Terima kasih sudah membaca ^^ Jadwal up : Senin, Rabu dan Jum'at Next chapt, bersiaplah untuk memulai perang...
Sehari setelah kematian Luna, aku belum beranjak dari kamar dan melarang pelayan untuk masuk. Sudah tiga hari aku menangis dan merenungi semuanya. Sungguh, patah hati ditinggal Luna ternyata jauh menyakitkan dibanding pernikahan Zora waktu itu. Rasa kehilangan ini begitu besar sampai aku merasa kosong. Aku tak tahu siapa yang melaporkan tindakanku pada Bibi Erina, tapi yang jelas wanita itu kini tengah memaki dari luar kamar. Napasku masih bergetar akibat terisak dalam waktu lama, juga masih terkulai di ranjang seraya menggenggam mutiara kokoh yang menjadi sebuah peninggalan berharga. Aku meletakkan benda itu ke tempatnya, lalu menyimpannya di laci. Makian Bibi Erina masih terdengar, membuatku terpaksa bangun dari ranjang dan menemuinya. "Apa perlu seperti itu di depan kamarku?" tegurku lesu saat membuka pintu. "Kalau tidak seperti itu, kau tidak akan keluar!" sahutnya masih setengah memaki. "Hari ini kau bahkan melewatkan jam makanmu seharian penuh. Kau itu ingin mati atau bagaim
Aku duduk di sofa ruang kerja sembari menyangga dagu, mata-mata utusanku akhirnya kembali membawa laporan. Dia mengatakan bahwa kondisi Tryenthee sangat kacau meski penguasa di sana sudah berganti.Beberapa provinsi ingin melepaskan diri dari bagian Tryenthee, juga kudengar ada kerajaan lain mengincar kerajaan yang sedang carut marut itu.Tentu saja, hal itu membuatku harus bertindak cepat sebelum ada pihak lain yang menguasai daratan incaranku.Dia juga mengatakan bahwa pertahanan Tryenthee sedang melemah. Selain bangsawan yang memiliki loyalitas bersaing, korupsi juga berimbas pada persenjataan militer yang tak layak sehingga perang saudara terakhir dimenangkan oleh Provinsi Luzen.Seandainya aku tahu Tryenthee ternyata serapuh itu dari awal, mungkin seharusnya aku langsung menyerang tanpa meracuni mereka semua. Namun, di sisi lain aku juga tak boleh gegabah.Ah, biarlah. Justru hal ini membuatku semakin mudah menyerang mereka."Bagaimana dengan kondisi pasukan di sana?" tanyaku."S
Kami kembali melanjutkan invasi secara besar-besaran di ibukota. Berkat bantuan tambahan dari Tuan Dary, rencanaku berjalan lancar. Seharusnya ini tak sulit. Setelah mendapatkan istana, aku akan merebut pemerintahan Tryenthee lalu menguasai semua wilayah dengan mudah. Memaksa mereka untuk tunduk padaku sebagai penguasa baru dan mengeksekusi seluruh keluarga kerajaan tanpa sisa. Meski aku sudah mendapatkan sebagian wilayah ibukota, tapi jarak istana begitu jauh. Kota Truin ternyata begitu luas. Hari mulai malam dan perjalananku masih lumayan jauh. Dari kejauhan, mataku melihat siluet tenda pasukan lain yang asing. Cahaya api bekas kebakaran masih terlihat seolah-olah telah terjadi pertempuran hebat pada beberapa hari sebelumnya. "Yang Mulia, di depan adalah pasukan dari Gubernur Luzen," ujar salah satu pemimpin pasukan yang berada di sebelahku. "Oh, ternyata mereka masih ada di sini? Kukira perang antara pasukan relawan Benriaco dengan Gubernur Luzen sudah selesai," gumamku, tak me
"Jadi seperti ini rasanya duduk di singgasana raja?" gumamku sambil menyangga dagu, sadar diri jika masih menyandang status pangeran. "Tidak buruk.""Yang Mulia, Ratu Zora berhasil melarikan diri dan pulang ke Kerajaan Keylion," ujar salah satu pasukanku.Aku terdiam sejenak sembari berpikir. Jika ia sudah berhasil memasuki wilayah Keylion, berarti aku harus menghentikan pengejaran terhadapnya dan mencari cara lain. Meski begitu, aku harus tetap waspada karena ia sangat berbahaya."Abaikan dia untuk sementara. Sekarang yang perlu kita lakukan adalah menangkap seluruh keluarga kerajaan yang tersisa, hidup atau mati.""Baik."Setelah berhasil mendapatkan istana dan mendeklarasikan kemenangan di hadapan semua orang, aku kembali melakukan invasi ke seluruh provinsi dan membereskan orang-orang yang berpotensi untuk memberontak.Berita runtuhnya Tryenthee menyebar secara luas. Semua mata dunia kini tertuju padaku. Sebagian kagum atas keberhasilanku, sebagian juga mengecam tindakanku atas hi
Setelah turun dari pelabuhan, aku segera menunggangi kuda dan melaju ke Istana Putri.Setelah hampir setahun tak pulang, aku seperti diingatkan kembali pada kenangan manis di tempat ini, membangkitkan kerinduan yang tak bisa kujelaskan.Kuhirup udara dengan bebas ketika angin bertiup kencang. Aroma musim semi merebak, mengingatkanku pada beberapa kuntum bunga yang bermekaran.Setelah beberapa jam berkuda, akhirnya rombonganku sampai di istana. Para pelayan menyambut dan segera menyiapkan keperluanku. Aku segera ke Mansion Putra Mahkota untuk berganti pakaian. Setelah itu, bergegas ke Mansion Putri untuk melihat langsung keadaan Bibi Erina."Saya ingin bertemu dengan tuan putri," ujarku pada penjaga mansion."Mari silakan masuk, Yang Mulia. Putri ada di taman belakang."Aku mengikuti langkah pelayan yang membawaku ke taman. Tempat favoritnya untuk membaca buku, seperti biasa."Bibi," panggilku saat melihat sosoknya duduk membelakangiku.Perlahan ia menoleh dan aku segera berlari ke ara
Aku seperti diseret ke dalam lorong gelap dengan kecepatan tinggi. Kemudian, tubuhku seperti melayang di udara. Saat membuka mata, aku berada di halaman Istana Vainea.Kudengar dentingan pedang yang mengusik dan aku dibuat syok dengan apa yang kulihat. Seorang gadis dengan gaun pengantin yang berlumuran darah. Dia adalah ibuku. Ia tengah bertarung sendirian melawan puluhan orang. Sepertinya mereka penyusup yang menyamar menjadi penjaga istana.Aku sadar ini mimpi. Rasanya seperti sedang memasuki arus waktu yang membawaku menuju ke masa lalu ibu. Aku ternganga dan dibuat kagum. Pantas saja ia begitu dihormati dan ditakuti, selain keahliannya menggunakan pedang, staminanya juga patut dipuji. Tak salah jika ayah begitu mencintainya. Walau berlumuran darah, ia tetap cantik.Ibu memasuki ruangan yang ternyata adalah penandatanganan perjanjian damai. Kejadiannya begitu cepat hingga seseorang menembakkan anak panah ke arahnya.Tubuhku membeku saat ibu ambruk dengan lima anak panah menancap
Mataku terbuka perlahan, matahari sudah hampir terbit. Bisa dibilang, aku hanya tidur sebentar, tapi terasa lama. Aku terkejut saat menyadari di sampingku tidak ada siapa-siapa, Luna sudah bangun lebih dulu.Aku menjuntaikan kaki ke lantai dan bangun menuju kamar mandi untuk membasuh wajah. Walau hanya tidur sebentar, tapi sudah cukup untuk membuatku merasa segar. Setelah ini, aku berniat untuk mencari Luna, mungkin saja dia sudah bersiap di meja makan.Tubuhku terhenti seketika saat kudapati sosoknya tengah berendam di bak. Spontan wajahku memerah ketika melihat punggungnya yang tak tertutup kain sedikit pun. Ada sedikit perasaan aneh yang menggodaku sesaat."Luna?"Dia menoleh seketika dan hampir menjerit. Dengan cepat ia membenamkan seluruh tubuhnya ke air hingga menyisakan kepalanya saja."Yang Mulia, maaf saya memakai bak mandi Anda tanpa izin," katanya dengan tempo yang cepat.Aku terdiam sesaat atas reaksinya. Ia masih terlihat kaku walau kami sudah bersama. Bahkan ia meminta m
Kami berlayar menuju tanah seberang setelah dua hari pasca penobatan. Beberapa pengawal sudah menunggu di pelabuhan dengan menyiapkan kereta kuda. Di sana juga ada Eleanor yang menyambut."Salam hormat dan selamat datang, Yang Mulia," ucap Eleanor, lalu semuanya membungkuk hormat. "Selamat atas penobatan Anda. Akhirnya Anda telah resmi menjadi Raja Vainea.""Terima kasih, Adipati," sahutku, lalu menatap wanita di sampingku. "Luna, perkenalkan ini Adipati Luzen.""Salam hormat saya untuk yang mulia ratu," ujar Eleanor lagi, kali ini pada Luna. "Senang bertemu Anda.""Terima kasih, Nona. Tapi--" Luna tampak mengingat sejenak. "Bukankah ... Luzen merupakan sebuah provinsi?"Aku terdiam, sebagai mantan adipati sangat wajar kalau Luna juga memiliki wawasan tentang orang-orang dari kerajaan lain."Benar, Yang Mulia. Yang mulia raja memberi saya gelar adipati setelah perang penaklukan."Luna menatapku sekilas, antara heran dan penasaran. Kemudian, ia kembali memasang ekspresi ramah elegan kh
_50 TAHUN KEMUDIAN_ -Kota Luna, Ibukota Vainea-.'Aku mencintaimu pada pandangan pertama. Aku mencintaimu untuk kedua kalinya. Aku juga mencintaimu di kehidupanku sebelumnya. Gapailah tanganku, maka kau dan aku akan terus bersama.'.Fiant Wayner, adalah identitas baru setelah aku turun takhta sebagai kaisar dengan memalsukan kematianku. Bukan istana lagi, kini aku menetap di lantai lima sebuah perpustakaan kota yang dibangun oleh Bibi Erina. Aku memakai kacamata, serta syal merah yang warnanya telah pudar. Kugenggam sebutir mutiara dengan uap putih yang menguar dari mulut. Kurapatkan jaket beserta topi untuk menutupi sedikit wajahku, lalu memasukkan mutiara itu ke saku. Vainea kini semakin maju seiring perkembangan jaman. Generasi pemerintahan telah berganti. Akhirnya bibi kesayanganku menikah juga, walau sangat sulit untuk memenuhi kriterianya.Terkadang aku rindu pada suasana di istana karena banyak kenangan yang tertinggal di sana. Beruntung, tak ada yang bisa mengenaliku sete
Aku dan Putri Clara duduk di ruang tamu istana Keylion yang dijaga ketat oleh beberapa pengawalku. Kami duduk saling berhadapan dengan suasana tegang, tanpa teh dan kudapan. Kurogoh saku dan meletakkan lencana Ratu Keylion di meja dengan sedikit melemparnya. "Saat terjadi keributan di Keylion karena perebutan takhta, seharusnya kau menjadi Ratu Keylion. Sesuai dengan urutan pewaris, posisimu ada di bawah Raja Luen," ujarku. "Pakailah! Sekarang kau adalah penguasa." Ia terkejut atas kalimatku. "Kenapa? Bukankah Anda melakukan perang penaklukan agar bisa menguasai Keylion?" "Musuhku adalah Zora, bukan Keylion." "Jadi Anda melakukan perang penaklukan hanya untuk membunuh Zora?" Clara tak habis pikir. "Apa Anda tahu bahwa tindakan Anda akan membuat Vainea dimusuhi banyak kerajaan lain?" "Kau menanyakan keputusanku?" "Maaf jika saya lancang, hanya saja ... jika Anda memang dari awal mengincar Zora, seharusnya Anda bisa melakukannya tanpa harus membuat perang besar." "Aku tidak tahu
Hanya dalam satu bulan, aku berhasil mempelajari sihir yang dipinjamkan padaku. Meski ada bagian yang sulit dan bahkan hampir merenggut nyawa, tapi pada akhirnya aku bisa menguasainya. Hari ini, tepat awal musim dingin, kudaku melaju bersama seribu pasukan di belakang. Baju zirah mereka telah kuberi batu sihir klon agar jumlahnya berlipat. Masing-masing satu orang bisa dikloning seratus kali lipat.Jika aku membawa seribu, jumlahnya akan bertambah menjadi seratus ribu. Itu jumlah yang cukup untuk memporakporandakan satu kota di perbatasan. Bukan hanya itu, batu sihir di baju zirah mereka juga terkoneksi dengan kekuatan sihirku agar stamina mereka tak surut dengan mudah. Setelah berkuda sejak dini hari, akhirnya kami sampai di perbatasan Keylion. Ribuan pasukan sudah menghadang dengan senjata dan alat tempur mereka.Hanya menunggu waktu hingga pasukan kami saling membentur kematian. "Tembak!" Sebuah bola api raksasa melesat dari benteng dan untungnya aku sudah mengantisipasi
Pada umumnya, masa duka hanya berlangsung satu sampai dua minggu. Namun, hingga satu bulan masa dukaku belum juga usai. Tak jarang aku mendengar gunjingan bahwa Raja Vainea berubah menjadi pendiam dan mulai gila.Berkat telingaku yang peka akibat kekuatan baru, aku juga bisa mendengar gunjingan para pelayan mengenai diriku.'Yang mulia raja sudah menjadi mayat hidup karena terlalu bersedih. Tubuhnya kurus dan pucat.''Yang mulia raja sedang dihukum akibat skandal yang membuatnya melanggar ritual.''Yang mulia raja mulai gila dan terus meminta pelayan untuk menyiapkan keperluan mendiang ratu yang telah tiada. Para pelayan diharuskan tetap menyediakan makan malam untuk ratu meski beliau tahu, makanan itu takan ada yang menyentuhnya.''Sungguh kasihan raja kami. Kekayaan dan kekuasaan seolah tak ada artinya tanpa ada yang mulia ratu di sisinya.'Ya, gunjingan-gunjingan itu memenuhi kepalaku, tapi aku enggan untuk merespons. Bagiku, mereka boleh berpendapat asal tak bersikap lancang di ha
____Serangan di Hari ke Lima Belas___ Aku berdiri di atas menara perbatasan untuk melihat langusng situasi dari kejauhan. Rupanya, pasukan yang dikerahkan Zora cukup banyak. Namun, wanita itu tak terlihat. Mungkin saja dia ada di barisan belakang.Aku menghela napas saat puluhan meriam tengah menembaki dinding untuk meruntuhkan benteng. Namun, nihil. Inilah alasan mengapa aku tak menggunakan meriam saat perang penaklukan, karena aku tahu takan bisa meruntuhkan dinding ini. Beruntung, aku berhasil mendapat pasokan bahan peledak dari Axylon. Kini sudah 15 hari aku berada di sini untuk memantau situasi, tapi rasanya seperti sia-sia. Kalau seperti ini terus, Vainea akan mengalami masa krisis yang parah. "Yang Mulia, utusan yang Anda kirim untuk menemui Ratu Zora tewas dibunuh," ujar Eleanor. "Tampaknya beliau enggan untuk melakukan negosiasi." "Tak kusangka rencanaku meleset jauh." Aku menarik napas sembari berpikir. "Berdasarkan karakternya, seharusnya ia akan menerima permintaanku un
Kabar skandal kami akhirnya tersebar setelah kunjunganku ke Keylion beberapa hari yang lalu. Ya, sesuai dugaanku sebelumnya.Aku senang karena rencanaku berhasil, tapi akibat dari berita skandal itu, masyarakat mulai mempertanyakan kesetiaanku. Bahkan ada yang melontarkan serapah atas pengkhianatan ritual yang mereka anggap suci.Juga, ada yang membanding-bandingkan kesetiaanku dengan mendiang ayah yang pernah menikah lagi dengan Putri Lucia dari Tryenthee karena politik. Namun, beliau tak menyentuh istri ke-duanya sama sekali demi menjaga ritual pernikahannya dengan ibu.Luna sangat bersabar dengan kabar yang beredar, terutama cemoohan para gadis yang iri atas kedudukannya.Sebenarnya aku sedikit tak terima atas cemoohan yang ditujukan padanya. Dalam hal ini, sepenuhnya adalah salahku, tapi ia ikut justru terkena imbasnya.Mungkin saat ini Zora juga mengira aku akan panik atas menyebarnya berita skandal ini. Namun, nyatanya tidak. Semua ini sudah termasuk bagian dari rencanaku walau
Aku terbangun dengan perih di sekujur tubuh. Perabot yang berantakan membuatku tersadar betapa gilanya kami memadu kasih semalam.Tubuhku dipenuhi cakaran dan gigitan Luna, serta serpihan beling yang sebagian masih menancap. Luna memekik sakit, ia pun terbangun seraya meringis. Tubuhnya dipenuhi luka lebam berbaur bekas cumbuan."Kau baik-baik saja?"Luna terdiam sejenak. "Ada beling di kakiku."Aku segera memeriksa telapak kakinya. Benar saja, satu lempengan runcing nan bening menancap di sana, disertai darah yang mengering.Luna memekik saat kucabut benda tajam itu. Kini darahnya kembali menetes, menambah bercak merah pada sprei yang sudah ternoda."Yang Mulia, sarapan sudah tersedia," ujar Vajira dari balik pintu."Kami akan menyusul!" sahutku. "Oh, Vajira. Tolong panggil tabib dan beberapa pelayan lain!""Baik, Yang Mulia," sahutnya.Aku memekik saat Luna menyabut salah satu beling di punggungku."Astaga, banyak sekali yang tertancap," gumamnya.Luna segera meraih ujung sprei dan
Aroma darah mengudara di medan perang nan suram. Aku bersimpuh di tengah ratusan mayat yang bergelimpangan, merengkuh sosok Luna yang tak bernyawa dengan kegelapan yang menyelimuti hati. Tangisan pilu menguasai diriku pada tangan yang ternoda, begitu menyesakkan dada. Angin berbisik. 'Hukuman telah dimulai' Aku membuka mata dengan tubuh mengerjap. Kudapati langit-langit kamar dengan peluh yang membasahi dahi. Sial, aku mimpi buruk lagi. Biasanya aku mimpi jika tidur malam, tapi anehnya ini terjadi saat tidur siang. Sudah ke tiga kali aku bermimpi hal serupa dan sampai sekarang, hubunganku dan Luna masih begitu dingin. "Anda baik-baik saja?" Aku teduduk saat Ezra bertanya. "Hanya mimpi buruk." "Awalnya saya hendak membangunkan Anda, tapi Anda sudah bangun lebih dulu," ujarnya. "Anda sangat gelisah dalam tidur Anda." Kutatap anak berusia sepuluh tahunan itu. "Bocah, tidak biasanya kau membangunkanku. Apa ada sesuatu yang sangat penting?" "Benar, Yang Mulia. Maaf jika saya tak sop
Katanya, pagi hari merupakan awal yang baru. Sepertinya itu benar. Ini awal baru dimana penderitaanku dimulai. Setelah ini hidupku akan dipenuhi kutukan dan hukuman. Juga, mungkin aku takan mendapat pengampunan.Semua para tamu dari berbagai kerajaan mulai berpamitan dan bersiap untuk pulang ke negara masing-masing, begitu pun denganku. Di antara puluhan penguasa, mungkin hanya aku yang tak memberi penghormatan terakhir pada tuan rumah."Padahal matahari begitu cerah, tapi kenapa aku merasa kedinginan di dekatmu?" sindir Raja Leon dengan nada bercanda, sementara aku tak merespons.Kemudian ia menatap putranya yang baru saja datang. "Kau juga terlihat muram, Hans.""Aku sedikit lelah," sahutnya ikut bergabung.Raja Leon menepuk bahu putranya yang tampak lesu, kemudian ia terdiam sejenak lalu menyeringai. "Kau semalam bercinta penuh semangat?"Raja Hans segera menepis tangan ayahnya dengan wajah malu. "Jangan sembarangan membaca pikiranku, Ayah."Sepertinya Zora memang memberi obat di m