Share

Bagian 5

Penulis: El-Nazeeya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Pukul dua dini hari, Paman Omar tengah terjaga dari tidurnya. Dia hanya tidur kurang lebih tiga jam. Baginya, terlelap tiga jam itu sudah cukup untuk meremajakan seluruh saraf tubuhnya. Di tengah heningnya malam, dia masih seti melantunkan ayat-ayat kauni dengan bacaan yang fasih. Di sampingnya, tampak sang istri yang sedang terlelap usai menghidupkan malamnya.

Di tengah syahdunya lantunan tilawah Al-Qur'an yang keluar dari lisannya, terdengar seseorang mengetuk pintu rumahnya. Saat itu juga dia menyelesaikan tilawahnya dan beranjak dari duduknya. Diambilnya jubah putih kesayangannya dan langsung dia kenakan seraya berjalan menuju pintu depan. Dari jendela, dia melihat seorang pria dengan koper kecil yang dibawanya dan tengah berdiri menunggu empu-nya membuka pintu.

Ceklek!

Pintu rumah terbuka.

Dia menatapi sosok pria yang kini berdiri di hadapannya. Pria yang tak asing dalam pandangannya. Seorang pria kecil yang kini telah beranjak dewasa. Seorang pria yang merupakan darah dagingnya.

"Rasheed," ujarnya.

"Assalamu'alaikum, Ayah," ucap pria itu lirih seraya berhambur memeluk sang ayah.

"W*'alaikumussalaam warahmatullah. Apa kabarmu, Nak?"

"Kuways, Ayah. Alhamdulillah."

Dia adalah Rasheed. Putra sematawayang yang selama ini tinggal berjauhan darinya. Jerman telah menjadi saksi hidup Rasheed selama sebelas tahun terakhir. Susah senang telah dia lalui di negara Fatherland itu. Setiap musim panas biasanya Rasheed pulang ke Mesir untuk mengunjungi kedua orang tuanya.

"Mengapa pulang dini hari seperti ini? Apakah tidak bisa menunggu sampai besok pagi? Bagaimana jika ada sesuatu yang terjadi padamu di jalan?" Merasa khawatir terhadap putranya, Paman Omar melayangkan pertanyaan yang bertubi-tubi seraya kedua tangannya dia letakkan di atas pundak putranya.

Rasheed tersenyum. "Ayah, rumah temanku tidak terlalu jauh dari sini. Jadi aku sengaja datang dini hari, aku ingin memberi kalian kejutan. Aku tahu di waktu-waktu ini ayah sedang terjaga, dan benar saja dugaanku."

Paman Omar hanya tersenyum seraya mengangguk-angguk pelan dan kemudian mempersilakan putranya masuk ke dalam.

Dua tahun yang lalu, Rasheed telah mampu menyelesaikan program pascasarjananya pada prodi Arsitektur di Heidelberg University, Jerman. Meskipun dalam studinya dia mengambil prodi umum, dia tak pernah kurang menerima asupan ruhaniyah dari sang kakek. Tak jarang pula dia mengambil manfaat dari ilmu yang Allah karuniakan kepada sang ayah, secara virtual. Memang, di Jerman belum memiliki pusat pendidikan agama Islam sendiri karena masih mendatangkan imam dari luar negeri, sehingga tidak mudah untuknya menetapkan dan memilih guru dalam hal spiritual di sana.

Di usianya yang ke 23 tahun, tepatnya tiga tahun yang lalu, ketika dia sedang menjalani program pasca-nya, sang ayah sempat menawarkannya untuk menikahi seorang gadis Mesir yang bernama Shameeka. Gadis itu merupakan putri dari kawan sang ayah, Syeikh Abdul Halim Al-Kharasyi. Namun, tawaran tersebut dia tolak dengan halus tanpa niat menyakiti hati Shameeka maupun keluarganya.

"Shameeka, kau gadis yang baik. Pasti akan kautemukan seorang pria baik yang kelak akan mempersuntingmu. Maafkan aku karena tidak bisa menikahimu." Kala itu Rasheed tak sengaja berjumpa dengan Shameeka di Jalan Mustafa El-Nahas sepulang membeli makanan dari supermarket.

"Ana tahta amrak, ya Rasheed (Bagaimana kamu saja, Rasheed). Aku paham. Kau ingin fokus dengan program pascasarjanamu, dan aku pun ingin fokus dengan program sarjanaku." Gadis Mesir itu mengalihkan pandangannya ke suatu arah dan tersenyum. "Tak ada yang harus dipermasalahkan," sambungnya.

"Akan tetapi, jika kau yang telah Allah gariskan sebagai tulang rusukku sejak zaman azali, suatu saat nanti, mungkin saja aku akan kembali memintamu kepada ayahmu."

Shameeka tersenyum getir. "Jangan mengucapkan kata-kata yang hanya akan menjadi sebuah harapan untukku, Rasheed. Tak apa. Semoga kau menjadi seorang arsitektur yang tetap menjunjung nilai-nilai Islam."

"Ana muta-asif (Maafkan aku). Semoga kau juga kelak menjadi seorang kritikus sastra yang tetap taat terhadap agama."

"Amin." Shameeka masih dengan senyumnya yang menawan. "Oh ya, kau sedang berlibur?" Gadis itu mencoba mencairkan suasana yang sejak tadi terasa mencekam.

Rasheed mengangguk. "Kalau aku berkunjung ke Mesir, pasti aku sedang berlibur."

Shameeka menutup mulutnya dengan jemarinya yang lentik seraya tertawa ringkih, yang kemudian disusul dengan tawa ringkih Rasheed. Tawa yang masing-masing menyimpan getir.

Rupanya Rasheed belum bisa menerima tawaran tersebut karena dia masih ingin fokus menyelesaikan program pasca-nya. Tak ada rasa sakit hati yang hadir di antara keduanya, terutama Shameeka. Shameeka memang telah menaruh simpati terhadap Rasheed sejak dia berusia 12 tahun, yang kemudian rasa simpati itu semakin bertambah dan berubah menjadi sebuah rasa kagum. Keduanya telah berteman akrab sejak masa kanak-kanak. Namun, ketika sudah memasuki usia akil baligh, keduanya mulai menjaga jarak. Shameeka berusaha melapangkan hatinya atas jawaban yang Rasheed berikan, karena dia pun tidak mungkin memaksa Rasheed untuk menikah dengannya.

Jam dinding menunjukkan pukul setengah tiga, Paman Omar sempat ingin membangunkan sang istri untuk memberitahu bahwa putra mereka telah sampai dengan selamat, namun Rasheed mencegahnya. Dia tak ingin menganggu sang ibu yang sedang terlelap dalam mimpi indahnya. Paman Omar mengerti. Akhirnya dia kembali melantunkan ayat-ayat kauni usai mengantarkan putranya untuk beristirahat di kamar.

Sekitar pukul lima, azan Subuh berkumandang di segenap bumi Kinanah. Ini adalah Subuh pertama pada tahun ini Rasheed berangkat berjamaah ke masjid bersama sang ayah. Usai shalat Subuh berjamaah, mereka membaca Al-Qur'an kemudian bertadabbur sebentar. Hal ini sudah diajarkan oleh sang ayah sejak dia masih kecil. Meskipun ketika itu dia lebih sering merem melek ketimbang membaca Al-Qur'an dan bertadabbur.

Di musim panas, biasanya penduduk di Mesir akan langsung merebahkan tubuh di tempat tidur masing-masing setelah shalat Subuh. Karena memang ketika musim panas malamnya terasa pendek. Hal itu membuat mereka merasa kurang puas berselancar di alam mimpi. Wabilkhusus para pekerja yang bekerja di malam hari hingga pagi hari, atau para aktivis kampus yang begadang di malam harinya. Tetapi tidak untuk Paman Omar dan keluarga. Mereka tetap berusaha untuk terjaga hingga waktu Duha tiba, setelah itu barulah mereka merebahkan tubuhnya, jika mereka menginginkannya.

Bab terkait

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 6

    "Ahlashobah.Lawsamahti,yaAnesah(Selamat pagi. Permisi, Nona). Senang bertemu denganmu lagi." Zea mengalihkan pandangan dari buku yang sedang dibacanya. Gadis itu mengernyit, mengenali pria yang sedang berdiri di hadapannya. Dia adalah pria berparas Jerman yang Zea temui dimetrolima hari lalu. Pria berparas Jerman itu menggunakan bahasaArab'amiyahyang fasih. "Ahlashobah,ayyakhidmah?(Selamat pagi juga, ada yang bisa kubantu?)" sahut Zea. Kini Zea berada diMaktabahAl-AzharatauThe Library of Al-Azharyang letaknya di Salah SalemStreet. Jaraknya kurang lebih 3,6 kilometer dari flatnya di El-Gamaleya. Zea memang sering menghabiskan waktu untuk menulis hasil risetnya di sana. Bahkan sejak masih berstatus sebagai mahasiswi pun tak jarang dia mengunjungiMaktabah&nb

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 7

    Seperti hari-hari sebelumnya. Menjelang siang hari, terik matahari mulai menyebar di segenap bumi Mesir, khususnya Kairo. Dengan langkah gontai, Zea berjalan keluar dariMaktabahAl-Azharmenuju taman Al-Azhar. Ada seseorang yang harus dia temui di sana. Tangan kanan gadis itu mengapit beberapa buah buku yang baru saja dia pinjam di perpustakaan. Dia mengeluarkan ponselnya ketika sampai di area taman Al-Azhar. Taman Al-Azhar ini lokasinya di sebelah selatan Universitas Al-Azhar. Pada tahun 2005, taman ini mulai dibuka untuk umum. Lokasinya yang sejuk serta bentuk arsitekturnya mirip dengan taman-taman Islam yang ada di abad pertengahan, menjadi daya tarik tersendiri dari taman ini. Di sisi utara taman ada museum yang telah merekam evolusi Kairo; sejarahnya, arsitekturnya, dan sisi-sisi budaya yang lainnya. Dari area museum, setiap yang berkunjung dapat melihat sisa-sisa kejayaan Mesir melalui panorama benteng Salahuddin Al-Ayyubi serta Masjid Muhammad

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 8

    Enam minggu lalu Zea mendapatkan kabar bahwa dirinya diterima untuk melanjutkan S2-nya di Universitas Al-Azhar. Kini dia telah memulai studi pascasarjananya itu di tahun pertama. Allah telah menjawab doanya. Ya, ini adalah salah satu alasan terkuatnya mengapa dia menunda S2-nya dan belum membuka hati untuk universitas-universitas lain yang ada di Kairo, karena memang dia ingin melanjutkan studinya secara linear di Universitas Al-Azhar. Tepat di bulan Agustus lalu, Zea sempat mengikuti ujian masuk program S2 yang diadakan setiap tahunnya di Universitas Al-Azhar. Segala berkas dan persyaratan sudah disiapkan olehnya sejak jauh-jauh hari sebelum mendaftar, termasuk doa dan restu dari orang tuanya. Kalau ini, memang berkas persyaratan utama yang paling sakral. Bibit yang dia tanam dan dia rawat ternyata kini sudah tumbuh menjadi bunga yang indah. Ketika itu, matanya memerah, ujung bibirnya terangkat, serta lisannya tiada henti bersyukur ketika melihat

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 9

    Syauqi baru saja mengantarkan pesanan katering ke Shubra. Akhir-akhir ini, Shubra menduduki voting tertinggi di antara kota-kota lainnya yang sering memesan katering pada Syauqi. Lisannya tak henti mengucap syukur, hari ini ada sekitar 80 kotak pesanan katering yang semuanya dia antarkan ke Shubra. Sebenarnya bisa saja pesanan itu diantarkan menggunakan jasa ekspedisi, tetapi dia sengaja ingin mengantarnya sendiri sekaligus menemui beberapa Mahasiswa Indonesia yang merupakan kawannya di Shubra. Biasanya, usai mengantar pesanan, Syauqi akan mampir sebentar ke dekat sungai nil untuk sekedar mengisi waktunya sembari mengetik naskah skripsi. Sungai nil memang salah satu tempat favorit yang biasa dia kunjungi. Menurutnya, melihat aliran sungai nil menjadikan hatinya terasa teduh, apalagi ditambah mendengar lantunan ayat-ayat kauni. Panasnya matahari Kairo pun seolah kalah dengan teduhnya aliran sungai nil. Syauqi membawa dirinya untuk duduk di

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 10

    "Jadi begini, Nak. Sembilan tahun lalu, ketika saya mendapat kabar bahwa saya diterima di Universitas Al-Azhar untuk melanjutkan S3, saya sempat sowan ke rumah Kyai Dzulfikar, beliau adalah kakak kelas saya sekaligus pimpinan pondok pesantren Daarul Qani'in, di Jawa Tengah. Dulu, ayahandanya adalah pimpinan di sana, tetapi setelah beliau wafat digantikan oleh Kyai Dzulfikar ini." "Jadi, cerita intinya bagaimana, Ustadz?" "Sabar. Belum sampai ke intinya." "Langsung ke intinya saja, Ustadz," gurau Syauqi. "Lha, kamu ini. Kalau kamu baca novel langsung ke intinya tanpa tahu awalnya, pastinya kurang seru dan kurang menantang. Sama juga seperti yang akan saya ceritakan ini. Sabar sedikit saja," ujar Ustadz Lukman. Dia tahu bahwa muridnya ini sedang bergurau dengannya. Syauqi terkekeh pelan lalu mengangguk. "Baiklah, Ustadz. Silakan dilanjutkan." Ustadz Lukman menggelengkan

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 11

    Bandara terasa begitu panas di siang hari itu. Sinar matahari seakan menembus pori-pori kulit. Ditambah pula dengan hiruk pikuk pengunjung yang tak hentinya keluar masuk memenuhi setiap penjuru Bandara. Zea baru saja sampai di tanah air. Untungnya dia memakai kacamata hitam sehingga mampu sedikit melindungi matanya dari terik matahari di siang itu. Dia mulai mengedarkan pandangan ke setiap penjuru, kepalanya seolah memutar seratus delapan puluh derajat dari kanan ke kiri. Tampaknya dia sedang mencari seseorang. Kedua bola matanya terus bergerak. Hingga pada satu titik, pandangannya terhenti dan kedua sudut bibirnya mulai terangkat.Seraya menggiring koper hitam yang dia pegang dengan tangan kirinya, Zea melemparkan senyum ke arah wanita yang memakai abaya berwarna hitam dan kerudung berwarna coklat susu. Wanita itu tengah berdiri menyambutnya dengan semburat senyum di wajahnya."Ummi," lirih Zea seraya mencium punggung ta

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 12

    Sekitar satu jam yang lalu Zea sudah membersihkan diri dan membereskan beberapa barang bawaannya. Zea sengaja membeli beberapa souvenir untuk dibagikan pada beberapa santriwati yang sudah lulus pendidikan formal dan sedang mengabdi di Pesantren Daarul Qani'in. Dia sudah menyimpannya di atas meja rias, niatnya akan dia berikan esok hari, karena hari ini cukup membuatnya merasa begitu lelah. "Rasanya sangat lelah, tapi mataku tidak bersahabat untuk kuajak terlelap. Jenuh sekali." Gadis itu turun dari ranjangnya dan hendak pergi ke luar kamar. Tok! Tok! Tok! Baru saja Zea hendak memegang gagang pintu, terdengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. Terdengar suara pintu yang dibuka. Matanya hampir saja menganak sungai, namun segera dia seka dengan ujung gamisnya. Zea memeluk seseorang yang kini berdiri di hadapannya. Pelukan yang meny

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 1

    Gadis itu menatap layar ponselnya yang mulai redup. Dia masih termenung mengingat apa yang disampaikan Sarah—sang ibu yang dia panggil Umma—beberapa menit yang lalu melalui telpon. Seharusnya dia sudah bersiap pergi ke rumah pamannya sekitar satu jam yang lalu, tepatnya selepas waktu Zuhur. Namun, karena adanya panggilan dari sang Umma, membuat gadis 22 tahun itu harus menunda rencananya untuk beberapa saat."Maaf, Umma. Untuk saat ini, aku belum bisa memberikan jawaban," lirih gadis berkerudung hitam panjang itu dengan suara yang nyaris tak terdengar oleh siapa pun.Seketika dia mengalihkan pandangannya dari ponselnya. Dilihatnya seorang gadis berkerudung biru yang merupakan kawan satu flatnya tengah sibuk membuat adonan kue untuk dihidangkan bersama di malam nanti. Zea tinggal di kawasan El-Gamaleya. Kawasan ini sengaja menjadi pilihannya, karena menurutnya sangat strategis dan dekat dengan kampus Al-Azhar. Berbeda dengan Nasr City, di sana merupakan sala

Bab terbaru

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 12

    Sekitar satu jam yang lalu Zea sudah membersihkan diri dan membereskan beberapa barang bawaannya. Zea sengaja membeli beberapa souvenir untuk dibagikan pada beberapa santriwati yang sudah lulus pendidikan formal dan sedang mengabdi di Pesantren Daarul Qani'in. Dia sudah menyimpannya di atas meja rias, niatnya akan dia berikan esok hari, karena hari ini cukup membuatnya merasa begitu lelah. "Rasanya sangat lelah, tapi mataku tidak bersahabat untuk kuajak terlelap. Jenuh sekali." Gadis itu turun dari ranjangnya dan hendak pergi ke luar kamar. Tok! Tok! Tok! Baru saja Zea hendak memegang gagang pintu, terdengar seseorang mengetuk pintu kamarnya. Terdengar suara pintu yang dibuka. Matanya hampir saja menganak sungai, namun segera dia seka dengan ujung gamisnya. Zea memeluk seseorang yang kini berdiri di hadapannya. Pelukan yang meny

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 11

    Bandara terasa begitu panas di siang hari itu. Sinar matahari seakan menembus pori-pori kulit. Ditambah pula dengan hiruk pikuk pengunjung yang tak hentinya keluar masuk memenuhi setiap penjuru Bandara. Zea baru saja sampai di tanah air. Untungnya dia memakai kacamata hitam sehingga mampu sedikit melindungi matanya dari terik matahari di siang itu. Dia mulai mengedarkan pandangan ke setiap penjuru, kepalanya seolah memutar seratus delapan puluh derajat dari kanan ke kiri. Tampaknya dia sedang mencari seseorang. Kedua bola matanya terus bergerak. Hingga pada satu titik, pandangannya terhenti dan kedua sudut bibirnya mulai terangkat.Seraya menggiring koper hitam yang dia pegang dengan tangan kirinya, Zea melemparkan senyum ke arah wanita yang memakai abaya berwarna hitam dan kerudung berwarna coklat susu. Wanita itu tengah berdiri menyambutnya dengan semburat senyum di wajahnya."Ummi," lirih Zea seraya mencium punggung ta

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 10

    "Jadi begini, Nak. Sembilan tahun lalu, ketika saya mendapat kabar bahwa saya diterima di Universitas Al-Azhar untuk melanjutkan S3, saya sempat sowan ke rumah Kyai Dzulfikar, beliau adalah kakak kelas saya sekaligus pimpinan pondok pesantren Daarul Qani'in, di Jawa Tengah. Dulu, ayahandanya adalah pimpinan di sana, tetapi setelah beliau wafat digantikan oleh Kyai Dzulfikar ini." "Jadi, cerita intinya bagaimana, Ustadz?" "Sabar. Belum sampai ke intinya." "Langsung ke intinya saja, Ustadz," gurau Syauqi. "Lha, kamu ini. Kalau kamu baca novel langsung ke intinya tanpa tahu awalnya, pastinya kurang seru dan kurang menantang. Sama juga seperti yang akan saya ceritakan ini. Sabar sedikit saja," ujar Ustadz Lukman. Dia tahu bahwa muridnya ini sedang bergurau dengannya. Syauqi terkekeh pelan lalu mengangguk. "Baiklah, Ustadz. Silakan dilanjutkan." Ustadz Lukman menggelengkan

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 9

    Syauqi baru saja mengantarkan pesanan katering ke Shubra. Akhir-akhir ini, Shubra menduduki voting tertinggi di antara kota-kota lainnya yang sering memesan katering pada Syauqi. Lisannya tak henti mengucap syukur, hari ini ada sekitar 80 kotak pesanan katering yang semuanya dia antarkan ke Shubra. Sebenarnya bisa saja pesanan itu diantarkan menggunakan jasa ekspedisi, tetapi dia sengaja ingin mengantarnya sendiri sekaligus menemui beberapa Mahasiswa Indonesia yang merupakan kawannya di Shubra. Biasanya, usai mengantar pesanan, Syauqi akan mampir sebentar ke dekat sungai nil untuk sekedar mengisi waktunya sembari mengetik naskah skripsi. Sungai nil memang salah satu tempat favorit yang biasa dia kunjungi. Menurutnya, melihat aliran sungai nil menjadikan hatinya terasa teduh, apalagi ditambah mendengar lantunan ayat-ayat kauni. Panasnya matahari Kairo pun seolah kalah dengan teduhnya aliran sungai nil. Syauqi membawa dirinya untuk duduk di

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 8

    Enam minggu lalu Zea mendapatkan kabar bahwa dirinya diterima untuk melanjutkan S2-nya di Universitas Al-Azhar. Kini dia telah memulai studi pascasarjananya itu di tahun pertama. Allah telah menjawab doanya. Ya, ini adalah salah satu alasan terkuatnya mengapa dia menunda S2-nya dan belum membuka hati untuk universitas-universitas lain yang ada di Kairo, karena memang dia ingin melanjutkan studinya secara linear di Universitas Al-Azhar. Tepat di bulan Agustus lalu, Zea sempat mengikuti ujian masuk program S2 yang diadakan setiap tahunnya di Universitas Al-Azhar. Segala berkas dan persyaratan sudah disiapkan olehnya sejak jauh-jauh hari sebelum mendaftar, termasuk doa dan restu dari orang tuanya. Kalau ini, memang berkas persyaratan utama yang paling sakral. Bibit yang dia tanam dan dia rawat ternyata kini sudah tumbuh menjadi bunga yang indah. Ketika itu, matanya memerah, ujung bibirnya terangkat, serta lisannya tiada henti bersyukur ketika melihat

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 7

    Seperti hari-hari sebelumnya. Menjelang siang hari, terik matahari mulai menyebar di segenap bumi Mesir, khususnya Kairo. Dengan langkah gontai, Zea berjalan keluar dariMaktabahAl-Azharmenuju taman Al-Azhar. Ada seseorang yang harus dia temui di sana. Tangan kanan gadis itu mengapit beberapa buah buku yang baru saja dia pinjam di perpustakaan. Dia mengeluarkan ponselnya ketika sampai di area taman Al-Azhar. Taman Al-Azhar ini lokasinya di sebelah selatan Universitas Al-Azhar. Pada tahun 2005, taman ini mulai dibuka untuk umum. Lokasinya yang sejuk serta bentuk arsitekturnya mirip dengan taman-taman Islam yang ada di abad pertengahan, menjadi daya tarik tersendiri dari taman ini. Di sisi utara taman ada museum yang telah merekam evolusi Kairo; sejarahnya, arsitekturnya, dan sisi-sisi budaya yang lainnya. Dari area museum, setiap yang berkunjung dapat melihat sisa-sisa kejayaan Mesir melalui panorama benteng Salahuddin Al-Ayyubi serta Masjid Muhammad

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 6

    "Ahlashobah.Lawsamahti,yaAnesah(Selamat pagi. Permisi, Nona). Senang bertemu denganmu lagi." Zea mengalihkan pandangan dari buku yang sedang dibacanya. Gadis itu mengernyit, mengenali pria yang sedang berdiri di hadapannya. Dia adalah pria berparas Jerman yang Zea temui dimetrolima hari lalu. Pria berparas Jerman itu menggunakan bahasaArab'amiyahyang fasih. "Ahlashobah,ayyakhidmah?(Selamat pagi juga, ada yang bisa kubantu?)" sahut Zea. Kini Zea berada diMaktabahAl-AzharatauThe Library of Al-Azharyang letaknya di Salah SalemStreet. Jaraknya kurang lebih 3,6 kilometer dari flatnya di El-Gamaleya. Zea memang sering menghabiskan waktu untuk menulis hasil risetnya di sana. Bahkan sejak masih berstatus sebagai mahasiswi pun tak jarang dia mengunjungiMaktabah&nb

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 5

    Pukul dua dini hari, Paman Omar tengah terjaga dari tidurnya. Dia hanya tidur kurang lebih tiga jam. Baginya, terlelap tiga jam itu sudah cukup untuk meremajakan seluruh saraf tubuhnya. Di tengah heningnya malam, dia masih seti melantunkanayat-ayat kaunidengan bacaan yang fasih. Di sampingnya, tampak sang istri yang sedang terlelap usai menghidupkan malamnya. Di tengah syahdunya lantunan tilawah Al-Qur'an yang keluar dari lisannya, terdengar seseorang mengetuk pintu rumahnya. Saat itu juga dia menyelesaikan tilawahnya dan beranjak dari duduknya. Diambilnya jubah putih kesayangannya dan langsung dia kenakan seraya berjalan menuju pintu depan. Dari jendela, dia melihat seorang pria dengan koper kecil yang dibawanya dan tengah berdiri menungguempu-nya membuka pintu. Ceklek!Pintu rumah terbuka. Dia menatapi sosok pria yang kini berdiri di hadapannya. Pria yang tak asing dalam pandangannya. Seorang pria kecil yang k

  • Rembulan di Langit Kinanah   Bagian 4

    Zea sampai di flat sekitar jam tujuh lewat seperempat. Hari yang melelahkan. Sangat penat. Cuaca siang tadi sungguh membuat wajah terbakar. Untungnya murid Paman Omar yang datang untuk talaqqi tidak terlalu banyak siang tadi. Hanya ada sekitar empat orang yang hadir, sehingga dirinya bisa meminta waktu Paman Omar untuk berkonsultasi setelah memandu talaqqi. Sampai di depan flat, dia melepas sepatu dan kaos kaki, kemudian kembali mengayunkan langkah menuju kamar. Dalam flatnya, terdapat dua kamar, mereka bertiga memilih untuk tidur dalam satu kamar dan menggunakan kamar yang satunya untuk kegiatan seperti murajaah, shalat, belajar, dan lainnya. Tenaganya nyaris habis. Dia langsung melepas kacamata hitam, kerudung, serta menaruh tasnya di atas meja. Usai mandi dan menunaikan shalat 'Isya, gadis itu merebahkan tubuhnya di kasur. Dinyalakannya kipas angin yang belum dibersihkan beberapa hari terakhir ini sebelum merebahkan tubuhnya, nampak de

DMCA.com Protection Status