Share

Renjana dan Nestapa
Renjana dan Nestapa
Penulis: J. Arya

Awal Kisah

Penulis: J. Arya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Siapa bilang hidup di desa itu tenteram dan nyaman?! Terkadang banyak gesekan serta sindiran yang membuat telinga panas. Belum lagi harus menghadapi perbandingan kehidupan yang mengundang pertikaian orang tua.

“Mau ke mana, San? Pagi-pagi udah rapi dan cantik,” tanya seorang tetangga yang melintas di depan rumah Santi.

“Mau naruh lamaran ke Alfam*rt, Bi,” jawab Santi dengan santun.

Tangannya sibuk merapikan berkas lamaran pekerjaan.

“Oh…. Masih mau naruh lamaran sana sini ya,” si tetangga merespon bernada menyindir. “Si Euis mah bentar lagi udah mau berangkat ke Hongkong. Katanya mah sih minggu depan. Udah nggak pusinglah harus ngelamar kerja sana sini nggak jelas. Ngabisin duit. Mending yang pasti-pasti aja. Iya, kan?!”

Santi paham jika sang tetangga sedang melakukan komparasi. Namun, ia tak merasa tersinggung. Ia percaya bahwa setiap orang hidup dengan jalan cerita masing-masing.

“Syukur atuh, Bi. Mudah-mudahan sukses dan lancar,” timpal Santi.

“Pasti atuh. Apalagi di sana gajinya gede. Jaba (ditambah) si Euis mah geulis (cantik), pasti bakal disayang banget sama majikannya nanti.” Si tetangga terus berusaha memanaskan suasana pagi yang sejuk.

Bagi sebagian orang tua, suatu kebanggaan bisa memamerkan kesuksesan anak di depan orang lain. Padahal, kesuksesan dalam hidup bukan semata tentang pekerjaan dan harta. Ada jiwa yang harus bahagia dan diri yang harus bisa bermanfaat bagi sekitar.

Mendengar sang anak mengobrol dengan tetangga yang suaranya familiar di depan rumah, Lilis (ibu Santi) segera menghampiri. Ia jengah ketika mendapati kata-kata yang tidak nyaman di telinga.

“Kamu teh lewat ke sini sengaja mau pamerin tentang anak kamu yang mau berangkat jadi TKW (tenaga kerja wanita)? Segala ngomong kalau anak kamu mah cantik, pasti disayang majikan. Emangnya di sana dia mau ngapain? Mau jual diri? Atau mau ngebabu?” Lilis langsung berapi-api.

Naha ai kamu kaluar teh ujug-ujug marah-marah (kenapa kamu keluar langsung marah-marah)?” Si tetangga menyunggingkan bibir. Ia tanggapi sinis pernyataan Lilis. “Lagian ya, saya teh ngobrolnya sama anak kamu, bukan sama kamu. Kenapa malah kamu yang nyamber kayak bensin?”

Lilis maju beberapa langkah, mendekati sang lawan bicara. “Emangnya saya nggak tahu kalau kamu teh lagi nyindir-nyindir keluarga saya. Mentang-mentang anak kamu lagi di penampungan.”

Si tetangga menaikkan kedua alis sembari membanting pandangan ke arah samping.

“Heh Kesih,” bentak Lilis. Ia juga melayangkan telunjuk ke muka tetangganya tersebut. “Nggak usah ngurusin hidup orang lain. Kamu doain aja supaya anak kamu betah kerja di luar negeri. Pinta juga sama Gusti Allah semoga anak kamu nggak masuk TV, karena kasus yang bisa membuat orang-orang di desa ini malu.”

Kesih pun naik pitam. Ia tidak terima atas dampratan Lilis yang terkesan merendahkan sang anak. “Dasar kamu mah baper-an (bawa perasaan)! Bilang aja kamu sirik. Anak kamu masih keliling-keliling cari kerja, sedangkan anak saya bulan depan udah mulai kirim transferan (uang) ke saya,” pungkasnya sambil melenggang pergi.

“Saya doakan semoga anak kamu ketahan, nggak jadi berangkat. Dasar sombong! Baru segitu aja udah mau pamer. Pamer tuh kalau udah ada hasil yang nyata,” umpat Lilis kepada Kesih.

Kesih menanggapi umpatan Lilis dengan menggoyangkan pinggul.

Tak terima diledek dengan gerakan tubuh, Lilis berusaha mengejar Kesih. Santi pun terbawa panik. Ia tahan sang ibu agar tidak terjadi kontak fisik.

“Udah, Mah. Ngapain sih Mamah (mamah = mama, ditambahkan “h” sebagai penegasan aksen sapaan/ kata ganti) teh marah-marah segala?! Biarin aja Bi Kesih mau ngomong apa juga tentang kita.” Santi mencoba meredam emosi sang ibu.

“Ini teh gara-gara kamu, Neng.” Lilis justru berbalik mencaci Santi. “Coba kamu mau berangkat ke luar negeri, nggak akan si Kesih teh berani ngomong gitu ke kita.”

Lilis seolah mendapatkan momentum untuk menumpahkan kekesalan kepada sang sulung.

“Sponsor tuh udah banyak yang nanya ke Mamah soal kamu. Sementara kamu masih aja mau naruh lamaran sana sini. Emangnya bikin SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian), kartu kuning (kartu pencari kerja), fotokopi, dan tetek bengek (dan sebagainya) itu nggak pake duit? Udah berapa banyak lamaran yang kamu buat dan kamu ajukan? Terus udah ada yang panggil kamu buat interview?” sambung Lilis.

Santi berusaha tenang. “Sabar atuh, Mah. Namanya juga kan lagi ikhtiar. Semua ada prosesnya.”

“Proses apaan, Neng? Orang-orang mah udah menuju beunghar (kaya), sementara kita masih balangsak (susah/ miskin). Kamu seneng dengar keluarga kita diinjak-injak sama tetangga macam si Kesih tadi?”

“Mah….” Santi kesulitan untuk memberikan tanggapan. Ketika mental sudah terserang, maka kata-kata seakan menghilang dari kepala.

Si Bapak yang berada di belakang rumah bergegas melihat perdebatan yang suaranya makin menguat bersama laju udara.

Aya naon sih, Lis? Isuk keneh teh tos ribut. Isin kadangu tatangga teh. (Ada apa sih, Lis? Masih pagi kok sudah ribut. Malu kalau didengar oleh tetangga),” tanya si Bapak dengan suara yang halus.

Teuing ah (entahlah)! Lilis mah udah capek ngomong sama si Neng. Coba atuh Akang yang bilangin supaya si Neng mau berangkat ke luar negeri kayak temen-temennya. Kalau mau ngandelin kerja di sini mah, atuh jadi apa, Kang? Gaji teu sakumaha (tidak seberapa), sementara harga-harga kebutuhan teh makin hari makin mahal.”

Santi tertunduk. Semangat yang ia bangun untuk mencari pekerjaan runtuh seketika. Matanya pun mulai berkaca-kaca.

Lis, tong ngabahas iyeu wae atuh (jangan membahas hal ini terus)!. Hargai keputusan si Neng. Dia kan nggak mau berangkat ke luar negeri karena pengen guyub (kumpul) sama kita. Bahagia itu nggak hanya soal materi, Lis,” tutur si Bapak.

“Alah, Lilis bosen dengar kata-kata mutiara Akang. Bahagia bukan soal materi, bukan soal uanglah. Realitis, Kang! Kebahagiaan mungkin henteu (tidak) bisa dibeli dengan uang, tapi banyak uang bisa bikin bahagia, Kang,” ungkap Lilis sembari mengentakkan nafas melalui mulut. Kemudian, ia masuk ke dalam rumah dengan memasang wajah cemberut.

“Lis….” panggil Si Bapak. Ia ingin istrinya lebih memikirkan perasaan sang putri.

“Udah ah, lieur (pusing) Lilis mah,” sahut Lilis dengan ketus.

Santi tak kuasa menahan air mata. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana agar esok hari perdebatan seperti ini tidak terulang.

Santi, gadis belia berusia 18 tahun yang baru lulus SMA. Ketika para perempuan di desanya banyak yang memilih bekerja di luar negeri, Santi bertekad untuk mencari pekerjaan di desa sambil merawat orang tua dan adik-adiknya. Ia berharap suatu saat bisa mengangkat status ekonomi keluarga tanpa mengorbankan kebersamaan.

“Udah, Neng. Omongan si Mamah nggak usah Neng pikirin. Neng pergi aja. Hati-hati aja di jalan ya! Bapak nggak pernah berhenti doain Neng supaya Neng berhasil dalam segala hal.” Si Bapak coba memulihkan ekspresi Santi.

“Aamiin. Nuhun (terima kasih) ya, Pak!” ucap Santi seraya menyeka kedua sudut mata. Lalu, ia menjabat tangan sang ayah untuk pamit.

Tiba-tiba Lilis keluar lagi. “Kamu sama siapa berangkatnya? Sendiri atau sama si itu?”

“Sama A Wildan, Mah. Barusan A Wildan kirim SMS. Katanya lagi di jalan mau ke sini,” terang Santi.

Kejujuran Santi laksana percikan api yang kembali menyulut amarah Lilis. “Hubungan Neng teh sama si Wildan udah sejauh mana? Neng emang nggak bisa cari laki-laki yang lain yang mapan? Kalau Neng nggak bisa, Mamah yang carikan. Neng, kita teh orang susah. Jangan nikah sama orang susah lagi. Rek iraha (kapan) kita hidup senang? Rek iraha Neng teh bisa memperbaiki ekonomi keluarga? Ganteng doang mah nggak akan bikin perut wareg (kenyang), Neng. Contohnya tuh si Bapak.”

Si Bapak hanya bisa melafalkan Istifgfar kala dijadikan bahan perbandingan. Ia berupaya sabar menghadapi perangai sang istri. Jika ia bantah atau ladeni emosi Lilis, maka percekcokan tidak akan kunjung selesai.

Santi melihat ponselnya. Kemudian, ia meraih tangan sang ibu untuk memohon restu. Bagaimana pun, doa kedua orang tua sangat ampuh menembus langit.

“Neng pergi dulu ya, Mah. A Wildan sudah sampai di pos ronda. Doain semoga ada rezekinya Neng hari ini.”

Sang ibu tak menanggapi sepatah kata pun. Ia masih terbawa kesal dengan tragedi pagi ini.

Namun setelah Santi pergi, ia justru menggerutu. “Sampai mati saya nggak akan setuju anak saya sama kamu, Wildan.”

Si Bapak geleng-geleng kepala. Ia biarkan istrinya meluapkan segala panas hati. Daripada terbakar bara, si Bapak memilih kembali ke belakang untuk mempersiapkan perkakas yang akan dibawa berladang.

Bab terkait

  • Renjana dan Nestapa   Bab 1: Terhalang Materi

    Semilir angin sore membelai rambut seorang gadis cantik. Ia berjalan dengan begitu berhati-hati menyusuri bebatuan. Kakinya terasa letih, tetapi langkahnya tetap diayunkan penuh harapan. Minimnya lapangan kerja di desa, membuat dia harus berusaha ekstra. Menaruh lamaran dari satu tempat ke tempat yang lain, walau harus bersaing dengan ratusan pelamar lain. “Neng, kalau pun kamu kuliah dapet beasiswa, tetapi kan tetep aja kamu perlu kost dan perlu makan. Emang semuanya ditanggung oleh beasiswa? Neng coba pikirkan sekali lagi. Si Bapak nggak kerja, cuma ngandelin hasil tani. Perempuan itu nggak terlalu penting kuliah. Cukup pinter cari suami yang mapan aja. Lagian, Neng kenapa sih nggak mau berangkat ke luar negeri seperti yang lain?” Perkataan ibunya terus mengiang di kepala. Itulah sebab dia memilih untuk mencari penghasilan, melupakan mimpi merengkuh cita-cita. Hem! Sebagian orang masih beranggapan bahwa pendidikan tinggi bagi perempuan bukanlah hal yang krusial. Toh, katanya, tu

  • Renjana dan Nestapa   Bab 2: Badai Pilihan

    Santi merenung. Akalnya bingung. Hatinya limbung. Harapan untuk hidup bahagia dalam kesederhanaan kerap terbentur dengan omonganya sang ibu.Semenjak melepaskan seragam putih abu-abu, rumah seakan kelabu. Bayangan masa depan seolah hanya ada dua yaitu bekerja di luar negeri atau dinikahkan dengan pria mapan.Kemapanan selalu diukur dari tingkatan ekonomi. Padahal, menjadi istri dari pria kaya belum tentu menjamin hidup sejahtera. Bisa saja hanya untuk dijadikan pajangan dan dicicipi keperawanan. Santi tidak mau menikah hanya untuk dijadikan alat.“Hari ini kamu masih mau keliling-keliling lagi cari kerja?” tanya sang ibu ketika Santi keluar kamar.“Nggak, Mah.”“Terus kapan kamu mulai kerja?”“Belum tahu, Mah.”“Kok belum tahu? Emang dari sekian lamaran yang kamu taruh masih nggak ada satu pun yang masuk?”“Saingannya banyak, Mah,” terang Santi dengan tenang.“Saingannya banyak, yang diterima hanya mereka yang punya orang dalem, kalau mau langsung masuk harus bayar sekian juta. Begitu

  • Renjana dan Nestapa   Bab 3: Kedatangan Keukeu

    Sejatinya, setiap manusia pasti mengidamkan hidup yang nyaman, seperti batin senang dan tidur tenang. Akan tetapi, untuk mencapai kehidupan seperti itu perlu usaha. Usaha pun harus dibarengi dengan doa sebagai wujud rasa syukur.Santi bangun sembari memacu semangat. Ia tunaikan kewajiban sebelum fajar menyingsing. Setelah itu, ia mencuci piring dan baju. Lalu, menyiapkan sarapan. Semua rutinitas dijalankan dengan ikhlas.Lepas pagi menyapa, Santi berkutat dengan ponselnya. Ia sebenarnya masih berharap diterima kerja menjadi karyawan di Alfam*rt, karena lokasinya tidak jauh dari rumah. Sedangkan, untuk menuju mall butuh waktu 90 menit.Hidup selalu disusupi pilihan. Daripada diam di rumah lebih baik bekerja sambil menyusun rencana masa depan, bukan? Santi mengamini Tuhan tak akan memberikan ujian di luar kemampuannya. Semua yang tersaji merupakan anugerah.Tak terasa, siang datang. Santi kembali ke dapur untuk menyiapkan menu makan siang. Sementara itu, sang ibu duduk di teras sambil m

  • Renjana dan Nestapa   Bab 4: Sebuah Keputusan

    Popularitas dan kemewahan seolah-olah menjadi sumber kebahagiaan. Padahal, hati yang damai akan lebih bisa mendatangkan kesenangan dalam pikiran.Setiap anak pasti ingin membuat kedua orang tuanya selalu tersenyum dan bangga. Akan tetapi, bagaimana bisa melakukan hal tersebut jika jiwa terbelenggu oleh berbagai definisi bahagia yang semu?Katanya, menjadi terkenal akan mendatangkan banyak uang. Katanya, setiap orang akan bahagia jika memiliki banyak uang. Asumsi dan praduga mengalun sendu di kepala Santi.Ia terus dicekoki oleh sang ibu agar mau menerima tawaran Keukeu. Tinggal di Jakarta, menjadi seorang penghibur.“Neng, kata si Keukeu, Neng bisa kok pulang tiap minggu ke sini. Jadi, apa yang masih memberatkan keputusan Neng?” tanya Lilis usai tinggal bertiga di meja makan. Robi dan si Dede sudah masuk ke dalam kamar untuk beristirahat.Dari siang ke sore, dari sore hingga selesai bersantap malam, Lilis terus menombakkan kemiskinan ke dalam otak Santi. Tujuannya, jelas, agar sang pu

  • Renjana dan Nestapa   Bab 5: Janji Cinta

    Lilis merias wajahnya dengan bedak yang tebal. Tak lupa bibir diolesi lipstik merah menyala, dan alis diukir membentuk garis melengkung seperti tikungan Jalan Nagreg. Pakaian yang dikenakan pun merupakan pakaian terbaik Lebaran kemarin.Ah! Ini momen yang begitu bermakna baginya. Penampilan tentu harus paripurna untuk bisa menyenggol tetangga, terutama Kesih. Belajarlah menjadi orang kaya dari sekarang. Begitu ucapnya di dalam hati.Lilis pun terus melihat perputaran waktu. Ia tak sabar menunggu Keukeu datang. Kalimat demi kalimat sapaan telah ia susun untuk menyapa setiap warga yang nanti akan dilewati.Duh! Emas masih di dasar sungai, belum di genggaman, tetapi ambisi untuk pamer sudah meledak-ledak.“Mamah meni menor pisan kayak mau kondangan,” komentar Santi sambil menahan tawa.“Tong nyengseurikeun kolot, doraka (jangan menertawakan orang tua, durhaka)!” ucap Lilis membalas candaan Santi.“Ampun, Mah! Hehe….”Santi memeluk sang ibu. Ada rasa bahagia melihat ibunya berdandan walau

  • Renjana dan Nestapa   Bab 6: Amarah si Bapak

    Lilis bersandar di jendela mobil dengan perasaan kesal. Ia mendapat kabar dari Faisal jika Wildan membawa Santi pergi. Siapa yang tidak kecewa jika ditipu oleh anak sendiri?!Sesekali, Lilis menggerutu. Pikirannya berdiskusi dengan nurani untuk memberikan peringatan yang bisa membuat Wildan jera – tak lagi menjalin kasih dengan Santi.“Kenapa sih, Ceu? Masih kurang belanjaannya?” tanya Keukeu yang tak suka melihat raut kecut yang Lilis tunjukkan.“Ng…. nggak, Keu. Ini malah lebih dari cukup.” Lilis segera memperbaiki lukisan wajahnya.“Terus kenapa mukanya ditekuk gitu? Lecek bagaikan dompet suami yang tak berisi selama puluhan purnama. Tadi Ceu Lilis heboh banget, nggak berhenti ngomong kayak kereta lagi jalan. Apa lagi lobet (low battery = baterai lemah)? Nanti Keukeu beliin powerbank deh kalau anaknya Eceu sudah menghasilkan,” sarkas Keukeu.“Bukan gitu, Keu. Ini anak saya dibawa kabur sama pacarnya. Saya teh pusing mikirinnya,” terang Lilis.Keukeu berteriak hingga sang sopir nyar

  • Renjana dan Nestapa   Bab 7: Maaf, Wildan!

    Hinaan, makian, dan hujatan masih bisa ditahan. Namun, kebohongan yang dilakukan oleh seorang anak hingga menimbulkan semua kepedihan tersebut sungguh menyayat hati. Yati ingin sekali melampiaskan luka tanpa membenturkan derita.Wildan terus bersimpuh di kaki sang ibu. Ia tak mengira dusta yang diucapkan tadi pagi mengundang petir dan badai. Prahara memang terkadang tak bisa disangka arah kedatangannya. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Ia pikir tidak akan ada mata yang mengintai. Ternyata, berita mudah sekali menyebar.Entah siapa orang yang menjadi mata-mata, itu tidaklah penting. Kata maaf dari sang ibu merupakan hal utama yang harus ia gapai.“Ambu, maafin Wildan ya. Ambu dimaki-maki sama Bi Lilis teh pasti gara-gara Wildan,” ucap Wildan mengharap ampunan.Dari depan rumah hingga pindah ke dalam kamar, Yati tak menggubris sedikit pun permohonan maaf sang putra. Bibirnya tertutup rapat, tetapi air matanya tak berhenti mengalir.“Ambu, tolong jangan diemin Wildan kay

  • Renjana dan Nestapa   Bab 8: Salam Perpisahan (bagian 1)

    Pagi menyapa dengan cahaya yang gembira, si Bapak mengajak sang istri dan Santi untuk bertandang ke rumah Wildan. Si Bapak ingin mengucapkan permohonan maaf atas kerusuhan yang terjadi kemarin. Sayangnya, Lilis tidak mau ikut. Ia berkata tindakannya bukanlah sesuatu yang salah.Waktu menunjukkan pukul 07:00. Suara kicauan burung mengiringi setiap langkah. Sinar mentari menghangatkan badan dan membantu menyemangati niat baik pagi ini.Sesampainya di rumah Wildan, si Bapak dan Santi perlu menyerukan beberapa kali salam hingga Yati keluar. Ya, hanya Yati seorang diri yang menyambut kunjungan si Bapak dan Santi.“Teh Yati, saya atas nama pribadi, istri saya, dan juga anak saya, Santi, memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian kemarin. Saya tahu, omongan istri saya teh memang sangat menyakitkan. Tapi, saya mohon sekali Teh Yati dan Wildan memberikan kami maaf,” ucap si Bapak langsung pada maksud dan tujuannya bertamu.“Saya sudah maafkan, Cid. Saya juga sadar diri bahwa kami teh mem

Bab terbaru

  • Renjana dan Nestapa   Bab 32: Memupuk Rasa

    Sesak menyedak di dalam hati. Resah mendera mengacaukan pikiran. Santi termenung memikirkan birahi yang sempat ia salurkan kepada Wildan. Walaupun hanya sekadar mengadu sentuhan, namun cukup kuat menyulutkan rasa bersalah.“Neng mikirin apa? Mikirin Wildan?” tanya si Bapak yang gelisah melihat sikap sang putri.Santi menggelengkan kepala. “Enggak, Pak. Neng…. Neng lagi sedih aja karena besok harus balik lagi ke Jakarta,” jawabnya meniti topik yang lain.“Wildan bercerita kepada Bapak bahwa ada pria lain yang menggantikan posisinya di hati Neng. Benarkah itu, Neng?” tanya lagi si Bapak penuh rasa penasaran. Dia paham tabiat Santi yang setia. Namun, Wildan pun dirasa tidak mungkin berbohong kepadanya.Santi tak memberikan tanggapan pada pertanyaan si Bapak. Ia fokus menuntun sang ayah untuk menaiki mobil.Berbicara masalah cinta laksana menapak di atas bara. Santi tak kuasa menahan air mata bila harus membahas hubungannya dengan Wildan. Hubungan yang semakin pelik untuk diteruskan, teta

  • Renjana dan Nestapa   Bab 31: Selaksa Perih

    Semalaman Wildan tak bisa tidur. Tak terpikir ia akan disodorkan kenikmatan bercumbu oleh Santi. Resah dan rasa bersalah pun menggeluti pagi hingga ia merasa malas untuk berangkat bekerja.Wildan lantas mengirimkan pesan singkat kepada Santi. Isinya sebuah pernyataan untuk siap bertanggung jawab. Bagaimana pun, ia telah berdosa karena telah terpancing untuk menjamahi tubuh Santi.Beberapa menit menunggu balasan, Santi hanya mengguratkan tulisan “Tidak apa-apa, A”. Sebuah kalimat yang memiliki multi tafsir.Mengapa Santi terkesan tidak menjaga kesuciannya? Apakah ajakan permainan bibir yang dia mulai merupakan bentuk pernyataan cinta? Ataukah hanya nafsu sesaat sebagai permohonan maaf? Pikiran Wildan mengembara menerka berbagai kemungkinan.“Dan, kamu kok belum siap-siap untuk kerja?” tanya Ambu menghampiri sang anak yang terus melamun. “Oh iya, tadi di warung ramai orang-orang membicarakan Santi. Katanya, Santi sudah menjadi artis besar,” sambung Ambu mengajak Wildan berbincang.Wilda

  • Renjana dan Nestapa   Bab 30: Nafsu Sejoli

    Santi menadahkan mata melihat hamparan langit ceria. Bulan dan bintang tampak indah melengkapi kehadiran satu sama lain. Sayangnya, suasana malam yang indah sangat kontradiksi dengan perasaannya. Gundah dan gelisah membara dalam raga, membakar asa yang bersemayam dalam sanubari.Sementara itu, Wildan setia menanti jawaban Santi. Jawaban atas laju cinta yang menyerat masa depan.“Maaf, A. Neng memang sudah jatuh cinta dengan pria lain di Jakarta,” ujar Santi terisak.Wildan tidak lantas percaya dan menerima pernyataan Santi. Ia yakin ada ketidakjujuran yang dilontarkan sang pujaan hati.“Coba Neng ucapkan sekali lagi sambil tatap mata Aa,” pinta Wildan sembari menarik wajah Santi dengan sentuhan yang lembut.Santi justru memejamkan mata. Ia tak sanggup jika harus beradu pandang dengan Wildan. Bagaimana pun, sorot cahaya dari mata sulit untuk dimanipulasi.“Aa bukan tidak terima jika Neng menemukan pria yang lebih bisa membahagiakan Neng. Aa cuma merasa keputusan Neng terlalu dini. Apak

  • Renjana dan Nestapa   Bab 29: Tekanan Batin Santi

    Santi menekuri setiap langkah menyusuri sudut-sudut rumahnya. Semua benda yang terpajang masih sama susunannya. Pun, tak ada perubahan pada struktur bangunan. Memang, baru satu bulan ditinggalkan. Jelas, tak akan ada banyak pergeseran.Namun, pergeseran bukan pada yang tampak di mata, melainkan yang melacur di dalam hati. Santi merasa seperti sudah bertahun-tahun terpisah dengan kesederhanaan. Kesederhanaan yang dulu menjelma memenuhi suasana hangat di dalam rumah. Mungkinkah hal tersebut bisa diulang, sedangkan jiwa sedang mengandung nista?Selagi Santi memandangi potret dapur, tempatnya mengadu cerita, suara salam menyapa dengan lantang. Lantas, ia segera menengok tamu yang datang.“Wuih, makin cantik aja nih Neng Santi. Gimana kabar si Bapak, udah mendingan? Bibi teh mau ngejenguk, tapi sibuk terus. Maklumlah, lagi ngerintis usaha di bidang kuliner. Muterin duit si Euis dengan usaha yang halal,” tutur Kesih kala Santi berdiri di hadapannya. Tawa kecil mengiringi pemaparannya, tetap

  • Renjana dan Nestapa   Bab 28: Perjumpaan Lara

    Surya berseri menyapa pagi. Hangat dan lega merengkuh raga, membasuh sukma. Air mata sirna, memuai bersama resah yang sempat mengecam nasib.Santi duduk sembari menggenggam tangan si Bapak. Semalaman dia menjaga sang ayah dengan penuh kasih. Ketulusannya pun terbayar dengan sebuah senyuman.“Kamu tampak lain, Neng. Sedikit berbeda. Neng bahagia kan kerja di Jakarta?” Si Bapak menyorot dalam pada wajah Santi. Dia mengamati hamparan kecantikan sang putri tercinta terasa penuh tipuan, tak lagi alami nan suci.Santi menarik kedua bibirnya. “Kata dokter, Bapak teh kurang makan. Ini aja tangan Bapak kayak kurusan ya, Pak. Bapak pengen makan apa? Biar Neng carikan di luar ya,” ucap Santi mengalihkan pembicaraan. Ia belum siap untuk membahas perihal pekerjaan, terlebih berhadapan dengan kondisi si Bapak yang belum stabil. Akan ada banyak desakan air mata yang mengaburkan ekspresi.“Bapak teh khawatir Neng di Jakarta tidak bahagia, tetapi Neng tetap memaksa untuk bekerja. Kerjaan Neng ngapain

  • Renjana dan Nestapa   Bab 27: Prahara Emosi

    Menjalani biduk rumah tangga yang layarnya sudah tak terkembang, seperti melangkah di atas pecahan beling. Ingin menyudahi kisah, tetapi khawatir tak menemukan pengganti yang lebih baik. Terpaksa merelakan hati tersakiti setiap hari hanya demi mengiba kasih sayang.Kebuntuan terus membayangi perbaikan hubungan Mariska dengan sang suami. Dia tidak menyangka, cinta yang disuguhkan selalu diuapkan oleh kesalahpahaman.Mariska memang mengakui tindakannya mengobrak-abrik ponsel Firman agak sedikit berlebihan. Namun, pembelaannya lebih besar. Bagaimana pun, tak ada istri yang tak sakit hati ketika suaminya bermain rasa dengan perempuan lain.Sembari menahan laju air mata, Mariska susuli Firman ke dalam kamar. Dia tak mau lagi menenggak masalah yang digantung tanpa sebuah penyelesaian konkret.“Mas, apa sih mau kamu? Aku sudah setia sama kamu. Aku juga sudah membantu kamu menapaki karier kamu yang sukses seperti sekarang ini. Bisa-bisanya kamu cari daun muda di luar sana?” kesah Mariska. Sua

  • Renjana dan Nestapa   Bab 26: Rasa yang Terkikis

    Kematian merupakan perpisahan yang paling ditakuti manusia. Tak ada ruang untuk merajut jalinan cinta. Hilangnya kesempatan untuk memperbaiki kisah. Juga, kemungkinan untuk bertemu lagi di alam keabadian yang mungkin samar.Santi tak mau berprasangka si Bapak akan pergi untuk selama-lamanya. Namun, ia juga tak bisa menghilangkan pikiran buruk tersebut, karena dihantui tangisan sang ibu yang terdengar mencekam di lubang telepon.Air mata Santi mengiring sepanjang perjalanan. Ia berharap kepulangannya bukanlah firasat akan sebuah perpisahan dengan si Bapak.Sayangnya, berkali-kali nomor sang ibu dihubungi, tak juga mendapatkan respon. Pikiran Santi pun makin kacau balau.Si sopir menyarankan Santi untuk tidur. Sementara, Santi tidak bisa memejamkan mata sebelum mendapat kepastian bahwa si Bapak hanya menderita sakit biasa.“Coba Neng telepon tetangga yang dekat rumah Neng untuk nanyain kondisi bapak Neng,” ucap si sopir memberikan saran lain yang mungkin bisa meredakan tangisan Santi.S

  • Renjana dan Nestapa   Bab 25: Bayangan Kehilangan

    Tak ada tempat yang bisa menggantikan kenyamanan kampung halaman. Sekalipun banyak hal yang membuat telinga panas, tetap saja ada banyak kenangan yang bisa mendamaikan hati. Bersama dengan orang-orang yang dicinta, api pun akan mudah untuk ditaklukan.Hari-hari berlalu dengan cepat, tetapi tak memberikan sebuah kepastian. Kepastian kapan bagi sang gadis malang bisa berhenti menjadi kupu-kupu malam.Rindu pada suasana rumah menggebu di kalbu Santi. Dia tak sabar menanti hari esok tiba. Hari libur spesial yang diberikan oleh Keukeu.Namun, antusiasme Santi mendapat interupsi sesaat. Bermacam prediksi pertanyaan dari para tetangga hinggap di kepalanya. Tentu, dia harus membuat suatu rangkaian kebohongan.Hah! Kebohongan dan kebohongan ditutupi oleh kebohongan pula. Kemarin dia berbohong kepada si Om agar bisa menyelamatkan muka dari Firman. Esok dia harus berbohong untuk menjaga raut bahagia keluarga, dan membentengi gunjingan tetangga yang pasti – satu atau dua orang/ lebih – penasaran

  • Renjana dan Nestapa   Bab 24: Kekhawatiran yang Berlebihan

    Santi kelimpungan memikirkan skenario agar tidak bertemu dengan Firman. Ia putar otak ke segala arah yang sekiranya bisa menghadirkan sebuah alasan. Ternyata, Jakarta tidak seluas yang ia kira.Si Om mulai tidak sabar menunggu Santi yang berkutat dengan heels-nya. Pikirannya sudah dipenuhi dengan berbagai rangkaian kata pamer. Di hadapan semua koleganya, ia akan perkenalkan Santi sebagai tambatan hati. Tak peduli, meski ia akan mendapatkan guyonan tua-tua keladi.“Sayang, apa ada masalah dengan kaki kamu? Kamu belum terbiasa ya pakai sepatu hak tinggi begitu?” tanya si Om dengan lembut.Santi tidak memberikan jawaban. Ia hanya membalas dengan sebuah senyuman tipis.“Aw!” erang Santi sembari memegangi perutnya.Si Om pun membungkuk dan sedikit khawatir melihat kondisi Santi. Dia menawarkan bahu untuk memapah Santi agar segera bisa duduk. Namun, Santi menolak dengan halus.“Maaf, Om. Sa… saya…. sepertinya datang bulan,” ucap Santi. Tak ada pilihan lain, kecuali berbohong. Anggap saja ke

DMCA.com Protection Status