Semilir angin sore membelai rambut seorang gadis cantik. Ia berjalan dengan begitu berhati-hati menyusuri bebatuan. Kakinya terasa letih, tetapi langkahnya tetap diayunkan penuh harapan.
Minimnya lapangan kerja di desa, membuat dia harus berusaha ekstra. Menaruh lamaran dari satu tempat ke tempat yang lain, walau harus bersaing dengan ratusan pelamar lain.
“Neng, kalau pun kamu kuliah dapet beasiswa, tetapi kan tetep aja kamu perlu kost dan perlu makan. Emang semuanya ditanggung oleh beasiswa? Neng coba pikirkan sekali lagi. Si Bapak nggak kerja, cuma ngandelin hasil tani. Perempuan itu nggak terlalu penting kuliah. Cukup pinter cari suami yang mapan aja. Lagian, Neng kenapa sih nggak mau berangkat ke luar negeri seperti yang lain?”
Perkataan ibunya terus mengiang di kepala. Itulah sebab dia memilih untuk mencari penghasilan, melupakan mimpi merengkuh cita-cita.
Hem! Sebagian orang masih beranggapan bahwa pendidikan tinggi bagi perempuan bukanlah hal yang krusial. Toh, katanya, tugas perempuan tidak akan lepas dari dapur, sumur, dan kasur.
Padahal, pendidikan penting bagi siapa pun tanpa memandang jenis kelamin dan profesi yang nanti akan dilakoni. Karena pendidikan bukan hanya berkaitan dengan pekerjaan di masa depan, tetapi juga menjadi pegangan dalam mendidik dan membimbing keluarga (serta sekitar).
Namun, Santi mencoba mengerti kondisi ekonomi keluarga. Kebutuhan perut hari ini tidak bisa ditunda. Sementara, kuliah mungkin bisa ditempuh tahun depan. Ia berbesar hati untuk menunggu keajaiban tiba.
“Neng, Neng kok jalan kaki?” tanya seorang lelaki dengan suara syahdu. Laki-laki yang telah berhasil mencuri hati Santi.
Santi pun tersipu. “Iya, A. Aa dari mana?”
“Aa habis nyariin Neng. Aa tunggu di perempatan, Neng nggak ada. Aa telepon, hape Neng nggak aktif,” terang Wildan.
“Maaf, A. Hape Neng teh mati.”
“Ya udah yuk, naik! Aa anterin pulang.” Wildan mengajak Santi dengan lembut.
Akan tetapi, Santi meragu untuk duduk dibonceng oleh Wildan. Tadi pagi, sang ibu sudah memaki Wildan. Meskipun makian tersebut tidak sampai ke telinga sang pujaan hati, tetapi Santi merasa khawatir.
“Neng jalan aja, A. Udah deket ini,” tolak Santi sembari menorehkan senyum.
“Deket gimana sih, Neng? Masih 500-an meter lagi. Neng mau betisnya besar kayak pemain bola?” Wildan coba menggoda supaya Santi mau diantar olehnya.
Santi akhirnya luluh juga. Ia tak bisa lagi memberikan kalimat penolakan apabila lesung pipi Wildan turut membujuk.
Wildan, pria berusia 21 tahun. Wajahnya tampan, posturnya tinggi, dan badannya ideal meski di perutnya belum ada kotak-kotak berjumlah enam. Ia cukup dikagumi oleh bunga-bunga desa.
Sayangnya, paras tampan saja tidak cukup membuat Wildan menjadi idaman mertua. Pekerjaannya sebagai buruh di Pabrik Dorokdok (kerupuk kulit) acapkali dipandang sebelah mata oleh para orang tua yang memiliki anak gadis. Mereka berpikir sang anak harus bisa mendapatkan jodoh yang mapan yang bisa mengangkat derajat keluarga. Beginilah kehidupan di desa yang terlihat adem, tetapi penuh intrik sosial.
Wildan tidak terlalu memikirkan stigma orang. Baginya, hidup harus dipikirkan sembari dijalankan. Begitu pun dengan cintanya yang sudah ditambatkan kepada Santi. Ia akan berjuang untuk menggapai restu kedua orang tua perempuan pilihannya.
Setiba di rumah, Santi melihat sekeliling. Ia ingin menawari Wildan untuk duduk dan minum kopi, tetapi ia takut akan keberadaan sang ibu.
“Robi, Mamah ada di dalam?” tanya Santi dengan suara pelan kepada adik pertamanya.
“Mamah lagi ke warung Bi Ikah sama si Dede (adik bungsu). Ada apa Teteh nanyain si Mamah?” Robi balik bertanya.
“Teteh nanya aja. Udah main lagi sana.” Santi lantas merasa aman. “Aa mampir dulu sini. Neng buatin kopi ya?! Aa tunggu sebentar!”
“Aa langsung pulang aja ya, Neng.”
“Ya udah atuh. Terima kasih ya A untuk hari ini. Neng jadi nggak enak ngerepotin Aa terus.”
“Besok kalau Neng mau pergi-pergi atau pulang dari mana aja, Neng kabarin Aa ya.”
“Neng nggak mau ganggu Aa. Aa kan juga sibuk kerja.”
“Nggak, Neng. Lagian, kerjaan Aa teh sekarang lagi sepi. Pesanan lagi anjlok.” Wildan menghela nafas. “Aa sebenarnya pengen jadi TKI atau kerja ke luar kota. Tapi, Ambu di rumah nggak ada yang ngejaga dan ngerawat.”
“Sabar aja ya, A. Neng yakin suatu saat Aa bisa berhasil. Aa kan pekerja keras.”
“Aamiin. Cuma, kerja keras aja kadang nggak cukup kan, Neng?! Maksud Aa….” Wildan menatap bumi. “Aa pengen serius sama Neng. Mudah-mudahan ada jalan buat Aa biar bisa diterima sama Mamah Neng. Neng mau kan kalau nanti…..” Wildan sadar mungkin belum saatnya membicarakan rencana berumah tangga. Namun, ia ingin menunjukkan keseriusan dari sekarang sambil merenda bekal ekonomi.
Baru saja Santi hendak menanggapi pernyataan sang kekasih, sang ibu lebih dulu melaungkan panggilan.
“Wildan! Ek naon maneh aya di dieu (apa yang kamu lakukan di sini)?” tanya Lilis dengan suara lantang.
Wildan dan Santi pun begitu kaget. Mereka tak mendeteksi langkah Lilis yang seketika ada di dekat mereka.
“Bi….” Wildan menjulurkan tangan untuk bersalaman.
Lilis mengabaikan sopan santun yang Wildan berikan. “Masuk, Neng! Ngapain berduaan di sini. Pokoknya mah, sampai kapan pun Mamah nggak setuju kamu menjalin hubungan sama dia.”
“Mah, bisa nggak sih Mamah ngomongin soal ini nggak usah di depan Aa Wildan?” keluh Santi setengah berbisik kepada ibunya.
“Kenapa? Mamah ini ibu yang ngelahirin kamu. Apa Mamah salah jika Mamah pengen kamu nantinya mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari Mamah?” Lilis justru semakin bernafsu mengias Wildan.
Tak mau cintanya kandas karena restu, Wildan coba mengutarakan sikapnya. “Bi, Wildan janji akan bekerja lebih keras lagi untuk bisa pantas dengan Santi. Wildan mohon berikan Wildan kesempatan untuk membuktikan keseriusan Wildan ya, Bi.”
Lilis memutar pandangan. Ia mantap menatap Wildan. “Kamu itu hanya buruh kasar. Gaji kamu berapa sih?! Saya bukan meremehkan kamu, tetapi saya ingin anak saya dapat kehidupan yang bahagia. Tidak seperti saya.”
“Saya janji akan membahagiakan Santi, Bi.”
“Dengan apa? Dengan cinta? Dengan kerja keras? Kasih dulu pondasinya. Bangun rumah aja harus ada pondasi yang kokoh.” satir Lilis. “Kamu emang kasep (tampan), tetapi dalam rumah tangga mah itu nggak ada artinya. Ketampanan hanya bisa membahagiakan sesaat sebelum kalian punya anak. Kalau udah ada anak mah ripuh (ribet). Banyak yang harus dicukupi, uang jajan, uang sekolah. Saya nggak mau anak saya nantinya udah capek ngurus anak, dia harus jualan Seblak juga buat tambah-tambah kebutuhan dapur.”
“Mah, udah atuh. Mamah mah mikirnya kejauhan.” Santi resah dengan kata-kata yang dilontarkan sang ibu kepada Wildan.
Kekhawatiran Lilis sebagai seorang ibu memang masuk akal. Akan tetapi, benar kata Santi, Lilis terlalu jauh memikirkan masa depan. Cinta memang tidak bisa mengenyangkan perut. Namun, cinta bisa menjadi pemacu semangat dalam bekerja (dan dalam hal apa pun).
“Aya naon sih, Lis? Henteu isuk, henteu sonten, cocorowokan wae (ada apa sih, Lis? Tidak pagi, tidak sore, teriak-teriak terus).” Si Bapak pulang sembari memanggul cangkul di bahu.
Lilis bergegas masuk. Ia tarik si Dede yang sedari tadi menjadi penonton.
“Baru pulang, Mang?” sapa Wildan. Kali ini, ia mendapatkan sambutan hangat dari si Bapak ketika menjulurkan tangan.
“Muhun (iya). Hayu (mari) atuh masuk. Ngopi-ngopi dulu,” ajak si Bapak dengan ramah.
“Wildan pulang aja, Mang. Kebetulan udah sore.”
“Ya udah. Hatur nuhun (terima kasih) udah nganterin si Neng. Omongan Mamahnya mah, jangan kamu masukin ke hati ya.”
“Iya, Mang.”
Wildan menghidupkan motornya. Sejujurnya, setiap suku kata yang ibu Santi ucapkan cukup menukik dalam di sanubarinya. Namun, ia coba jadikan hal tersebut sebagai motivasi daripada mengkonversi menjadi sakit hati.
“Terima kasih banyak ya A untuk hari ini,” ujar Santi memberikan senyuman manis.
Wildan menganggukkan kepala. Ia juga mengembangkan bibir untuk membalas penyejuk yang Santi berikan.
Si Bapak bergegas ke dalam rumah. Ia segera menghampiri sang istri yang merebahkan badan di kursi panjang di dapur. “Lis, bisa nggak sih kalau kamu ngomong sama orang lebih lembut sedikit.”
“Maksud, Akang?” Lilis lekas bangkit.
“Tolong jaga ucapan kamu kalau ngomong sama orang lain, terutama sama si Wildan. Jangan sampai bikin sakit hati anak orang! Kamu boleh nggak suka sama si Wildan, tapi kamu nggat patut maki-maki dia kayak tadi.” Si Bapak sedikit meninggikan suara.
Lilis pun tak mau kalah dalam hal memproduksi volume dan nada. “Biarin aja sih, Kang. Kadang orang kayak si Wildan tuh emang kudu (harus) dikerasin, Kang. Nggak akan mempan diomongin secara baik-baik. Nanti disangkanya hanya bercanda.”
Santi mengepalkan tangan. “Udah atuh Mah, Pak. Tadi pagi pas Neng berangkat ribut. Sekarang Neng pulang, ribut lagi.”
Air mata Santi tumpah ruah. Ia pun segera masuk ke dalam kamar untuk bercerita pada bantal dan kasur.
Pikiran Santi mengelana. Apa yang harus ia lakukan? Meninggalkan desa untuk mencari penghidupan yang lebih baik di negeri orang? Apa hanya itu cara satu-satunya agar tak ada lagi percekcokan di dalam rumah? Percekcokan yang didasari materi dan materi.
Santi merenung. Akalnya bingung. Hatinya limbung. Harapan untuk hidup bahagia dalam kesederhanaan kerap terbentur dengan omonganya sang ibu.Semenjak melepaskan seragam putih abu-abu, rumah seakan kelabu. Bayangan masa depan seolah hanya ada dua yaitu bekerja di luar negeri atau dinikahkan dengan pria mapan.Kemapanan selalu diukur dari tingkatan ekonomi. Padahal, menjadi istri dari pria kaya belum tentu menjamin hidup sejahtera. Bisa saja hanya untuk dijadikan pajangan dan dicicipi keperawanan. Santi tidak mau menikah hanya untuk dijadikan alat.“Hari ini kamu masih mau keliling-keliling lagi cari kerja?” tanya sang ibu ketika Santi keluar kamar.“Nggak, Mah.”“Terus kapan kamu mulai kerja?”“Belum tahu, Mah.”“Kok belum tahu? Emang dari sekian lamaran yang kamu taruh masih nggak ada satu pun yang masuk?”“Saingannya banyak, Mah,” terang Santi dengan tenang.“Saingannya banyak, yang diterima hanya mereka yang punya orang dalem, kalau mau langsung masuk harus bayar sekian juta. Begitu
Sejatinya, setiap manusia pasti mengidamkan hidup yang nyaman, seperti batin senang dan tidur tenang. Akan tetapi, untuk mencapai kehidupan seperti itu perlu usaha. Usaha pun harus dibarengi dengan doa sebagai wujud rasa syukur.Santi bangun sembari memacu semangat. Ia tunaikan kewajiban sebelum fajar menyingsing. Setelah itu, ia mencuci piring dan baju. Lalu, menyiapkan sarapan. Semua rutinitas dijalankan dengan ikhlas.Lepas pagi menyapa, Santi berkutat dengan ponselnya. Ia sebenarnya masih berharap diterima kerja menjadi karyawan di Alfam*rt, karena lokasinya tidak jauh dari rumah. Sedangkan, untuk menuju mall butuh waktu 90 menit.Hidup selalu disusupi pilihan. Daripada diam di rumah lebih baik bekerja sambil menyusun rencana masa depan, bukan? Santi mengamini Tuhan tak akan memberikan ujian di luar kemampuannya. Semua yang tersaji merupakan anugerah.Tak terasa, siang datang. Santi kembali ke dapur untuk menyiapkan menu makan siang. Sementara itu, sang ibu duduk di teras sambil m
Popularitas dan kemewahan seolah-olah menjadi sumber kebahagiaan. Padahal, hati yang damai akan lebih bisa mendatangkan kesenangan dalam pikiran.Setiap anak pasti ingin membuat kedua orang tuanya selalu tersenyum dan bangga. Akan tetapi, bagaimana bisa melakukan hal tersebut jika jiwa terbelenggu oleh berbagai definisi bahagia yang semu?Katanya, menjadi terkenal akan mendatangkan banyak uang. Katanya, setiap orang akan bahagia jika memiliki banyak uang. Asumsi dan praduga mengalun sendu di kepala Santi.Ia terus dicekoki oleh sang ibu agar mau menerima tawaran Keukeu. Tinggal di Jakarta, menjadi seorang penghibur.“Neng, kata si Keukeu, Neng bisa kok pulang tiap minggu ke sini. Jadi, apa yang masih memberatkan keputusan Neng?” tanya Lilis usai tinggal bertiga di meja makan. Robi dan si Dede sudah masuk ke dalam kamar untuk beristirahat.Dari siang ke sore, dari sore hingga selesai bersantap malam, Lilis terus menombakkan kemiskinan ke dalam otak Santi. Tujuannya, jelas, agar sang pu
Lilis merias wajahnya dengan bedak yang tebal. Tak lupa bibir diolesi lipstik merah menyala, dan alis diukir membentuk garis melengkung seperti tikungan Jalan Nagreg. Pakaian yang dikenakan pun merupakan pakaian terbaik Lebaran kemarin.Ah! Ini momen yang begitu bermakna baginya. Penampilan tentu harus paripurna untuk bisa menyenggol tetangga, terutama Kesih. Belajarlah menjadi orang kaya dari sekarang. Begitu ucapnya di dalam hati.Lilis pun terus melihat perputaran waktu. Ia tak sabar menunggu Keukeu datang. Kalimat demi kalimat sapaan telah ia susun untuk menyapa setiap warga yang nanti akan dilewati.Duh! Emas masih di dasar sungai, belum di genggaman, tetapi ambisi untuk pamer sudah meledak-ledak.“Mamah meni menor pisan kayak mau kondangan,” komentar Santi sambil menahan tawa.“Tong nyengseurikeun kolot, doraka (jangan menertawakan orang tua, durhaka)!” ucap Lilis membalas candaan Santi.“Ampun, Mah! Hehe….”Santi memeluk sang ibu. Ada rasa bahagia melihat ibunya berdandan walau
Lilis bersandar di jendela mobil dengan perasaan kesal. Ia mendapat kabar dari Faisal jika Wildan membawa Santi pergi. Siapa yang tidak kecewa jika ditipu oleh anak sendiri?!Sesekali, Lilis menggerutu. Pikirannya berdiskusi dengan nurani untuk memberikan peringatan yang bisa membuat Wildan jera – tak lagi menjalin kasih dengan Santi.“Kenapa sih, Ceu? Masih kurang belanjaannya?” tanya Keukeu yang tak suka melihat raut kecut yang Lilis tunjukkan.“Ng…. nggak, Keu. Ini malah lebih dari cukup.” Lilis segera memperbaiki lukisan wajahnya.“Terus kenapa mukanya ditekuk gitu? Lecek bagaikan dompet suami yang tak berisi selama puluhan purnama. Tadi Ceu Lilis heboh banget, nggak berhenti ngomong kayak kereta lagi jalan. Apa lagi lobet (low battery = baterai lemah)? Nanti Keukeu beliin powerbank deh kalau anaknya Eceu sudah menghasilkan,” sarkas Keukeu.“Bukan gitu, Keu. Ini anak saya dibawa kabur sama pacarnya. Saya teh pusing mikirinnya,” terang Lilis.Keukeu berteriak hingga sang sopir nyar
Hinaan, makian, dan hujatan masih bisa ditahan. Namun, kebohongan yang dilakukan oleh seorang anak hingga menimbulkan semua kepedihan tersebut sungguh menyayat hati. Yati ingin sekali melampiaskan luka tanpa membenturkan derita.Wildan terus bersimpuh di kaki sang ibu. Ia tak mengira dusta yang diucapkan tadi pagi mengundang petir dan badai. Prahara memang terkadang tak bisa disangka arah kedatangannya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Ia pikir tidak akan ada mata yang mengintai. Ternyata, berita mudah sekali menyebar.Entah siapa orang yang menjadi mata-mata, itu tidaklah penting. Kata maaf dari sang ibu merupakan hal utama yang harus ia gapai.“Ambu, maafin Wildan ya. Ambu dimaki-maki sama Bi Lilis teh pasti gara-gara Wildan,” ucap Wildan mengharap ampunan.Dari depan rumah hingga pindah ke dalam kamar, Yati tak menggubris sedikit pun permohonan maaf sang putra. Bibirnya tertutup rapat, tetapi air matanya tak berhenti mengalir.“Ambu, tolong jangan diemin Wildan kay
Pagi menyapa dengan cahaya yang gembira, si Bapak mengajak sang istri dan Santi untuk bertandang ke rumah Wildan. Si Bapak ingin mengucapkan permohonan maaf atas kerusuhan yang terjadi kemarin. Sayangnya, Lilis tidak mau ikut. Ia berkata tindakannya bukanlah sesuatu yang salah.Waktu menunjukkan pukul 07:00. Suara kicauan burung mengiringi setiap langkah. Sinar mentari menghangatkan badan dan membantu menyemangati niat baik pagi ini.Sesampainya di rumah Wildan, si Bapak dan Santi perlu menyerukan beberapa kali salam hingga Yati keluar. Ya, hanya Yati seorang diri yang menyambut kunjungan si Bapak dan Santi.“Teh Yati, saya atas nama pribadi, istri saya, dan juga anak saya, Santi, memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian kemarin. Saya tahu, omongan istri saya teh memang sangat menyakitkan. Tapi, saya mohon sekali Teh Yati dan Wildan memberikan kami maaf,” ucap si Bapak langsung pada maksud dan tujuannya bertamu.“Saya sudah maafkan, Cid. Saya juga sadar diri bahwa kami teh mem
Keesokan harinya, para tetangga berkumpul di depan rumah Santi dari semenjak Subuh. Mereka ingin turut memberikan semangat kepada sang calon bintang. Andai Santi terkenal, maka nama baik desa bisa terangkat. Begitu pikir mereka, berharap nasib baik Santi menular kepada generasi muda yang lain. Keukeu datang tepat waktu untuk menjemput Santi. Si Bapak pun tak bisa membendung haru. “Neng, jangan lupakan sembahyang ya! Jaga diri Neng baik-baik. Jaga juga iman Neng ya!” ucap si Bapak sambil mendekap Santi. “Teh, nanti kalau udah banyak duit beliin Obi hape ya,” ujar Robi dengan polos. “Dede juga mau, Teh,” imbuh si Dede. “Iya, doain Teteh semoga betah ya di sana. Teteh pasti kangen banget sama jagoan-jagoan kecil ini.” Santi mencubit pipi Robi, lalu memeluk erat si Dede. “Mamah mah cuma mau pesen, Neng nurut apa kata si Keukeu. Dia udah janji bakal jaga Neng. Kerja yang bener ya, Neng!” Lilis berderai air mata. Ia seakan tak rela melepas kepergian sang putri, padahal dia yang meminta
Sesak menyedak di dalam hati. Resah mendera mengacaukan pikiran. Santi termenung memikirkan birahi yang sempat ia salurkan kepada Wildan. Walaupun hanya sekadar mengadu sentuhan, namun cukup kuat menyulutkan rasa bersalah.“Neng mikirin apa? Mikirin Wildan?” tanya si Bapak yang gelisah melihat sikap sang putri.Santi menggelengkan kepala. “Enggak, Pak. Neng…. Neng lagi sedih aja karena besok harus balik lagi ke Jakarta,” jawabnya meniti topik yang lain.“Wildan bercerita kepada Bapak bahwa ada pria lain yang menggantikan posisinya di hati Neng. Benarkah itu, Neng?” tanya lagi si Bapak penuh rasa penasaran. Dia paham tabiat Santi yang setia. Namun, Wildan pun dirasa tidak mungkin berbohong kepadanya.Santi tak memberikan tanggapan pada pertanyaan si Bapak. Ia fokus menuntun sang ayah untuk menaiki mobil.Berbicara masalah cinta laksana menapak di atas bara. Santi tak kuasa menahan air mata bila harus membahas hubungannya dengan Wildan. Hubungan yang semakin pelik untuk diteruskan, teta
Semalaman Wildan tak bisa tidur. Tak terpikir ia akan disodorkan kenikmatan bercumbu oleh Santi. Resah dan rasa bersalah pun menggeluti pagi hingga ia merasa malas untuk berangkat bekerja.Wildan lantas mengirimkan pesan singkat kepada Santi. Isinya sebuah pernyataan untuk siap bertanggung jawab. Bagaimana pun, ia telah berdosa karena telah terpancing untuk menjamahi tubuh Santi.Beberapa menit menunggu balasan, Santi hanya mengguratkan tulisan “Tidak apa-apa, A”. Sebuah kalimat yang memiliki multi tafsir.Mengapa Santi terkesan tidak menjaga kesuciannya? Apakah ajakan permainan bibir yang dia mulai merupakan bentuk pernyataan cinta? Ataukah hanya nafsu sesaat sebagai permohonan maaf? Pikiran Wildan mengembara menerka berbagai kemungkinan.“Dan, kamu kok belum siap-siap untuk kerja?” tanya Ambu menghampiri sang anak yang terus melamun. “Oh iya, tadi di warung ramai orang-orang membicarakan Santi. Katanya, Santi sudah menjadi artis besar,” sambung Ambu mengajak Wildan berbincang.Wilda
Santi menadahkan mata melihat hamparan langit ceria. Bulan dan bintang tampak indah melengkapi kehadiran satu sama lain. Sayangnya, suasana malam yang indah sangat kontradiksi dengan perasaannya. Gundah dan gelisah membara dalam raga, membakar asa yang bersemayam dalam sanubari.Sementara itu, Wildan setia menanti jawaban Santi. Jawaban atas laju cinta yang menyerat masa depan.“Maaf, A. Neng memang sudah jatuh cinta dengan pria lain di Jakarta,” ujar Santi terisak.Wildan tidak lantas percaya dan menerima pernyataan Santi. Ia yakin ada ketidakjujuran yang dilontarkan sang pujaan hati.“Coba Neng ucapkan sekali lagi sambil tatap mata Aa,” pinta Wildan sembari menarik wajah Santi dengan sentuhan yang lembut.Santi justru memejamkan mata. Ia tak sanggup jika harus beradu pandang dengan Wildan. Bagaimana pun, sorot cahaya dari mata sulit untuk dimanipulasi.“Aa bukan tidak terima jika Neng menemukan pria yang lebih bisa membahagiakan Neng. Aa cuma merasa keputusan Neng terlalu dini. Apak
Santi menekuri setiap langkah menyusuri sudut-sudut rumahnya. Semua benda yang terpajang masih sama susunannya. Pun, tak ada perubahan pada struktur bangunan. Memang, baru satu bulan ditinggalkan. Jelas, tak akan ada banyak pergeseran.Namun, pergeseran bukan pada yang tampak di mata, melainkan yang melacur di dalam hati. Santi merasa seperti sudah bertahun-tahun terpisah dengan kesederhanaan. Kesederhanaan yang dulu menjelma memenuhi suasana hangat di dalam rumah. Mungkinkah hal tersebut bisa diulang, sedangkan jiwa sedang mengandung nista?Selagi Santi memandangi potret dapur, tempatnya mengadu cerita, suara salam menyapa dengan lantang. Lantas, ia segera menengok tamu yang datang.“Wuih, makin cantik aja nih Neng Santi. Gimana kabar si Bapak, udah mendingan? Bibi teh mau ngejenguk, tapi sibuk terus. Maklumlah, lagi ngerintis usaha di bidang kuliner. Muterin duit si Euis dengan usaha yang halal,” tutur Kesih kala Santi berdiri di hadapannya. Tawa kecil mengiringi pemaparannya, tetap
Surya berseri menyapa pagi. Hangat dan lega merengkuh raga, membasuh sukma. Air mata sirna, memuai bersama resah yang sempat mengecam nasib.Santi duduk sembari menggenggam tangan si Bapak. Semalaman dia menjaga sang ayah dengan penuh kasih. Ketulusannya pun terbayar dengan sebuah senyuman.“Kamu tampak lain, Neng. Sedikit berbeda. Neng bahagia kan kerja di Jakarta?” Si Bapak menyorot dalam pada wajah Santi. Dia mengamati hamparan kecantikan sang putri tercinta terasa penuh tipuan, tak lagi alami nan suci.Santi menarik kedua bibirnya. “Kata dokter, Bapak teh kurang makan. Ini aja tangan Bapak kayak kurusan ya, Pak. Bapak pengen makan apa? Biar Neng carikan di luar ya,” ucap Santi mengalihkan pembicaraan. Ia belum siap untuk membahas perihal pekerjaan, terlebih berhadapan dengan kondisi si Bapak yang belum stabil. Akan ada banyak desakan air mata yang mengaburkan ekspresi.“Bapak teh khawatir Neng di Jakarta tidak bahagia, tetapi Neng tetap memaksa untuk bekerja. Kerjaan Neng ngapain
Menjalani biduk rumah tangga yang layarnya sudah tak terkembang, seperti melangkah di atas pecahan beling. Ingin menyudahi kisah, tetapi khawatir tak menemukan pengganti yang lebih baik. Terpaksa merelakan hati tersakiti setiap hari hanya demi mengiba kasih sayang.Kebuntuan terus membayangi perbaikan hubungan Mariska dengan sang suami. Dia tidak menyangka, cinta yang disuguhkan selalu diuapkan oleh kesalahpahaman.Mariska memang mengakui tindakannya mengobrak-abrik ponsel Firman agak sedikit berlebihan. Namun, pembelaannya lebih besar. Bagaimana pun, tak ada istri yang tak sakit hati ketika suaminya bermain rasa dengan perempuan lain.Sembari menahan laju air mata, Mariska susuli Firman ke dalam kamar. Dia tak mau lagi menenggak masalah yang digantung tanpa sebuah penyelesaian konkret.“Mas, apa sih mau kamu? Aku sudah setia sama kamu. Aku juga sudah membantu kamu menapaki karier kamu yang sukses seperti sekarang ini. Bisa-bisanya kamu cari daun muda di luar sana?” kesah Mariska. Sua
Kematian merupakan perpisahan yang paling ditakuti manusia. Tak ada ruang untuk merajut jalinan cinta. Hilangnya kesempatan untuk memperbaiki kisah. Juga, kemungkinan untuk bertemu lagi di alam keabadian yang mungkin samar.Santi tak mau berprasangka si Bapak akan pergi untuk selama-lamanya. Namun, ia juga tak bisa menghilangkan pikiran buruk tersebut, karena dihantui tangisan sang ibu yang terdengar mencekam di lubang telepon.Air mata Santi mengiring sepanjang perjalanan. Ia berharap kepulangannya bukanlah firasat akan sebuah perpisahan dengan si Bapak.Sayangnya, berkali-kali nomor sang ibu dihubungi, tak juga mendapatkan respon. Pikiran Santi pun makin kacau balau.Si sopir menyarankan Santi untuk tidur. Sementara, Santi tidak bisa memejamkan mata sebelum mendapat kepastian bahwa si Bapak hanya menderita sakit biasa.“Coba Neng telepon tetangga yang dekat rumah Neng untuk nanyain kondisi bapak Neng,” ucap si sopir memberikan saran lain yang mungkin bisa meredakan tangisan Santi.S
Tak ada tempat yang bisa menggantikan kenyamanan kampung halaman. Sekalipun banyak hal yang membuat telinga panas, tetap saja ada banyak kenangan yang bisa mendamaikan hati. Bersama dengan orang-orang yang dicinta, api pun akan mudah untuk ditaklukan.Hari-hari berlalu dengan cepat, tetapi tak memberikan sebuah kepastian. Kepastian kapan bagi sang gadis malang bisa berhenti menjadi kupu-kupu malam.Rindu pada suasana rumah menggebu di kalbu Santi. Dia tak sabar menanti hari esok tiba. Hari libur spesial yang diberikan oleh Keukeu.Namun, antusiasme Santi mendapat interupsi sesaat. Bermacam prediksi pertanyaan dari para tetangga hinggap di kepalanya. Tentu, dia harus membuat suatu rangkaian kebohongan.Hah! Kebohongan dan kebohongan ditutupi oleh kebohongan pula. Kemarin dia berbohong kepada si Om agar bisa menyelamatkan muka dari Firman. Esok dia harus berbohong untuk menjaga raut bahagia keluarga, dan membentengi gunjingan tetangga yang pasti – satu atau dua orang/ lebih – penasaran
Santi kelimpungan memikirkan skenario agar tidak bertemu dengan Firman. Ia putar otak ke segala arah yang sekiranya bisa menghadirkan sebuah alasan. Ternyata, Jakarta tidak seluas yang ia kira.Si Om mulai tidak sabar menunggu Santi yang berkutat dengan heels-nya. Pikirannya sudah dipenuhi dengan berbagai rangkaian kata pamer. Di hadapan semua koleganya, ia akan perkenalkan Santi sebagai tambatan hati. Tak peduli, meski ia akan mendapatkan guyonan tua-tua keladi.“Sayang, apa ada masalah dengan kaki kamu? Kamu belum terbiasa ya pakai sepatu hak tinggi begitu?” tanya si Om dengan lembut.Santi tidak memberikan jawaban. Ia hanya membalas dengan sebuah senyuman tipis.“Aw!” erang Santi sembari memegangi perutnya.Si Om pun membungkuk dan sedikit khawatir melihat kondisi Santi. Dia menawarkan bahu untuk memapah Santi agar segera bisa duduk. Namun, Santi menolak dengan halus.“Maaf, Om. Sa… saya…. sepertinya datang bulan,” ucap Santi. Tak ada pilihan lain, kecuali berbohong. Anggap saja ke