Syauqi baru saja mengantarkan pesanan katering ke Shubra. Akhir-akhir ini, Shubra menduduki voting tertinggi di antara kota-kota lainnya yang sering memesan katering pada Syauqi. Lisannya tak henti mengucap syukur, hari ini ada sekitar 80 kotak pesanan katering yang semuanya dia antarkan ke Shubra. Sebenarnya bisa saja pesanan itu diantarkan menggunakan jasa ekspedisi, tetapi dia sengaja ingin mengantarnya sendiri sekaligus menemui beberapa Mahasiswa Indonesia yang merupakan kawannya di Shubra.
Biasanya, usai mengantar pesanan, Syauqi akan mampir sebentar ke dekat sungai nil untuk sekedar mengisi waktunya sembari mengetik naskah skripsi. Sungai nil memang salah satu tempat favorit yang biasa dia kunjungi. Menurutnya, melihat aliran sungai nil menjadikan hatinya terasa teduh, apalagi ditambah mendengar lantunan ayat-ayat kauni. Panasnya matahari Kairo pun seolah kalah dengan teduhnya aliran sungai nil.
Syauqi membawa dirinya untuk duduk di dekat rerumputan. Dia mulai mengeluarkan laptop dari ranselnya lalu mengaktifkannya. Belum sempat Syauqi membuka file skripsinya, terdengar suara seseorang yang memanggil namanya dengan lengkap.
"Syauqi Taiq!"
Dengan penuh tanda tanya, Syauqi mengalihkan pandangannya dari laptop ke beberapa arah, hingga pada satu titik dia menemukan seseorang yang memanggilnya tadi tengah berjalan ke arahnya.
"Ustadz Lukman." Syauqi membawa dirinya untuk menghampiri pria yang dia sebut Ustadz Lukman tadi dan kemudian menyalaminya.
"Ma syaa Allah. Saya nggak nyangka bisa bertemu kamu di sini. Awalnya saya ragu, ketika didekati ternyata benar, Syauqi Taiq!" Ustadz Lukman berbicara dengan begitu antusias.
Syauqi tersenyum dan mengajak Ustadz Lukman untuk duduk di tempat yang sejak tadi dia tempati. "Saya juga nggak nyangka bisa bertemu Ustadz di sini."
"Makin ganteng saja kamu, Qi," puji Ustadz Lukman.
"Ustadz Lukman dari dulu sampai sekarang paling bisa memuji santrinya. Kalau santrinya saja ganteng, apalagi gurunya ya, Ustadz?" Syauqi membalas pujian Ustadz Lukman dengan pujian yang mampu mencairkan suasana di antara keduanya. Ustadz Lukman tampak mesem-mesem.
"Saya kira Ustadz sudah lupa dengan saya," ujar Syauqi.
"Mana mungkin saya lupa pada santri berprestasi seperti kamu. Apalagi setiap kali jam pelajaran saya, kamu yang terlihat paling antusias."
Syauqi nampak tersipu.
"Oh iya, kamu sudah lama di Mesir?"
"Lumayan, Ustadz. Sudah hampir lima tahun."
"Wah. Kenapa dari awal tidak kabari saya kalau kamu sedang di Mesir? Kalau saya tahu pasti sudah saya ajak ke rumah."
"Saya kira Ustadz sudah kembali ke Indonesia sejak lulus dari Al-Azhar, ternyata Ustadz masih di sini."
Ustadz Lukman adalah guru Syauqi ketika dirinya menempuh pendidikan menengah pertamanya di pesantren. Namun, ketika Syauqi naik ke kelas delapan, Ustadz Lukman mengundurkan diri karena harus melanjutkan S3-nya di Mesir. Salah satu faktor yang membuat Syauqi bisa berada di Mesir adalah Ustadz Lukman. Dari sosoknya, Syauqi banyak mengambil ibroh, termasuk sikap pantang menyerah dalam ikhtiar lalu berserah diri kepada Sang Pencipta yang selalu diajarkan oleh gurunya itu.
Ustadz Lukman pernah berkali-kali mengikuti seleksi beasiswa di Universitas Al-Azhar untuk jenjang doktor, dan berkali-kali pula dia gagal. Namun, kegagalannya tak pernah dia sesali, justru hal itu yang menjadi pemicu untuk mencoba lagi dan lagi. Setiap kali Ustadz Lukman mengisi jam pelajaran di kelasnya dulu, tak jarang pula Ustadz Lukman berbagi kisah hidupnya yang banyak bisa dipetik.
"Setelah lulus, saya memang pulang ke Indonesia untuk menjemput anak dan istri saya dan menetap selama beberapa tahun ke depan di sini."
"Kalau boleh tahu, Ustadz tinggal di mana?"
"Alexandria," jawabnya. "Saya ke sini sebenarnya hanya iseng saja. Tadi habis dari rumah teman saya di Nasr City."
Syauqi mengangguk-angguk. "Cukup jauh juga, ya. Dari Alexandria ke Nasr City, lalu ke mari."
"Ya, begitu lah. Tapi kalau sudah biasa, perjalanan jauh pun tidak terlalu terasa," ungkap Ustadz Lukman.
Ustadz Lukman menatap Syauqi sejenak lalu mengalihkan pandangannya dengan lepas ke aliran air sungai nil. "Apa kesibukanmu saat ini, Qi?"
"Masih proses merampungkan skripsi saya, Ustadz. Rencananya pekan depan saya akan coba mengajukannya. Mohon doa dari antum, semoga saya lulus."
"Amin. Doa saya tidak akan pernah putus."
"Syukran, Ustadz." Syauqi mengembangkan senyumnya.
Ustadz Lukman mengangguk. "Kesibukan lainnya selain berkutat dengan skripsimu itu, apa ada?"
Syauqi menutup laptopnya, dia mengurungkan niatnya untuk mengetik. "Selain itu, saya juga mencoba bisnis kecil-kecilan. Membuat makanan katering jika ada pesanan, dan membuka jasa penerjemah bahasa Arab. Awalnya saya pesimis memulai bisnis ini, tapi saya ingat dengan kisah yang Ustadz sampaikan sepuluh tahun yang lalu tentang sahabat Ustadz yang juga jihad di Negeri Kinanah ini."
Ustadz Lukman tampak bahagia mendengar penuturan muridnya ini. Bagaimana pun hubungan antara murid dan guru tidak akan pernah putus meskipun sang murid sudah lulus ataupun sang guru sudah tidak lagi mengajar. Tidak ada yang namanya mantan murid ataupun mantan guru dalam kosakata kamus kehidupan.
"Sudah sangat mapan ternyata. Justru saat ini sepertinya sayalah yang cocok menjadi muridnya."
"Aduh. Tidak, Ustadz. Sampai kapanpun tetap sama, antum adalah guru saya dan saya adalah murid antum," ujar Syauqi.
Tak jauh dari sana, tampak beberapa gadis berpakaian syar'i melintas di tempat itu. Sepertinya mereka adalah mahasiswi asal Indonesia campur Malaysia yang sedang berkunjung ke tempat itu.
"Kapan rencana menikah, Qi?"
Mendengar pertanyaan sensitif dari Ustadz Lukman sontak Syauqi tersedak lalu menyeringai. "Belum kepikiran ke sana, Ustadz. Studi pun belum selesai. Lagipula siapa yang mau sama mahasiswa awet dan penjual makanan katering seperti saya?"
"Lha, penjual makanan katering bukan pekerjaan yang hina. Skripsimu juga sudah hampir selesai. Kalau dari segi kesiapan, saya yakin kamu sudah siap. Jadi, tunggu apa lagi?"
Syauqi mendadak mesem-mesem. "Yang jadi masalahnya, calonnya belum ada, Ustadz."
Ustadz Lukman menunjuk ke arah mahasiswi-mahasiswi berwajah Asia tadi. "Kamu tinggal pilih salah satu di antara mereka."
"Ustadz Lukman bisa saja candaannya."
"Lha, saya nggak bercanda, Qi. Tinggal pilih saja, cari tahu tentangnya lalu datangi walinya."
Syauqi membuah nafas pelan. "Apa Ustadz punya pandangan tentang perempuan yang cocok untuk saya?"
Ustadz Lukman nampak berpikir sejenak. "Mau tidak saya ceritakan tentang seorang gadis yang shalihah? Sepertinya sosok itu sangat masuk dalam kriteria kamu."
Syauqi mengira Ustadz Lukman sedang bercanda menanyakan perihal pernikahan kepadanya, nyatanya gurunya itu bertanya dengan serius.
"Bagaimana ceritanya, Ustadz?"
"Jadi begini, Nak. Sembilan tahun lalu, ketika saya mendapat kabar bahwa saya diterima di Universitas Al-Azhar untuk melanjutkan S3, saya sempat sowan ke rumah Kyai Dzulfikar, beliau adalah kakak kelas saya sekaligus pimpinan pondok pesantren Daarul Qani'in, di Jawa Tengah. Dulu, ayahandanya adalah pimpinan di sana, tetapi setelah beliau wafat digantikan oleh Kyai Dzulfikar ini." "Jadi, cerita intinya bagaimana, Ustadz?" "Sabar. Belum sampai ke intinya." "Langsung ke intinya saja, Ustadz," gurau Syauqi. "Lha, kamu ini. Kalau kamu baca novel langsung ke intinya tanpa tahu awalnya, pastinya kurang seru dan kurang menantang. Sama juga seperti yang akan saya ceritakan ini. Sabar sedikit saja," ujar Ustadz Lukman. Dia tahu bahwa muridnya ini sedang bergurau dengannya. Syauqi terkekeh pelan lalu mengangguk. "Baiklah, Ustadz. Silakan dilanjutkan." Ustadz Lukman menggelengkan
Bandara terasa begitu panas di siang hari itu. Sinar matahari seakan menembus pori-pori kulit. Ditambah pula dengan hiruk pikuk pengunjung yang tak hentinya keluar masuk memenuhi setiap penjuru Bandara. Zea baru saja sampai di tanah air. Untungnya dia memakai kacamata hitam sehingga mampu sedikit melindungi matanya dari terik matahari di siang itu. Dia mulai mengedarkan pandangan ke setiap penjuru, kepalanya seolah memutar seratus delapan puluh derajat dari kanan ke kiri. Tampaknya dia sedang mencari seseorang. Kedua bola matanya terus bergerak. Hingga pada satu titik, pandangannya terhenti dan kedua sudut bibirnya mulai terangkat.Seraya menggiring koper hitam yang dia pegang dengan tangan kirinya, Zea melemparkan senyum ke arah wanita yang memakai abaya berwarna hitam dan kerudung berwarna coklat susu. Wanita itu tengah berdiri menyambutnya dengan semburat senyum di wajahnya."Ummi," lirih Zea seraya mencium punggung ta
Sekitar satu jam yang lalu Zea sudah membersihkan diri dan membereskan beberapa barang bawaannya. Zea sengaja membeli beberapa souvenir untuk dibagikan pada beberapa santriwati yang sudah lulus pendidikan formal dan sedang mengabdi di Pesantren Daarul Qani'in. Dia sudah menyimpannya di atas meja rias, niatnya akan dia berikan esok hari, karena hari ini cukup membuatnya merasa begitu lelah. "Rasanya sangat lelah, tapi mataku tidak bersahabat untuk kuajak terlelap. Jenuh sekali." Gadis itu turun dari ranjangnya dan hendak pergi ke luar kamar. Tok! Tok! Tok! Baru saja Zea hendak memegang gagang pintu, terdengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. Terdengar suara pintu yang dibuka. Matanya hampir saja menganak sungai, namun segera dia seka dengan ujung gamisnya. Zea memeluk seseorang yang kini berdiri di hadapannya. Pelukan yang meny
Gadis itu menatap layar ponselnya yang mulai redup. Dia masih termenung mengingat apa yang disampaikan Sarah—sang ibu yang dia panggil Umma—beberapa menit yang lalu melalui telpon. Seharusnya dia sudah bersiap pergi ke rumah pamannya sekitar satu jam yang lalu, tepatnya selepas waktu Zuhur. Namun, karena adanya panggilan dari sang Umma, membuat gadis 22 tahun itu harus menunda rencananya untuk beberapa saat."Maaf, Umma. Untuk saat ini, aku belum bisa memberikan jawaban," lirih gadis berkerudung hitam panjang itu dengan suara yang nyaris tak terdengar oleh siapa pun.Seketika dia mengalihkan pandangannya dari ponselnya. Dilihatnya seorang gadis berkerudung biru yang merupakan kawan satu flatnya tengah sibuk membuat adonan kue untuk dihidangkan bersama di malam nanti. Zea tinggal di kawasan El-Gamaleya. Kawasan ini sengaja menjadi pilihannya, karena menurutnya sangat strategis dan dekat dengan kampus Al-Azhar. Berbeda dengan Nasr City, di sana merupakan sala
Angin sahara kembali membelai wajahnya. Dia mulai menjejaki langkah demi langkah jalanan Kairo yang berdebu. Jilatan panas sinar matahari seakan membakar kulit wajahnya yang tidak ikut terbalut kain kerudung hitam panjangnya. Seandainya tidak memakai kacamata hitam, sinarnya yang menyilaukan pasti sudah terasa perih di mata. Jarak dari flatnya di El-Gamaleya menuju rumah Paman Omar di Nasr City bisa dibilang cukup menguras waktu. Meskipun masih berada di sekitar Kairo, namun untuk bisa sampai ke sana butuh beberapa jam di perjalanan, belum lagi harus melewati gang-gang sempit yang memang harus dijejaki dengan berjalan kaki. Jika bukan karena amanah dari sang Paman untuk datang ke rumahnya hari ini, mungkin dia akan lebih memilih menikmati sentuhan pendingin ruangan dan membuat adonan kue bersama Noura di rumah. "Zea ... Zea ...." Langkah kakinya terhenti. Telinganya menangkap ada suara yang memanggil-manggil dari arah belakang. Dia memicingkan matanya dan men
"Assalamu'alaik, ya 'Ammah Raeena. (Bibi Raeena)." "Hey. 'Alaikissalaam warahmatullah." "Izzayyak, ya 'Ammah? (Apa kabarmu, Bibi?)" "Kuways, alhamdulillah. (Baik, alhamdulillah)." Wanita berparas putih dengan bola mata cokelat itu mengembangkan senyumnya, dia tetap terlihat muda walau usianya tak lagi muda. Terlebih dari itu, dia memiliki kemampuan berbahasa Arab fusha maupun 'amiyah yang sangat fasih. Maklum, meskipun berdarah Jerman, dia adalah jebolan Universitas Al-Azhar, selain itu juga dia sudah lama menetap di Mesir bersama sang suami. Paman Omar dan Bibi Raeena hanya tinggal berdua sejak 11 tahun yang lalu. Di usia 15 tahun, putranya memilih untuk menetap di Jerman bersama sang kakek dan mengenyam pendidikan di sana. Mungkin satu tahun sekali putranya akan berkunjung ke Mesir untuk menjumpai Paman Omar dan Bibi Raeena.
Zea sampai di flat sekitar jam tujuh lewat seperempat. Hari yang melelahkan. Sangat penat. Cuaca siang tadi sungguh membuat wajah terbakar. Untungnya murid Paman Omar yang datang untuk talaqqi tidak terlalu banyak siang tadi. Hanya ada sekitar empat orang yang hadir, sehingga dirinya bisa meminta waktu Paman Omar untuk berkonsultasi setelah memandu talaqqi. Sampai di depan flat, dia melepas sepatu dan kaos kaki, kemudian kembali mengayunkan langkah menuju kamar. Dalam flatnya, terdapat dua kamar, mereka bertiga memilih untuk tidur dalam satu kamar dan menggunakan kamar yang satunya untuk kegiatan seperti murajaah, shalat, belajar, dan lainnya. Tenaganya nyaris habis. Dia langsung melepas kacamata hitam, kerudung, serta menaruh tasnya di atas meja. Usai mandi dan menunaikan shalat 'Isya, gadis itu merebahkan tubuhnya di kasur. Dinyalakannya kipas angin yang belum dibersihkan beberapa hari terakhir ini sebelum merebahkan tubuhnya, nampak de
Pukul dua dini hari, Paman Omar tengah terjaga dari tidurnya. Dia hanya tidur kurang lebih tiga jam. Baginya, terlelap tiga jam itu sudah cukup untuk meremajakan seluruh saraf tubuhnya. Di tengah heningnya malam, dia masih seti melantunkanayat-ayat kaunidengan bacaan yang fasih. Di sampingnya, tampak sang istri yang sedang terlelap usai menghidupkan malamnya. Di tengah syahdunya lantunan tilawah Al-Qur'an yang keluar dari lisannya, terdengar seseorang mengetuk pintu rumahnya. Saat itu juga dia menyelesaikan tilawahnya dan beranjak dari duduknya. Diambilnya jubah putih kesayangannya dan langsung dia kenakan seraya berjalan menuju pintu depan. Dari jendela, dia melihat seorang pria dengan koper kecil yang dibawanya dan tengah berdiri menungguempu-nya membuka pintu. Ceklek!Pintu rumah terbuka. Dia menatapi sosok pria yang kini berdiri di hadapannya. Pria yang tak asing dalam pandangannya. Seorang pria kecil yang k
Sekitar satu jam yang lalu Zea sudah membersihkan diri dan membereskan beberapa barang bawaannya. Zea sengaja membeli beberapa souvenir untuk dibagikan pada beberapa santriwati yang sudah lulus pendidikan formal dan sedang mengabdi di Pesantren Daarul Qani'in. Dia sudah menyimpannya di atas meja rias, niatnya akan dia berikan esok hari, karena hari ini cukup membuatnya merasa begitu lelah. "Rasanya sangat lelah, tapi mataku tidak bersahabat untuk kuajak terlelap. Jenuh sekali." Gadis itu turun dari ranjangnya dan hendak pergi ke luar kamar. Tok! Tok! Tok! Baru saja Zea hendak memegang gagang pintu, terdengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. Terdengar suara pintu yang dibuka. Matanya hampir saja menganak sungai, namun segera dia seka dengan ujung gamisnya. Zea memeluk seseorang yang kini berdiri di hadapannya. Pelukan yang meny
Bandara terasa begitu panas di siang hari itu. Sinar matahari seakan menembus pori-pori kulit. Ditambah pula dengan hiruk pikuk pengunjung yang tak hentinya keluar masuk memenuhi setiap penjuru Bandara. Zea baru saja sampai di tanah air. Untungnya dia memakai kacamata hitam sehingga mampu sedikit melindungi matanya dari terik matahari di siang itu. Dia mulai mengedarkan pandangan ke setiap penjuru, kepalanya seolah memutar seratus delapan puluh derajat dari kanan ke kiri. Tampaknya dia sedang mencari seseorang. Kedua bola matanya terus bergerak. Hingga pada satu titik, pandangannya terhenti dan kedua sudut bibirnya mulai terangkat.Seraya menggiring koper hitam yang dia pegang dengan tangan kirinya, Zea melemparkan senyum ke arah wanita yang memakai abaya berwarna hitam dan kerudung berwarna coklat susu. Wanita itu tengah berdiri menyambutnya dengan semburat senyum di wajahnya."Ummi," lirih Zea seraya mencium punggung ta
"Jadi begini, Nak. Sembilan tahun lalu, ketika saya mendapat kabar bahwa saya diterima di Universitas Al-Azhar untuk melanjutkan S3, saya sempat sowan ke rumah Kyai Dzulfikar, beliau adalah kakak kelas saya sekaligus pimpinan pondok pesantren Daarul Qani'in, di Jawa Tengah. Dulu, ayahandanya adalah pimpinan di sana, tetapi setelah beliau wafat digantikan oleh Kyai Dzulfikar ini." "Jadi, cerita intinya bagaimana, Ustadz?" "Sabar. Belum sampai ke intinya." "Langsung ke intinya saja, Ustadz," gurau Syauqi. "Lha, kamu ini. Kalau kamu baca novel langsung ke intinya tanpa tahu awalnya, pastinya kurang seru dan kurang menantang. Sama juga seperti yang akan saya ceritakan ini. Sabar sedikit saja," ujar Ustadz Lukman. Dia tahu bahwa muridnya ini sedang bergurau dengannya. Syauqi terkekeh pelan lalu mengangguk. "Baiklah, Ustadz. Silakan dilanjutkan." Ustadz Lukman menggelengkan
Syauqi baru saja mengantarkan pesanan katering ke Shubra. Akhir-akhir ini, Shubra menduduki voting tertinggi di antara kota-kota lainnya yang sering memesan katering pada Syauqi. Lisannya tak henti mengucap syukur, hari ini ada sekitar 80 kotak pesanan katering yang semuanya dia antarkan ke Shubra. Sebenarnya bisa saja pesanan itu diantarkan menggunakan jasa ekspedisi, tetapi dia sengaja ingin mengantarnya sendiri sekaligus menemui beberapa Mahasiswa Indonesia yang merupakan kawannya di Shubra. Biasanya, usai mengantar pesanan, Syauqi akan mampir sebentar ke dekat sungai nil untuk sekedar mengisi waktunya sembari mengetik naskah skripsi. Sungai nil memang salah satu tempat favorit yang biasa dia kunjungi. Menurutnya, melihat aliran sungai nil menjadikan hatinya terasa teduh, apalagi ditambah mendengar lantunan ayat-ayat kauni. Panasnya matahari Kairo pun seolah kalah dengan teduhnya aliran sungai nil. Syauqi membawa dirinya untuk duduk di
Enam minggu lalu Zea mendapatkan kabar bahwa dirinya diterima untuk melanjutkan S2-nya di Universitas Al-Azhar. Kini dia telah memulai studi pascasarjananya itu di tahun pertama. Allah telah menjawab doanya. Ya, ini adalah salah satu alasan terkuatnya mengapa dia menunda S2-nya dan belum membuka hati untuk universitas-universitas lain yang ada di Kairo, karena memang dia ingin melanjutkan studinya secara linear di Universitas Al-Azhar. Tepat di bulan Agustus lalu, Zea sempat mengikuti ujian masuk program S2 yang diadakan setiap tahunnya di Universitas Al-Azhar. Segala berkas dan persyaratan sudah disiapkan olehnya sejak jauh-jauh hari sebelum mendaftar, termasuk doa dan restu dari orang tuanya. Kalau ini, memang berkas persyaratan utama yang paling sakral. Bibit yang dia tanam dan dia rawat ternyata kini sudah tumbuh menjadi bunga yang indah. Ketika itu, matanya memerah, ujung bibirnya terangkat, serta lisannya tiada henti bersyukur ketika melihat
Seperti hari-hari sebelumnya. Menjelang siang hari, terik matahari mulai menyebar di segenap bumi Mesir, khususnya Kairo. Dengan langkah gontai, Zea berjalan keluar dariMaktabahAl-Azharmenuju taman Al-Azhar. Ada seseorang yang harus dia temui di sana. Tangan kanan gadis itu mengapit beberapa buah buku yang baru saja dia pinjam di perpustakaan. Dia mengeluarkan ponselnya ketika sampai di area taman Al-Azhar. Taman Al-Azhar ini lokasinya di sebelah selatan Universitas Al-Azhar. Pada tahun 2005, taman ini mulai dibuka untuk umum. Lokasinya yang sejuk serta bentuk arsitekturnya mirip dengan taman-taman Islam yang ada di abad pertengahan, menjadi daya tarik tersendiri dari taman ini. Di sisi utara taman ada museum yang telah merekam evolusi Kairo; sejarahnya, arsitekturnya, dan sisi-sisi budaya yang lainnya. Dari area museum, setiap yang berkunjung dapat melihat sisa-sisa kejayaan Mesir melalui panorama benteng Salahuddin Al-Ayyubi serta Masjid Muhammad
"Ahlashobah.Lawsamahti,yaAnesah(Selamat pagi. Permisi, Nona). Senang bertemu denganmu lagi." Zea mengalihkan pandangan dari buku yang sedang dibacanya. Gadis itu mengernyit, mengenali pria yang sedang berdiri di hadapannya. Dia adalah pria berparas Jerman yang Zea temui dimetrolima hari lalu. Pria berparas Jerman itu menggunakan bahasaArab'amiyahyang fasih. "Ahlashobah,ayyakhidmah?(Selamat pagi juga, ada yang bisa kubantu?)" sahut Zea. Kini Zea berada diMaktabahAl-AzharatauThe Library of Al-Azharyang letaknya di Salah SalemStreet. Jaraknya kurang lebih 3,6 kilometer dari flatnya di El-Gamaleya. Zea memang sering menghabiskan waktu untuk menulis hasil risetnya di sana. Bahkan sejak masih berstatus sebagai mahasiswi pun tak jarang dia mengunjungiMaktabah&nb
Pukul dua dini hari, Paman Omar tengah terjaga dari tidurnya. Dia hanya tidur kurang lebih tiga jam. Baginya, terlelap tiga jam itu sudah cukup untuk meremajakan seluruh saraf tubuhnya. Di tengah heningnya malam, dia masih seti melantunkanayat-ayat kaunidengan bacaan yang fasih. Di sampingnya, tampak sang istri yang sedang terlelap usai menghidupkan malamnya. Di tengah syahdunya lantunan tilawah Al-Qur'an yang keluar dari lisannya, terdengar seseorang mengetuk pintu rumahnya. Saat itu juga dia menyelesaikan tilawahnya dan beranjak dari duduknya. Diambilnya jubah putih kesayangannya dan langsung dia kenakan seraya berjalan menuju pintu depan. Dari jendela, dia melihat seorang pria dengan koper kecil yang dibawanya dan tengah berdiri menungguempu-nya membuka pintu. Ceklek!Pintu rumah terbuka. Dia menatapi sosok pria yang kini berdiri di hadapannya. Pria yang tak asing dalam pandangannya. Seorang pria kecil yang k
Zea sampai di flat sekitar jam tujuh lewat seperempat. Hari yang melelahkan. Sangat penat. Cuaca siang tadi sungguh membuat wajah terbakar. Untungnya murid Paman Omar yang datang untuk talaqqi tidak terlalu banyak siang tadi. Hanya ada sekitar empat orang yang hadir, sehingga dirinya bisa meminta waktu Paman Omar untuk berkonsultasi setelah memandu talaqqi. Sampai di depan flat, dia melepas sepatu dan kaos kaki, kemudian kembali mengayunkan langkah menuju kamar. Dalam flatnya, terdapat dua kamar, mereka bertiga memilih untuk tidur dalam satu kamar dan menggunakan kamar yang satunya untuk kegiatan seperti murajaah, shalat, belajar, dan lainnya. Tenaganya nyaris habis. Dia langsung melepas kacamata hitam, kerudung, serta menaruh tasnya di atas meja. Usai mandi dan menunaikan shalat 'Isya, gadis itu merebahkan tubuhnya di kasur. Dinyalakannya kipas angin yang belum dibersihkan beberapa hari terakhir ini sebelum merebahkan tubuhnya, nampak de