawab. Bagaimana pun, ia telah berdosa karena telah terpancing untuk menjamahi tubuh Santi.Beberapa menit menunggu balasan, Santi hanya mengguratkan tulisan “Tidak apa-apa, A”. Sebuah kalimat yang memiliki multi tafsir.Mengapa Santi terkesan tidak menjaga kesuciannya? Apakah ajakan permainan bibir yang dia mulai merupakan bentuk pernyataan cinta? Ataukah hanya nafsu sesaat sebagai permohonan maaf? Pikiran Wildan mengembara menerka berbagai kemungkinan.“Dan, kamu kok belum siap-siap untuk kerja?” tanya Ambu menghampiri sang anak yang terus melamun. “Oh iya, tadi di warung ramai orang-orang membicarakan Santi. Katanya, Santi sudah menjadi artis besar,” sambung Ambu mengajak Wildan berbincang.Wilda
Santi menadahkan mata melihat hamparan langit ceria. Bulan dan bintang tampak indah melengkapi kehadiran satu sama lain. Sayangnya, suasana malam yang indah sangat kontradiksi dengan perasaannya. Gundah dan gelisah membara dalam raga, membakar asa yang bersemayam dalam sanubari.Sementara itu, Wildan setia menanti jawaban Santi. Jawaban atas laju cinta yang menyerat masa depan.“Maaf, A. Neng memang sudah jatuh cinta dengan pria lain di Jakarta,” ujar Santi terisak.Wildan tidak lantas percaya dan menerima pernyataan Santi. Ia yakin ada ketidakjujuran yang dilontarkan sang pujaan hati.“Coba Neng ucapkan sekali lagi sambil tatap mata Aa,” pinta Wildan sembari menarik wajah Santi dengan sentuhan yang lembut.Santi justru memejamkan mata. Ia tak sanggup jika harus beradu pandang dengan Wildan. Bagaimana pun, sorot cahaya dari mata sulit untuk dimanipulasi.“Aa bukan tidak terima jika Neng menemukan pria yang lebih bisa membahagiakan Neng. Aa cuma merasa keputusan Neng terlalu dini. Apak
Santi menekuri setiap langkah menyusuri sudut-sudut rumahnya. Semua benda yang terpajang masih sama susunannya. Pun, tak ada perubahan pada struktur bangunan. Memang, baru satu bulan ditinggalkan. Jelas, tak akan ada banyak pergeseran.Namun, pergeseran bukan pada yang tampak di mata, melainkan yang melacur di dalam hati. Santi merasa seperti sudah bertahun-tahun terpisah dengan kesederhanaan. Kesederhanaan yang dulu menjelma memenuhi suasana hangat di dalam rumah. Mungkinkah hal tersebut bisa diulang, sedangkan jiwa sedang mengandung nista?Selagi Santi memandangi potret dapur, tempatnya mengadu cerita, suara salam menyapa dengan lantang. Lantas, ia segera menengok tamu yang datang.“Wuih, makin cantik aja nih Neng Santi. Gimana kabar si Bapak, udah mendingan? Bibi teh mau ngejenguk, tapi sibuk terus. Maklumlah, lagi ngerintis usaha di bidang kuliner. Muterin duit si Euis dengan usaha yang halal,” tutur Kesih kala Santi berdiri di hadapannya. Tawa kecil mengiringi pemaparannya, tetap
Surya berseri menyapa pagi. Hangat dan lega merengkuh raga, membasuh sukma. Air mata sirna, memuai bersama resah yang sempat mengecam nasib.Santi duduk sembari menggenggam tangan si Bapak. Semalaman dia menjaga sang ayah dengan penuh kasih. Ketulusannya pun terbayar dengan sebuah senyuman.“Kamu tampak lain, Neng. Sedikit berbeda. Neng bahagia kan kerja di Jakarta?” Si Bapak menyorot dalam pada wajah Santi. Dia mengamati hamparan kecantikan sang putri tercinta terasa penuh tipuan, tak lagi alami nan suci.Santi menarik kedua bibirnya. “Kata dokter, Bapak teh kurang makan. Ini aja tangan Bapak kayak kurusan ya, Pak. Bapak pengen makan apa? Biar Neng carikan di luar ya,” ucap Santi mengalihkan pembicaraan. Ia belum siap untuk membahas perihal pekerjaan, terlebih berhadapan dengan kondisi si Bapak yang belum stabil. Akan ada banyak desakan air mata yang mengaburkan ekspresi.“Bapak teh khawatir Neng di Jakarta tidak bahagia, tetapi Neng tetap memaksa untuk bekerja. Kerjaan Neng ngapain
Menjalani biduk rumah tangga yang layarnya sudah tak terkembang, seperti melangkah di atas pecahan beling. Ingin menyudahi kisah, tetapi khawatir tak menemukan pengganti yang lebih baik. Terpaksa merelakan hati tersakiti setiap hari hanya demi mengiba kasih sayang.Kebuntuan terus membayangi perbaikan hubungan Mariska dengan sang suami. Dia tidak menyangka, cinta yang disuguhkan selalu diuapkan oleh kesalahpahaman.Mariska memang mengakui tindakannya mengobrak-abrik ponsel Firman agak sedikit berlebihan. Namun, pembelaannya lebih besar. Bagaimana pun, tak ada istri yang tak sakit hati ketika suaminya bermain rasa dengan perempuan lain.Sembari menahan laju air mata, Mariska susuli Firman ke dalam kamar. Dia tak mau lagi menenggak masalah yang digantung tanpa sebuah penyelesaian konkret.“Mas, apa sih mau kamu? Aku sudah setia sama kamu. Aku juga sudah membantu kamu menapaki karier kamu yang sukses seperti sekarang ini. Bisa-bisanya kamu cari daun muda di luar sana?” kesah Mariska. Sua
Kematian merupakan perpisahan yang paling ditakuti manusia. Tak ada ruang untuk merajut jalinan cinta. Hilangnya kesempatan untuk memperbaiki kisah. Juga, kemungkinan untuk bertemu lagi di alam keabadian yang mungkin samar.Santi tak mau berprasangka si Bapak akan pergi untuk selama-lamanya. Namun, ia juga tak bisa menghilangkan pikiran buruk tersebut, karena dihantui tangisan sang ibu yang terdengar mencekam di lubang telepon.Air mata Santi mengiring sepanjang perjalanan. Ia berharap kepulangannya bukanlah firasat akan sebuah perpisahan dengan si Bapak.Sayangnya, berkali-kali nomor sang ibu dihubungi, tak juga mendapatkan respon. Pikiran Santi pun makin kacau balau.Si sopir menyarankan Santi untuk tidur. Sementara, Santi tidak bisa memejamkan mata sebelum mendapat kepastian bahwa si Bapak hanya menderita sakit biasa.“Coba Neng telepon tetangga yang dekat rumah Neng untuk nanyain kondisi bapak Neng,” ucap si sopir memberikan saran lain yang mungkin bisa meredakan tangisan Santi.S
Tak ada tempat yang bisa menggantikan kenyamanan kampung halaman. Sekalipun banyak hal yang membuat telinga panas, tetap saja ada banyak kenangan yang bisa mendamaikan hati. Bersama dengan orang-orang yang dicinta, api pun akan mudah untuk ditaklukan.Hari-hari berlalu dengan cepat, tetapi tak memberikan sebuah kepastian. Kepastian kapan bagi sang gadis malang bisa berhenti menjadi kupu-kupu malam.Rindu pada suasana rumah menggebu di kalbu Santi. Dia tak sabar menanti hari esok tiba. Hari libur spesial yang diberikan oleh Keukeu.Namun, antusiasme Santi mendapat interupsi sesaat. Bermacam prediksi pertanyaan dari para tetangga hinggap di kepalanya. Tentu, dia harus membuat suatu rangkaian kebohongan.Hah! Kebohongan dan kebohongan ditutupi oleh kebohongan pula. Kemarin dia berbohong kepada si Om agar bisa menyelamatkan muka dari Firman. Esok dia harus berbohong untuk menjaga raut bahagia keluarga, dan membentengi gunjingan tetangga yang pasti – satu atau dua orang/ lebih – penasaran
Santi kelimpungan memikirkan skenario agar tidak bertemu dengan Firman. Ia putar otak ke segala arah yang sekiranya bisa menghadirkan sebuah alasan. Ternyata, Jakarta tidak seluas yang ia kira.Si Om mulai tidak sabar menunggu Santi yang berkutat dengan heels-nya. Pikirannya sudah dipenuhi dengan berbagai rangkaian kata pamer. Di hadapan semua koleganya, ia akan perkenalkan Santi sebagai tambatan hati. Tak peduli, meski ia akan mendapatkan guyonan tua-tua keladi.“Sayang, apa ada masalah dengan kaki kamu? Kamu belum terbiasa ya pakai sepatu hak tinggi begitu?” tanya si Om dengan lembut.Santi tidak memberikan jawaban. Ia hanya membalas dengan sebuah senyuman tipis.“Aw!” erang Santi sembari memegangi perutnya.Si Om pun membungkuk dan sedikit khawatir melihat kondisi Santi. Dia menawarkan bahu untuk memapah Santi agar segera bisa duduk. Namun, Santi menolak dengan halus.“Maaf, Om. Sa… saya…. sepertinya datang bulan,” ucap Santi. Tak ada pilihan lain, kecuali berbohong. Anggap saja ke