"Ahla shobah. Law samahti, ya Anesah (Selamat pagi. Permisi, Nona). Senang bertemu denganmu lagi."
Zea mengalihkan pandangan dari buku yang sedang dibacanya. Gadis itu mengernyit, mengenali pria yang sedang berdiri di hadapannya. Dia adalah pria berparas Jerman yang Zea temui di metro lima hari lalu. Pria berparas Jerman itu menggunakan bahasa Arab 'amiyah yang fasih.
"Ahla shobah, ayya khidmah? (Selamat pagi juga, ada yang bisa kubantu?)" sahut Zea.
Kini Zea berada di Maktabah Al-Azhar atau The Library of Al-Azhar yang letaknya di Salah Salem Street. Jaraknya kurang lebih 3,6 kilometer dari flatnya di El-Gamaleya. Zea memang sering menghabiskan waktu untuk menulis hasil risetnya di sana. Bahkan sejak masih berstatus sebagai mahasiswi pun tak jarang dia mengunjungi Maktabah Al-Azhar untuk mencari beberapa referensi skripsinya.
"Aku hanya ingin memberikan ini. Bita'ek. (Milikmu)."
Pria itu memberikan buku berwarna hijau toska dengan motif bunga mawar pada Zea. Sepertinya itu adalah buku diary. Gadis itu mengangkat alis, pandangannya berpindah dari wajah pria itu ke buku yang disodorkan ke arahnya, lalu kembali ke wajah pria itu.
"Aku menemukannya tergeletak di lantai metro ketika kamu sudah turun lebih dulu," ujar pria itu seolah mengerti apa yang ada di benak Zea.
"Mustasyakkir, ya Fendim. (Terima kasih, Tuan)." Zea menerima buku yang disodorkan pria itu. "Syukurlah. Aku sudah mencarinya di tas-ku bahkan di setiap sudut rumahku, ternyata terjatuh di dalam metro."
Pria itu mengangguk dan tersenyum, lalu dengan santai dia duduk di hadapan Zea.
"Kamu sering ke sini?"
"Sesekali waktu," jawab Zea singkat.
Pria itu memang sengaja berkunjung ke Maktabah Al-Azhar untuk melakukan penelitian. Sebelumnya, dia sudah meminta izin kepada petugas perpustakaan di sana. Pada pagi hari menjelang siang ini, banyak mahasiswa Al-Azhar yang berkunjung ke Maktabah Al-Azhar, mereka tengah fokus membaca buku. Pemandangan rak buku dengan puluhan hingga ratusan buku yang tersusun rapi menambah kesan indah tersendiri dari Maktabah Al-Azhar ini.
Pria itu adalah seorang penulis. Menjadi penulis lepas hingga penulis profesional merupakan hobinya sejak dia duduk di bangku sekolah menengah atas. Berawal dari hobi yang dia tekuni selama bertahan-tahun ini, akhirnya ada beberapa penerbit di Jerman yang melirik hasil karya tulisnya dan menawarkannya untuk menjadi penulis tetap.
Pria itu selalu membawa laptop dan DSLR ke manapun dia pergi. Katanya, selain dengan tulisan dia pun ingin mengabadikan moment perjalanannya dalam sebuah jepretan gambar. Tempat bersejarah yang tak pernah absen dia kunjungi selama berada di Mesir adalah The House of Knowledge yang dikenal dengan nama Dar Al-Ilm, Al-Azhar Mosque, Al-Azhar Park, Muiz Street, Sungai Nil, Piramida Agung Giza, dan Bibliotheca Alexandria Egypt di Alexandria. Tak terkecuali Maktabah Al-Azhar, tempat ini pun merupakan salah satu tempat yang selalu menjadi objek penelitiannya setiap kali mengunjungi Mesir.
"Menurutku kamu tidak salah pilih. Ini memang tempat yang nyaman untuk membaca buku," ujar pria itu seraya membetulkan posisi kopiah hitamnya.
Zea mengalihkan pandangannya ke buku yang sedang dipegangnya. "Tuan benar sekali."
"Oh ya, jangan panggil aku 'tuan', panggil namaku saja."
"Aku tidak tahu siapa namamu."
Pria itu bergeming sesaat lalu berkata, "Ammar. Panggil saja Ammar."
Zea mengangguk-angguk. "Nama yang bagus."
"Mustasyakkir." Pria yang memiliki nama Ammar itu menaruh ranselnya di samping kaki kirinya. "Kalau boleh tahu, siapa namamu?"
"Zea ...," sahut gadis itu.
"Nama yang indah. Bukankah Zea berasal dari bahasa Arab yaitu dhiya yang maknanya adalah cahaya atau sumber cahaya?"
Zea mengangguk. "Kamu benar."
"Jika dijabarkan lebih dalam lagi maknanya adalah sesuatu yang bersinar cemerlang dan menerangi area di sekitarnya. Itu sangat indah."
Zea tersenyum sesaat lalu kembali membaca buku yang dipegangnya.
"Oh ya, kurasa buku diary milikmu itu sangat berharga untukmu," ujarnya setelah satu menit tercipta jeda saling diam di antara keduanya.
"Sangat."
"Beberapa hari ini aku memang sedang mencarimu. Kebetulan sekali aku bertemu denganmu di sini."
"Untuk apa?"
"Menanyakan lebih lanjut mengenai buku diary-mu itu."
Zea memicingkan matanya. "Kamu tidak membaca isi bukuku, kan?"
Buku berwarna hijau toska itu sering dibawa ke manapun Zea pergi. Noura dan Wafa pun segan untuk membuka buku itu. Ketika hatinya merasa harus menuliskan sesuatu dari apa yang dilihat atau dirasakannya, maka dia akan menuliskannya di setiap lembar buku itu. Sudah hampir tiga tahun buku itu membersamainya. Isinya memang tebal, sehingga masih banyak lembar-lembar kosong yang belum tercoret tinta emasnya.
"Tidak. Ta—"
Gadis itu memotong ucapan Ammar dan menghela nafas pelan. "Syukurlah."
"Aku belum selesai. Aku tidak membaca bukumu, aku hanya membukanya dan melihat beberapa lembar awal."
Zea terbelalak. "Ha? Mengapa lancang sekali! Apa saja yang sudah kamu baca?"
"Hei, sudah kubilang, aku tidak membaca buku kesayanganmu itu. Aku hanya membuka dan melihatnya." Sepertinya Ammar sedang membercandainya.
"Melihat itu tandanya secara tidak langsung kamu membacanya. Harusnya jangan kamu buka. Kamu tidak lihat tulisan di bagian cover buku ini?" Zea berbicara dengan nada yang begitu cepat seraya mengangkat buku berwarna hijau toska miliknya.
"Mana mungkin aku tahu kalau tulisan itu mengandung arti yang serius."
Zea menghela nafas.
"Aku terkesan ketika melihat tulisan di lembar awal pada buku diary-mu itu. Jika kulihat kelanjutannya, bisa kuanalisis untuk dijadikan sebuah novel," ujar pria itu dengan menekan nada bicaranya pada kata 'melihat'.
"Aku membawa beberapa kisah yang kamu tuangkan pada lembar-lembar awal bukumu itu di beberapa alur naskah novelku," lanjutnya.
Zea memutar bola matanya ke arah kiri, dia tampak berpikir. Tak lama kemudian matanya membulat.
"Tidak! Di lembar-lembar awal bukuku itu ada ...,"ucapnya terjeda. "Kamu lancang sekali!"
"Tapi—"
"Dari sampulnya saja sudah ada kalimat larangan, kan? Seharusnya kamu tidak membukanya, melihatnya, membacanya atau apa pun itu."
Ammar mengangguk-angguk.
"Tamam, ana muta-assif (Baiklah, aku minta maaf). Bagaimana jika aku mentraktirmu makan siang di restoran Khan El Khalili untuk menebus kelancanganku?"
Zea mengangkat alis, lalu menggeleng kuat. "Tidak. Aku tidak mau."
Ammar menyipitkan mata, memandangi Zea yang mendadak membuang muka ke arah lain, lalu tertawa geli.
"Kenapa kamu tertawa? Apa ada yang lucu?" tegur Zea. Pandangannya kini beralih pada pria itu seraya mengernyit gusar.
"Benar, kamu sangat lucu. Aku hanya ingin mentraktirmu makan siang, bukan yang lainnya," sahut Ammar yang masih menyisakan senyum geli.
"Kamu pasti sudah tahu. Dalam agama kita, seorang wanita diharuskan menjaga jarak dengan pria yang bukan mahram-nya."
Ammar masih memandangi Zea. "Kamu benar. Tetapi jika ada saudara laki-laki yang menemani atau teman perempuan yang ikut, bukankah itu sah-sah saja?"
Zea menghela nafas lalu mengangguk.
"Kalau begitu, aku tidak akan mengajakmu makan berdua. Kamu boleh mengajak seorang teman perempuanmu." Rupanya Ammar belum menyerah.
"Tetap tidak mau. Aku sangat sibuk."
Ammar mengelus dagunya yang tidak gatal. "Baiklah, kalau begitu kamu mau apa?"
"Tidak mau apa-apa. Aku sudah memaafkanmu."
Ammar memicingkan mata. "Kurasa kamu masih kesal terhadapku."
"Kamu tidak percaya?"
"Belum percaya, aku perlu bukti. Seperti masih ada yang mengganjal di hatiku jika seseorang masih merasa kesal padaku."
Zea bergeming.
"Atau kamu mau aku membayar apa yang kulihat dari tulisanmu?" tanya Ammar.
"Tidak usah. Tulisanmu itu belum menghasilkan apa pun."
Ammar tersenyum miris.
"Hapus saja penggalan alur yang kamu petik dari kisahku di buku ini." Zea kembali mengangkat buku diary miliknya.
"Mengapa begitu? Aku yakin kisahmu itu pasti membawa manfaat untuk setiap yang membacanya. Selama itu membawa manfaat, kenapa tidak?"
"Tapi aku belum berkenan."
"Baiklah kalau kamu bersikeras. Boleh aku minta nomor handphone-mu?"
"Untuk apa?"
"Untuk menghubungimu jika kamu berubah pikiran."
Zea menoleh cepat, matanya menyipit memandang Ammar. "Aku tidak akan berubah pikiran. Ini sudah bulat."
"Seperti bumi?"
"Jangan alihkan topik."
"Topik itu nama temanku di sini."
"Hei, aku tidak mau bercanda."
"Hei, anak muda! Tolong jaga kekondusifan di sini." Tiba-tiba saja seorang pria berjanggut yang usianya kisaran 40 tahun menegur Zea dan Ammar, sepertinya dia adalah penjaga Maktabah Al-Azhar.
Zea dan Ammar mengangguk dan meminta maaf, lalu pria itu pergi.
"Baiklah. Bagaimana maumu saja. Aku akan menghapusnya dalam naskahku," pasrah Ammar kemudian.
Zea menghela nafas dalam-dalam dan memasukkan buku kecil berwarna hijau toska itu ke dalam ranselnya.
"Tapi kalau kamu berubah—"
"Tidak akan," sahut Zea memotong ucapan Ammar.
"Baiklah."
Kini gadis itu kembali memegang buku yang tadi sedang dibacanya.
"Eih dah? (Apa itu?)" tanya Ammar seraya matanya melirik buku bacaan yang sedang dipegang Zea.
"Tanpa kujawab, pasti kamu sudah tahu."
"Maksudku, buku itu tentang apa?"
"Perlukah aku memberitahu secara detail?"
Pria itu menyeringai samar dan menaruh tangan kanannya di atas meja. "Tidak perlu. Aku cuma penasaran judulnya saja. Karena tulisannya terhalang jari tanganmu."
"Buku ini tentang filsafat Islam."
Ammar mengangguk-angguk.
Zea meraih ponselnya yang berdering. Ada pesan masuk dari seseorang. Usai membaca pesan itu, dia menaruh ponselnya ke dalam ransel cokelatnya. "Sepertinya aku pamit dulu."
Pria itu menatap buku bacaan yang dipegang Zea, lalu mengernyitkan dahi. "Ra-yeh fein? (Mau ke mana?) Bukannya tadi kamu lagi baca buku?"
"Aywah. Bass 'andi syughl, lazim akhlash-hum.(Iya. Tapi ada yang harus aku kerjakan lagi)."
Pria itu mengalungkan tali DLSR-nya ke leher, dan mengangguk usai mendengar ucapan Zea.
Zea berdiri. "Oh ya, terima kasih karena sudah mengembalikan buku diary-ku."
Ammar menempelkan jari telunjuk dan jari tengah sebelah kanannya di dahi bagian kanan. "Sama-sama."
"Assalamu'alaikum."
"W*'alaikumussalaam warahmatullah wabarakatuh," jawabnya.
Ammar tak bergerak dari tempatnya. Dia hanya memandangi kepergian Zea, lalu tersenyum. Dalam hatinya dia yakin sekali, esok atau lusa dia akan bertemu kembali dengan gadis itu.
Seperti hari-hari sebelumnya. Menjelang siang hari, terik matahari mulai menyebar di segenap bumi Mesir, khususnya Kairo. Dengan langkah gontai, Zea berjalan keluar dariMaktabahAl-Azharmenuju taman Al-Azhar. Ada seseorang yang harus dia temui di sana. Tangan kanan gadis itu mengapit beberapa buah buku yang baru saja dia pinjam di perpustakaan. Dia mengeluarkan ponselnya ketika sampai di area taman Al-Azhar. Taman Al-Azhar ini lokasinya di sebelah selatan Universitas Al-Azhar. Pada tahun 2005, taman ini mulai dibuka untuk umum. Lokasinya yang sejuk serta bentuk arsitekturnya mirip dengan taman-taman Islam yang ada di abad pertengahan, menjadi daya tarik tersendiri dari taman ini. Di sisi utara taman ada museum yang telah merekam evolusi Kairo; sejarahnya, arsitekturnya, dan sisi-sisi budaya yang lainnya. Dari area museum, setiap yang berkunjung dapat melihat sisa-sisa kejayaan Mesir melalui panorama benteng Salahuddin Al-Ayyubi serta Masjid Muhammad
Enam minggu lalu Zea mendapatkan kabar bahwa dirinya diterima untuk melanjutkan S2-nya di Universitas Al-Azhar. Kini dia telah memulai studi pascasarjananya itu di tahun pertama. Allah telah menjawab doanya. Ya, ini adalah salah satu alasan terkuatnya mengapa dia menunda S2-nya dan belum membuka hati untuk universitas-universitas lain yang ada di Kairo, karena memang dia ingin melanjutkan studinya secara linear di Universitas Al-Azhar. Tepat di bulan Agustus lalu, Zea sempat mengikuti ujian masuk program S2 yang diadakan setiap tahunnya di Universitas Al-Azhar. Segala berkas dan persyaratan sudah disiapkan olehnya sejak jauh-jauh hari sebelum mendaftar, termasuk doa dan restu dari orang tuanya. Kalau ini, memang berkas persyaratan utama yang paling sakral. Bibit yang dia tanam dan dia rawat ternyata kini sudah tumbuh menjadi bunga yang indah. Ketika itu, matanya memerah, ujung bibirnya terangkat, serta lisannya tiada henti bersyukur ketika melihat
Syauqi baru saja mengantarkan pesanan katering ke Shubra. Akhir-akhir ini, Shubra menduduki voting tertinggi di antara kota-kota lainnya yang sering memesan katering pada Syauqi. Lisannya tak henti mengucap syukur, hari ini ada sekitar 80 kotak pesanan katering yang semuanya dia antarkan ke Shubra. Sebenarnya bisa saja pesanan itu diantarkan menggunakan jasa ekspedisi, tetapi dia sengaja ingin mengantarnya sendiri sekaligus menemui beberapa Mahasiswa Indonesia yang merupakan kawannya di Shubra. Biasanya, usai mengantar pesanan, Syauqi akan mampir sebentar ke dekat sungai nil untuk sekedar mengisi waktunya sembari mengetik naskah skripsi. Sungai nil memang salah satu tempat favorit yang biasa dia kunjungi. Menurutnya, melihat aliran sungai nil menjadikan hatinya terasa teduh, apalagi ditambah mendengar lantunan ayat-ayat kauni. Panasnya matahari Kairo pun seolah kalah dengan teduhnya aliran sungai nil. Syauqi membawa dirinya untuk duduk di
"Jadi begini, Nak. Sembilan tahun lalu, ketika saya mendapat kabar bahwa saya diterima di Universitas Al-Azhar untuk melanjutkan S3, saya sempat sowan ke rumah Kyai Dzulfikar, beliau adalah kakak kelas saya sekaligus pimpinan pondok pesantren Daarul Qani'in, di Jawa Tengah. Dulu, ayahandanya adalah pimpinan di sana, tetapi setelah beliau wafat digantikan oleh Kyai Dzulfikar ini." "Jadi, cerita intinya bagaimana, Ustadz?" "Sabar. Belum sampai ke intinya." "Langsung ke intinya saja, Ustadz," gurau Syauqi. "Lha, kamu ini. Kalau kamu baca novel langsung ke intinya tanpa tahu awalnya, pastinya kurang seru dan kurang menantang. Sama juga seperti yang akan saya ceritakan ini. Sabar sedikit saja," ujar Ustadz Lukman. Dia tahu bahwa muridnya ini sedang bergurau dengannya. Syauqi terkekeh pelan lalu mengangguk. "Baiklah, Ustadz. Silakan dilanjutkan." Ustadz Lukman menggelengkan
Bandara terasa begitu panas di siang hari itu. Sinar matahari seakan menembus pori-pori kulit. Ditambah pula dengan hiruk pikuk pengunjung yang tak hentinya keluar masuk memenuhi setiap penjuru Bandara. Zea baru saja sampai di tanah air. Untungnya dia memakai kacamata hitam sehingga mampu sedikit melindungi matanya dari terik matahari di siang itu. Dia mulai mengedarkan pandangan ke setiap penjuru, kepalanya seolah memutar seratus delapan puluh derajat dari kanan ke kiri. Tampaknya dia sedang mencari seseorang. Kedua bola matanya terus bergerak. Hingga pada satu titik, pandangannya terhenti dan kedua sudut bibirnya mulai terangkat.Seraya menggiring koper hitam yang dia pegang dengan tangan kirinya, Zea melemparkan senyum ke arah wanita yang memakai abaya berwarna hitam dan kerudung berwarna coklat susu. Wanita itu tengah berdiri menyambutnya dengan semburat senyum di wajahnya."Ummi," lirih Zea seraya mencium punggung ta
Sekitar satu jam yang lalu Zea sudah membersihkan diri dan membereskan beberapa barang bawaannya. Zea sengaja membeli beberapa souvenir untuk dibagikan pada beberapa santriwati yang sudah lulus pendidikan formal dan sedang mengabdi di Pesantren Daarul Qani'in. Dia sudah menyimpannya di atas meja rias, niatnya akan dia berikan esok hari, karena hari ini cukup membuatnya merasa begitu lelah. "Rasanya sangat lelah, tapi mataku tidak bersahabat untuk kuajak terlelap. Jenuh sekali." Gadis itu turun dari ranjangnya dan hendak pergi ke luar kamar. Tok! Tok! Tok! Baru saja Zea hendak memegang gagang pintu, terdengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. Terdengar suara pintu yang dibuka. Matanya hampir saja menganak sungai, namun segera dia seka dengan ujung gamisnya. Zea memeluk seseorang yang kini berdiri di hadapannya. Pelukan yang meny
Gadis itu menatap layar ponselnya yang mulai redup. Dia masih termenung mengingat apa yang disampaikan Sarah—sang ibu yang dia panggil Umma—beberapa menit yang lalu melalui telpon. Seharusnya dia sudah bersiap pergi ke rumah pamannya sekitar satu jam yang lalu, tepatnya selepas waktu Zuhur. Namun, karena adanya panggilan dari sang Umma, membuat gadis 22 tahun itu harus menunda rencananya untuk beberapa saat."Maaf, Umma. Untuk saat ini, aku belum bisa memberikan jawaban," lirih gadis berkerudung hitam panjang itu dengan suara yang nyaris tak terdengar oleh siapa pun.Seketika dia mengalihkan pandangannya dari ponselnya. Dilihatnya seorang gadis berkerudung biru yang merupakan kawan satu flatnya tengah sibuk membuat adonan kue untuk dihidangkan bersama di malam nanti. Zea tinggal di kawasan El-Gamaleya. Kawasan ini sengaja menjadi pilihannya, karena menurutnya sangat strategis dan dekat dengan kampus Al-Azhar. Berbeda dengan Nasr City, di sana merupakan sala
Angin sahara kembali membelai wajahnya. Dia mulai menjejaki langkah demi langkah jalanan Kairo yang berdebu. Jilatan panas sinar matahari seakan membakar kulit wajahnya yang tidak ikut terbalut kain kerudung hitam panjangnya. Seandainya tidak memakai kacamata hitam, sinarnya yang menyilaukan pasti sudah terasa perih di mata. Jarak dari flatnya di El-Gamaleya menuju rumah Paman Omar di Nasr City bisa dibilang cukup menguras waktu. Meskipun masih berada di sekitar Kairo, namun untuk bisa sampai ke sana butuh beberapa jam di perjalanan, belum lagi harus melewati gang-gang sempit yang memang harus dijejaki dengan berjalan kaki. Jika bukan karena amanah dari sang Paman untuk datang ke rumahnya hari ini, mungkin dia akan lebih memilih menikmati sentuhan pendingin ruangan dan membuat adonan kue bersama Noura di rumah. "Zea ... Zea ...." Langkah kakinya terhenti. Telinganya menangkap ada suara yang memanggil-manggil dari arah belakang. Dia memicingkan matanya dan men
Sekitar satu jam yang lalu Zea sudah membersihkan diri dan membereskan beberapa barang bawaannya. Zea sengaja membeli beberapa souvenir untuk dibagikan pada beberapa santriwati yang sudah lulus pendidikan formal dan sedang mengabdi di Pesantren Daarul Qani'in. Dia sudah menyimpannya di atas meja rias, niatnya akan dia berikan esok hari, karena hari ini cukup membuatnya merasa begitu lelah. "Rasanya sangat lelah, tapi mataku tidak bersahabat untuk kuajak terlelap. Jenuh sekali." Gadis itu turun dari ranjangnya dan hendak pergi ke luar kamar. Tok! Tok! Tok! Baru saja Zea hendak memegang gagang pintu, terdengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. Terdengar suara pintu yang dibuka. Matanya hampir saja menganak sungai, namun segera dia seka dengan ujung gamisnya. Zea memeluk seseorang yang kini berdiri di hadapannya. Pelukan yang meny
Bandara terasa begitu panas di siang hari itu. Sinar matahari seakan menembus pori-pori kulit. Ditambah pula dengan hiruk pikuk pengunjung yang tak hentinya keluar masuk memenuhi setiap penjuru Bandara. Zea baru saja sampai di tanah air. Untungnya dia memakai kacamata hitam sehingga mampu sedikit melindungi matanya dari terik matahari di siang itu. Dia mulai mengedarkan pandangan ke setiap penjuru, kepalanya seolah memutar seratus delapan puluh derajat dari kanan ke kiri. Tampaknya dia sedang mencari seseorang. Kedua bola matanya terus bergerak. Hingga pada satu titik, pandangannya terhenti dan kedua sudut bibirnya mulai terangkat.Seraya menggiring koper hitam yang dia pegang dengan tangan kirinya, Zea melemparkan senyum ke arah wanita yang memakai abaya berwarna hitam dan kerudung berwarna coklat susu. Wanita itu tengah berdiri menyambutnya dengan semburat senyum di wajahnya."Ummi," lirih Zea seraya mencium punggung ta
"Jadi begini, Nak. Sembilan tahun lalu, ketika saya mendapat kabar bahwa saya diterima di Universitas Al-Azhar untuk melanjutkan S3, saya sempat sowan ke rumah Kyai Dzulfikar, beliau adalah kakak kelas saya sekaligus pimpinan pondok pesantren Daarul Qani'in, di Jawa Tengah. Dulu, ayahandanya adalah pimpinan di sana, tetapi setelah beliau wafat digantikan oleh Kyai Dzulfikar ini." "Jadi, cerita intinya bagaimana, Ustadz?" "Sabar. Belum sampai ke intinya." "Langsung ke intinya saja, Ustadz," gurau Syauqi. "Lha, kamu ini. Kalau kamu baca novel langsung ke intinya tanpa tahu awalnya, pastinya kurang seru dan kurang menantang. Sama juga seperti yang akan saya ceritakan ini. Sabar sedikit saja," ujar Ustadz Lukman. Dia tahu bahwa muridnya ini sedang bergurau dengannya. Syauqi terkekeh pelan lalu mengangguk. "Baiklah, Ustadz. Silakan dilanjutkan." Ustadz Lukman menggelengkan
Syauqi baru saja mengantarkan pesanan katering ke Shubra. Akhir-akhir ini, Shubra menduduki voting tertinggi di antara kota-kota lainnya yang sering memesan katering pada Syauqi. Lisannya tak henti mengucap syukur, hari ini ada sekitar 80 kotak pesanan katering yang semuanya dia antarkan ke Shubra. Sebenarnya bisa saja pesanan itu diantarkan menggunakan jasa ekspedisi, tetapi dia sengaja ingin mengantarnya sendiri sekaligus menemui beberapa Mahasiswa Indonesia yang merupakan kawannya di Shubra. Biasanya, usai mengantar pesanan, Syauqi akan mampir sebentar ke dekat sungai nil untuk sekedar mengisi waktunya sembari mengetik naskah skripsi. Sungai nil memang salah satu tempat favorit yang biasa dia kunjungi. Menurutnya, melihat aliran sungai nil menjadikan hatinya terasa teduh, apalagi ditambah mendengar lantunan ayat-ayat kauni. Panasnya matahari Kairo pun seolah kalah dengan teduhnya aliran sungai nil. Syauqi membawa dirinya untuk duduk di
Enam minggu lalu Zea mendapatkan kabar bahwa dirinya diterima untuk melanjutkan S2-nya di Universitas Al-Azhar. Kini dia telah memulai studi pascasarjananya itu di tahun pertama. Allah telah menjawab doanya. Ya, ini adalah salah satu alasan terkuatnya mengapa dia menunda S2-nya dan belum membuka hati untuk universitas-universitas lain yang ada di Kairo, karena memang dia ingin melanjutkan studinya secara linear di Universitas Al-Azhar. Tepat di bulan Agustus lalu, Zea sempat mengikuti ujian masuk program S2 yang diadakan setiap tahunnya di Universitas Al-Azhar. Segala berkas dan persyaratan sudah disiapkan olehnya sejak jauh-jauh hari sebelum mendaftar, termasuk doa dan restu dari orang tuanya. Kalau ini, memang berkas persyaratan utama yang paling sakral. Bibit yang dia tanam dan dia rawat ternyata kini sudah tumbuh menjadi bunga yang indah. Ketika itu, matanya memerah, ujung bibirnya terangkat, serta lisannya tiada henti bersyukur ketika melihat
Seperti hari-hari sebelumnya. Menjelang siang hari, terik matahari mulai menyebar di segenap bumi Mesir, khususnya Kairo. Dengan langkah gontai, Zea berjalan keluar dariMaktabahAl-Azharmenuju taman Al-Azhar. Ada seseorang yang harus dia temui di sana. Tangan kanan gadis itu mengapit beberapa buah buku yang baru saja dia pinjam di perpustakaan. Dia mengeluarkan ponselnya ketika sampai di area taman Al-Azhar. Taman Al-Azhar ini lokasinya di sebelah selatan Universitas Al-Azhar. Pada tahun 2005, taman ini mulai dibuka untuk umum. Lokasinya yang sejuk serta bentuk arsitekturnya mirip dengan taman-taman Islam yang ada di abad pertengahan, menjadi daya tarik tersendiri dari taman ini. Di sisi utara taman ada museum yang telah merekam evolusi Kairo; sejarahnya, arsitekturnya, dan sisi-sisi budaya yang lainnya. Dari area museum, setiap yang berkunjung dapat melihat sisa-sisa kejayaan Mesir melalui panorama benteng Salahuddin Al-Ayyubi serta Masjid Muhammad
"Ahlashobah.Lawsamahti,yaAnesah(Selamat pagi. Permisi, Nona). Senang bertemu denganmu lagi." Zea mengalihkan pandangan dari buku yang sedang dibacanya. Gadis itu mengernyit, mengenali pria yang sedang berdiri di hadapannya. Dia adalah pria berparas Jerman yang Zea temui dimetrolima hari lalu. Pria berparas Jerman itu menggunakan bahasaArab'amiyahyang fasih. "Ahlashobah,ayyakhidmah?(Selamat pagi juga, ada yang bisa kubantu?)" sahut Zea. Kini Zea berada diMaktabahAl-AzharatauThe Library of Al-Azharyang letaknya di Salah SalemStreet. Jaraknya kurang lebih 3,6 kilometer dari flatnya di El-Gamaleya. Zea memang sering menghabiskan waktu untuk menulis hasil risetnya di sana. Bahkan sejak masih berstatus sebagai mahasiswi pun tak jarang dia mengunjungiMaktabah&nb
Pukul dua dini hari, Paman Omar tengah terjaga dari tidurnya. Dia hanya tidur kurang lebih tiga jam. Baginya, terlelap tiga jam itu sudah cukup untuk meremajakan seluruh saraf tubuhnya. Di tengah heningnya malam, dia masih seti melantunkanayat-ayat kaunidengan bacaan yang fasih. Di sampingnya, tampak sang istri yang sedang terlelap usai menghidupkan malamnya. Di tengah syahdunya lantunan tilawah Al-Qur'an yang keluar dari lisannya, terdengar seseorang mengetuk pintu rumahnya. Saat itu juga dia menyelesaikan tilawahnya dan beranjak dari duduknya. Diambilnya jubah putih kesayangannya dan langsung dia kenakan seraya berjalan menuju pintu depan. Dari jendela, dia melihat seorang pria dengan koper kecil yang dibawanya dan tengah berdiri menungguempu-nya membuka pintu. Ceklek!Pintu rumah terbuka. Dia menatapi sosok pria yang kini berdiri di hadapannya. Pria yang tak asing dalam pandangannya. Seorang pria kecil yang k
Zea sampai di flat sekitar jam tujuh lewat seperempat. Hari yang melelahkan. Sangat penat. Cuaca siang tadi sungguh membuat wajah terbakar. Untungnya murid Paman Omar yang datang untuk talaqqi tidak terlalu banyak siang tadi. Hanya ada sekitar empat orang yang hadir, sehingga dirinya bisa meminta waktu Paman Omar untuk berkonsultasi setelah memandu talaqqi. Sampai di depan flat, dia melepas sepatu dan kaos kaki, kemudian kembali mengayunkan langkah menuju kamar. Dalam flatnya, terdapat dua kamar, mereka bertiga memilih untuk tidur dalam satu kamar dan menggunakan kamar yang satunya untuk kegiatan seperti murajaah, shalat, belajar, dan lainnya. Tenaganya nyaris habis. Dia langsung melepas kacamata hitam, kerudung, serta menaruh tasnya di atas meja. Usai mandi dan menunaikan shalat 'Isya, gadis itu merebahkan tubuhnya di kasur. Dinyalakannya kipas angin yang belum dibersihkan beberapa hari terakhir ini sebelum merebahkan tubuhnya, nampak de