Seperti hari-hari sebelumnya. Menjelang siang hari, terik matahari mulai menyebar di segenap bumi Mesir, khususnya Kairo. Dengan langkah gontai, Zea berjalan keluar dari Maktabah Al-Azhar menuju taman Al-Azhar. Ada seseorang yang harus dia temui di sana. Tangan kanan gadis itu mengapit beberapa buah buku yang baru saja dia pinjam di perpustakaan.
Dia mengeluarkan ponselnya ketika sampai di area taman Al-Azhar. Taman Al-Azhar ini lokasinya di sebelah selatan Universitas Al-Azhar. Pada tahun 2005, taman ini mulai dibuka untuk umum. Lokasinya yang sejuk serta bentuk arsitekturnya mirip dengan taman-taman Islam yang ada di abad pertengahan, menjadi daya tarik tersendiri dari taman ini. Di sisi utara taman ada museum yang telah merekam evolusi Kairo; sejarahnya, arsitekturnya, dan sisi-sisi budaya yang lainnya. Dari area museum, setiap yang berkunjung dapat melihat sisa-sisa kejayaan Mesir melalui panorama benteng Salahuddin Al-Ayyubi serta Masjid Muhammad Ali. Semasa kuliah program sarjana, tak jarang Zea mengunjungi taman ini untuk sekedar menuangkan hobi membacanya, baik itu bersama kawannya maupun seorang diri.
"Zea!"
Ketika Zea baru saja duduk di rerumputan taman, ada suara yang memanggilnya dari kejauhan. Dia pun berdiri dan mengedarkan pandangannya ke seluruh arah. Sampai pada satu titik, dilihatnya seorang gadis Mesir berperawakan tinggi tengah berjalan menghampirinya.
"Azeneth," sahut Zea.
Nama yang tak asing lagi dalam sejarah Mesir maupun sejarah Islam. Azeneth, bentuk lain dari kata Asenath. Sebuah nama yang diadaptasi dari nama istri pertama salah satu Nabi sekaligus Rasul dari garis keturunan Nabi Ibrahim 'alaihissalam, yaitu Nabi Yusuf 'alaihissalam.
Gadis Mesir ini adalah kawannya yang dia kenal sejak menempuh program sarjana. Azeneth bertempat tinggal di Shubra El Kheima. Berbeda dengan Zea yang menginginkan jeda, setelah menyelesaikan program sarjananya, gadis Mesir ini langsung melanjutkan program dirasat 'ulya-nya di Universitas Al-Azhar.
"Assalamu'alaik, Azeneth. Izzay akhbarak? (Bagaimana kabarmu?)" tanya Zea setelah gadis Mesir itu berada tepat di hadapannya.
"W*'alaikissalam warahmatullah. Ana kuways. Enti? (Saya baik. Kamu?)"
"Kuways, alhamdulillah."
"Ma'a min? (Kamu sama siapa?)" Gadis itu duduk di rerumputan taman setelah melihat Zea duduk.
"Ana li wahdi. (Aku sendiri)."
Zea dan Azeneth sengaja bertemu di taman Al-Azhar untuk sekedar melepas rindu. Azeneth baru saja mengikuti jam perkuliahan di hari ini, sedangkan Zea memang sudah berencana mengunjungi Maktabah Al-Azhar sejak dua hari yang lalu. Oleh karena itu, sehari sebelumnya mereka membuat janji untuk bertemu di taman Al-Azhar.
"Sudah lama sekali tidak bertemu kamu. Rasanya rindu masa-masa saat kita sama-sama berjuang menyelesaikan skripsi." Azeneth tertawa lirih lalu memeluk Zea.
"Aku juga." Zea membalas pelukannya lalu melepaskannya kembali dan meraih kedua bahu gadis Mesir itu.
Azeneth tersenyum.
"Oh ya, bagaimana kabar kakakmu? Dia sudah membaik?"
Azeneth yang masih tersenyum mendadak wajahnya berubah sendu, lalu menggeleng.
"Beberapa bulan yang lalu kondisinya sempat membaik. Tapi sekarang kondisinya justru semakin buruk. Dia tidak mau dirawat di rumah sakit. Untuk makan saja sulit, selalu menolak," jawab Azeneth.
Zea meraih jemari gadis Mesir itu. "Aku turut prihatin, Azeneth. Semoga Allah memberikan kesembuhan total untuknya."
Azeneth mengaminkan ucapan Zea yang mengandung doa itu.
"Aku minta maaf, belum sempat jenguk kakakmu. Insyaa Allah, di lain kesempatan aku akan ke sana."
"Tidak apa-apa. Doa darimu yang dibutuhkan kakakku."
"Tentu. Selalu." Zea tersenyum. "Baiklah, jangan bersedih lagi. Aku tidak tega melihatmu seperti ini."
Azeneth mengangguk dan tertawa lirih. "Aku cuma terbawa suasana."
Azeneth merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara. Dia memiliki seorang kakak laki-laki dan seorang kakak perempuan. Kakak laki-lakinya tengah menempuh program doktor di Ain Shams University. Sedangkan kakak perempuannya tengah menempuh program pascasarjana di Al-Azhar yang kini sudah memasuki tahun kedua. Naasnya, kakak perempuannya kini sedang dalam masa cuti kuliah, karena harus berjuang melawan sakit yang dideritanya sejak enam bulan terakhir ini.
"Em, kamu suka ini?" Zea mengambil sesuatu dari dalam ranselnya, lalu memberikannya kepada Azeneth.
Ekspresi wajah gadis Mesir itu tampak bahagia. Dia mengambil sebuah bingkai yang terdapat lukisan pemandangan tanah Jawa.
"Waah, cantik sekali. Ini kamu sendiri yang buat?"
Azeneth memang sangat mengagumi bumi Indonesia bahkan sebelum mengenal Zea. Dia berharap, kelak bisa mengunjungi Indonesia. Ketika dia kecil, ayahnya pernah bercerita tentang keindahan Indonesia, tetapi bukan karena ayahnya berasal dari Indonesia. Azeneth merupakan gadis keturunan Mesir asli, tidak ada campur darah dari negara lain di keluarganya. Hanya saja, ketika masa mudanya sang ayah memang pernah berkunjung ke Indonesia bersama kawannya yang merupakan mahasiswa asal Indonesia, dan dari situlah ayahnya mampu menceritakan tentang pesona Indonesia kepada putra-putrinya. Ketika beranjak remaja, Azeneth banyak mencari informasi lebih banyak tentang Indonesia; sejarahnya, pesona keindahannya, masyarakatnya, dan lain-lain yang berkaitan dengan Indonesia, baik dari teman-teman sesama mahasiswi di Al-Azhar maupun dari internet.
Zea mengangguk. "Untukmu. Kamu mengagumi Indonesia, kan? Aku sengaja membuatnya. Aku berharap suatu hari nanti kamu bisa berkunjung ke sana."
"Aku pasti akan ke sana," ucapnya penuh percaya diri. Selama ini dia hanya bisa melihat sisi keindahan Indonesia melalui cerita-cerita yang dia dengar dari sang ayah maupun teman-temannya. Misi selanjutnya adalah bisa langsung terjun untuk membuktikan apa yang dibacanya dan apa yang didengarnya tentang Indonesia.
Zea tersenyum. Baginya sebuah kebahagiaan itu sangat sederhana; mampu membuat orang lain bahagia. Di hadapannya kini seorang gadis Mesir tampak bahagia memandangi setiap inchi lukisan sederhana yang dibuatnya beberapa bulan lalu. Sebenarnya, lukisan itu sudah sejak beberapa bulan lalu ingin dia berikan kepada Azeneth, hanya saja keduanya sama-sama sibuk sehingga belum ada kesempatan bertemu, dan akhirnya mereka baru sempat bertemu saat ini.
Enam minggu lalu Zea mendapatkan kabar bahwa dirinya diterima untuk melanjutkan S2-nya di Universitas Al-Azhar. Kini dia telah memulai studi pascasarjananya itu di tahun pertama. Allah telah menjawab doanya. Ya, ini adalah salah satu alasan terkuatnya mengapa dia menunda S2-nya dan belum membuka hati untuk universitas-universitas lain yang ada di Kairo, karena memang dia ingin melanjutkan studinya secara linear di Universitas Al-Azhar. Tepat di bulan Agustus lalu, Zea sempat mengikuti ujian masuk program S2 yang diadakan setiap tahunnya di Universitas Al-Azhar. Segala berkas dan persyaratan sudah disiapkan olehnya sejak jauh-jauh hari sebelum mendaftar, termasuk doa dan restu dari orang tuanya. Kalau ini, memang berkas persyaratan utama yang paling sakral. Bibit yang dia tanam dan dia rawat ternyata kini sudah tumbuh menjadi bunga yang indah. Ketika itu, matanya memerah, ujung bibirnya terangkat, serta lisannya tiada henti bersyukur ketika melihat
Syauqi baru saja mengantarkan pesanan katering ke Shubra. Akhir-akhir ini, Shubra menduduki voting tertinggi di antara kota-kota lainnya yang sering memesan katering pada Syauqi. Lisannya tak henti mengucap syukur, hari ini ada sekitar 80 kotak pesanan katering yang semuanya dia antarkan ke Shubra. Sebenarnya bisa saja pesanan itu diantarkan menggunakan jasa ekspedisi, tetapi dia sengaja ingin mengantarnya sendiri sekaligus menemui beberapa Mahasiswa Indonesia yang merupakan kawannya di Shubra. Biasanya, usai mengantar pesanan, Syauqi akan mampir sebentar ke dekat sungai nil untuk sekedar mengisi waktunya sembari mengetik naskah skripsi. Sungai nil memang salah satu tempat favorit yang biasa dia kunjungi. Menurutnya, melihat aliran sungai nil menjadikan hatinya terasa teduh, apalagi ditambah mendengar lantunan ayat-ayat kauni. Panasnya matahari Kairo pun seolah kalah dengan teduhnya aliran sungai nil. Syauqi membawa dirinya untuk duduk di
"Jadi begini, Nak. Sembilan tahun lalu, ketika saya mendapat kabar bahwa saya diterima di Universitas Al-Azhar untuk melanjutkan S3, saya sempat sowan ke rumah Kyai Dzulfikar, beliau adalah kakak kelas saya sekaligus pimpinan pondok pesantren Daarul Qani'in, di Jawa Tengah. Dulu, ayahandanya adalah pimpinan di sana, tetapi setelah beliau wafat digantikan oleh Kyai Dzulfikar ini." "Jadi, cerita intinya bagaimana, Ustadz?" "Sabar. Belum sampai ke intinya." "Langsung ke intinya saja, Ustadz," gurau Syauqi. "Lha, kamu ini. Kalau kamu baca novel langsung ke intinya tanpa tahu awalnya, pastinya kurang seru dan kurang menantang. Sama juga seperti yang akan saya ceritakan ini. Sabar sedikit saja," ujar Ustadz Lukman. Dia tahu bahwa muridnya ini sedang bergurau dengannya. Syauqi terkekeh pelan lalu mengangguk. "Baiklah, Ustadz. Silakan dilanjutkan." Ustadz Lukman menggelengkan
Bandara terasa begitu panas di siang hari itu. Sinar matahari seakan menembus pori-pori kulit. Ditambah pula dengan hiruk pikuk pengunjung yang tak hentinya keluar masuk memenuhi setiap penjuru Bandara. Zea baru saja sampai di tanah air. Untungnya dia memakai kacamata hitam sehingga mampu sedikit melindungi matanya dari terik matahari di siang itu. Dia mulai mengedarkan pandangan ke setiap penjuru, kepalanya seolah memutar seratus delapan puluh derajat dari kanan ke kiri. Tampaknya dia sedang mencari seseorang. Kedua bola matanya terus bergerak. Hingga pada satu titik, pandangannya terhenti dan kedua sudut bibirnya mulai terangkat.Seraya menggiring koper hitam yang dia pegang dengan tangan kirinya, Zea melemparkan senyum ke arah wanita yang memakai abaya berwarna hitam dan kerudung berwarna coklat susu. Wanita itu tengah berdiri menyambutnya dengan semburat senyum di wajahnya."Ummi," lirih Zea seraya mencium punggung ta
Sekitar satu jam yang lalu Zea sudah membersihkan diri dan membereskan beberapa barang bawaannya. Zea sengaja membeli beberapa souvenir untuk dibagikan pada beberapa santriwati yang sudah lulus pendidikan formal dan sedang mengabdi di Pesantren Daarul Qani'in. Dia sudah menyimpannya di atas meja rias, niatnya akan dia berikan esok hari, karena hari ini cukup membuatnya merasa begitu lelah. "Rasanya sangat lelah, tapi mataku tidak bersahabat untuk kuajak terlelap. Jenuh sekali." Gadis itu turun dari ranjangnya dan hendak pergi ke luar kamar. Tok! Tok! Tok! Baru saja Zea hendak memegang gagang pintu, terdengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. Terdengar suara pintu yang dibuka. Matanya hampir saja menganak sungai, namun segera dia seka dengan ujung gamisnya. Zea memeluk seseorang yang kini berdiri di hadapannya. Pelukan yang meny
Gadis itu menatap layar ponselnya yang mulai redup. Dia masih termenung mengingat apa yang disampaikan Sarah—sang ibu yang dia panggil Umma—beberapa menit yang lalu melalui telpon. Seharusnya dia sudah bersiap pergi ke rumah pamannya sekitar satu jam yang lalu, tepatnya selepas waktu Zuhur. Namun, karena adanya panggilan dari sang Umma, membuat gadis 22 tahun itu harus menunda rencananya untuk beberapa saat."Maaf, Umma. Untuk saat ini, aku belum bisa memberikan jawaban," lirih gadis berkerudung hitam panjang itu dengan suara yang nyaris tak terdengar oleh siapa pun.Seketika dia mengalihkan pandangannya dari ponselnya. Dilihatnya seorang gadis berkerudung biru yang merupakan kawan satu flatnya tengah sibuk membuat adonan kue untuk dihidangkan bersama di malam nanti. Zea tinggal di kawasan El-Gamaleya. Kawasan ini sengaja menjadi pilihannya, karena menurutnya sangat strategis dan dekat dengan kampus Al-Azhar. Berbeda dengan Nasr City, di sana merupakan sala
Angin sahara kembali membelai wajahnya. Dia mulai menjejaki langkah demi langkah jalanan Kairo yang berdebu. Jilatan panas sinar matahari seakan membakar kulit wajahnya yang tidak ikut terbalut kain kerudung hitam panjangnya. Seandainya tidak memakai kacamata hitam, sinarnya yang menyilaukan pasti sudah terasa perih di mata. Jarak dari flatnya di El-Gamaleya menuju rumah Paman Omar di Nasr City bisa dibilang cukup menguras waktu. Meskipun masih berada di sekitar Kairo, namun untuk bisa sampai ke sana butuh beberapa jam di perjalanan, belum lagi harus melewati gang-gang sempit yang memang harus dijejaki dengan berjalan kaki. Jika bukan karena amanah dari sang Paman untuk datang ke rumahnya hari ini, mungkin dia akan lebih memilih menikmati sentuhan pendingin ruangan dan membuat adonan kue bersama Noura di rumah. "Zea ... Zea ...." Langkah kakinya terhenti. Telinganya menangkap ada suara yang memanggil-manggil dari arah belakang. Dia memicingkan matanya dan men
"Assalamu'alaik, ya 'Ammah Raeena. (Bibi Raeena)." "Hey. 'Alaikissalaam warahmatullah." "Izzayyak, ya 'Ammah? (Apa kabarmu, Bibi?)" "Kuways, alhamdulillah. (Baik, alhamdulillah)." Wanita berparas putih dengan bola mata cokelat itu mengembangkan senyumnya, dia tetap terlihat muda walau usianya tak lagi muda. Terlebih dari itu, dia memiliki kemampuan berbahasa Arab fusha maupun 'amiyah yang sangat fasih. Maklum, meskipun berdarah Jerman, dia adalah jebolan Universitas Al-Azhar, selain itu juga dia sudah lama menetap di Mesir bersama sang suami. Paman Omar dan Bibi Raeena hanya tinggal berdua sejak 11 tahun yang lalu. Di usia 15 tahun, putranya memilih untuk menetap di Jerman bersama sang kakek dan mengenyam pendidikan di sana. Mungkin satu tahun sekali putranya akan berkunjung ke Mesir untuk menjumpai Paman Omar dan Bibi Raeena.
Sekitar satu jam yang lalu Zea sudah membersihkan diri dan membereskan beberapa barang bawaannya. Zea sengaja membeli beberapa souvenir untuk dibagikan pada beberapa santriwati yang sudah lulus pendidikan formal dan sedang mengabdi di Pesantren Daarul Qani'in. Dia sudah menyimpannya di atas meja rias, niatnya akan dia berikan esok hari, karena hari ini cukup membuatnya merasa begitu lelah. "Rasanya sangat lelah, tapi mataku tidak bersahabat untuk kuajak terlelap. Jenuh sekali." Gadis itu turun dari ranjangnya dan hendak pergi ke luar kamar. Tok! Tok! Tok! Baru saja Zea hendak memegang gagang pintu, terdengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. Terdengar suara pintu yang dibuka. Matanya hampir saja menganak sungai, namun segera dia seka dengan ujung gamisnya. Zea memeluk seseorang yang kini berdiri di hadapannya. Pelukan yang meny
Bandara terasa begitu panas di siang hari itu. Sinar matahari seakan menembus pori-pori kulit. Ditambah pula dengan hiruk pikuk pengunjung yang tak hentinya keluar masuk memenuhi setiap penjuru Bandara. Zea baru saja sampai di tanah air. Untungnya dia memakai kacamata hitam sehingga mampu sedikit melindungi matanya dari terik matahari di siang itu. Dia mulai mengedarkan pandangan ke setiap penjuru, kepalanya seolah memutar seratus delapan puluh derajat dari kanan ke kiri. Tampaknya dia sedang mencari seseorang. Kedua bola matanya terus bergerak. Hingga pada satu titik, pandangannya terhenti dan kedua sudut bibirnya mulai terangkat.Seraya menggiring koper hitam yang dia pegang dengan tangan kirinya, Zea melemparkan senyum ke arah wanita yang memakai abaya berwarna hitam dan kerudung berwarna coklat susu. Wanita itu tengah berdiri menyambutnya dengan semburat senyum di wajahnya."Ummi," lirih Zea seraya mencium punggung ta
"Jadi begini, Nak. Sembilan tahun lalu, ketika saya mendapat kabar bahwa saya diterima di Universitas Al-Azhar untuk melanjutkan S3, saya sempat sowan ke rumah Kyai Dzulfikar, beliau adalah kakak kelas saya sekaligus pimpinan pondok pesantren Daarul Qani'in, di Jawa Tengah. Dulu, ayahandanya adalah pimpinan di sana, tetapi setelah beliau wafat digantikan oleh Kyai Dzulfikar ini." "Jadi, cerita intinya bagaimana, Ustadz?" "Sabar. Belum sampai ke intinya." "Langsung ke intinya saja, Ustadz," gurau Syauqi. "Lha, kamu ini. Kalau kamu baca novel langsung ke intinya tanpa tahu awalnya, pastinya kurang seru dan kurang menantang. Sama juga seperti yang akan saya ceritakan ini. Sabar sedikit saja," ujar Ustadz Lukman. Dia tahu bahwa muridnya ini sedang bergurau dengannya. Syauqi terkekeh pelan lalu mengangguk. "Baiklah, Ustadz. Silakan dilanjutkan." Ustadz Lukman menggelengkan
Syauqi baru saja mengantarkan pesanan katering ke Shubra. Akhir-akhir ini, Shubra menduduki voting tertinggi di antara kota-kota lainnya yang sering memesan katering pada Syauqi. Lisannya tak henti mengucap syukur, hari ini ada sekitar 80 kotak pesanan katering yang semuanya dia antarkan ke Shubra. Sebenarnya bisa saja pesanan itu diantarkan menggunakan jasa ekspedisi, tetapi dia sengaja ingin mengantarnya sendiri sekaligus menemui beberapa Mahasiswa Indonesia yang merupakan kawannya di Shubra. Biasanya, usai mengantar pesanan, Syauqi akan mampir sebentar ke dekat sungai nil untuk sekedar mengisi waktunya sembari mengetik naskah skripsi. Sungai nil memang salah satu tempat favorit yang biasa dia kunjungi. Menurutnya, melihat aliran sungai nil menjadikan hatinya terasa teduh, apalagi ditambah mendengar lantunan ayat-ayat kauni. Panasnya matahari Kairo pun seolah kalah dengan teduhnya aliran sungai nil. Syauqi membawa dirinya untuk duduk di
Enam minggu lalu Zea mendapatkan kabar bahwa dirinya diterima untuk melanjutkan S2-nya di Universitas Al-Azhar. Kini dia telah memulai studi pascasarjananya itu di tahun pertama. Allah telah menjawab doanya. Ya, ini adalah salah satu alasan terkuatnya mengapa dia menunda S2-nya dan belum membuka hati untuk universitas-universitas lain yang ada di Kairo, karena memang dia ingin melanjutkan studinya secara linear di Universitas Al-Azhar. Tepat di bulan Agustus lalu, Zea sempat mengikuti ujian masuk program S2 yang diadakan setiap tahunnya di Universitas Al-Azhar. Segala berkas dan persyaratan sudah disiapkan olehnya sejak jauh-jauh hari sebelum mendaftar, termasuk doa dan restu dari orang tuanya. Kalau ini, memang berkas persyaratan utama yang paling sakral. Bibit yang dia tanam dan dia rawat ternyata kini sudah tumbuh menjadi bunga yang indah. Ketika itu, matanya memerah, ujung bibirnya terangkat, serta lisannya tiada henti bersyukur ketika melihat
Seperti hari-hari sebelumnya. Menjelang siang hari, terik matahari mulai menyebar di segenap bumi Mesir, khususnya Kairo. Dengan langkah gontai, Zea berjalan keluar dariMaktabahAl-Azharmenuju taman Al-Azhar. Ada seseorang yang harus dia temui di sana. Tangan kanan gadis itu mengapit beberapa buah buku yang baru saja dia pinjam di perpustakaan. Dia mengeluarkan ponselnya ketika sampai di area taman Al-Azhar. Taman Al-Azhar ini lokasinya di sebelah selatan Universitas Al-Azhar. Pada tahun 2005, taman ini mulai dibuka untuk umum. Lokasinya yang sejuk serta bentuk arsitekturnya mirip dengan taman-taman Islam yang ada di abad pertengahan, menjadi daya tarik tersendiri dari taman ini. Di sisi utara taman ada museum yang telah merekam evolusi Kairo; sejarahnya, arsitekturnya, dan sisi-sisi budaya yang lainnya. Dari area museum, setiap yang berkunjung dapat melihat sisa-sisa kejayaan Mesir melalui panorama benteng Salahuddin Al-Ayyubi serta Masjid Muhammad
"Ahlashobah.Lawsamahti,yaAnesah(Selamat pagi. Permisi, Nona). Senang bertemu denganmu lagi." Zea mengalihkan pandangan dari buku yang sedang dibacanya. Gadis itu mengernyit, mengenali pria yang sedang berdiri di hadapannya. Dia adalah pria berparas Jerman yang Zea temui dimetrolima hari lalu. Pria berparas Jerman itu menggunakan bahasaArab'amiyahyang fasih. "Ahlashobah,ayyakhidmah?(Selamat pagi juga, ada yang bisa kubantu?)" sahut Zea. Kini Zea berada diMaktabahAl-AzharatauThe Library of Al-Azharyang letaknya di Salah SalemStreet. Jaraknya kurang lebih 3,6 kilometer dari flatnya di El-Gamaleya. Zea memang sering menghabiskan waktu untuk menulis hasil risetnya di sana. Bahkan sejak masih berstatus sebagai mahasiswi pun tak jarang dia mengunjungiMaktabah&nb
Pukul dua dini hari, Paman Omar tengah terjaga dari tidurnya. Dia hanya tidur kurang lebih tiga jam. Baginya, terlelap tiga jam itu sudah cukup untuk meremajakan seluruh saraf tubuhnya. Di tengah heningnya malam, dia masih seti melantunkanayat-ayat kaunidengan bacaan yang fasih. Di sampingnya, tampak sang istri yang sedang terlelap usai menghidupkan malamnya. Di tengah syahdunya lantunan tilawah Al-Qur'an yang keluar dari lisannya, terdengar seseorang mengetuk pintu rumahnya. Saat itu juga dia menyelesaikan tilawahnya dan beranjak dari duduknya. Diambilnya jubah putih kesayangannya dan langsung dia kenakan seraya berjalan menuju pintu depan. Dari jendela, dia melihat seorang pria dengan koper kecil yang dibawanya dan tengah berdiri menungguempu-nya membuka pintu. Ceklek!Pintu rumah terbuka. Dia menatapi sosok pria yang kini berdiri di hadapannya. Pria yang tak asing dalam pandangannya. Seorang pria kecil yang k
Zea sampai di flat sekitar jam tujuh lewat seperempat. Hari yang melelahkan. Sangat penat. Cuaca siang tadi sungguh membuat wajah terbakar. Untungnya murid Paman Omar yang datang untuk talaqqi tidak terlalu banyak siang tadi. Hanya ada sekitar empat orang yang hadir, sehingga dirinya bisa meminta waktu Paman Omar untuk berkonsultasi setelah memandu talaqqi. Sampai di depan flat, dia melepas sepatu dan kaos kaki, kemudian kembali mengayunkan langkah menuju kamar. Dalam flatnya, terdapat dua kamar, mereka bertiga memilih untuk tidur dalam satu kamar dan menggunakan kamar yang satunya untuk kegiatan seperti murajaah, shalat, belajar, dan lainnya. Tenaganya nyaris habis. Dia langsung melepas kacamata hitam, kerudung, serta menaruh tasnya di atas meja. Usai mandi dan menunaikan shalat 'Isya, gadis itu merebahkan tubuhnya di kasur. Dinyalakannya kipas angin yang belum dibersihkan beberapa hari terakhir ini sebelum merebahkan tubuhnya, nampak de