Santi merenung. Akalnya bingung. Hatinya limbung. Harapan untuk hidup bahagia dalam kesederhanaan kerap terbentur dengan omonganya sang ibu.
Semenjak melepaskan seragam putih abu-abu, rumah seakan kelabu. Bayangan masa depan seolah hanya ada dua yaitu bekerja di luar negeri atau dinikahkan dengan pria mapan.
Kemapanan selalu diukur dari tingkatan ekonomi. Padahal, menjadi istri dari pria kaya belum tentu menjamin hidup sejahtera. Bisa saja hanya untuk dijadikan pajangan dan dicicipi keperawanan. Santi tidak mau menikah hanya untuk dijadikan alat.
“Hari ini kamu masih mau keliling-keliling lagi cari kerja?” tanya sang ibu ketika Santi keluar kamar.
“Nggak, Mah.”
“Terus kapan kamu mulai kerja?”
“Belum tahu, Mah.”
“Kok belum tahu? Emang dari sekian lamaran yang kamu taruh masih nggak ada satu pun yang masuk?”
“Saingannya banyak, Mah,” terang Santi dengan tenang.
“Saingannya banyak, yang diterima hanya mereka yang punya orang dalem, kalau mau langsung masuk harus bayar sekian juta. Begitu, kan? Lagian kamu mah dibilangin teh keras kepala. Udah paling bener kerja di luar negeri. Semua dibiayain sama sponsor dari kamu masuk penampungan sampai tiba di negara tujuan. Nggak perlu pusing mikirin ini dan itu.” Lilis mengencangkan suaranya.
Santi coba mengimbangi lontaran nada sang ibu. Ia terbawa emosi karena merasa terus dipojokkan pada hal yang sama. “Mah, Mamah teh keukeuh (bersikeras) pengen Neng jadi TKW? Kenapa? Karena lihat orang-orang pada sukses? Mereka cerita gajinya di luar negeri teh gede? Mah, bukannya Mamah juga tahu banyak TKW yang pulang ke desanya tinggal nama. Ada yang disiksa majikan. Banyak juga yang terlibat kasus kriminal. Mereka cerita nggak gimana kerasnya hidup di sana?”
“Kamu emang pinter nyari-nyari alasan. Terus mau sampai kapan kamu cari kerja di sini? Noh, yang ijazahnya pada tinggi aja banyak yang masih nganggur. Kamu teh gengsi jadi TKW?” sanggah Lilis. Pikirannya seakan sulit untuk diajak berdiskusi. “Coba lihat adik-adik kamu! Kamu nggak kasihan sama masa depan adik-adik kamu? Si Bapak mah nggak bisa diharepin, Neng. Kumaha (bagaimana) kalau Mamah besok mati?”
“Kenapa sih Mamah bilangnya gitu? Setiap hari teh Neng berusaha dan berdoa.”
“Makanya, Mamah kasih kamu tawaran. Kalau nggak mau ke luar negeri, kamu nikah sama Mang Parja, juragan tanah dari desa sebelah. Dia tuh sering nanyain tentang kamu. Atau sama si Faisal, bosnya si Wildan. Sanajan (walau) tampang dia pas-pasan, tapi kan duitnya banyak. ”
Santi mencoba menahan diri agar tidak hanyut dalam perang mulut. “Mereka teh udah pada punya istri, Mah.”
“Biarin atuh. Asalkan kamu dinikahin secara sah. Terus masalahnya apa? Kamu maunya Mamah carikan bujang kaya yang tampan? Itu mah adanya di kota-kota besar, Neng. Lagian, mereka teh pasti nyarinya pasangan yang se-level juga sama mereka.” Lilis makin membabi buta berkata-kata.
Santi pun berang juga. “Mah, Neng teh nggak mau dijodoh-jodohin. Kasih Neng kebebasan milih calon pendamping Neng nanti.”
“Pilihan kamu teh jiga (kayak) si Wildan? Teu (tidak) sudi Mamah mah.”
Santi masuk ke dalam kamar. Ia bosan mendengar tawaran sang ibu yang berulang. Lebih baik obrolan disudahi. Jika ia meladeni, maka ada label durhaka yang membayangi.
“Boga (punya) anak teh makin gede makin susah dibilangin,” gerutu Lilis.
Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, lebih baik negeri sendiri. Betapa pun senangnya hidup di negeri orang, tetapi masih lebih baik di negeri sendiri. Dekat dengan orang tua, dan bisa berkumpul bersama keluarga.
Santi tak menampik jika ada tanggung jawab yang ia emban sebagai anak pertama. Ia harus bisa membantu perekonomian keluarga. Namun, ia pun memiliki cita-cita untuk bisa berkuliah.
Ia tidak ingin menjadi seperti kebanyakan perempuan di desanya. Mengais rezeki di negeri orang hingga terpisah dengan mereka yang disayangi selama beberapa kali Lebaran.
Memang tak ada yang salah dengan hal tersebut. Hanya saja, dia ingin menjadi berbeda. Menunjukkan kepada warga di desanya jika pendidikan bisa membuka kesempatan yang luas untuk bekerja. Perempuan punya peluang yang sama dengan laki-laki.
Ada hal yang cukup miris mengenai perempuan di desanya. Terutama bagi mereka yang menjadi TKW setelah menikah. Mereka bekerja bercucuran peluh di perantauan beda negara demi masa depan anak. Sementara, sang suami duduk tenang di rumah menunggu kiriman uang setiap bulan.
Beberapa suami berdalih fokus mengurus anak. Tetapi pada kenyataannya, mereka bermain perempuan. Mereka gunakan hasil keringat saat istri untuk kesenangan diri sendiri. Dunia pun seakan berputar secara terbalik.
Ini bukan tentang suami yang menjadi pengasuh anak, dan istri yang menjadi pencari nafkah. Ini tentang kesenjangan pola pikir dalam rumah tangga. Suami dan istri seharusnya saling bahu membahu, bukan mengandalkan salah satu. Begitu pikir Santi.
Intinya, Santi ingin fokus mengejar mimpi dan mengubah tradisi. Perempuan di desanya bisa memiliki masa depan yang cerah selain menjadi “penyumbang devisa”.
Santi mengganti pakaian. Ia berencana ke pusat kecamatan untuk meninjau lamaran pekerjaan yang kemarin diajukan. Berdiam diri di rumah hanya menambah beban pikiran.
“Mah, Neng pamit dulu ya,” ucap Santi kepada ibunya.
“Mau ke mana kamu?”
“Mau ke kantor Alfam*rt. Ngecek lamaran yang kemarin disimpen. Siapa tahu sudah ada kabar.”
“Emangnya nggak dikabarin lewat telepon kalau diterima?”
Santi hanya bisa bersabar menghadapi nada tinggi sang ibu. “Neng sekalian mau ketemu Nia, teman sekolah Neng. Mau nanyain info lowongan kerja yang lain.”
“Kamu nggak dianter sama si Wildan, kan?” tuding Lilis.
“Nggak, Mah.”
“Kalau udah selesai langsung pulang. Jangan keluyuran ke mana-mana! Apalagi main sana sini kayak anak gedongan. Kudu (harus) prihatin sama keadaan ekonomi kita.”
“Iya, Mah.”
Santi memandu kaki dengan air mata. Dadanya terasa sesak mendapati sikap sang ibu yang beberapa waktu belakangan begitu keras.
Santi coba memahami ibunya dari berbagai sisi. Namanya kehidupan, setiap orang pasti menginginkan perubahan. Namun, ia berharap ibunya bisa bersabar sembari memberikan dukungan bukan tekanan.
Desa yang indah nan sejuk menyimpan persaingan yang tak berwujud, tetapi kadang memiliki bentuk. Bukan salah tempat, melainkan ambisi dan obsesi yang harus diarahkan pada jalur yang tepat.
Dari rumah menuju perempatan untuk menunggu angkutan umum, Santi harus menempuh jalan sepanjang 1 kilometer. Jarak yang sebenarnya sudah terbiasa bagi kakinya. Hanya saja, hari ini langkahnya terasa berat. Pijakan yang ditapaki mengalirkan perih ke ulu hati.
Bagaimana jika nanti pulang tanpa hasil lagi? Makian sang ibu sering merembet kepada sang ayah. Percekcokan seakan tak bisa dihindari ketika ia tak bisa memberi kepastian kapan mulai menerima gaji pertama.
Hem! Jangan pesimis, Santi! Harapan harus tetap dipanjatkan setinggi langit. Berpkir positif, maka hal yang baik semoga mengikuti.
Setiba di kantor minimarket tempat menaruh lamaran, penjaga keamanan mengatakan calon karyawan yang diterima akan dihubungi. Santi pun diminta menunggu untuk dikabari sang perekrut.
Dengan berlapang dada, Santi lantas menunggu Nia tiba. Semoga ada kabar baik yang dibawa oleh sang sahabat.
“Santi….” teriak Nia kala turun dari angkutan umum. “Maaf ya lama soalnya tadi angkotnya ngetem-ngetem terus.”
“Iya, nggak apa-apa.”
“Gimana? Udah ada hasilnya.”
“Belum. Katanya sih nanti bakalan ditelepon kalau diterima.”
“Ya, sudah. Mending kita nongkrong yuk di café seberang. Kita ngobrol-ngobrol sekalian aku mau ngasih info soal kerjaan.”
“Tapi, Ni….” Santi ragu karena tidak memiliki uang lebih.
“Tenang aja, aku yang traktir. Kan aku yang ngajak.”
Santi berkeluh kesah kepada Nia terkait nasibnya yang belum mendapat pekerjaan. Nia pun membawa angin segar bagi Santi.
Nia memberi tahu ada lowongan pekerjaan di mall yang terletak di ibu kota kabupaten. Persyaratannya pun tidak ribet, hanya bermodal KTP dan ijazah. Pekerjaan yang ditawarkan yaitu menjadi sales promotor brand ponsel terkenal dari Tiongkok.
Tanpa pikir panjang, Santi langsung mengatakan mau. Terlebih, Nia juga akan menjalani pekerjaan yang sama.
Tak terasa waktu berputar dengan cepat. Berbagai macam pembahasan dari kehidupan keluarga hingga masalah asmara telah mereka curahkan.
“Nia, aku pulang ya. Si Mamah udah SMS nanyain aku di mana,” ungkap Santi.
“Sampai ketemu hari Senin ya. Dandan yang cantik ya, Bestie-ku!”
“Terima kasih banyak ya, Ni. Semoga lancar!”
“Aamiin. Doa yang kenceng biar didengar sama Tuhan.”
Santi pulang dengan hati yang gembira. Setidaknya, ada secercah harapan untuk membalut asa sang ibu.
Langit mendadak mendung. Santi ingin naik ojeg, tetapi ongkosnya tidak cukup. Ia hanya berharap hujan tidak turun sebelum sampai di rumah.
Di tengah perjalanan, sebuah Avanza berhenti di dekatnya. Lalu, si pengemudi pun membunyikan klakson diikuti membuka kaca.
Mau tak mau santi menghentikan laju kaki sejenak.
“Neng Santi dari mana?” tanya seorang pria dengan tatapan genit.
“Dari kota kecamatan, Kang,” jawab santai datar.
“Ini mau pulang ya?”
“Iya, Kang.”
“Akang anterin yuk! Naik mobil. Enak loh, adem. Mobil Akang juga baru nih.”
“Terima kasih atas tawarannya, Kang! Santi jalan kaki aja. Udah deket kok,” tolak Santi secara halus. Cara Faisal mengajaknya penuh ambigu.
“Kenapa? Akang kan cuma mau nganterin kamu. Akang nggak ada maksud apa-apa. Ayolah naik”, paksa Faisal.
“Nggak enak Kang kalau istri Akang tahu,” pungkas Santi.
Faisal turun dari mobil. Ia tarik tangan Santi, memaksa agar mau diantar pulang.
“Istri Akang nggak akan kenapa-kenapa kalau tahu juga. Ayo masuk! Atau Neng Santi mau jalan-jalan dulu sama Akang? Kita makan-makan dan beli baju yuk,” bujuk Faisal. Ia kira setiap perempuan akan luluh dengan tawaran harta.
Santi mencoba melepaskan diri, tetapi tenaga Faisal jauh lebih kuat darinya. “Nggak, Kang. Tolong lepasin! Santi mau pulang.”
“Kenapa sih kamu sulit banget Akang ajak seneng-seneng? Nanti Akang telepon deh Mamah Neng buat minta izin. Neng nggak usah takut.” Faisal menarik Santi agar masuk ke mobilnya.
Santi mempertahankan diri. Ia ingin berteriak, tetapi jalanan sepi.
“Kang Faisal, lepasin Santi!” seru Wildan. Ia datang di waktu yang tepat.
“Apa hak kamu ngatur-ngatur saya?” Faisal melayangkan tatapan tajam kepada Wildan.
Wildan segera mencengkram tangan Faisal. Ia balas pelototi sang bos.
“Santi ini pacar saya. Tolong Kang Faisal jangan berlaku tidak sopan,” tegas Wildan.
Faisal mundur. Ia merasakan kekuatan Wildan tak akan sebanding dengannya. Jika mengajak untuk berkelahi, ia sadar akan kalah telak oleh karyawannya tersebut.
“Alah, baru pacaran aja lagak kamu sudah seperti suaminya. Lagi pula, saya tahu kok Mamahnya Santi nggak suka sama kamu. Mimpi aja kamu bisa nikah sama Santi.” Faisal coba serang mental Wildan.
Wildan abaikan perkataan bosnya. Ia fokus melihat kondisi tangan Santi.
“Besok kamu nggak perlu lagi datang ke pabrik saya,” ujar Faisal sembari memutar kemudi.
Terserahlah! Wildan tidak peduli dengan pemecatan tersebut. Baginya, menjaga kehormatan Santi lebih utama.
“Neng, nggak apa-apa kan?”
“Nggak, A.”
“Emangnya Neng dari mana? Aa kan udah bilang, kabarin Aa kalau Neng mau ke mana-mana. Untung Aa lewat sini. Ayo Aa anterin pulang.”
“Maaf ya, A. Gara-gara Neng, Aa jadi dipecat.” Santi merasa bersalah. Akan tetapi, ia juga merasa beruntung kekasihnya didatangkan Tuhan untuk menolong.
“Nggak apa-apa, Neng. Rezeki mah nanti datang dari mana aja,” ucap Wildan dengan bijak.
Sesampainya di depan rumah, Santi tidak sabar ingin segera melihat ekspresi sang ibu ketika tahu dirinya akan mulai bekerja lusa.
Santi lepas sepatu. Mendengar kedatangan sang putri, Lilis segera menghampiri.
Tanpa basa-basi, Lilis segera melakukan interogasi. “Kamu habis ngapain sama si Wildan? Terus kalian ke mana aja seharian? Bilangnya mau ngecek lamaran, ketemu temen sekolah, tahunya mojok (berduaan), pacaran sama si Wildan. Kamu kok bohong sih sama Mamah?”
“Aa Wildan?” Santi keheranan mendengar pernyataan sang ibu. “Neng nggak pacaran sama Aa Wildan. Neng beneran – nggak bohong, Mah. Dari Alfam*rt, Neng ketemu Nia. Terus Nia ngajakin Neng buat….”
Lilis memotong ucapan Santi. “Neng, jangan sampai ya bikin keluarga kita malu. Tadi si Faisal nelepon Mamah. Katanya, kamu lagi berdua sama si Wildan di pinggir hutan. Neng teh anak gadis. Mamah nggak mau sampai kamu kecolongan sama si Wildan.”
“Mah, Neng emang ketemu sama A Wildan. Tapi….”
“Neng teh coba dengerin dulu apa kata Mamah. Semenjak Neng pacaran sama si Wildan, Neng teh jadi berani ngelawan kayak gini setiap Mamah bilangin. Mamah cerewet sama Neng, karena Mamah sayang sama Neng.” Lilis berurai air mata.
Si Bapak keluar. “Duh! Ada apaan lagi sih, Lis? Akang teh sholat Ashar jadi nggak khuysu.”
Santi menunduk. Lilis mengusap pipinya yang basah.
“Lis, kamu lebih percaya omongan orang lain ketimbang anakmu sendiri? Seberapa kenal kamu sama si Faisal?” tanya si Bapak sembari berupaya menahan kesal.
“Kang, ini teh bukan masalah Lilis lebih percaya sama siapa. Lilis cuma ngingetin si Neng,” bentak Lilis.
“Tapi cara kamu nggak harus kayak gini juga. Kan bisa dinasehatin dengan tutur kata yang halus dan lembut.”
“Ah, pusing! Di mata Akang, Lilis mah salah wae (terus).”
Lilis masuk ke kamar diiringi dengan membanting pintu.
“Sabar ya, Neng.” Si Bapak memeluk Santi. “Si Mamah mungkin hanya emosi sesaat.”
Santi pun menangis di pelukan sang ayah.
Sejatinya, setiap manusia pasti mengidamkan hidup yang nyaman, seperti batin senang dan tidur tenang. Akan tetapi, untuk mencapai kehidupan seperti itu perlu usaha. Usaha pun harus dibarengi dengan doa sebagai wujud rasa syukur.Santi bangun sembari memacu semangat. Ia tunaikan kewajiban sebelum fajar menyingsing. Setelah itu, ia mencuci piring dan baju. Lalu, menyiapkan sarapan. Semua rutinitas dijalankan dengan ikhlas.Lepas pagi menyapa, Santi berkutat dengan ponselnya. Ia sebenarnya masih berharap diterima kerja menjadi karyawan di Alfam*rt, karena lokasinya tidak jauh dari rumah. Sedangkan, untuk menuju mall butuh waktu 90 menit.Hidup selalu disusupi pilihan. Daripada diam di rumah lebih baik bekerja sambil menyusun rencana masa depan, bukan? Santi mengamini Tuhan tak akan memberikan ujian di luar kemampuannya. Semua yang tersaji merupakan anugerah.Tak terasa, siang datang. Santi kembali ke dapur untuk menyiapkan menu makan siang. Sementara itu, sang ibu duduk di teras sambil m
Popularitas dan kemewahan seolah-olah menjadi sumber kebahagiaan. Padahal, hati yang damai akan lebih bisa mendatangkan kesenangan dalam pikiran.Setiap anak pasti ingin membuat kedua orang tuanya selalu tersenyum dan bangga. Akan tetapi, bagaimana bisa melakukan hal tersebut jika jiwa terbelenggu oleh berbagai definisi bahagia yang semu?Katanya, menjadi terkenal akan mendatangkan banyak uang. Katanya, setiap orang akan bahagia jika memiliki banyak uang. Asumsi dan praduga mengalun sendu di kepala Santi.Ia terus dicekoki oleh sang ibu agar mau menerima tawaran Keukeu. Tinggal di Jakarta, menjadi seorang penghibur.“Neng, kata si Keukeu, Neng bisa kok pulang tiap minggu ke sini. Jadi, apa yang masih memberatkan keputusan Neng?” tanya Lilis usai tinggal bertiga di meja makan. Robi dan si Dede sudah masuk ke dalam kamar untuk beristirahat.Dari siang ke sore, dari sore hingga selesai bersantap malam, Lilis terus menombakkan kemiskinan ke dalam otak Santi. Tujuannya, jelas, agar sang pu
Lilis merias wajahnya dengan bedak yang tebal. Tak lupa bibir diolesi lipstik merah menyala, dan alis diukir membentuk garis melengkung seperti tikungan Jalan Nagreg. Pakaian yang dikenakan pun merupakan pakaian terbaik Lebaran kemarin.Ah! Ini momen yang begitu bermakna baginya. Penampilan tentu harus paripurna untuk bisa menyenggol tetangga, terutama Kesih. Belajarlah menjadi orang kaya dari sekarang. Begitu ucapnya di dalam hati.Lilis pun terus melihat perputaran waktu. Ia tak sabar menunggu Keukeu datang. Kalimat demi kalimat sapaan telah ia susun untuk menyapa setiap warga yang nanti akan dilewati.Duh! Emas masih di dasar sungai, belum di genggaman, tetapi ambisi untuk pamer sudah meledak-ledak.“Mamah meni menor pisan kayak mau kondangan,” komentar Santi sambil menahan tawa.“Tong nyengseurikeun kolot, doraka (jangan menertawakan orang tua, durhaka)!” ucap Lilis membalas candaan Santi.“Ampun, Mah! Hehe….”Santi memeluk sang ibu. Ada rasa bahagia melihat ibunya berdandan walau
Lilis bersandar di jendela mobil dengan perasaan kesal. Ia mendapat kabar dari Faisal jika Wildan membawa Santi pergi. Siapa yang tidak kecewa jika ditipu oleh anak sendiri?!Sesekali, Lilis menggerutu. Pikirannya berdiskusi dengan nurani untuk memberikan peringatan yang bisa membuat Wildan jera – tak lagi menjalin kasih dengan Santi.“Kenapa sih, Ceu? Masih kurang belanjaannya?” tanya Keukeu yang tak suka melihat raut kecut yang Lilis tunjukkan.“Ng…. nggak, Keu. Ini malah lebih dari cukup.” Lilis segera memperbaiki lukisan wajahnya.“Terus kenapa mukanya ditekuk gitu? Lecek bagaikan dompet suami yang tak berisi selama puluhan purnama. Tadi Ceu Lilis heboh banget, nggak berhenti ngomong kayak kereta lagi jalan. Apa lagi lobet (low battery = baterai lemah)? Nanti Keukeu beliin powerbank deh kalau anaknya Eceu sudah menghasilkan,” sarkas Keukeu.“Bukan gitu, Keu. Ini anak saya dibawa kabur sama pacarnya. Saya teh pusing mikirinnya,” terang Lilis.Keukeu berteriak hingga sang sopir nyar
Hinaan, makian, dan hujatan masih bisa ditahan. Namun, kebohongan yang dilakukan oleh seorang anak hingga menimbulkan semua kepedihan tersebut sungguh menyayat hati. Yati ingin sekali melampiaskan luka tanpa membenturkan derita.Wildan terus bersimpuh di kaki sang ibu. Ia tak mengira dusta yang diucapkan tadi pagi mengundang petir dan badai. Prahara memang terkadang tak bisa disangka arah kedatangannya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Ia pikir tidak akan ada mata yang mengintai. Ternyata, berita mudah sekali menyebar.Entah siapa orang yang menjadi mata-mata, itu tidaklah penting. Kata maaf dari sang ibu merupakan hal utama yang harus ia gapai.“Ambu, maafin Wildan ya. Ambu dimaki-maki sama Bi Lilis teh pasti gara-gara Wildan,” ucap Wildan mengharap ampunan.Dari depan rumah hingga pindah ke dalam kamar, Yati tak menggubris sedikit pun permohonan maaf sang putra. Bibirnya tertutup rapat, tetapi air matanya tak berhenti mengalir.“Ambu, tolong jangan diemin Wildan kay
Pagi menyapa dengan cahaya yang gembira, si Bapak mengajak sang istri dan Santi untuk bertandang ke rumah Wildan. Si Bapak ingin mengucapkan permohonan maaf atas kerusuhan yang terjadi kemarin. Sayangnya, Lilis tidak mau ikut. Ia berkata tindakannya bukanlah sesuatu yang salah.Waktu menunjukkan pukul 07:00. Suara kicauan burung mengiringi setiap langkah. Sinar mentari menghangatkan badan dan membantu menyemangati niat baik pagi ini.Sesampainya di rumah Wildan, si Bapak dan Santi perlu menyerukan beberapa kali salam hingga Yati keluar. Ya, hanya Yati seorang diri yang menyambut kunjungan si Bapak dan Santi.“Teh Yati, saya atas nama pribadi, istri saya, dan juga anak saya, Santi, memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian kemarin. Saya tahu, omongan istri saya teh memang sangat menyakitkan. Tapi, saya mohon sekali Teh Yati dan Wildan memberikan kami maaf,” ucap si Bapak langsung pada maksud dan tujuannya bertamu.“Saya sudah maafkan, Cid. Saya juga sadar diri bahwa kami teh mem
Keesokan harinya, para tetangga berkumpul di depan rumah Santi dari semenjak Subuh. Mereka ingin turut memberikan semangat kepada sang calon bintang. Andai Santi terkenal, maka nama baik desa bisa terangkat. Begitu pikir mereka, berharap nasib baik Santi menular kepada generasi muda yang lain. Keukeu datang tepat waktu untuk menjemput Santi. Si Bapak pun tak bisa membendung haru. “Neng, jangan lupakan sembahyang ya! Jaga diri Neng baik-baik. Jaga juga iman Neng ya!” ucap si Bapak sambil mendekap Santi. “Teh, nanti kalau udah banyak duit beliin Obi hape ya,” ujar Robi dengan polos. “Dede juga mau, Teh,” imbuh si Dede. “Iya, doain Teteh semoga betah ya di sana. Teteh pasti kangen banget sama jagoan-jagoan kecil ini.” Santi mencubit pipi Robi, lalu memeluk erat si Dede. “Mamah mah cuma mau pesen, Neng nurut apa kata si Keukeu. Dia udah janji bakal jaga Neng. Kerja yang bener ya, Neng!” Lilis berderai air mata. Ia seakan tak rela melepas kepergian sang putri, padahal dia yang meminta
Perjalanan hidup terkadang begitu misterius. Manusia bisa merencanakan hari esok, menskenariokan hal-hal yang akan dilakukan, tetapi realitas bisa sangat berubah. Segala yang ada di bumi ini dinamis. Waktu terus bergerak maju. Pun, setiap pijakan kaki harus bisa beradaptasi dengan masa depan.Santi diwacanakan akan menjadi bintang. Akan tetapi, deskripsi pekerjaan yang kelak dilakukannya tak dijelaskan secara gamblang oleh Keukeu. Hal ini sebenarnya membuat sang kembang desa cukup resah. Apakah menjadi seorang artis cukup dengan modal wajah yang cantik? Hipotesis tersebut tak berhenti mengiang di benaknya.“Keu, saya pengen tanya sesuatu. Boleh?” ujar Santi kala mobil yang ditumpangi memasuki jalan tol. Ia duduk di samping sopir. Sementara Keukeu bersama satu bodyguardnya di kursi tengah.“Mau tanya apa? Tanya aja. Asal jangan tanya tentang Matematika dan Sejarah. Akika soalnya kalau udah sayang sama orang, nggak suka hitung-hitungan. Tapi akika juga nggak suka terjebak di ruang nosta
Sesak menyedak di dalam hati. Resah mendera mengacaukan pikiran. Santi termenung memikirkan birahi yang sempat ia salurkan kepada Wildan. Walaupun hanya sekadar mengadu sentuhan, namun cukup kuat menyulutkan rasa bersalah.“Neng mikirin apa? Mikirin Wildan?” tanya si Bapak yang gelisah melihat sikap sang putri.Santi menggelengkan kepala. “Enggak, Pak. Neng…. Neng lagi sedih aja karena besok harus balik lagi ke Jakarta,” jawabnya meniti topik yang lain.“Wildan bercerita kepada Bapak bahwa ada pria lain yang menggantikan posisinya di hati Neng. Benarkah itu, Neng?” tanya lagi si Bapak penuh rasa penasaran. Dia paham tabiat Santi yang setia. Namun, Wildan pun dirasa tidak mungkin berbohong kepadanya.Santi tak memberikan tanggapan pada pertanyaan si Bapak. Ia fokus menuntun sang ayah untuk menaiki mobil.Berbicara masalah cinta laksana menapak di atas bara. Santi tak kuasa menahan air mata bila harus membahas hubungannya dengan Wildan. Hubungan yang semakin pelik untuk diteruskan, teta
Semalaman Wildan tak bisa tidur. Tak terpikir ia akan disodorkan kenikmatan bercumbu oleh Santi. Resah dan rasa bersalah pun menggeluti pagi hingga ia merasa malas untuk berangkat bekerja.Wildan lantas mengirimkan pesan singkat kepada Santi. Isinya sebuah pernyataan untuk siap bertanggung jawab. Bagaimana pun, ia telah berdosa karena telah terpancing untuk menjamahi tubuh Santi.Beberapa menit menunggu balasan, Santi hanya mengguratkan tulisan “Tidak apa-apa, A”. Sebuah kalimat yang memiliki multi tafsir.Mengapa Santi terkesan tidak menjaga kesuciannya? Apakah ajakan permainan bibir yang dia mulai merupakan bentuk pernyataan cinta? Ataukah hanya nafsu sesaat sebagai permohonan maaf? Pikiran Wildan mengembara menerka berbagai kemungkinan.“Dan, kamu kok belum siap-siap untuk kerja?” tanya Ambu menghampiri sang anak yang terus melamun. “Oh iya, tadi di warung ramai orang-orang membicarakan Santi. Katanya, Santi sudah menjadi artis besar,” sambung Ambu mengajak Wildan berbincang.Wilda
Santi menadahkan mata melihat hamparan langit ceria. Bulan dan bintang tampak indah melengkapi kehadiran satu sama lain. Sayangnya, suasana malam yang indah sangat kontradiksi dengan perasaannya. Gundah dan gelisah membara dalam raga, membakar asa yang bersemayam dalam sanubari.Sementara itu, Wildan setia menanti jawaban Santi. Jawaban atas laju cinta yang menyerat masa depan.“Maaf, A. Neng memang sudah jatuh cinta dengan pria lain di Jakarta,” ujar Santi terisak.Wildan tidak lantas percaya dan menerima pernyataan Santi. Ia yakin ada ketidakjujuran yang dilontarkan sang pujaan hati.“Coba Neng ucapkan sekali lagi sambil tatap mata Aa,” pinta Wildan sembari menarik wajah Santi dengan sentuhan yang lembut.Santi justru memejamkan mata. Ia tak sanggup jika harus beradu pandang dengan Wildan. Bagaimana pun, sorot cahaya dari mata sulit untuk dimanipulasi.“Aa bukan tidak terima jika Neng menemukan pria yang lebih bisa membahagiakan Neng. Aa cuma merasa keputusan Neng terlalu dini. Apak
Santi menekuri setiap langkah menyusuri sudut-sudut rumahnya. Semua benda yang terpajang masih sama susunannya. Pun, tak ada perubahan pada struktur bangunan. Memang, baru satu bulan ditinggalkan. Jelas, tak akan ada banyak pergeseran.Namun, pergeseran bukan pada yang tampak di mata, melainkan yang melacur di dalam hati. Santi merasa seperti sudah bertahun-tahun terpisah dengan kesederhanaan. Kesederhanaan yang dulu menjelma memenuhi suasana hangat di dalam rumah. Mungkinkah hal tersebut bisa diulang, sedangkan jiwa sedang mengandung nista?Selagi Santi memandangi potret dapur, tempatnya mengadu cerita, suara salam menyapa dengan lantang. Lantas, ia segera menengok tamu yang datang.“Wuih, makin cantik aja nih Neng Santi. Gimana kabar si Bapak, udah mendingan? Bibi teh mau ngejenguk, tapi sibuk terus. Maklumlah, lagi ngerintis usaha di bidang kuliner. Muterin duit si Euis dengan usaha yang halal,” tutur Kesih kala Santi berdiri di hadapannya. Tawa kecil mengiringi pemaparannya, tetap
Surya berseri menyapa pagi. Hangat dan lega merengkuh raga, membasuh sukma. Air mata sirna, memuai bersama resah yang sempat mengecam nasib.Santi duduk sembari menggenggam tangan si Bapak. Semalaman dia menjaga sang ayah dengan penuh kasih. Ketulusannya pun terbayar dengan sebuah senyuman.“Kamu tampak lain, Neng. Sedikit berbeda. Neng bahagia kan kerja di Jakarta?” Si Bapak menyorot dalam pada wajah Santi. Dia mengamati hamparan kecantikan sang putri tercinta terasa penuh tipuan, tak lagi alami nan suci.Santi menarik kedua bibirnya. “Kata dokter, Bapak teh kurang makan. Ini aja tangan Bapak kayak kurusan ya, Pak. Bapak pengen makan apa? Biar Neng carikan di luar ya,” ucap Santi mengalihkan pembicaraan. Ia belum siap untuk membahas perihal pekerjaan, terlebih berhadapan dengan kondisi si Bapak yang belum stabil. Akan ada banyak desakan air mata yang mengaburkan ekspresi.“Bapak teh khawatir Neng di Jakarta tidak bahagia, tetapi Neng tetap memaksa untuk bekerja. Kerjaan Neng ngapain
Menjalani biduk rumah tangga yang layarnya sudah tak terkembang, seperti melangkah di atas pecahan beling. Ingin menyudahi kisah, tetapi khawatir tak menemukan pengganti yang lebih baik. Terpaksa merelakan hati tersakiti setiap hari hanya demi mengiba kasih sayang.Kebuntuan terus membayangi perbaikan hubungan Mariska dengan sang suami. Dia tidak menyangka, cinta yang disuguhkan selalu diuapkan oleh kesalahpahaman.Mariska memang mengakui tindakannya mengobrak-abrik ponsel Firman agak sedikit berlebihan. Namun, pembelaannya lebih besar. Bagaimana pun, tak ada istri yang tak sakit hati ketika suaminya bermain rasa dengan perempuan lain.Sembari menahan laju air mata, Mariska susuli Firman ke dalam kamar. Dia tak mau lagi menenggak masalah yang digantung tanpa sebuah penyelesaian konkret.“Mas, apa sih mau kamu? Aku sudah setia sama kamu. Aku juga sudah membantu kamu menapaki karier kamu yang sukses seperti sekarang ini. Bisa-bisanya kamu cari daun muda di luar sana?” kesah Mariska. Sua
Kematian merupakan perpisahan yang paling ditakuti manusia. Tak ada ruang untuk merajut jalinan cinta. Hilangnya kesempatan untuk memperbaiki kisah. Juga, kemungkinan untuk bertemu lagi di alam keabadian yang mungkin samar.Santi tak mau berprasangka si Bapak akan pergi untuk selama-lamanya. Namun, ia juga tak bisa menghilangkan pikiran buruk tersebut, karena dihantui tangisan sang ibu yang terdengar mencekam di lubang telepon.Air mata Santi mengiring sepanjang perjalanan. Ia berharap kepulangannya bukanlah firasat akan sebuah perpisahan dengan si Bapak.Sayangnya, berkali-kali nomor sang ibu dihubungi, tak juga mendapatkan respon. Pikiran Santi pun makin kacau balau.Si sopir menyarankan Santi untuk tidur. Sementara, Santi tidak bisa memejamkan mata sebelum mendapat kepastian bahwa si Bapak hanya menderita sakit biasa.“Coba Neng telepon tetangga yang dekat rumah Neng untuk nanyain kondisi bapak Neng,” ucap si sopir memberikan saran lain yang mungkin bisa meredakan tangisan Santi.S
Tak ada tempat yang bisa menggantikan kenyamanan kampung halaman. Sekalipun banyak hal yang membuat telinga panas, tetap saja ada banyak kenangan yang bisa mendamaikan hati. Bersama dengan orang-orang yang dicinta, api pun akan mudah untuk ditaklukan.Hari-hari berlalu dengan cepat, tetapi tak memberikan sebuah kepastian. Kepastian kapan bagi sang gadis malang bisa berhenti menjadi kupu-kupu malam.Rindu pada suasana rumah menggebu di kalbu Santi. Dia tak sabar menanti hari esok tiba. Hari libur spesial yang diberikan oleh Keukeu.Namun, antusiasme Santi mendapat interupsi sesaat. Bermacam prediksi pertanyaan dari para tetangga hinggap di kepalanya. Tentu, dia harus membuat suatu rangkaian kebohongan.Hah! Kebohongan dan kebohongan ditutupi oleh kebohongan pula. Kemarin dia berbohong kepada si Om agar bisa menyelamatkan muka dari Firman. Esok dia harus berbohong untuk menjaga raut bahagia keluarga, dan membentengi gunjingan tetangga yang pasti – satu atau dua orang/ lebih – penasaran
Santi kelimpungan memikirkan skenario agar tidak bertemu dengan Firman. Ia putar otak ke segala arah yang sekiranya bisa menghadirkan sebuah alasan. Ternyata, Jakarta tidak seluas yang ia kira.Si Om mulai tidak sabar menunggu Santi yang berkutat dengan heels-nya. Pikirannya sudah dipenuhi dengan berbagai rangkaian kata pamer. Di hadapan semua koleganya, ia akan perkenalkan Santi sebagai tambatan hati. Tak peduli, meski ia akan mendapatkan guyonan tua-tua keladi.“Sayang, apa ada masalah dengan kaki kamu? Kamu belum terbiasa ya pakai sepatu hak tinggi begitu?” tanya si Om dengan lembut.Santi tidak memberikan jawaban. Ia hanya membalas dengan sebuah senyuman tipis.“Aw!” erang Santi sembari memegangi perutnya.Si Om pun membungkuk dan sedikit khawatir melihat kondisi Santi. Dia menawarkan bahu untuk memapah Santi agar segera bisa duduk. Namun, Santi menolak dengan halus.“Maaf, Om. Sa… saya…. sepertinya datang bulan,” ucap Santi. Tak ada pilihan lain, kecuali berbohong. Anggap saja ke