Share

Rembulan di Langit Kinanah
Rembulan di Langit Kinanah
Author: El-Nazeeya

Bagian 1

Author: El-Nazeeya
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Gadis itu menatap layar ponselnya yang mulai redup. Dia masih termenung mengingat apa yang disampaikan Sarah—sang ibu yang dia panggil Umma—beberapa menit yang lalu melalui telpon. Seharusnya dia sudah bersiap pergi ke rumah pamannya sekitar satu jam yang lalu, tepatnya selepas waktu Zuhur. Namun, karena adanya panggilan dari sang Umma, membuat gadis 22 tahun itu harus menunda rencananya untuk beberapa saat.

"Maaf, Umma. Untuk saat ini, aku belum bisa memberikan jawaban," lirih gadis berkerudung hitam panjang itu dengan suara yang nyaris tak terdengar oleh siapa pun.

Seketika dia mengalihkan pandangannya dari ponselnya. Dilihatnya seorang gadis berkerudung biru yang merupakan kawan satu flatnya tengah sibuk membuat adonan kue untuk dihidangkan bersama di malam nanti.

Zea tinggal di kawasan El-Gamaleya. Kawasan ini sengaja menjadi pilihannya, karena menurutnya sangat strategis dan dekat dengan kampus Al-Azhar. Berbeda dengan Nasr City, di sana merupakan salah satu tempat yang dihuni oleh mayoritas mahasiswa dan para pelajar asing yang datang merantau di Negeri Kinanah ini. Terutama pelajar yang berasal dari negara-negara Asia, tak terkecuali Indonesia.

Salah satu faktor lain yang membuatnya memilih El-Gamaleya sebagai tempat tinggalnya adalah karena sikap penduduk Mesir di kawasan ini cukup ramah dan senang terhadap mahasiswa yang berasal dari Indonesia.

Di flat ini, dia tinggal bersama dua kawannya. Keduanya adalah mahasiswi asal Indonesia; Noura dan Wafa. Yang satu berasal dari Medan, dan yang satu lagi berasal dari Minangkabau. Meskipun usia mereka tak sama namun mereka mampu menciptakan suasana rukun dalam 'keluarga kecil' mereka.

Noura menoleh. Tampaknya sedikit kaget dengan kehadirannya. "Mbak Zea, dari mana saja?"

Gadis yang memiliki nama lengkap Zea Mahia Farhana ini lebih akrab disapa Mbak Zea oleh kawan satu flatnya. Di antara mereka, Zea-lah yang lebih tua. Usianya dua tahun di atas Wafa dan satu tahun di atas Noura. Sekitar tiga bulan yang lalu, dia telah merampungkan program sarjananya di Universitas Al-Azhar. Sebenarnya, tak sedikit kampus-kampus swasta di Kairo memberikan peluang beasiswa kepadanya untuk melanjutkan program dirasat 'ulya (pascasarjana), namun hatinya belum tergerak untuk menerima tawaran tersebut. Dia memilih untuk melanjutkan risetnya guna merampungkan tulisan ilmiahnya.

"Habis ditelepon Umma." Dia mengambil kacamata hitamnya. "Ada yang bisa kubantu, Nour?" tanyanya dengan suara yang sedikit serak.

Mesir kala itu cuacanya begitu panas. Angin yang berembus dari jendela flat bukannya menyejukkan justru mengandung debu dan pasir yang menghasilkan hawa panas dan membuat dahaga muncul, bahkan terkadang membuat suara terdengar serak.

"Sedikit lagi kok, Mbak," sahutnya. "Mbak Zea jadi ke rumah Syeikh Omar?" Tangannya masih sibuk membuat adonan kue yang sejak tadi dia lakoni.

Zea mengangguk.

"Tapi sepertinya Mbak lagi nggak sehat, tuh suara Mbak serak begitu."

"Ini cuma serak biasa kok, Nour."

"Tidak usah berangkat saja, Mbak. Bisa ditunda besok. Perjalanan dari sini ke Nasr City 'kan lumayan jauh." Noura mencuci tangannya setelah selesai membuat adonan kue.

Zea tersenyum. "Kesempatanku cuma hari ini. Besok Paman Omar akan pergi ke Aswan. Lagipula aku nggak apa-apa kok."

Noura tidak menimpali. Jika sudah seperti itu jawaban Zea, tidak akan ada yang bisa menghalangi.

"Kamu nggak kuliah, Nour?"

Noura menggeleng. "Hari ini tidak ada jam perkuliahan, Mbak."

Zea mengangguk lalu berkata, "Oh ya, kalau Wafa sudah pulang, jangan lupa sampaikan salamku untuk membeli bahan-bahan sembako, ya. Persediaan di dapur sudah menipis, dan kebetulan hari ini dia yang piket."

"Baik, Mbak. Akan kusampaikan pada Wafa," sahut Noura seraya tersenyum.

Sejak tamat Aliyah, Zea memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Kairo dengan beasiswa yang dia dapatkan dari pesantren tempat di mana dia menimba ilmu selama di Indonesia. Empat tahun kurang tiga bulan sudah dia menimba ilmu di Mesir, melalangbuana memfilsafati Negeri Kinanah ini.

Dia tidak seorang diri di negeri ini, ada seorang pamannya yang merupakan sepupu dari Dzulfikar—sang ayah yang dia panggil Abi—yang memang menetap di Mesir. Nama lengkapnya adalah Mohammad Omar Saad, dia biasa menyapanya dengan panggilan Paman Omar. Pamannya adalah seorang masyaikh di Nasr City. Paman Omar dikenal tidak pernah menyembunyikan senyumnya ketika bertemu dengan siapa pun. Kini usianya sudah masuk kepala lima. Tiga puluh dua tahun yang lalu, Paman Omar pun merupakan seorang pendatang di Negeri Kinanah ini, dan menimba ilmu di dalamnya. Hingga akhirnya, takdir mempertemukan dirinya dengan seorang gadis Jerman yang merupakan Mahasiswi Universitas Al-Azhar dan keduanya memilih untuk menetap di Mesir. Dari pernikahannya dengan gadis Jerman tersebut, dia dikaruniai seorang putra yang kini berusia 26 tahun.

Zea melangkah menuju pintu keluar.

"Nour, jangan lupa pesanku tadi." Dia kembali mengingatkan Noura sebelum keluar dari flat.

"Insyaa Allah, Mbak."

Wusss!

Angin berembus berseok-seok meniup ujung kerudung panjangnya ketika dia membuka pintu flat. Awal-awal Agustus memang puncak musim panas. Di Kairo, musim panas biasanya panjang, panas, lembab, kering, dan cerah. Sedangkan, musim dingin biasanya dingin, kering, dan umumnya cerah.

Sepanjang tahun, suhu biasanya bervariasi dari 10°C hingga 40°C.

Zea sengaja memilih metro sebagai sarana transportasi menuju rumah Paman Omar di Nasr City. Karena jika dia menumpangi microbus di Mahattah Salam Alexandria, dia akan transit di Jalan Yousef Abbas dan turun di Jalan Al-Tayaran. Sedangkan dengan metro, dia cukup berjalan kaki dari flat menuju Mahattah Bab El-Sharia dan turun di Jalan Al-Tayaran.

Sangat disayangkan, ketika dia masuk ke dalamnya, kondisi metro sudah begitu ramai. Terlihat jumlah penumpang dengan wajah khas Arab yang jumlahnya tidak sedikit, beberapa di antaranya juga ada wajah-wajah Asia. Sebagian dari mereka mendapatkan kursi, namun sebagian lagi berdiri karena tidak mendapatkan kursi. Sama sepertinya yang kini tengah berdiri dalam metro.

Sepanjang perjalanan, Zea banyak mendengar percakapan antar sesama orang Mesir. Cara mereka bercakap memang berbeda dengan orang Indonesia pada umumnya. Secara umum, watak orang Mesir adalah keras. Mungkin hal ini dipicu juga dengan lingkungannya yang memang beriklim keras. Bentak-membentak sudah menjadi kebiasaan masyarakatnya, bahkan dalam bicara sehari-hari pun tak jarang nada yang digunakan sangatlah tinggi. Maka bukan lagi hal yang aneh baginya jika teriakan keras sering terdengar di bumi Mesir ini. Terlebih ketika sedang marah. Tetapi jangan salah, jika sudah dekat, orang-orang Mesir ini perlakuannya sangatlah lembut bagaikan malaikat.

"Law samahti, enti min Shin? (Permisi, kamu orang China?)"

Beberapa saat berlalu, terdengar seorang wanita yang usianya kisaran 50 tahun menyapanya. Zea menengok dan kemudian menggeleng.

"La. Ana Andunesyiyah. (Bukan. Saya orang Indonesia)."

Dari paras wajahnya, sudah bisa ditebak bahwa wanita itu adalah orang Mesir. Sudah menjadi hal yang biasa memang, bahwasanya orang Mesir sepertinya sulit membedakan orang-orang Asia Tenggara dengan orang China.

Zea memperhatikannya sesaat. Wanita itu tampak sedang menahan beban tubuhnya. Kakinya seakan sudah tak sanggup lagi untuk berdiri lebih lama.

Tak lama wanita itu kembali berkata dengan bahasa Arab 'amiyah Mesir, "Tanyakan pada pemuda Jerman di sampingmu, bolehkah aku duduk di tempatnya? Kakiku sudah nggak kuat lagi untuk berdiri lebih lama."

Tentu saja Zea tak tega melihatnya. Beberapa pemuda Mesir yang duduk di dekat wanita itu terlihat acuh, padahal bisa saja mereka mempersilakan wanita itu untuk duduk.

Akhirnya, dia mencoba menyampaikan pesan itu kepada pria yang sepertinya adalah turis dari Jerman.

"Verzeihung (Permisi). Apakah boleh saya meminta tempat duduk Anda untuk ibu ini?"

Dengan kosakata bahasa Jerman yang terbatas, dia mencoba memulai percakapan dengan pria itu. Pria itu menengok dan menatapnya sesaat, lalu mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Ja. Natürlich. (Ya. Tentu saja)," ucap pria itu seraya bangkit dari duduknya dan mempersilakan wanita Mesir paruh baya tadi untuk menempati tempat duduknya.

"Vielen Dank! (Terima kasih banyak!)" Zea mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada pria yang kini berdiri tepat di depannya, dan kemudian disusul dengan ucapan terima kasih dari wanita Mesir tadi.

"Bitte sehr. (Kembali kasih)." Pria itu mengarahkan pandangannya ke samping agar suaranya dapat terjangkau oleh Zea.

"Kamu mahasiswi Al-Azhar?"

Pria itu mengajukan sebuah pertanyaan kepada Zea dengan gaya bicara yang tidak lagi seformal sebelumnya.

Zea mengernyitkan dahi. "Kamu paham bahasa Indonesia?"

"Mengapa pertanyaanku dibalas dengan sebuah pertanyaan lagi?" Kedua alis hitam kecokelatan milik pria itu nampak mengkerut.

"Jawablah," sambungnya.

"Entschuldigung (Maaf). Betul, aku mahasiswi Al-Azhar. Tapi sekarang sudah menjadi alumni." Zea menahan tubuhnya karena goncangan kecil yang berasal dari metro.

"Alumni?" tanyanya penuh selidik.

Zea mengangguk.

Pria itu tersenyum. "Untuk pertanyaanmu tadi akan kujawab. Betul, aku paham bahasa Indonesia. Aku separuh Indonesia."

"Pantas kamu paham bahasa Indonesia."

"Memangnya dari parasku, terlihat seperti bukan orang Indonesia?"

Zea mengangguk pelan. "Kukira kamu orang Jerman tulen."

Ujung bibir pria itu nampak sedikit terangkat mendengar pernyataan Zea.

Metro sangat bising, terlebih suara yang dihasilkan oleh mesinnya. Kini Zea mengalihkan pandangan dengan lepas ke jendela metro, matanya menerobos memandang setiap inchi jalanan Kairo yang dipenuhi bangunan-bangunan rumah dan pepohonan. Tanpa dia sadari pria itu tersenyum kecil ke arahnya.

Metro berhenti di Jalan Al-Tayaran. Beberapa penumpang mulai turun dari dalamnya, termasuk Zea.

"Hey, was ist dein name? (Hei, siapa namamu?)"

Ketika kaki Zea sudah sepenuhnya menuruni metro, pria yang sempat dia kira orang Jerman tadi memanggilnya dengan setengah berteriak. Dia menengok dan berusaha mencari wujud pria tersebut, namun banyaknya penumpang yang keluar masuk metro membuatnya kesulitan untuk menemukan wujud pria tadi.

"Mein name ist Zea! (Nama saya Zea!)" jawabnya yang juga setengah teriak, tanpa tahu apakah pria tadi mendengarnya atau tidak. Dia mengangkat bahunya seraya menghela nafas dan kemudian kembali meneruskan langkah.

Related chapters

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 2

    Angin sahara kembali membelai wajahnya. Dia mulai menjejaki langkah demi langkah jalanan Kairo yang berdebu. Jilatan panas sinar matahari seakan membakar kulit wajahnya yang tidak ikut terbalut kain kerudung hitam panjangnya. Seandainya tidak memakai kacamata hitam, sinarnya yang menyilaukan pasti sudah terasa perih di mata. Jarak dari flatnya di El-Gamaleya menuju rumah Paman Omar di Nasr City bisa dibilang cukup menguras waktu. Meskipun masih berada di sekitar Kairo, namun untuk bisa sampai ke sana butuh beberapa jam di perjalanan, belum lagi harus melewati gang-gang sempit yang memang harus dijejaki dengan berjalan kaki. Jika bukan karena amanah dari sang Paman untuk datang ke rumahnya hari ini, mungkin dia akan lebih memilih menikmati sentuhan pendingin ruangan dan membuat adonan kue bersama Noura di rumah. "Zea ... Zea ...." Langkah kakinya terhenti. Telinganya menangkap ada suara yang memanggil-manggil dari arah belakang. Dia memicingkan matanya dan men

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 3

    "Assalamu'alaik, ya 'Ammah Raeena. (Bibi Raeena)." "Hey. 'Alaikissalaam warahmatullah." "Izzayyak, ya 'Ammah? (Apa kabarmu, Bibi?)" "Kuways, alhamdulillah. (Baik, alhamdulillah)." Wanita berparas putih dengan bola mata cokelat itu mengembangkan senyumnya, dia tetap terlihat muda walau usianya tak lagi muda. Terlebih dari itu, dia memiliki kemampuan berbahasa Arab fusha maupun 'amiyah yang sangat fasih. Maklum, meskipun berdarah Jerman, dia adalah jebolan Universitas Al-Azhar, selain itu juga dia sudah lama menetap di Mesir bersama sang suami. Paman Omar dan Bibi Raeena hanya tinggal berdua sejak 11 tahun yang lalu. Di usia 15 tahun, putranya memilih untuk menetap di Jerman bersama sang kakek dan mengenyam pendidikan di sana. Mungkin satu tahun sekali putranya akan berkunjung ke Mesir untuk menjumpai Paman Omar dan Bibi Raeena.

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 4

    Zea sampai di flat sekitar jam tujuh lewat seperempat. Hari yang melelahkan. Sangat penat. Cuaca siang tadi sungguh membuat wajah terbakar. Untungnya murid Paman Omar yang datang untuk talaqqi tidak terlalu banyak siang tadi. Hanya ada sekitar empat orang yang hadir, sehingga dirinya bisa meminta waktu Paman Omar untuk berkonsultasi setelah memandu talaqqi. Sampai di depan flat, dia melepas sepatu dan kaos kaki, kemudian kembali mengayunkan langkah menuju kamar. Dalam flatnya, terdapat dua kamar, mereka bertiga memilih untuk tidur dalam satu kamar dan menggunakan kamar yang satunya untuk kegiatan seperti murajaah, shalat, belajar, dan lainnya. Tenaganya nyaris habis. Dia langsung melepas kacamata hitam, kerudung, serta menaruh tasnya di atas meja. Usai mandi dan menunaikan shalat 'Isya, gadis itu merebahkan tubuhnya di kasur. Dinyalakannya kipas angin yang belum dibersihkan beberapa hari terakhir ini sebelum merebahkan tubuhnya, nampak de

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 5

    Pukul dua dini hari, Paman Omar tengah terjaga dari tidurnya. Dia hanya tidur kurang lebih tiga jam. Baginya, terlelap tiga jam itu sudah cukup untuk meremajakan seluruh saraf tubuhnya. Di tengah heningnya malam, dia masih seti melantunkanayat-ayat kaunidengan bacaan yang fasih. Di sampingnya, tampak sang istri yang sedang terlelap usai menghidupkan malamnya. Di tengah syahdunya lantunan tilawah Al-Qur'an yang keluar dari lisannya, terdengar seseorang mengetuk pintu rumahnya. Saat itu juga dia menyelesaikan tilawahnya dan beranjak dari duduknya. Diambilnya jubah putih kesayangannya dan langsung dia kenakan seraya berjalan menuju pintu depan. Dari jendela, dia melihat seorang pria dengan koper kecil yang dibawanya dan tengah berdiri menungguempu-nya membuka pintu. Ceklek!Pintu rumah terbuka. Dia menatapi sosok pria yang kini berdiri di hadapannya. Pria yang tak asing dalam pandangannya. Seorang pria kecil yang k

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 6

    "Ahlashobah.Lawsamahti,yaAnesah(Selamat pagi. Permisi, Nona). Senang bertemu denganmu lagi." Zea mengalihkan pandangan dari buku yang sedang dibacanya. Gadis itu mengernyit, mengenali pria yang sedang berdiri di hadapannya. Dia adalah pria berparas Jerman yang Zea temui dimetrolima hari lalu. Pria berparas Jerman itu menggunakan bahasaArab'amiyahyang fasih. "Ahlashobah,ayyakhidmah?(Selamat pagi juga, ada yang bisa kubantu?)" sahut Zea. Kini Zea berada diMaktabahAl-AzharatauThe Library of Al-Azharyang letaknya di Salah SalemStreet. Jaraknya kurang lebih 3,6 kilometer dari flatnya di El-Gamaleya. Zea memang sering menghabiskan waktu untuk menulis hasil risetnya di sana. Bahkan sejak masih berstatus sebagai mahasiswi pun tak jarang dia mengunjungiMaktabah&nb

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 7

    Seperti hari-hari sebelumnya. Menjelang siang hari, terik matahari mulai menyebar di segenap bumi Mesir, khususnya Kairo. Dengan langkah gontai, Zea berjalan keluar dariMaktabahAl-Azharmenuju taman Al-Azhar. Ada seseorang yang harus dia temui di sana. Tangan kanan gadis itu mengapit beberapa buah buku yang baru saja dia pinjam di perpustakaan. Dia mengeluarkan ponselnya ketika sampai di area taman Al-Azhar. Taman Al-Azhar ini lokasinya di sebelah selatan Universitas Al-Azhar. Pada tahun 2005, taman ini mulai dibuka untuk umum. Lokasinya yang sejuk serta bentuk arsitekturnya mirip dengan taman-taman Islam yang ada di abad pertengahan, menjadi daya tarik tersendiri dari taman ini. Di sisi utara taman ada museum yang telah merekam evolusi Kairo; sejarahnya, arsitekturnya, dan sisi-sisi budaya yang lainnya. Dari area museum, setiap yang berkunjung dapat melihat sisa-sisa kejayaan Mesir melalui panorama benteng Salahuddin Al-Ayyubi serta Masjid Muhammad

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 8

    Enam minggu lalu Zea mendapatkan kabar bahwa dirinya diterima untuk melanjutkan S2-nya di Universitas Al-Azhar. Kini dia telah memulai studi pascasarjananya itu di tahun pertama. Allah telah menjawab doanya. Ya, ini adalah salah satu alasan terkuatnya mengapa dia menunda S2-nya dan belum membuka hati untuk universitas-universitas lain yang ada di Kairo, karena memang dia ingin melanjutkan studinya secara linear di Universitas Al-Azhar. Tepat di bulan Agustus lalu, Zea sempat mengikuti ujian masuk program S2 yang diadakan setiap tahunnya di Universitas Al-Azhar. Segala berkas dan persyaratan sudah disiapkan olehnya sejak jauh-jauh hari sebelum mendaftar, termasuk doa dan restu dari orang tuanya. Kalau ini, memang berkas persyaratan utama yang paling sakral. Bibit yang dia tanam dan dia rawat ternyata kini sudah tumbuh menjadi bunga yang indah. Ketika itu, matanya memerah, ujung bibirnya terangkat, serta lisannya tiada henti bersyukur ketika melihat

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 9

    Syauqi baru saja mengantarkan pesanan katering ke Shubra. Akhir-akhir ini, Shubra menduduki voting tertinggi di antara kota-kota lainnya yang sering memesan katering pada Syauqi. Lisannya tak henti mengucap syukur, hari ini ada sekitar 80 kotak pesanan katering yang semuanya dia antarkan ke Shubra. Sebenarnya bisa saja pesanan itu diantarkan menggunakan jasa ekspedisi, tetapi dia sengaja ingin mengantarnya sendiri sekaligus menemui beberapa Mahasiswa Indonesia yang merupakan kawannya di Shubra. Biasanya, usai mengantar pesanan, Syauqi akan mampir sebentar ke dekat sungai nil untuk sekedar mengisi waktunya sembari mengetik naskah skripsi. Sungai nil memang salah satu tempat favorit yang biasa dia kunjungi. Menurutnya, melihat aliran sungai nil menjadikan hatinya terasa teduh, apalagi ditambah mendengar lantunan ayat-ayat kauni. Panasnya matahari Kairo pun seolah kalah dengan teduhnya aliran sungai nil. Syauqi membawa dirinya untuk duduk di

Latest chapter

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 12

    Sekitar satu jam yang lalu Zea sudah membersihkan diri dan membereskan beberapa barang bawaannya. Zea sengaja membeli beberapa souvenir untuk dibagikan pada beberapa santriwati yang sudah lulus pendidikan formal dan sedang mengabdi di Pesantren Daarul Qani'in. Dia sudah menyimpannya di atas meja rias, niatnya akan dia berikan esok hari, karena hari ini cukup membuatnya merasa begitu lelah. "Rasanya sangat lelah, tapi mataku tidak bersahabat untuk kuajak terlelap. Jenuh sekali." Gadis itu turun dari ranjangnya dan hendak pergi ke luar kamar. Tok! Tok! Tok! Baru saja Zea hendak memegang gagang pintu, terdengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. Terdengar suara pintu yang dibuka. Matanya hampir saja menganak sungai, namun segera dia seka dengan ujung gamisnya. Zea memeluk seseorang yang kini berdiri di hadapannya. Pelukan yang meny

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 11

    Bandara terasa begitu panas di siang hari itu. Sinar matahari seakan menembus pori-pori kulit. Ditambah pula dengan hiruk pikuk pengunjung yang tak hentinya keluar masuk memenuhi setiap penjuru Bandara. Zea baru saja sampai di tanah air. Untungnya dia memakai kacamata hitam sehingga mampu sedikit melindungi matanya dari terik matahari di siang itu. Dia mulai mengedarkan pandangan ke setiap penjuru, kepalanya seolah memutar seratus delapan puluh derajat dari kanan ke kiri. Tampaknya dia sedang mencari seseorang. Kedua bola matanya terus bergerak. Hingga pada satu titik, pandangannya terhenti dan kedua sudut bibirnya mulai terangkat.Seraya menggiring koper hitam yang dia pegang dengan tangan kirinya, Zea melemparkan senyum ke arah wanita yang memakai abaya berwarna hitam dan kerudung berwarna coklat susu. Wanita itu tengah berdiri menyambutnya dengan semburat senyum di wajahnya."Ummi," lirih Zea seraya mencium punggung ta

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 10

    "Jadi begini, Nak. Sembilan tahun lalu, ketika saya mendapat kabar bahwa saya diterima di Universitas Al-Azhar untuk melanjutkan S3, saya sempat sowan ke rumah Kyai Dzulfikar, beliau adalah kakak kelas saya sekaligus pimpinan pondok pesantren Daarul Qani'in, di Jawa Tengah. Dulu, ayahandanya adalah pimpinan di sana, tetapi setelah beliau wafat digantikan oleh Kyai Dzulfikar ini." "Jadi, cerita intinya bagaimana, Ustadz?" "Sabar. Belum sampai ke intinya." "Langsung ke intinya saja, Ustadz," gurau Syauqi. "Lha, kamu ini. Kalau kamu baca novel langsung ke intinya tanpa tahu awalnya, pastinya kurang seru dan kurang menantang. Sama juga seperti yang akan saya ceritakan ini. Sabar sedikit saja," ujar Ustadz Lukman. Dia tahu bahwa muridnya ini sedang bergurau dengannya. Syauqi terkekeh pelan lalu mengangguk. "Baiklah, Ustadz. Silakan dilanjutkan." Ustadz Lukman menggelengkan

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 9

    Syauqi baru saja mengantarkan pesanan katering ke Shubra. Akhir-akhir ini, Shubra menduduki voting tertinggi di antara kota-kota lainnya yang sering memesan katering pada Syauqi. Lisannya tak henti mengucap syukur, hari ini ada sekitar 80 kotak pesanan katering yang semuanya dia antarkan ke Shubra. Sebenarnya bisa saja pesanan itu diantarkan menggunakan jasa ekspedisi, tetapi dia sengaja ingin mengantarnya sendiri sekaligus menemui beberapa Mahasiswa Indonesia yang merupakan kawannya di Shubra. Biasanya, usai mengantar pesanan, Syauqi akan mampir sebentar ke dekat sungai nil untuk sekedar mengisi waktunya sembari mengetik naskah skripsi. Sungai nil memang salah satu tempat favorit yang biasa dia kunjungi. Menurutnya, melihat aliran sungai nil menjadikan hatinya terasa teduh, apalagi ditambah mendengar lantunan ayat-ayat kauni. Panasnya matahari Kairo pun seolah kalah dengan teduhnya aliran sungai nil. Syauqi membawa dirinya untuk duduk di

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 8

    Enam minggu lalu Zea mendapatkan kabar bahwa dirinya diterima untuk melanjutkan S2-nya di Universitas Al-Azhar. Kini dia telah memulai studi pascasarjananya itu di tahun pertama. Allah telah menjawab doanya. Ya, ini adalah salah satu alasan terkuatnya mengapa dia menunda S2-nya dan belum membuka hati untuk universitas-universitas lain yang ada di Kairo, karena memang dia ingin melanjutkan studinya secara linear di Universitas Al-Azhar. Tepat di bulan Agustus lalu, Zea sempat mengikuti ujian masuk program S2 yang diadakan setiap tahunnya di Universitas Al-Azhar. Segala berkas dan persyaratan sudah disiapkan olehnya sejak jauh-jauh hari sebelum mendaftar, termasuk doa dan restu dari orang tuanya. Kalau ini, memang berkas persyaratan utama yang paling sakral. Bibit yang dia tanam dan dia rawat ternyata kini sudah tumbuh menjadi bunga yang indah. Ketika itu, matanya memerah, ujung bibirnya terangkat, serta lisannya tiada henti bersyukur ketika melihat

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 7

    Seperti hari-hari sebelumnya. Menjelang siang hari, terik matahari mulai menyebar di segenap bumi Mesir, khususnya Kairo. Dengan langkah gontai, Zea berjalan keluar dariMaktabahAl-Azharmenuju taman Al-Azhar. Ada seseorang yang harus dia temui di sana. Tangan kanan gadis itu mengapit beberapa buah buku yang baru saja dia pinjam di perpustakaan. Dia mengeluarkan ponselnya ketika sampai di area taman Al-Azhar. Taman Al-Azhar ini lokasinya di sebelah selatan Universitas Al-Azhar. Pada tahun 2005, taman ini mulai dibuka untuk umum. Lokasinya yang sejuk serta bentuk arsitekturnya mirip dengan taman-taman Islam yang ada di abad pertengahan, menjadi daya tarik tersendiri dari taman ini. Di sisi utara taman ada museum yang telah merekam evolusi Kairo; sejarahnya, arsitekturnya, dan sisi-sisi budaya yang lainnya. Dari area museum, setiap yang berkunjung dapat melihat sisa-sisa kejayaan Mesir melalui panorama benteng Salahuddin Al-Ayyubi serta Masjid Muhammad

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 6

    "Ahlashobah.Lawsamahti,yaAnesah(Selamat pagi. Permisi, Nona). Senang bertemu denganmu lagi." Zea mengalihkan pandangan dari buku yang sedang dibacanya. Gadis itu mengernyit, mengenali pria yang sedang berdiri di hadapannya. Dia adalah pria berparas Jerman yang Zea temui dimetrolima hari lalu. Pria berparas Jerman itu menggunakan bahasaArab'amiyahyang fasih. "Ahlashobah,ayyakhidmah?(Selamat pagi juga, ada yang bisa kubantu?)" sahut Zea. Kini Zea berada diMaktabahAl-AzharatauThe Library of Al-Azharyang letaknya di Salah SalemStreet. Jaraknya kurang lebih 3,6 kilometer dari flatnya di El-Gamaleya. Zea memang sering menghabiskan waktu untuk menulis hasil risetnya di sana. Bahkan sejak masih berstatus sebagai mahasiswi pun tak jarang dia mengunjungiMaktabah&nb

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 5

    Pukul dua dini hari, Paman Omar tengah terjaga dari tidurnya. Dia hanya tidur kurang lebih tiga jam. Baginya, terlelap tiga jam itu sudah cukup untuk meremajakan seluruh saraf tubuhnya. Di tengah heningnya malam, dia masih seti melantunkanayat-ayat kaunidengan bacaan yang fasih. Di sampingnya, tampak sang istri yang sedang terlelap usai menghidupkan malamnya. Di tengah syahdunya lantunan tilawah Al-Qur'an yang keluar dari lisannya, terdengar seseorang mengetuk pintu rumahnya. Saat itu juga dia menyelesaikan tilawahnya dan beranjak dari duduknya. Diambilnya jubah putih kesayangannya dan langsung dia kenakan seraya berjalan menuju pintu depan. Dari jendela, dia melihat seorang pria dengan koper kecil yang dibawanya dan tengah berdiri menungguempu-nya membuka pintu. Ceklek!Pintu rumah terbuka. Dia menatapi sosok pria yang kini berdiri di hadapannya. Pria yang tak asing dalam pandangannya. Seorang pria kecil yang k

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 4

    Zea sampai di flat sekitar jam tujuh lewat seperempat. Hari yang melelahkan. Sangat penat. Cuaca siang tadi sungguh membuat wajah terbakar. Untungnya murid Paman Omar yang datang untuk talaqqi tidak terlalu banyak siang tadi. Hanya ada sekitar empat orang yang hadir, sehingga dirinya bisa meminta waktu Paman Omar untuk berkonsultasi setelah memandu talaqqi. Sampai di depan flat, dia melepas sepatu dan kaos kaki, kemudian kembali mengayunkan langkah menuju kamar. Dalam flatnya, terdapat dua kamar, mereka bertiga memilih untuk tidur dalam satu kamar dan menggunakan kamar yang satunya untuk kegiatan seperti murajaah, shalat, belajar, dan lainnya. Tenaganya nyaris habis. Dia langsung melepas kacamata hitam, kerudung, serta menaruh tasnya di atas meja. Usai mandi dan menunaikan shalat 'Isya, gadis itu merebahkan tubuhnya di kasur. Dinyalakannya kipas angin yang belum dibersihkan beberapa hari terakhir ini sebelum merebahkan tubuhnya, nampak de

DMCA.com Protection Status