Enam minggu lalu Zea mendapatkan kabar bahwa dirinya diterima untuk melanjutkan S2-nya di Universitas Al-Azhar. Kini dia telah memulai studi pascasarjananya itu di tahun pertama. Allah telah menjawab doanya. Ya, ini adalah salah satu alasan terkuatnya mengapa dia menunda S2-nya dan belum membuka hati untuk universitas-universitas lain yang ada di Kairo, karena memang dia ingin melanjutkan studinya secara linear di Universitas Al-Azhar.
Tepat di bulan Agustus lalu, Zea sempat mengikuti ujian masuk program S2 yang diadakan setiap tahunnya di Universitas Al-Azhar. Segala berkas dan persyaratan sudah disiapkan olehnya sejak jauh-jauh hari sebelum mendaftar, termasuk doa dan restu dari orang tuanya. Kalau ini, memang berkas persyaratan utama yang paling sakral.
Bibit yang dia tanam dan dia rawat ternyata kini sudah tumbuh menjadi bunga yang indah. Ketika itu, matanya memerah, ujung bibirnya terangkat, serta lisannya tiada henti bersyukur ketika melihat rangkaian namanya ada di antara beberapa nama mahasiswi baru program pascasarjana di Universitas Al-Azhar.
"Mbak Zea, handphone Mbak bunyi," ujar Noura secara tiba-tiba seraya memberikan benda kecil berwarna hitam di tangannya pada Zea.
Suara Noura memecah konsentrasi Zea yang sedang asyik berselancar membaca kitab Ayat al-Ahkam di kamar sebelah. Memang sengaja, Zea meninggalkan ponselnya di kamar tidur untuk di-charger. Hari ini adalah yaumul 'uthlah (hari libur), maka dari itu penghuni flat ini lengkap semua. Biasanya flat mereka akan sepi penghuni di hari-hari selain hari libur.
"Dari siapa, Nour?"
"Aku lihat sekilas, sepertinya dari Abinya Mbak Zea."
Zea mengangguk lalu meraih ponselnya dari Noura. Setelah Zea menerima ponselnya, Noura pamit kembali ke kamar sebelah.
Ponsel itu masih mengeluarkan bunyi nada dering yang Zea pakai jika ada panggilan masuk, lalu Zea membawa ibu jari kanannya untuk memijat layar ponselnya. Terdengar suara di seberang sana mengucap salam untuk Zea, suara yang pertama kali mengumandangkan azan di dekat telinga mungilnya ketika dia dilahirkan ke dunia ini. Zea menjawab salam itu.
"Bagaimana kabarnya, Putri Abi?" Sosok pria yang sangat Zea sayangi dan hormati itu tersenyum di seberang sana, meskipun Zea tidak melihatnya, tetapi Zea bisa merasakannya.
"Alhamdulillah, Abi, Zea baik-baik saja di sini. Bagaimana kabar Abi, Umma dan juga Mas Aufa?"
"Alhamdulillah, kami juga baik-baik saja di sini, Nak."
Zea melukiskan senyum di wajahnya. "Alhamdulillah ...."
"Nak," panggil sang Abi dari seberang sana.
"Iya, Abi?"
"Pulanglah dulu ke Indonesia. Umma-mu kangen katanya. Sudah dua tahun ini kamu tidak pulang."
Zea bergeming sejenak. Memang tidak biasanya kedua orang tuanya memintanya untuk pulang ke Indonesia. Apakah karena rasa rindu yang sudah begitu memuncak terhadap putrinya ini? Atau ada hal penting lain sehingga Zea harus pulang ke Indonesia secara mendadak?
Semenjak liburan tahun keduanya di Mesir, memang Zea sudah jarang kembali ke Indonesia, bahkan tidak pernah. Dia memilih untuk tidak pulang ke Indonesia karena tidak ingin merepotkan kedua orang tuanya jika harus membeli tiket untuknya setiap tahun.
Zea hanya mampu menebak-nebak dalam benaknya lalu bertanya, "Abi ... Umma sehat, kan?"
"Umma-mu sehat, dia cuma kangen sama kamu katanya."
"Zea juga kangen sama Umma, Bi," ucapnya lirih. Tidak pernah berubah, meskipun sudah memasuki usia dewasa, nada bicaranya dengan sang Abi terdengar seperti gadis kecil yang manja.
"Kalau begitu pulanglah dulu untuk menjenguk kami di sini. Tinggalkan sejenak tugas-tugas kuliahmu di pascasarjana ini, untuk beberapa waktu saja."
"Pulanglah sebentar, Nak ...." Suara wanita itu sungguh tak asing lagi di telinganya. Suara wanita hebat yang karena perjuangannya selama sembilan bulan Zea bisa berada di muka bumi ini.
Tak terasa airmata di ujung pelupuk matanya merembes. Zea mengusap ujung matanya supaya airmata itu tidak menganak sungai.
"Iya, Umma. Zea akan pulang ke Indonesia. Secepatnya ...." Gadis itu tersenyum di ujung suara.
Cukup lama Zea berbicara dengan Abi dan Ummanya melalui telepon. Setelah dirundingkan, besok sore Zea akan pulang ke Indonesia. Tadinya Zea hendak membeli tiket pesawat dengan tabungannya sendiri, karena selama ini Zea sengaja menabung untuk ongkos pulang ke Indonesia ketika dirinya sudah menyelesaikan studi pascasarjananya nanti. Namun, sang Abi memintanya untuk menyimpan tabungan tersebut, karena tiket untuknya sudah disiapkan. Zea hanya tinggal bersiap dan berangkat.
Entah ada apa, tetapi Zea yakin ada sesuatu yang sangat penting sehingga kedua orang tuanya meminta dirinya untuk pulang secara mendadak seperti ini. Harap-harap cemas mulai menyeruak dalam benaknya. Semoga saja alasan kedua orang tuanya meminta dirinya untuk pulang bukan karena sesuatu yang akan membuatnya sedih.
"Ada apa, Mbak?" tanya Wafa yang ketika itu tak sengaja lewat. Wafa melangkah masuk ke dalam kamar tempat Zea berada.
"Abi dan Umma mendadak memintaku pulang."
"Ke Indonesia?"
Zea mengangguk lemah.
"Ada apa?"
"Aku nggak tahu. Abi cuma bilang kalau Umma lagi kangen sama aku. Tapi ini nggak seperti biasanya." Zea menatap Wafa. "Hampir setiap aku teleponan sama mereka, mereka pasti bilang kalau mereka kangen. Tapi nggak sampai minta aku pulang mendadak seperti ini," lanjutnya.
"Mbak." Wafa menyentuh pundak kanan Zea lalu tersenyum. "Jangan berpikir macam-macam dulu, ya. Mungkin saja orang tua Mbak ingin memberikan kejutan untuk Mbak."
Zea membuang nafasnya berat lalu mengangguk.
"Jadi, rencananya Mbak kapan akan pulang ke Indonesia?"
"Besok sore, Waf."
Wafa tampak terkejut.
"Benar-benar mendadak, bukan?"
"Yakinlah, Mbak. Sampai di Indonesia Mbak pasti mendapatkan kejutan yang akan membuat Mbak bahagia dari Abi dan Umma Mbak." Wafa berusaha membuat Zea tenang.
Lagi-lagi Zea membuang nafas berat. "Kalau begitu, aku harus siap-siap dulu."
"Aku bantu!"
Tak lama, Noura yang baru saja menyetrika pakaian menghampiri Zea dan Wafa.
"Ada apa, Mbak?" Noura memandangi Zea seraya melangkah masuk.
"Mbak Zea mau pulang ke Indonesia, Mbak," sahut Wafa tanpa menunggu Zea yang menyahutnya.
"Lho, kenapa mendadak sekali?"
"Justru itu, Nour. Aku nggak tahu kenapa bisa mendadak seperti ini." Zea memasukkan beberapa setel pakaian ke dalam koper hitam miliknya.
"Abinya Mbak nggak bilang untuk apa?"
"Nggak, Nour. Abiku cuma bilang kalau kalau Umma lagi kangen sama aku, dan beliau minta aku untuk pulang."
Noura menatap Zea dengan tatapan yang dalam. Zea yang sedang merapikan pakaiannya di koper nampak risih mendapatkan tatapan dari Noura.
"Kamu kenapa sih, Nour?"
"Jangan-jangan ... Beliau minta Mbak untuk pulang karena ada yang mau khitbah Mbak." Lagi-lagi gadis ini menggoda Zea.
Zea mendelik. "Hus! Ngawur kamu, Nour."
Noura tertawa lalu disusul dengan Wafa.
"Bisa jadi lho, Mbak. Kok aku nggak kepikiran ke situ, ya," timpal Wafa yang juga ikut menggoda Zea.
"Kalian berdua ini, sama saja ...." Zea berdiri mengambil kerudung hitam kesayangannya yang dia terima dari almarhum sang nenek sebelum dirinya menginjakkan kaki di Negeri Kinanah ini.
"Ngawur!" lanjutnya.
Noura dan Wafa tertawa geli melihat Zea yang nampak salah tingkah.
Syauqi baru saja mengantarkan pesanan katering ke Shubra. Akhir-akhir ini, Shubra menduduki voting tertinggi di antara kota-kota lainnya yang sering memesan katering pada Syauqi. Lisannya tak henti mengucap syukur, hari ini ada sekitar 80 kotak pesanan katering yang semuanya dia antarkan ke Shubra. Sebenarnya bisa saja pesanan itu diantarkan menggunakan jasa ekspedisi, tetapi dia sengaja ingin mengantarnya sendiri sekaligus menemui beberapa Mahasiswa Indonesia yang merupakan kawannya di Shubra. Biasanya, usai mengantar pesanan, Syauqi akan mampir sebentar ke dekat sungai nil untuk sekedar mengisi waktunya sembari mengetik naskah skripsi. Sungai nil memang salah satu tempat favorit yang biasa dia kunjungi. Menurutnya, melihat aliran sungai nil menjadikan hatinya terasa teduh, apalagi ditambah mendengar lantunan ayat-ayat kauni. Panasnya matahari Kairo pun seolah kalah dengan teduhnya aliran sungai nil. Syauqi membawa dirinya untuk duduk di
"Jadi begini, Nak. Sembilan tahun lalu, ketika saya mendapat kabar bahwa saya diterima di Universitas Al-Azhar untuk melanjutkan S3, saya sempat sowan ke rumah Kyai Dzulfikar, beliau adalah kakak kelas saya sekaligus pimpinan pondok pesantren Daarul Qani'in, di Jawa Tengah. Dulu, ayahandanya adalah pimpinan di sana, tetapi setelah beliau wafat digantikan oleh Kyai Dzulfikar ini." "Jadi, cerita intinya bagaimana, Ustadz?" "Sabar. Belum sampai ke intinya." "Langsung ke intinya saja, Ustadz," gurau Syauqi. "Lha, kamu ini. Kalau kamu baca novel langsung ke intinya tanpa tahu awalnya, pastinya kurang seru dan kurang menantang. Sama juga seperti yang akan saya ceritakan ini. Sabar sedikit saja," ujar Ustadz Lukman. Dia tahu bahwa muridnya ini sedang bergurau dengannya. Syauqi terkekeh pelan lalu mengangguk. "Baiklah, Ustadz. Silakan dilanjutkan." Ustadz Lukman menggelengkan
Bandara terasa begitu panas di siang hari itu. Sinar matahari seakan menembus pori-pori kulit. Ditambah pula dengan hiruk pikuk pengunjung yang tak hentinya keluar masuk memenuhi setiap penjuru Bandara. Zea baru saja sampai di tanah air. Untungnya dia memakai kacamata hitam sehingga mampu sedikit melindungi matanya dari terik matahari di siang itu. Dia mulai mengedarkan pandangan ke setiap penjuru, kepalanya seolah memutar seratus delapan puluh derajat dari kanan ke kiri. Tampaknya dia sedang mencari seseorang. Kedua bola matanya terus bergerak. Hingga pada satu titik, pandangannya terhenti dan kedua sudut bibirnya mulai terangkat.Seraya menggiring koper hitam yang dia pegang dengan tangan kirinya, Zea melemparkan senyum ke arah wanita yang memakai abaya berwarna hitam dan kerudung berwarna coklat susu. Wanita itu tengah berdiri menyambutnya dengan semburat senyum di wajahnya."Ummi," lirih Zea seraya mencium punggung ta
Sekitar satu jam yang lalu Zea sudah membersihkan diri dan membereskan beberapa barang bawaannya. Zea sengaja membeli beberapa souvenir untuk dibagikan pada beberapa santriwati yang sudah lulus pendidikan formal dan sedang mengabdi di Pesantren Daarul Qani'in. Dia sudah menyimpannya di atas meja rias, niatnya akan dia berikan esok hari, karena hari ini cukup membuatnya merasa begitu lelah. "Rasanya sangat lelah, tapi mataku tidak bersahabat untuk kuajak terlelap. Jenuh sekali." Gadis itu turun dari ranjangnya dan hendak pergi ke luar kamar. Tok! Tok! Tok! Baru saja Zea hendak memegang gagang pintu, terdengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. Terdengar suara pintu yang dibuka. Matanya hampir saja menganak sungai, namun segera dia seka dengan ujung gamisnya. Zea memeluk seseorang yang kini berdiri di hadapannya. Pelukan yang meny
Gadis itu menatap layar ponselnya yang mulai redup. Dia masih termenung mengingat apa yang disampaikan Sarah—sang ibu yang dia panggil Umma—beberapa menit yang lalu melalui telpon. Seharusnya dia sudah bersiap pergi ke rumah pamannya sekitar satu jam yang lalu, tepatnya selepas waktu Zuhur. Namun, karena adanya panggilan dari sang Umma, membuat gadis 22 tahun itu harus menunda rencananya untuk beberapa saat."Maaf, Umma. Untuk saat ini, aku belum bisa memberikan jawaban," lirih gadis berkerudung hitam panjang itu dengan suara yang nyaris tak terdengar oleh siapa pun.Seketika dia mengalihkan pandangannya dari ponselnya. Dilihatnya seorang gadis berkerudung biru yang merupakan kawan satu flatnya tengah sibuk membuat adonan kue untuk dihidangkan bersama di malam nanti. Zea tinggal di kawasan El-Gamaleya. Kawasan ini sengaja menjadi pilihannya, karena menurutnya sangat strategis dan dekat dengan kampus Al-Azhar. Berbeda dengan Nasr City, di sana merupakan sala
Angin sahara kembali membelai wajahnya. Dia mulai menjejaki langkah demi langkah jalanan Kairo yang berdebu. Jilatan panas sinar matahari seakan membakar kulit wajahnya yang tidak ikut terbalut kain kerudung hitam panjangnya. Seandainya tidak memakai kacamata hitam, sinarnya yang menyilaukan pasti sudah terasa perih di mata. Jarak dari flatnya di El-Gamaleya menuju rumah Paman Omar di Nasr City bisa dibilang cukup menguras waktu. Meskipun masih berada di sekitar Kairo, namun untuk bisa sampai ke sana butuh beberapa jam di perjalanan, belum lagi harus melewati gang-gang sempit yang memang harus dijejaki dengan berjalan kaki. Jika bukan karena amanah dari sang Paman untuk datang ke rumahnya hari ini, mungkin dia akan lebih memilih menikmati sentuhan pendingin ruangan dan membuat adonan kue bersama Noura di rumah. "Zea ... Zea ...." Langkah kakinya terhenti. Telinganya menangkap ada suara yang memanggil-manggil dari arah belakang. Dia memicingkan matanya dan men
"Assalamu'alaik, ya 'Ammah Raeena. (Bibi Raeena)." "Hey. 'Alaikissalaam warahmatullah." "Izzayyak, ya 'Ammah? (Apa kabarmu, Bibi?)" "Kuways, alhamdulillah. (Baik, alhamdulillah)." Wanita berparas putih dengan bola mata cokelat itu mengembangkan senyumnya, dia tetap terlihat muda walau usianya tak lagi muda. Terlebih dari itu, dia memiliki kemampuan berbahasa Arab fusha maupun 'amiyah yang sangat fasih. Maklum, meskipun berdarah Jerman, dia adalah jebolan Universitas Al-Azhar, selain itu juga dia sudah lama menetap di Mesir bersama sang suami. Paman Omar dan Bibi Raeena hanya tinggal berdua sejak 11 tahun yang lalu. Di usia 15 tahun, putranya memilih untuk menetap di Jerman bersama sang kakek dan mengenyam pendidikan di sana. Mungkin satu tahun sekali putranya akan berkunjung ke Mesir untuk menjumpai Paman Omar dan Bibi Raeena.
Zea sampai di flat sekitar jam tujuh lewat seperempat. Hari yang melelahkan. Sangat penat. Cuaca siang tadi sungguh membuat wajah terbakar. Untungnya murid Paman Omar yang datang untuk talaqqi tidak terlalu banyak siang tadi. Hanya ada sekitar empat orang yang hadir, sehingga dirinya bisa meminta waktu Paman Omar untuk berkonsultasi setelah memandu talaqqi. Sampai di depan flat, dia melepas sepatu dan kaos kaki, kemudian kembali mengayunkan langkah menuju kamar. Dalam flatnya, terdapat dua kamar, mereka bertiga memilih untuk tidur dalam satu kamar dan menggunakan kamar yang satunya untuk kegiatan seperti murajaah, shalat, belajar, dan lainnya. Tenaganya nyaris habis. Dia langsung melepas kacamata hitam, kerudung, serta menaruh tasnya di atas meja. Usai mandi dan menunaikan shalat 'Isya, gadis itu merebahkan tubuhnya di kasur. Dinyalakannya kipas angin yang belum dibersihkan beberapa hari terakhir ini sebelum merebahkan tubuhnya, nampak de
Sekitar satu jam yang lalu Zea sudah membersihkan diri dan membereskan beberapa barang bawaannya. Zea sengaja membeli beberapa souvenir untuk dibagikan pada beberapa santriwati yang sudah lulus pendidikan formal dan sedang mengabdi di Pesantren Daarul Qani'in. Dia sudah menyimpannya di atas meja rias, niatnya akan dia berikan esok hari, karena hari ini cukup membuatnya merasa begitu lelah. "Rasanya sangat lelah, tapi mataku tidak bersahabat untuk kuajak terlelap. Jenuh sekali." Gadis itu turun dari ranjangnya dan hendak pergi ke luar kamar. Tok! Tok! Tok! Baru saja Zea hendak memegang gagang pintu, terdengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. Terdengar suara pintu yang dibuka. Matanya hampir saja menganak sungai, namun segera dia seka dengan ujung gamisnya. Zea memeluk seseorang yang kini berdiri di hadapannya. Pelukan yang meny
Bandara terasa begitu panas di siang hari itu. Sinar matahari seakan menembus pori-pori kulit. Ditambah pula dengan hiruk pikuk pengunjung yang tak hentinya keluar masuk memenuhi setiap penjuru Bandara. Zea baru saja sampai di tanah air. Untungnya dia memakai kacamata hitam sehingga mampu sedikit melindungi matanya dari terik matahari di siang itu. Dia mulai mengedarkan pandangan ke setiap penjuru, kepalanya seolah memutar seratus delapan puluh derajat dari kanan ke kiri. Tampaknya dia sedang mencari seseorang. Kedua bola matanya terus bergerak. Hingga pada satu titik, pandangannya terhenti dan kedua sudut bibirnya mulai terangkat.Seraya menggiring koper hitam yang dia pegang dengan tangan kirinya, Zea melemparkan senyum ke arah wanita yang memakai abaya berwarna hitam dan kerudung berwarna coklat susu. Wanita itu tengah berdiri menyambutnya dengan semburat senyum di wajahnya."Ummi," lirih Zea seraya mencium punggung ta
"Jadi begini, Nak. Sembilan tahun lalu, ketika saya mendapat kabar bahwa saya diterima di Universitas Al-Azhar untuk melanjutkan S3, saya sempat sowan ke rumah Kyai Dzulfikar, beliau adalah kakak kelas saya sekaligus pimpinan pondok pesantren Daarul Qani'in, di Jawa Tengah. Dulu, ayahandanya adalah pimpinan di sana, tetapi setelah beliau wafat digantikan oleh Kyai Dzulfikar ini." "Jadi, cerita intinya bagaimana, Ustadz?" "Sabar. Belum sampai ke intinya." "Langsung ke intinya saja, Ustadz," gurau Syauqi. "Lha, kamu ini. Kalau kamu baca novel langsung ke intinya tanpa tahu awalnya, pastinya kurang seru dan kurang menantang. Sama juga seperti yang akan saya ceritakan ini. Sabar sedikit saja," ujar Ustadz Lukman. Dia tahu bahwa muridnya ini sedang bergurau dengannya. Syauqi terkekeh pelan lalu mengangguk. "Baiklah, Ustadz. Silakan dilanjutkan." Ustadz Lukman menggelengkan
Syauqi baru saja mengantarkan pesanan katering ke Shubra. Akhir-akhir ini, Shubra menduduki voting tertinggi di antara kota-kota lainnya yang sering memesan katering pada Syauqi. Lisannya tak henti mengucap syukur, hari ini ada sekitar 80 kotak pesanan katering yang semuanya dia antarkan ke Shubra. Sebenarnya bisa saja pesanan itu diantarkan menggunakan jasa ekspedisi, tetapi dia sengaja ingin mengantarnya sendiri sekaligus menemui beberapa Mahasiswa Indonesia yang merupakan kawannya di Shubra. Biasanya, usai mengantar pesanan, Syauqi akan mampir sebentar ke dekat sungai nil untuk sekedar mengisi waktunya sembari mengetik naskah skripsi. Sungai nil memang salah satu tempat favorit yang biasa dia kunjungi. Menurutnya, melihat aliran sungai nil menjadikan hatinya terasa teduh, apalagi ditambah mendengar lantunan ayat-ayat kauni. Panasnya matahari Kairo pun seolah kalah dengan teduhnya aliran sungai nil. Syauqi membawa dirinya untuk duduk di
Enam minggu lalu Zea mendapatkan kabar bahwa dirinya diterima untuk melanjutkan S2-nya di Universitas Al-Azhar. Kini dia telah memulai studi pascasarjananya itu di tahun pertama. Allah telah menjawab doanya. Ya, ini adalah salah satu alasan terkuatnya mengapa dia menunda S2-nya dan belum membuka hati untuk universitas-universitas lain yang ada di Kairo, karena memang dia ingin melanjutkan studinya secara linear di Universitas Al-Azhar. Tepat di bulan Agustus lalu, Zea sempat mengikuti ujian masuk program S2 yang diadakan setiap tahunnya di Universitas Al-Azhar. Segala berkas dan persyaratan sudah disiapkan olehnya sejak jauh-jauh hari sebelum mendaftar, termasuk doa dan restu dari orang tuanya. Kalau ini, memang berkas persyaratan utama yang paling sakral. Bibit yang dia tanam dan dia rawat ternyata kini sudah tumbuh menjadi bunga yang indah. Ketika itu, matanya memerah, ujung bibirnya terangkat, serta lisannya tiada henti bersyukur ketika melihat
Seperti hari-hari sebelumnya. Menjelang siang hari, terik matahari mulai menyebar di segenap bumi Mesir, khususnya Kairo. Dengan langkah gontai, Zea berjalan keluar dariMaktabahAl-Azharmenuju taman Al-Azhar. Ada seseorang yang harus dia temui di sana. Tangan kanan gadis itu mengapit beberapa buah buku yang baru saja dia pinjam di perpustakaan. Dia mengeluarkan ponselnya ketika sampai di area taman Al-Azhar. Taman Al-Azhar ini lokasinya di sebelah selatan Universitas Al-Azhar. Pada tahun 2005, taman ini mulai dibuka untuk umum. Lokasinya yang sejuk serta bentuk arsitekturnya mirip dengan taman-taman Islam yang ada di abad pertengahan, menjadi daya tarik tersendiri dari taman ini. Di sisi utara taman ada museum yang telah merekam evolusi Kairo; sejarahnya, arsitekturnya, dan sisi-sisi budaya yang lainnya. Dari area museum, setiap yang berkunjung dapat melihat sisa-sisa kejayaan Mesir melalui panorama benteng Salahuddin Al-Ayyubi serta Masjid Muhammad
"Ahlashobah.Lawsamahti,yaAnesah(Selamat pagi. Permisi, Nona). Senang bertemu denganmu lagi." Zea mengalihkan pandangan dari buku yang sedang dibacanya. Gadis itu mengernyit, mengenali pria yang sedang berdiri di hadapannya. Dia adalah pria berparas Jerman yang Zea temui dimetrolima hari lalu. Pria berparas Jerman itu menggunakan bahasaArab'amiyahyang fasih. "Ahlashobah,ayyakhidmah?(Selamat pagi juga, ada yang bisa kubantu?)" sahut Zea. Kini Zea berada diMaktabahAl-AzharatauThe Library of Al-Azharyang letaknya di Salah SalemStreet. Jaraknya kurang lebih 3,6 kilometer dari flatnya di El-Gamaleya. Zea memang sering menghabiskan waktu untuk menulis hasil risetnya di sana. Bahkan sejak masih berstatus sebagai mahasiswi pun tak jarang dia mengunjungiMaktabah&nb
Pukul dua dini hari, Paman Omar tengah terjaga dari tidurnya. Dia hanya tidur kurang lebih tiga jam. Baginya, terlelap tiga jam itu sudah cukup untuk meremajakan seluruh saraf tubuhnya. Di tengah heningnya malam, dia masih seti melantunkanayat-ayat kaunidengan bacaan yang fasih. Di sampingnya, tampak sang istri yang sedang terlelap usai menghidupkan malamnya. Di tengah syahdunya lantunan tilawah Al-Qur'an yang keluar dari lisannya, terdengar seseorang mengetuk pintu rumahnya. Saat itu juga dia menyelesaikan tilawahnya dan beranjak dari duduknya. Diambilnya jubah putih kesayangannya dan langsung dia kenakan seraya berjalan menuju pintu depan. Dari jendela, dia melihat seorang pria dengan koper kecil yang dibawanya dan tengah berdiri menungguempu-nya membuka pintu. Ceklek!Pintu rumah terbuka. Dia menatapi sosok pria yang kini berdiri di hadapannya. Pria yang tak asing dalam pandangannya. Seorang pria kecil yang k
Zea sampai di flat sekitar jam tujuh lewat seperempat. Hari yang melelahkan. Sangat penat. Cuaca siang tadi sungguh membuat wajah terbakar. Untungnya murid Paman Omar yang datang untuk talaqqi tidak terlalu banyak siang tadi. Hanya ada sekitar empat orang yang hadir, sehingga dirinya bisa meminta waktu Paman Omar untuk berkonsultasi setelah memandu talaqqi. Sampai di depan flat, dia melepas sepatu dan kaos kaki, kemudian kembali mengayunkan langkah menuju kamar. Dalam flatnya, terdapat dua kamar, mereka bertiga memilih untuk tidur dalam satu kamar dan menggunakan kamar yang satunya untuk kegiatan seperti murajaah, shalat, belajar, dan lainnya. Tenaganya nyaris habis. Dia langsung melepas kacamata hitam, kerudung, serta menaruh tasnya di atas meja. Usai mandi dan menunaikan shalat 'Isya, gadis itu merebahkan tubuhnya di kasur. Dinyalakannya kipas angin yang belum dibersihkan beberapa hari terakhir ini sebelum merebahkan tubuhnya, nampak de