Aku dan Putri Clara duduk di ruang tamu istana Keylion yang dijaga ketat oleh beberapa pengawalku. Kami duduk saling berhadapan dengan suasana tegang, tanpa teh dan kudapan. Kurogoh saku dan meletakkan lencana Ratu Keylion di meja dengan sedikit melemparnya. "Saat terjadi keributan di Keylion karena perebutan takhta, seharusnya kau menjadi Ratu Keylion. Sesuai dengan urutan pewaris, posisimu ada di bawah Raja Luen," ujarku. "Pakailah! Sekarang kau adalah penguasa." Ia terkejut atas kalimatku. "Kenapa? Bukankah Anda melakukan perang penaklukan agar bisa menguasai Keylion?" "Musuhku adalah Zora, bukan Keylion." "Jadi Anda melakukan perang penaklukan hanya untuk membunuh Zora?" Clara tak habis pikir. "Apa Anda tahu bahwa tindakan Anda akan membuat Vainea dimusuhi banyak kerajaan lain?" "Kau menanyakan keputusanku?" "Maaf jika saya lancang, hanya saja ... jika Anda memang dari awal mengincar Zora, seharusnya Anda bisa melakukannya tanpa harus membuat perang besar." "Aku tidak tahu
_50 TAHUN KEMUDIAN_ -Kota Luna, Ibukota Vainea-.'Aku mencintaimu pada pandangan pertama. Aku mencintaimu untuk kedua kalinya. Aku juga mencintaimu di kehidupanku sebelumnya. Gapailah tanganku, maka kau dan aku akan terus bersama.'.Fiant Wayner, adalah identitas baru setelah aku turun takhta sebagai kaisar dengan memalsukan kematianku. Bukan istana lagi, kini aku menetap di lantai lima sebuah perpustakaan kota yang dibangun oleh Bibi Erina. Aku memakai kacamata, serta syal merah yang warnanya telah pudar. Kugenggam sebutir mutiara dengan uap putih yang menguar dari mulut. Kurapatkan jaket beserta topi untuk menutupi sedikit wajahku, lalu memasukkan mutiara itu ke saku. Vainea kini semakin maju seiring perkembangan jaman. Generasi pemerintahan telah berganti. Akhirnya bibi kesayanganku menikah juga, walau sangat sulit untuk memenuhi kriterianya.Terkadang aku rindu pada suasana di istana karena banyak kenangan yang tertinggal di sana. Beruntung, tak ada yang bisa mengenaliku sete
Aku menatap lembaran-lembaran kertas usang yang menumpuk di meja. Kutata berdasarkan urutan tanggal terbit media berita itu satu persatu. Rasa penasaran terhadap kematian kedua orang tuaku begitu kuat, sampai aku tak bisa tidur karena memikirkannya.Kuhela napas untuk beristirahat sejenak sambil menatap lukisan wajah mereka. Tak habis pikir dengan berita-berita tentang mereka di masa lalu yang penuh kejanggalan."Rein, kau sedang sibuk?"Aku menoleh ketika seorang wanita membuka pintu kamar. Segera kubereskan semua kertas-kertas itu secepat mungkin. "Bisakah ketuk pintu sebelum masuk ke kamarku?"Bibi Erina melangkah masuk sambil memperhatikan kertas-kertas di tanganku lalu bertanya, "Sepenasaran itu kau dengan kisah kedua orang tuamu?" Ia menarik selembar kertas yang berada di tumpukan teratas. "Tidakkah kau mempercayai rumor yang beredar?"Aku menghela napas sejenak, lalu menunjukkan salah satu kertas yang memberitakan perang terakhir mereka."Rumornya, mereka saling mencintai. Tapi
"Yang Mulia, kita sudah masuk ke perbatasan Axiandra."Mataku mengerjap saat kusir di depan bersuara. Kulihat hari sudah senja dengan cahaya keemasan di ufuk barat. Aku menguap sejenak dan meregangkan tubuh setelah beberapa jam tertidur di kereta. Punggungku sedikit pegal karena terlalu lama tidur dalam posisi duduk dan meringkuk.Kulempar pandangan ke luar jendela. Peristiwa saat bertemu Putri Zora sedikit melekat dalam ingatan dan membuatku tak habis pikir, tapi aku berusaha mengabaikannya.Sebuah monumen besar kini terpampang di hadapanku dengan keramaian kota yang sangat padat. Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Axiandra, kerajaan terjauh dari Vainea. Aroma kayu manis menguar dari salah satu kedai, juga—aroma biskuit jahe. Memberi kesan hangat pada bangunan unik itu.Axiandra, salah satu kerajaan besar dengan wilayah yang luas membuat perjalananku semakin terasa lama. Hingga akhirnya, aku sampai di Royale Academy pada malam harinya.Kedatanganku langsung disambut oleh
Aku sadar memang terkadang kejam, tapi itu berkaitan dengan para pengkhianat di kerajaanku. Aku takan bersikap seperti itu tanpa alasan. Apa—nantinya akan ada pengkhianat di Vainea?"Rein, kau percaya pada peramal itu?" tanya Henry memecah keheningan."Sebenarnya ... tidak terlalu," sahutku, masih setengah melamun. "Kau sendiri?"Henry mengendikkan bahu. "Entahlah. Aku sedikit percaya, tapi juga tidak. Kebanyakan orang Axiandra sangat mempercayai ramalan." Ia menghela napas sejenak dengan mata menerawang. "Gadis bangsawan dengan cinta yang tulus dan rela mengorbankan apa pun untukmu. Ah, manis sekali. Dia pasti gadis lembut dan penuh kasih sayang.""Itu akan menjadi misteri yang memusingkan. Pasalnya, gadis bangsawan yang dikenalkan padaku sangat banyak dan mereka terlihat lembut saat berhadapan denganku. Itu sama saja seperti mencari jarum di tengah tumpukan jerami.""Hmm ... ya, kau benar. Kita tidak bisa menilai seseorang dari sikap luarnya saja, jadi kau harus mengenal mereka deng
Suara dentuman palu menggema saat para murid berjalan melewati aula utama usai makan siang. Di sana ada seorang petugas yang sedang memaku papan kecil dalam daftar pelanggaran.Suasananya begitu ramai, bukan hanya dari kalangan pangeran yang berkumpul untuk melihatnya, tapi juga dari kalangan tuan putri.“Hari pertama sudah ada yang melanggar aturan?” gumam Vincent tak menyangka.Kulihat sosok gadis memakai pita merah di lengannya, itu adalah simbol hukuman atas pelanggaran yang ia lakukan. Namun, yang membuatku terpaku gadis itu adalah—Putri Zora. Gadis menyebalkan yang pernah menemuiku waktu itu.Aku menatap papan kecil yang terpasang dan di sana menjelaskan bahwa gadis itu mabuk. Itu merupakan pelanggaran ringan, tapi tetap saja akan memperburuk citra Kerajaan Keylion.Suara bisikkan menggema, sosoknya kini menjadi bahan pembicaraan dari kalangan para gadis yang tak menyangka atas perbuatannya.“Bagaimana bisa putri sepertimu mabuk di malam pertama tinggal di sini?” tanya salah sat
Tak terasa sudah akhir pekan sejak masuk di Royale Academy. Tak banyak hal berarti dari pelajaran yang menurutku sedikit membosankan, meski ada hal baru juga yang menarik.Bersosialisasi sesama bangsawan ternyata tidak seburuk dugaanku, justru aku memiliki banyak teman dari berbagai kalangan di seluruh penjuru wilayah. Ya, meski tidak terlalu akrab, tapi sebagian besar kami berhasil menjalin hubungan dengan baik, kecuali dengan Carl. Hubungan kami masih dibayangi permusuhan akibat perang 20 tahun yang lalu.Jadwal hari ini adalah kelas dansa. Tepatnya di ballroom yang lokasinya dekat aula. Dalam kelas ini, sudah pasti semua akan berbaur menjadi satu dengan para gadis. Aku tak bisa membayangkan bagaimana sesaknya tempat itu.Hari ini, aku sudah bersiap padahal ada rasa sedikit enggan mengikuti kelas akhir pekan. Kurasa Henry pun begitu, tapi peraturan tetap peraturan. Akan ada sanksi bagi yang tak hadir tanpa alasan yang dibenarkan."Rein, kau sudah siap?" Henry mengetuk pintu. Cukup a
Aku sudah berada di arena latihan pagi ini, sesuai kesepakatan dengan Luna. Untung saja, kami diijinkan menggunakan arena latihan di luar jadwal. Gadis itu ternyata sudah menungguku lebih awal, lengkap mengenakan pakaian pelindung untuk berlatih."Maaf sudah membuatmu menunggu," ujarku, sembari mengenakan pakaian pelindung."Tidak masalah, Yang Mulia. Maaf jika permintaan saya telah mengganggu waktu istirahat Anda di hari libur.""Sekarang, apa kita langsung mulai saja bertandingnya?"Luna mengangguk, lalu menyodorkan sebilah pedang dengan kedua tangannya padaku."Saya akan melawan Anda dengan sungguh-sungguh. Jadi, saya harap Anda pun begitu."Alisku terangkat sebelah. Untuk pertama kalinya aku ditantang oleh seorang gadis yang ingin melawanku dengan sungguh-sungguh. Sepertinya ini akan menjadi pertarungan yang menarik. Aku jadi penasaran seberapa besar kemampuannya menggunakan benda mematikan ini."Bersiaplah, Yang Mulia."Suara dentingan pedang kami memecah keheningan di arena yang
_50 TAHUN KEMUDIAN_ -Kota Luna, Ibukota Vainea-.'Aku mencintaimu pada pandangan pertama. Aku mencintaimu untuk kedua kalinya. Aku juga mencintaimu di kehidupanku sebelumnya. Gapailah tanganku, maka kau dan aku akan terus bersama.'.Fiant Wayner, adalah identitas baru setelah aku turun takhta sebagai kaisar dengan memalsukan kematianku. Bukan istana lagi, kini aku menetap di lantai lima sebuah perpustakaan kota yang dibangun oleh Bibi Erina. Aku memakai kacamata, serta syal merah yang warnanya telah pudar. Kugenggam sebutir mutiara dengan uap putih yang menguar dari mulut. Kurapatkan jaket beserta topi untuk menutupi sedikit wajahku, lalu memasukkan mutiara itu ke saku. Vainea kini semakin maju seiring perkembangan jaman. Generasi pemerintahan telah berganti. Akhirnya bibi kesayanganku menikah juga, walau sangat sulit untuk memenuhi kriterianya.Terkadang aku rindu pada suasana di istana karena banyak kenangan yang tertinggal di sana. Beruntung, tak ada yang bisa mengenaliku sete
Aku dan Putri Clara duduk di ruang tamu istana Keylion yang dijaga ketat oleh beberapa pengawalku. Kami duduk saling berhadapan dengan suasana tegang, tanpa teh dan kudapan. Kurogoh saku dan meletakkan lencana Ratu Keylion di meja dengan sedikit melemparnya. "Saat terjadi keributan di Keylion karena perebutan takhta, seharusnya kau menjadi Ratu Keylion. Sesuai dengan urutan pewaris, posisimu ada di bawah Raja Luen," ujarku. "Pakailah! Sekarang kau adalah penguasa." Ia terkejut atas kalimatku. "Kenapa? Bukankah Anda melakukan perang penaklukan agar bisa menguasai Keylion?" "Musuhku adalah Zora, bukan Keylion." "Jadi Anda melakukan perang penaklukan hanya untuk membunuh Zora?" Clara tak habis pikir. "Apa Anda tahu bahwa tindakan Anda akan membuat Vainea dimusuhi banyak kerajaan lain?" "Kau menanyakan keputusanku?" "Maaf jika saya lancang, hanya saja ... jika Anda memang dari awal mengincar Zora, seharusnya Anda bisa melakukannya tanpa harus membuat perang besar." "Aku tidak tahu
Hanya dalam satu bulan, aku berhasil mempelajari sihir yang dipinjamkan padaku. Meski ada bagian yang sulit dan bahkan hampir merenggut nyawa, tapi pada akhirnya aku bisa menguasainya. Hari ini, tepat awal musim dingin, kudaku melaju bersama seribu pasukan di belakang. Baju zirah mereka telah kuberi batu sihir klon agar jumlahnya berlipat. Masing-masing satu orang bisa dikloning seratus kali lipat.Jika aku membawa seribu, jumlahnya akan bertambah menjadi seratus ribu. Itu jumlah yang cukup untuk memporakporandakan satu kota di perbatasan. Bukan hanya itu, batu sihir di baju zirah mereka juga terkoneksi dengan kekuatan sihirku agar stamina mereka tak surut dengan mudah. Setelah berkuda sejak dini hari, akhirnya kami sampai di perbatasan Keylion. Ribuan pasukan sudah menghadang dengan senjata dan alat tempur mereka.Hanya menunggu waktu hingga pasukan kami saling membentur kematian. "Tembak!" Sebuah bola api raksasa melesat dari benteng dan untungnya aku sudah mengantisipasi
Pada umumnya, masa duka hanya berlangsung satu sampai dua minggu. Namun, hingga satu bulan masa dukaku belum juga usai. Tak jarang aku mendengar gunjingan bahwa Raja Vainea berubah menjadi pendiam dan mulai gila.Berkat telingaku yang peka akibat kekuatan baru, aku juga bisa mendengar gunjingan para pelayan mengenai diriku.'Yang mulia raja sudah menjadi mayat hidup karena terlalu bersedih. Tubuhnya kurus dan pucat.''Yang mulia raja sedang dihukum akibat skandal yang membuatnya melanggar ritual.''Yang mulia raja mulai gila dan terus meminta pelayan untuk menyiapkan keperluan mendiang ratu yang telah tiada. Para pelayan diharuskan tetap menyediakan makan malam untuk ratu meski beliau tahu, makanan itu takan ada yang menyentuhnya.''Sungguh kasihan raja kami. Kekayaan dan kekuasaan seolah tak ada artinya tanpa ada yang mulia ratu di sisinya.'Ya, gunjingan-gunjingan itu memenuhi kepalaku, tapi aku enggan untuk merespons. Bagiku, mereka boleh berpendapat asal tak bersikap lancang di ha
____Serangan di Hari ke Lima Belas___ Aku berdiri di atas menara perbatasan untuk melihat langusng situasi dari kejauhan. Rupanya, pasukan yang dikerahkan Zora cukup banyak. Namun, wanita itu tak terlihat. Mungkin saja dia ada di barisan belakang.Aku menghela napas saat puluhan meriam tengah menembaki dinding untuk meruntuhkan benteng. Namun, nihil. Inilah alasan mengapa aku tak menggunakan meriam saat perang penaklukan, karena aku tahu takan bisa meruntuhkan dinding ini. Beruntung, aku berhasil mendapat pasokan bahan peledak dari Axylon. Kini sudah 15 hari aku berada di sini untuk memantau situasi, tapi rasanya seperti sia-sia. Kalau seperti ini terus, Vainea akan mengalami masa krisis yang parah. "Yang Mulia, utusan yang Anda kirim untuk menemui Ratu Zora tewas dibunuh," ujar Eleanor. "Tampaknya beliau enggan untuk melakukan negosiasi." "Tak kusangka rencanaku meleset jauh." Aku menarik napas sembari berpikir. "Berdasarkan karakternya, seharusnya ia akan menerima permintaanku un
Kabar skandal kami akhirnya tersebar setelah kunjunganku ke Keylion beberapa hari yang lalu. Ya, sesuai dugaanku sebelumnya.Aku senang karena rencanaku berhasil, tapi akibat dari berita skandal itu, masyarakat mulai mempertanyakan kesetiaanku. Bahkan ada yang melontarkan serapah atas pengkhianatan ritual yang mereka anggap suci.Juga, ada yang membanding-bandingkan kesetiaanku dengan mendiang ayah yang pernah menikah lagi dengan Putri Lucia dari Tryenthee karena politik. Namun, beliau tak menyentuh istri ke-duanya sama sekali demi menjaga ritual pernikahannya dengan ibu.Luna sangat bersabar dengan kabar yang beredar, terutama cemoohan para gadis yang iri atas kedudukannya.Sebenarnya aku sedikit tak terima atas cemoohan yang ditujukan padanya. Dalam hal ini, sepenuhnya adalah salahku, tapi ia ikut justru terkena imbasnya.Mungkin saat ini Zora juga mengira aku akan panik atas menyebarnya berita skandal ini. Namun, nyatanya tidak. Semua ini sudah termasuk bagian dari rencanaku walau
Aku terbangun dengan perih di sekujur tubuh. Perabot yang berantakan membuatku tersadar betapa gilanya kami memadu kasih semalam.Tubuhku dipenuhi cakaran dan gigitan Luna, serta serpihan beling yang sebagian masih menancap. Luna memekik sakit, ia pun terbangun seraya meringis. Tubuhnya dipenuhi luka lebam berbaur bekas cumbuan."Kau baik-baik saja?"Luna terdiam sejenak. "Ada beling di kakiku."Aku segera memeriksa telapak kakinya. Benar saja, satu lempengan runcing nan bening menancap di sana, disertai darah yang mengering.Luna memekik saat kucabut benda tajam itu. Kini darahnya kembali menetes, menambah bercak merah pada sprei yang sudah ternoda."Yang Mulia, sarapan sudah tersedia," ujar Vajira dari balik pintu."Kami akan menyusul!" sahutku. "Oh, Vajira. Tolong panggil tabib dan beberapa pelayan lain!""Baik, Yang Mulia," sahutnya.Aku memekik saat Luna menyabut salah satu beling di punggungku."Astaga, banyak sekali yang tertancap," gumamnya.Luna segera meraih ujung sprei dan
Aroma darah mengudara di medan perang nan suram. Aku bersimpuh di tengah ratusan mayat yang bergelimpangan, merengkuh sosok Luna yang tak bernyawa dengan kegelapan yang menyelimuti hati. Tangisan pilu menguasai diriku pada tangan yang ternoda, begitu menyesakkan dada. Angin berbisik. 'Hukuman telah dimulai' Aku membuka mata dengan tubuh mengerjap. Kudapati langit-langit kamar dengan peluh yang membasahi dahi. Sial, aku mimpi buruk lagi. Biasanya aku mimpi jika tidur malam, tapi anehnya ini terjadi saat tidur siang. Sudah ke tiga kali aku bermimpi hal serupa dan sampai sekarang, hubunganku dan Luna masih begitu dingin. "Anda baik-baik saja?" Aku teduduk saat Ezra bertanya. "Hanya mimpi buruk." "Awalnya saya hendak membangunkan Anda, tapi Anda sudah bangun lebih dulu," ujarnya. "Anda sangat gelisah dalam tidur Anda." Kutatap anak berusia sepuluh tahunan itu. "Bocah, tidak biasanya kau membangunkanku. Apa ada sesuatu yang sangat penting?" "Benar, Yang Mulia. Maaf jika saya tak sop
Katanya, pagi hari merupakan awal yang baru. Sepertinya itu benar. Ini awal baru dimana penderitaanku dimulai. Setelah ini hidupku akan dipenuhi kutukan dan hukuman. Juga, mungkin aku takan mendapat pengampunan.Semua para tamu dari berbagai kerajaan mulai berpamitan dan bersiap untuk pulang ke negara masing-masing, begitu pun denganku. Di antara puluhan penguasa, mungkin hanya aku yang tak memberi penghormatan terakhir pada tuan rumah."Padahal matahari begitu cerah, tapi kenapa aku merasa kedinginan di dekatmu?" sindir Raja Leon dengan nada bercanda, sementara aku tak merespons.Kemudian ia menatap putranya yang baru saja datang. "Kau juga terlihat muram, Hans.""Aku sedikit lelah," sahutnya ikut bergabung.Raja Leon menepuk bahu putranya yang tampak lesu, kemudian ia terdiam sejenak lalu menyeringai. "Kau semalam bercinta penuh semangat?"Raja Hans segera menepis tangan ayahnya dengan wajah malu. "Jangan sembarangan membaca pikiranku, Ayah."Sepertinya Zora memang memberi obat di m