Firman menatap Santi penuh kekaguman. Ia begitu terpesona melihat sang gadis dalam balutan plaid shirt yang dipadukan dengan kulot. Tampilan Santi terbilang sederhana, tetapi begitu memanjakan mata. “Kenapa kamu melihat saya seperti itu? Apa ada yang salah dalam penampilan saya?” tanya Santi. Ia merasa risih dengan tatapan Firman yang mengiaskan senyuman. “Kamu belum menyebutkan namamu. Saya rasa kamu tidak lupa kan dengan janjimu waktu itu,” jawab Firman menegaskan harus ada perkenalan resmi. Santi menghela nafas. Mau tidak mau, dia harus menepati janji. “Nama saya teh Santi, Kang,” ucap Santi sambil menyeruput Americano. Firman mengelengkan kepala. “Jangan panggil saya dengan sebutan Kang dong. Saya bukan orang Sunda. Panggil nama saja.” Santi masih belum fasih dalam melekatkan atribut sapaan kepada orang-orang di Jakarta. Memorinya masih merekam interaksi sosial yang ada di desanya. Lagi pula, ia tidak tertarik untuk mengenal Firman lebih jauh. Ada perasaan khawatir yang memb
Ketika suatu tujuan tercapai, harusnya bahagia menyergap raga. Namun, Santi justru tampak murung. Ia berlindung di bawah bantal untuk menutupi kesedihan.Dia yang meminta Wildan mulai mencari penggantinya. Dia pula yang dilanda ketakutan, karena sudah berhari-hari tak ada satu pun riwayat di ponselnya atas nama sang kekasih. Rindu membara di dalam batin yang tersiksa.Sementara itu, Firman tak henti menghubungi Santi walau tak pernah ditanggapi. Santi sengaja mengabaikan karena takut jatuh hati kepada Firman.Untuk saat ini dia memang belum memiliki ketertarikan kepada Firman. Hanya saja, perjalanan hati terkadang sukar untuk diprediksi.“San, hape kamu dari tadi berdering terus nih,” seru Riana memberi tahu.Wildan. Semoga itu panggilan dari Wildan. Harap Santi.Kali ini, ia bertekad untuk menerima panggilan dari Wildan. Ia ingin mendengar alunan lembut suara Wildan yang mampu menenteramkan jiwa.Sayang seribu kali sayang, bukan nama Wildan yang tertulis di layar ponselnya, melainkan
Hidup penuh persaingan. Terlebih jika berbicara tentang uang. Tak peduli di mana dan dengan siapa, semuanya seakan rival dalam menyambung nafas. Dunia kerja, halal atau haram, tetap saja menyimpan api di dalam sekam.Julia merasa kehadiran Santi di Rumah Butterfly merupakan ancaman dalam “kariernya”. Sementara bagi Santi, ia hanyalah aktris yang menjalani lakon sesuai arahan sang sutradara. Suka tidak suka, semua harus dilakukan karena sudah terikat kontrak.“Kamu kenapa, San? Teteh lihatin dari tadi kamu tampak melamun terus?” tanya Riana seraya membuang asap dari mulut.“Nggak apa-apa, Teh. Cuma aku ngerasa bingung aja. Aku kira semua orang di sini kayak Teteh dan Mawar yang menganggap satu sama lain sebagai keluarga, bukan saingan.” Santi menengadahkan kepala ke langit-langit yang berkerlap-kelip. Kerinduan terhadap keseharian di kampung pun membumbung dalam pikiran.“Tentang Julia? Kamu tidak perlu meladeni dia. Namanya hidup dalam sebuah kelompok, pasti akan selalu ada gesekan. T
Pikiran berusaha melupakan, tetapi hati justru berbuat sebaliknya. Kenangan, harapan, dan janji bersama Santi melagu sendu di kepala Wildan. Setiap hari menegarkan nasib, selama itu pula kaki bak dirantai sengsara.Wildan bersandar di tiang teras penyangga rumah. Ia pandangi langit berseri yang seakan meledek suasana hatinya. Rembulan ditemani bintang, sedangkan ia ditemani ketidakpastian dalam menjalin cinta.“Ngalamun wae (melamun saja), Dan? Mikirin si Santi ya?” tanya Kesih yang lewat di hadapan Wildan.Hanya senyuman tipis yang Wildan layangkan sebagai respon atas pertanyaan Kesih. Wildan tak mau membalas dengan kata sebab tahu hanya akan memancing celotehan sang tetangga.“Makanya cari kerjaan yang gajinya lebih gede, Dan. Kalau bisa mah mulai merintis usaha. Saya teh sebenarnya mau-mau aja jodohin si Euis sama kamu. Tapi ya kalau penghasilan kamu masih jauh di bawah dia mah, saya masih ogahlah. Maaf ya Dan, saya mah realistis aja. Kalau cuma buat pacaran mungkin perempuan nyari
Seorang perempuan cantik duduk dengan gelisah di atas sofa mewah. Berkali-kali dia pandangi ponselnya sembari menghitung waktu. Malam semakin larut, tetapi yang ditunggu masih belum tampak tanda-tanda kehadirannya.Hatinya tak tenang, pikirannya menerawang penuh rasa curiga. “Ke mana kamu, Mas?!” gerutunya kesal.Tak lama, terdengar bunyi pintu yang dorong. Ia tahu pasti itu suaminya yang baru pulang. Ia sambut sang belahan jiwa dengan muka masam. Kesal yang menumpuk menjadi amarah sudah berada di ujung lidah, siap untuk dilampiaskan.“Mas, kamu tahu nggak sekarang jam berapa? Aku nunggu kamu buat makan malam sampai hilang rasa laparku. Nomor handphonemu tidak bisa dihubungi. Kamu juga pergi tanpa memberi kabar sama aku. Apa sih yang kamu lakukan? Apa kamu lagi coba-coba ‘jajan’ di luaran? Awas ya, Mas!” ungkapnya dengan suara tinggi.Firman tak menggubris perkataan istrinya. Ia teguhkan langkah menuju kamar.Sang istri, yang bernama Mariska, menjegal ayunan kaki Firman. Hatinya semak
Santi termenung memikirkan perasaan Wildan saat ini. Ingin memberikan klarifikasi atas pernyataan Firman, tetapi ia takut lebih terbawa rindu. Sungguh batin terasa getir dan pilu.Jika Wildan marah dan membenci, Santi bisa menerima. Namun, bagaimana jika orang yang menjadi cinta pertamanya tersebut patah hati?!Sudah hilir mudik mengitari setiap sudut apartemen, Santi masih tak jua bisa memutuskan sikap; hubungi Wildan atau meliarkan pernyataan Firman menjadi prasangka.Santi memutuskan untuk turun mencari angin segar. Ke mana akan pergi, biarlah pikiran yang memandu tujuan. Intinya, ia ingin meminta bantuan alam untuk menggapai ketenangan.Dengan penuh keresahan, Santi berputar di taman menikmati suasana sore yang cerah. Bila cahaya matahari terbenam sempurna, maka raga pun harus terbaring tak berdaya. Membiarkan siapa pun yang berharta menjilati setiap jengkal tubuhnya. Ah! Masalah seakan terus berakumalasi di dalam dirinya setiap hari.“Kamu tinggal di sini?” tanya seseorang yang m
Banyak yang berkata mencintai berarti memberi. Memberi kebahagian dan keikhlasan dalam setiap jalinan yang disematkan. Selain itu, senantiasa berupaya agar dia yang dicintai bahagia dalam hari-harinya.Wildan mencoba mengamini jika memang Santi akan bahagia menautkan perasaannya pada pria kota. Namun, hati tak bisa dimanipulasi oleh pikiran. Wildan belum mampu berkata bahagia kala melihat Santi bahagia dengan orang lain. Ia ingin Santi bahagia dalam dekapannya.Cinta tak selamanya memiliki. Istilah tersebut mudah diucapkan, tetapi sulit untuk dijalani. Pada dasarnya, cinta ingin memiliki dan mengarungi kisah bersama dengan si dia.Wildan kirimkan pesan singkat kepada Santi. Isinya meminta izin untuk mengadu suara.Wildan sudah tak tahan berhari-hari merenda sabar. Ia hanya ingin kepastian dan alasan Santi bisa berpindah ke lain hati. Meskipun begitu, ada sisi pendengarannya yang takut menghadapi kenyataan.Sembari meneguk kopi hangat di jam istirahat, Wildan terus memoloti ponselnya
Santi kelimpungan memikirkan skenario agar tidak bertemu dengan Firman. Ia putar otak ke segala arah yang sekiranya bisa menghadirkan sebuah alasan. Ternyata, Jakarta tidak seluas yang ia kira.Si Om mulai tidak sabar menunggu Santi yang berkutat dengan heels-nya. Pikirannya sudah dipenuhi dengan berbagai rangkaian kata pamer. Di hadapan semua koleganya, ia akan perkenalkan Santi sebagai tambatan hati. Tak peduli, meski ia akan mendapatkan guyonan tua-tua keladi.“Sayang, apa ada masalah dengan kaki kamu? Kamu belum terbiasa ya pakai sepatu hak tinggi begitu?” tanya si Om dengan lembut.Santi tidak memberikan jawaban. Ia hanya membalas dengan sebuah senyuman tipis.“Aw!” erang Santi sembari memegangi perutnya.Si Om pun membungkuk dan sedikit khawatir melihat kondisi Santi. Dia menawarkan bahu untuk memapah Santi agar segera bisa duduk. Namun, Santi menolak dengan halus.“Maaf, Om. Sa… saya…. sepertinya datang bulan,” ucap Santi. Tak ada pilihan lain, kecuali berbohong. Anggap saja ke
Sesak menyedak di dalam hati. Resah mendera mengacaukan pikiran. Santi termenung memikirkan birahi yang sempat ia salurkan kepada Wildan. Walaupun hanya sekadar mengadu sentuhan, namun cukup kuat menyulutkan rasa bersalah.“Neng mikirin apa? Mikirin Wildan?” tanya si Bapak yang gelisah melihat sikap sang putri.Santi menggelengkan kepala. “Enggak, Pak. Neng…. Neng lagi sedih aja karena besok harus balik lagi ke Jakarta,” jawabnya meniti topik yang lain.“Wildan bercerita kepada Bapak bahwa ada pria lain yang menggantikan posisinya di hati Neng. Benarkah itu, Neng?” tanya lagi si Bapak penuh rasa penasaran. Dia paham tabiat Santi yang setia. Namun, Wildan pun dirasa tidak mungkin berbohong kepadanya.Santi tak memberikan tanggapan pada pertanyaan si Bapak. Ia fokus menuntun sang ayah untuk menaiki mobil.Berbicara masalah cinta laksana menapak di atas bara. Santi tak kuasa menahan air mata bila harus membahas hubungannya dengan Wildan. Hubungan yang semakin pelik untuk diteruskan, teta
Semalaman Wildan tak bisa tidur. Tak terpikir ia akan disodorkan kenikmatan bercumbu oleh Santi. Resah dan rasa bersalah pun menggeluti pagi hingga ia merasa malas untuk berangkat bekerja.Wildan lantas mengirimkan pesan singkat kepada Santi. Isinya sebuah pernyataan untuk siap bertanggung jawab. Bagaimana pun, ia telah berdosa karena telah terpancing untuk menjamahi tubuh Santi.Beberapa menit menunggu balasan, Santi hanya mengguratkan tulisan “Tidak apa-apa, A”. Sebuah kalimat yang memiliki multi tafsir.Mengapa Santi terkesan tidak menjaga kesuciannya? Apakah ajakan permainan bibir yang dia mulai merupakan bentuk pernyataan cinta? Ataukah hanya nafsu sesaat sebagai permohonan maaf? Pikiran Wildan mengembara menerka berbagai kemungkinan.“Dan, kamu kok belum siap-siap untuk kerja?” tanya Ambu menghampiri sang anak yang terus melamun. “Oh iya, tadi di warung ramai orang-orang membicarakan Santi. Katanya, Santi sudah menjadi artis besar,” sambung Ambu mengajak Wildan berbincang.Wilda
Santi menadahkan mata melihat hamparan langit ceria. Bulan dan bintang tampak indah melengkapi kehadiran satu sama lain. Sayangnya, suasana malam yang indah sangat kontradiksi dengan perasaannya. Gundah dan gelisah membara dalam raga, membakar asa yang bersemayam dalam sanubari.Sementara itu, Wildan setia menanti jawaban Santi. Jawaban atas laju cinta yang menyerat masa depan.“Maaf, A. Neng memang sudah jatuh cinta dengan pria lain di Jakarta,” ujar Santi terisak.Wildan tidak lantas percaya dan menerima pernyataan Santi. Ia yakin ada ketidakjujuran yang dilontarkan sang pujaan hati.“Coba Neng ucapkan sekali lagi sambil tatap mata Aa,” pinta Wildan sembari menarik wajah Santi dengan sentuhan yang lembut.Santi justru memejamkan mata. Ia tak sanggup jika harus beradu pandang dengan Wildan. Bagaimana pun, sorot cahaya dari mata sulit untuk dimanipulasi.“Aa bukan tidak terima jika Neng menemukan pria yang lebih bisa membahagiakan Neng. Aa cuma merasa keputusan Neng terlalu dini. Apak
Santi menekuri setiap langkah menyusuri sudut-sudut rumahnya. Semua benda yang terpajang masih sama susunannya. Pun, tak ada perubahan pada struktur bangunan. Memang, baru satu bulan ditinggalkan. Jelas, tak akan ada banyak pergeseran.Namun, pergeseran bukan pada yang tampak di mata, melainkan yang melacur di dalam hati. Santi merasa seperti sudah bertahun-tahun terpisah dengan kesederhanaan. Kesederhanaan yang dulu menjelma memenuhi suasana hangat di dalam rumah. Mungkinkah hal tersebut bisa diulang, sedangkan jiwa sedang mengandung nista?Selagi Santi memandangi potret dapur, tempatnya mengadu cerita, suara salam menyapa dengan lantang. Lantas, ia segera menengok tamu yang datang.“Wuih, makin cantik aja nih Neng Santi. Gimana kabar si Bapak, udah mendingan? Bibi teh mau ngejenguk, tapi sibuk terus. Maklumlah, lagi ngerintis usaha di bidang kuliner. Muterin duit si Euis dengan usaha yang halal,” tutur Kesih kala Santi berdiri di hadapannya. Tawa kecil mengiringi pemaparannya, tetap
Surya berseri menyapa pagi. Hangat dan lega merengkuh raga, membasuh sukma. Air mata sirna, memuai bersama resah yang sempat mengecam nasib.Santi duduk sembari menggenggam tangan si Bapak. Semalaman dia menjaga sang ayah dengan penuh kasih. Ketulusannya pun terbayar dengan sebuah senyuman.“Kamu tampak lain, Neng. Sedikit berbeda. Neng bahagia kan kerja di Jakarta?” Si Bapak menyorot dalam pada wajah Santi. Dia mengamati hamparan kecantikan sang putri tercinta terasa penuh tipuan, tak lagi alami nan suci.Santi menarik kedua bibirnya. “Kata dokter, Bapak teh kurang makan. Ini aja tangan Bapak kayak kurusan ya, Pak. Bapak pengen makan apa? Biar Neng carikan di luar ya,” ucap Santi mengalihkan pembicaraan. Ia belum siap untuk membahas perihal pekerjaan, terlebih berhadapan dengan kondisi si Bapak yang belum stabil. Akan ada banyak desakan air mata yang mengaburkan ekspresi.“Bapak teh khawatir Neng di Jakarta tidak bahagia, tetapi Neng tetap memaksa untuk bekerja. Kerjaan Neng ngapain
Menjalani biduk rumah tangga yang layarnya sudah tak terkembang, seperti melangkah di atas pecahan beling. Ingin menyudahi kisah, tetapi khawatir tak menemukan pengganti yang lebih baik. Terpaksa merelakan hati tersakiti setiap hari hanya demi mengiba kasih sayang.Kebuntuan terus membayangi perbaikan hubungan Mariska dengan sang suami. Dia tidak menyangka, cinta yang disuguhkan selalu diuapkan oleh kesalahpahaman.Mariska memang mengakui tindakannya mengobrak-abrik ponsel Firman agak sedikit berlebihan. Namun, pembelaannya lebih besar. Bagaimana pun, tak ada istri yang tak sakit hati ketika suaminya bermain rasa dengan perempuan lain.Sembari menahan laju air mata, Mariska susuli Firman ke dalam kamar. Dia tak mau lagi menenggak masalah yang digantung tanpa sebuah penyelesaian konkret.“Mas, apa sih mau kamu? Aku sudah setia sama kamu. Aku juga sudah membantu kamu menapaki karier kamu yang sukses seperti sekarang ini. Bisa-bisanya kamu cari daun muda di luar sana?” kesah Mariska. Sua
Kematian merupakan perpisahan yang paling ditakuti manusia. Tak ada ruang untuk merajut jalinan cinta. Hilangnya kesempatan untuk memperbaiki kisah. Juga, kemungkinan untuk bertemu lagi di alam keabadian yang mungkin samar.Santi tak mau berprasangka si Bapak akan pergi untuk selama-lamanya. Namun, ia juga tak bisa menghilangkan pikiran buruk tersebut, karena dihantui tangisan sang ibu yang terdengar mencekam di lubang telepon.Air mata Santi mengiring sepanjang perjalanan. Ia berharap kepulangannya bukanlah firasat akan sebuah perpisahan dengan si Bapak.Sayangnya, berkali-kali nomor sang ibu dihubungi, tak juga mendapatkan respon. Pikiran Santi pun makin kacau balau.Si sopir menyarankan Santi untuk tidur. Sementara, Santi tidak bisa memejamkan mata sebelum mendapat kepastian bahwa si Bapak hanya menderita sakit biasa.“Coba Neng telepon tetangga yang dekat rumah Neng untuk nanyain kondisi bapak Neng,” ucap si sopir memberikan saran lain yang mungkin bisa meredakan tangisan Santi.S
Tak ada tempat yang bisa menggantikan kenyamanan kampung halaman. Sekalipun banyak hal yang membuat telinga panas, tetap saja ada banyak kenangan yang bisa mendamaikan hati. Bersama dengan orang-orang yang dicinta, api pun akan mudah untuk ditaklukan.Hari-hari berlalu dengan cepat, tetapi tak memberikan sebuah kepastian. Kepastian kapan bagi sang gadis malang bisa berhenti menjadi kupu-kupu malam.Rindu pada suasana rumah menggebu di kalbu Santi. Dia tak sabar menanti hari esok tiba. Hari libur spesial yang diberikan oleh Keukeu.Namun, antusiasme Santi mendapat interupsi sesaat. Bermacam prediksi pertanyaan dari para tetangga hinggap di kepalanya. Tentu, dia harus membuat suatu rangkaian kebohongan.Hah! Kebohongan dan kebohongan ditutupi oleh kebohongan pula. Kemarin dia berbohong kepada si Om agar bisa menyelamatkan muka dari Firman. Esok dia harus berbohong untuk menjaga raut bahagia keluarga, dan membentengi gunjingan tetangga yang pasti – satu atau dua orang/ lebih – penasaran
Santi kelimpungan memikirkan skenario agar tidak bertemu dengan Firman. Ia putar otak ke segala arah yang sekiranya bisa menghadirkan sebuah alasan. Ternyata, Jakarta tidak seluas yang ia kira.Si Om mulai tidak sabar menunggu Santi yang berkutat dengan heels-nya. Pikirannya sudah dipenuhi dengan berbagai rangkaian kata pamer. Di hadapan semua koleganya, ia akan perkenalkan Santi sebagai tambatan hati. Tak peduli, meski ia akan mendapatkan guyonan tua-tua keladi.“Sayang, apa ada masalah dengan kaki kamu? Kamu belum terbiasa ya pakai sepatu hak tinggi begitu?” tanya si Om dengan lembut.Santi tidak memberikan jawaban. Ia hanya membalas dengan sebuah senyuman tipis.“Aw!” erang Santi sembari memegangi perutnya.Si Om pun membungkuk dan sedikit khawatir melihat kondisi Santi. Dia menawarkan bahu untuk memapah Santi agar segera bisa duduk. Namun, Santi menolak dengan halus.“Maaf, Om. Sa… saya…. sepertinya datang bulan,” ucap Santi. Tak ada pilihan lain, kecuali berbohong. Anggap saja ke