Suara dentuman palu menggema saat para murid berjalan melewati aula utama usai makan siang. Di sana ada seorang petugas yang sedang memaku papan kecil dalam daftar pelanggaran.
Suasananya begitu ramai, bukan hanya dari kalangan pangeran yang berkumpul untuk melihatnya, tapi juga dari kalangan tuan putri.
“Hari pertama sudah ada yang melanggar aturan?” gumam Vincent tak menyangka.
Kulihat sosok gadis memakai pita merah di lengannya, itu adalah simbol hukuman atas pelanggaran yang ia lakukan. Namun, yang membuatku terpaku gadis itu adalah—Putri Zora. Gadis menyebalkan yang pernah menemuiku waktu itu.
Aku menatap papan kecil yang terpasang dan di sana menjelaskan bahwa gadis itu mabuk. Itu merupakan pelanggaran ringan, tapi tetap saja akan memperburuk citra Kerajaan Keylion.
Suara bisikkan menggema, sosoknya kini menjadi bahan pembicaraan dari kalangan para gadis yang tak menyangka atas perbuatannya.
“Bagaimana bisa putri sepertimu mabuk di malam pertama tinggal di sini?” tanya salah satu wanita paruh baya yang sepertinya—mentor di kelasnya.
“Saya memang mabuk semalam, tapi saya tidak minum di area Royale Academy,” jawabnya membantah.
“Meski kau minum di tempat lain, jika kau pulang ke Royale Academy dalam keadaan mabuk, tetap akan dianggap melakukan pelanggaran. Di tempat ini tidak boleh ada yang terlihat mabuk.”
Gadis itu terdiam sejenak dan menarik napas. “Maaf jika saya melakukan pelanggaran. Saya berjanji tidak akan pulang dalam keadaan mabuk lagi.”
“Apa setiap malam kau selalu mabuk?”
Ia menggeleng seketika. “Hanya ... di saat-saat tertentu saja.”
“Apa kau sedang depresi?”
Zora terdiam sejenak lalu mengangguk. “Sedikit.”
Tak lama, semua kerumunan kembali membubarkan diri setelah tahu apa yang terjadi dan siapa pelakunya. Gadis itu masih menjadi perbincangan di kalangan putri, juga menjadi bahan candaan para pangeran yang juga mulai membubarkan diri.
Kini Zora berdiri sambil menatap papan di dinding, lalu menghela napas sejenak. Sementara aku masih memperhatikan sosoknya yang nampak sendu.
“Tidak apa-apa. Mereka hanya orang-orang yang tak tahu apa pun,” gumamnya pada diri sendiri, kemudian tersenyum masam. “Yang perlu kulakukan hanyalah berusaha kuat untuk menghadapi semua ini dengan baik.”
“Hari pertama sudah ada pelanggaran,” sahutku, berdiri di sisinya sambil menatap papan yang sama. “Aku tadi mendengarmu bergumam dan kau benar, kami memang orang-orang yang tak tahu apa pun. Siapa juga yang ingin tahu masalahmu?”
Ia tertawa miring dengan ekspresi yang sudah berubah. “Aku tidak tahu apa yang kau lakukan di sini sementara yang lain sudah kembali. Meski kau terlihat ingin mengejekku, tapi terima kasih sudah membenarkan kalimatku yang tak penting itu.”
Aku melipat tangan sejenak dan menatap papan itu lagi. “Kau bilang kau hanya mabuk di saat-saat tertentu, tapi sepertinya kau selalu mabuk hampir setiap malam.”
“Daripada kau mengurusiku, lebih baik kau urus sendiri masalahmu,” sahutnya dingin.
“Aku tidak tahu seberapa kuat kau minum anggur. Tapi jika ada kesempatan, aku ingin menantangmu.”
“Maaf, aku tidak tertarik. Aku minum bukan untuk berlomba,” sahutnya lalu tersenyum. “Terima kasih sudah mengajakku bicara.”
Ia membalikkan tubuh dan meninggalkanku begitu saja. Mataku menyipit seketika saat melihat cahaya merah berpendar di punggungnya, di balik kemejanya.
Aku mengusap mata sejenak, berharap yang kulihat hanya halusinasi karena efek cahaya siang. Namun, cahaya merah itu justru terlihat jelas dan membentuk sebuah pola.
“Simbol itu ... seperti segel sihir,” gumamku tak yakin.
Aku segera melangkah ke asrama sambil memikirkan simbol itu. Pasalnya, aku seperti pernah melihatnya, tapi entah di mana.
‘Anda akan bertemu dengan seorang penyihir dengan kekuatan Necromancy.’
Sial, kenapa aku jadi ingat kalimat kakek peramal itu? Meski akal sehatku menolak untuk percaya, tapi aku sedikit merasa takut jika semua ucapannya terbukti.
Gambaran-gambaran simbol itu melintas dalam kepalaku sejenak. Aku yakin pernah melihatnya hanya saja beda warna. Sepertinya—simbol itu adalah sebuah identitas dari pemilik sihir itu, tapi—apa hubungannya dengan Putri Zora?
Aku yakin Putri Zora bukan penyihir. Karena pada saat aku menolongnya lima tahun yang lalu, aku tak merasakan aura sihir dalam tubuhnya.
“Akhirnya kau kembali juga. Darimana saja kau?” ujar Henry saat aku tiba di ruangan kami.
“Tadi aku sempat bicara dengan Putri Zora soal pelanggaran yang ia lakukan, hanya itu,” jawabku, melepas jubah luarku.
“Oh.” Henry berdeham sejenak sambil menyeringai. “Tapi ... sepertinya kau peduli padanya. Aku bisa melihatmu sedikit memberikan perhatian padanya.”
“Kepedulianku tidak ada sangkut pautnya dengan apa pun. Aku bisa bersikap peduli dan juga tidak. Dan untuk gadis itu, yang kulakukan bukan lah suatu perhatian.”
Ia mendesah sejenak. “Aku jadi penasaran, kapan terakhir kali kau memberi perhatian pada wanita.”
“Aku lupa kapan terakhir melakukannya.” Aku mengangkat bahu dan menyeruput teh yang tersedia. “Aku ingin tidur, tolong jangan biarkan siapa pun mengangguku.”
“Bisa-bisanya kau tidur saat matahari masih di atas kepalamu.”
“Kau sudah tahu jawabannya, 'kan?” Aku bergegas menuju kamar. “Jika kau kesepian, kau bisa mengundang orang lain kemari, tapi jangan buat kegaduhan di sini.”
Aku membanting diri di tempat tidur setelah melepas pakaian. Tak butuh waktu lama untuk menunggu kantukku datang. Begitu tercium aroma bantal di siang hari, biasanya mataku langsung terpejam dan terlelap.
* * *
“Rein. Rein!”
Aku membuka mata perlahan saat bahuku diguncang dengan lembut.
“Kau mau tidur sampai kapan? Ini sudah waktunya makan malam.”
Kulihat sosok Vincent sudah berada di kamar. Ia menggelengkan kepala atas kebiasaanku yang baru ia tahu.
“Sedang apa kau di kamarku?” tanyaku dengan wajah lesu.
“Membangunkanmu dari kematian,” jawabnya gamblang dan berdiri dengan tangan terlipat ke depan. “Kudengar, kau memiliki masalah dengan jam tidurmu. Benar begitu?”
“Apa Henry memberitahumu?” tanyaku, masih memeluk bantal.
“Ya dan sekarang aku sudah melihatnya secara langsung,” jawabnya. “Kau tidur dari selesai makan siang sampai jam makan malam tiba. Benar-benar calon raja yang tak patut dicontoh,” lanjutnya menyindir.
Sial, biasanya hal memalukan seperti ini hanya orang-orang istana yang tahu dan sekarang, dua orang sudah tahu karena aku tak bisa mengubah kebiasaanku.
Aku tersenyum miring mendengar kalimatnya. “Apa kau ada solusi?”
“Sepertinya aku perlu memasukkan obat tidur ke makananmu.”
“Itu takan berhasil. Aku pernah mencobanya,” sahutku sambil duduk.
“Nanti aku akan mencoba bertanya pada beberapa tabib. Siapa tahu bisa membantumu.”
“Terima kasih. Maaf sudah merepotkanmu.” Aku melempar bantal ke samping lalu duduk. “Oh ya, sedang apa kau di sini? Apa ada keperluan atau mau makan malam bersama?”
“Dua-duanya,” jawabnya. “Aku ada perlu dengan adikku, juga ... ingin melihat langsung bagaimana kau tidur siang dalam waktu yang lama.”
Aku menguap sejenak dan sedikit merasa sebal dengan jawabannya. “Apa sudah selesai? Kau sudah melihatnya, 'kan? Tolong jangan beri tahu siapapun masalah ini.”
Vincent tertawa mengejek lalu menjentikan jemarinya. “Untung saja aku bukan jurnalis. Kalau aku tahu ada pangeran dengan kebiasaan seperti ini, pasti tulisanku akan meledak di pasaran dan aku bisa mendapat penghasilan yang fantastis.”
Aku terkekeh sejenak, tak kusangka ada orang yang mengembalikan kalimat yang pernah kulontarkan waktu itu.
“Sekarang sudah waktunya makan malam. Rencananya, kita ingin makan di luar. Kau mau ikut?”
“Bukankah tidak boleh makan di luar Academy?”
Vincent menjetikkan jemarinya lagi, lalu berbisik. “Kita akan menyelinap keluar.”
“Pengawasan di sini sangat ketat. Kalau ketahuan, kau akan mendapat pita merah," sahutku.
Ia berdecak kesal. “Anggap saja kau sedang menghadapi tantangan. Bayangkan kau disekap dalam ruangan dan kau berusaha untuk melarikan diri tanpa ketahuan.”
“Mana bisa disamakan seperti itu?”
“Kau mau ikut tidak? Aku akan pergi bersama Henry.”
Aku terdiam sejenak, meski aku khawatir akan ketahuan, tapi sepertinya makan di luar memang menyenangkan.
“Baiklah. Aku penasaran bagaimana kalian bisa kabur dari tempat ini.”
“Aku yakin kau akan menyukainya.”
* * *
Kami berhasil keluar asrama dan pura-pura duduk di taman belakang sampai situasi aman. Saat pelayan mulai melakukan tugasnya, baru lah kami bertindak. Ternyata yang tahu celah dinding di taman belakang bukan hanya aku, tapi Henry dan Vincent juga mengetahuinya.
Kami melewati hutan yang masih terpasang papan peringatan waktu itu tanpa memasukinya. Di sana, kami segera memakai mantel panjang dan merapatkan tudung kepala.
Aku berpikir untuk menanyakan wilayah terlarang itu pada Vincent karena masih penasaran, tapi—sepertinya nanti saja, karena kami masih fokus untuk mencari cara agar keluar.
“Kita akan menyewa kuda. Tempatnya tidak jauh dari sini,” bisik Vincent.
Tak butuh waktu lama untuk sampai di sebuah rumah pertanian di tepi hutan. Di sana juga terdapat kandang kuda yang luas.
“Permisi, Tuan,” sapa Henry. “Kita ingin menyewa tiga kuda.”
“Oh silakan, Tuan muda. Kebetulan mereka baru masuk ke kandang.”
“Terima kasih.”
Vincent memberi beberapa kantung yang berisi uang patungan kami, sebelum kami digiring ke tempat penangkaran kuda.
“Tak kusangka, akan ada tiga orang yang bersedia menyewa kudaku. Kukira gadis itu hanya membual.”
Keningku berkerut seketika atas kalimatnya. “Ada gadis yang menyewa kuda?”
“Ya, tadinya aku tak mengijinkan gadis itu untuk menyewa kuda. Wanita berkuda itu masih terbilang tabu di wilayah ini, tapi dia memaksa dan ... bilang jika aku mau berbaik hati menyewakan kuda untuknya, dia yakin ada orang yang akan menyewa kudaku lagi,” jawabnya bercerita.
“Aku tidak percaya awalnya, tapi aku sedikit tak tega. Dan ternyata benar, kalian datang setelah tak berapa lama gadis itu pergi," imbuhnya.
Kami bertiga saling berpandangan sejenak. “Mungkin dia seorang peramal,” sahut Henry.
“Ya, mungkin saja.”
Aku terdiam sejenak, teringat pada sosok gadis berkuda yang pernah kulihat. Ah, kenapa setiap ada gadis yang melakukan hal-hal aneh, pikiranku langsung tertuju pada Putri Zora?
“Kalau begitu, kami pamit untuk pergi,” ujar Vincent sambil menaiki kudanya, begitu pun denganku.
“Sekali lagi terima kasih untuk sewaannya,” kataku menambahkan, lalu kami bertiga memelesat pergi.
Aku baru sadar bahwa kuda sewaan kami memakai kalung dengan logo si identitas penyewa. Begitu unik dengan ukiran rumit pada bulatan pipih di sana.
“Akhirnya kita bisa keluar dengan bebas!” jerit Henry senang saat kami hampir memasuki kota.
Aku tersenyum dengan tingkahnya yang sedikit kekanakan. Jika di luar, ia memang selalu terlihat ceria, mencerminkan sosok pemuda yang menyenangkan dan hangat. Namun, entahlah jika sudah berada di istana. Apa dia akan menjadi sosok yang seperti ini atau tidak.
Aku memang belum lama mengenal mereka, tapi mereka sangat menikmati waktu berkeliling dengan menjajaki aneka makanan di jalanan. Cara makan mereka juga berbeda dengan saat makan di mansion. Tampak tak biasa dan—ya, tak mencerminkan sosok bangsawan.
Terkadang Vincent bercerita, kadang rindu masa-masa sebelum diangkat menjadi putra mahkota. Betapa hidupnya bebas tanpa beban meski seorang pangeran.
Pangeran di Axiandra jumlahnya banyak, membuatnya nyaman untuk bersembunyi dari sorotan publik. Bahkan dia mengaku sangat nyaman saat tak banyak orang yang mengenalnya.
Begitu pun dengan Henry yang juga mengaku kalau ia lebih nyaman saat orang mengenalnya sebagai pangeran keturunan selir. Karena tak akan ada yang memandangnya sebagai pesaing yang membahayakan.
Namun, kebebasan mereka terenggut begitu saja saat Raja Leon mengangkat ibu mereka yang seorang selir menjadi ratu permaisuri. Kini mereka baru merasa bahwa hidup mereka dikelilingi bahaya terutama Vincent, karena ia yang akan menjadi pewaris takhta.
Sangat berbading terbalik dengan kehidupanku yang memang sudah ditakdirkan menjadi pewaris tunggal. Semua berjalan dengan lancar tanpa adanya pesaing untuk menempati posisi tertinggi di singgasana.
Malam ini, kami benar-benar makan di luar, dalam arti—bukan makan di tempat makan, melainkan menjelajahi seluruh makanan yang benar-benar dijual di sepanjang jalan. Rasanya tidak terlalu buruk untuk dicoba, bahkan diantaranya memiliki rasa yang unik.
Hingga tanpa sadar, aku ikut menikmati moment kebebasan ini. Sungguh, aku benar-benar dibuat lupa diri saat mereka menantangku untuk berlomba makan kue asin dalam jumlah banyak. Untung saja rasanya cukup enak dan aku—menyukainya.
Ya, ini adalah pertama kali makan dalam suasana seperti ini. Tanpa perlu hidangan mewah di meja serta peralatan makan yang sempurna. Aku bisa kenyang dan menikmati makanan yang baru saja kucoba.
“Sial, perutku terlalu penuh,” gerutu Henry terkulai. “Aku sampai sulit bernapas.”
“Malam ini aku yang menang, haha.” Tawa Vincent membahana. “Seharusnya kau mengosongkan perutmu sebelum bertanding,” lanjutnya pada Henry. “Dan kau Rein, aku yakin ini pertama bagimu, 'kan?” Kini ia tersenyum mengejek ke arahku. “Sesekali kau harus merasakan nikmatnya menjadi rakyat jelata.”
“Dan sekarang, apa aku sudah terlihat seperti rakyat jelata?” balasku bertanya.
“Hmm ... masih kurang. Mantelmu terlalu bagus.”
Aku mendengkus tertawa karena sebal. “Kalau aku memakai mantel kumuh, aku jadi terlihat seperti pengemis.”
“Ah, bagaimana kalau kau kutantang memakai pakaian kumuh, lalu duduk di sudut jalanan. Aku penasaran, apa ada orang yang percaya jika kau pengemis?”
“Maaf, tampangku tidak diciptakan untuk menjadi penunggu jalanan,” sindirku bercanda. “Jika orang tuaku masih hidup, mereka pasti akan menangis melihatku.”
Mereka tertawa seketika dan cukup keras. Di saat seperti ini, mereka memang terlihat lupa diri. Tertawa keras di tempat umum adalah hal yang tidak patut dilakukan oleh bangsawan kelas atas, apalagi untuk seorang pangeran.
Aku hanya tersenyum dan merasa lucu dengan tingkah mereka. Meski sedikit menjengkelkan, tapi mereka adalah sosok yang menyenangkan.
Tak terasa kami berceloteh hingga malam. Kami pun memutuskan untuk segera kembali ke asrama sebelum ada yang curiga kalau kami keluar terlalu lama.
“Lain kali, ajak aku jika ingin bersenang-senang seperti ini,” tuturku, merasa puas dengan pengalaman malam ini.
“Akan lebih menyenangkan jika kita seperti ini di malam akhir pekan, tapi ... malam itu justru jadwal kita makan bersama seluruh pelajar di Royale Academy,” sahut Vincent sedikit kesal.
“Ya, aturannya memang begitu. Ada jadwal di mana kita makan malam bersama dengan para bangsawan lain dan para putri, setidaknya seminggu sekali setelah kelas dansa,” ujar Henry.
“Tapi ... jujur, aku tak terlalu menyukai kelas dansa. Aku selalu gugup jika harus menari dengan wanita, apa lagi jika pasangan dansaku nanti seorang putri raja," imbuhnya.
“Hei, anggap saja itu untuk latihan.” Vincent menepuk punggung adiknya. “Asal jangan sampai kakimu terinjak.”
“Ya, kakiku pernah terinjak sesekali.” Henry mulai bercerita. “Kau tahu? Sepatu wanita ternyata cukup menyakitkan untuk menginjak kaki lawannya. Pantas saja, banyak wanita yang mengangkat sepatunya untuk mengancam lawan jika dalam bahaya. Apa lagi ujung runcingnya itu, sepertinya cukup berbahaya jika digunakan untuk memukul.”
“Kau mau mencobanya?” ejekku. “Aku bisa mencarikan sepatu wanita untuk memukulmu.”
“Kalau kau butuh bantuan, aku juga bersedia mencarikannya,” sahut Vincent setuju, untuk mengejek adiknya. Sementara, Henry sudah memasang muka masam.
Di tengah tawa, aku tak sengaja melihat seekor kuda dengan aksesoris yang sama seperti kuda yang kami sewa.
Mataku memicing tajam ke arah kuda itu untuk memastikan. Tak lama, seorang gadis dengan memakai mantel keluar dari kedai anggur dan menaiki kuda itu. Ia sudah menggendong sebuah tas kumuh yang berisi beberapa botol anggur.
Aku menatap dua kakak beradik yang masih saling mencibir dan mereka sudah berjalan lebih dahulu tanpa menyadari bahwa aku masih tertinggal di belakang.
Aku terdiam sejenak, merasa penasaran dengan gadis dengan gestur yang menurutku tak asing.
Di luar sepengetahuan Vincent dan Henry, aku memutar kudaku perlahan untuk menghampiri gadis mencurigakan itu. Betapa terkejutnya saat aku tahu bahwa gadis itu adalah Putri Zora. Ia pun sama terkejutnya denganku saat kami berpapasan.
"Putri Zora? Sedang apa kau di sini?" tanyaku tak menyangka.
"Kau sendiri?" tandasnya penuh curiga. "Apa kau sengaja mengikutiku?"
Mendengar kalimatnya, membuatku merasa lucu. Ia sangat percaya diri saat mengatakannya dan seperti biasa, ia melempar tatapan sengit dan cemas saat berhadapan denganku.
"Aku di sini hanya untuk makan malam," jawabku, lalu menatap beberapa botol anggur yang sebagian mencuat keluar dari tasnya. "Wah, sepertinya kau diam-diam ingin berpesta? Apa hukuman di sekolah tak membuatmu jera?"
"Apa kau tidak ada kerjaan sampai mengurusi masalahku, Yang Mulia?" ujarnya mulai tak suka. "Tolong jangan ikut campur."
"Aku juga tak peduli dengan masalahmu, hanya saja ... kau terlalu berani untuk melakukan pelanggaran yang sudah kau buat. Itu saja yang ingin kukatakan."
Aku kembali memutar kuda, setelah rasa penasaranku sedikit berkurang. Jujur, aku sedikit heran dengan gadis ini. Disiplin macam apa yang ia terima di Keylion?
"Tolong rahasiakan semua ini dari siapa pun. Anggap saja kau tak melihat apa pun malam ini," ujarnya, membuatku menghentikan laju kudaku sejenak lalu menoleh.
"Aku benar-benar tak mengerti denganmu, Putri. Di satu sisi kau berani untuk membeli anggur dan mabuk setelah mendapat hukuman. Tapi di sisi lain, kau takut ketahuan."
"Aku memiliki alasan kenapa harus melakukannya dan sepertinya aku tak perlu memberitahumu."
"Ya, memang tak perlu dan aku pun tak peduli," sahutku, melengos pergi untuk segera menyusul Vincent dan Henry.
Ya, kudengar Putri Zora sedikit depresi entah apa sebabnya. Namun, yang paling menggangguku adalah simbol sihir yang tak sengaja terlihat olehku siang tadi. Simbol yang tak asing di mataku, tapi aku lupa pernah melihatnya di mana. Sepertinya sudah lama sekali aku tak melihat simbol yang familier itu.
"Wah, wah. Ternyata kau mulai agresif mencari pasangan," cibir Vincent.
Tak kusangka, mereka berhenti untuk mengamatiku.
"Di tengah jalan begini, kau masih sempat menyapa seorang gadis?" imbuhnya.
Aku terdiam sejenak. Sepertinya mereka tidak tahu kalau gadis yang tadi kuhampiri adalah Putri Zora.
"Aku sudah bertemu dengan gadis penyewa kuda sebelum kita. Ternyata dia bukan peramal," sahutku.
"Oh ya? Lalu siapa dia?" tanya Henry penasaran.
"Hanya gadis biasa yang memang hobi berkuda," jawabku sambil melaju.
_______To be Continued_______
Tak terasa sudah akhir pekan sejak masuk di Royale Academy. Tak banyak hal berarti dari pelajaran yang menurutku sedikit membosankan, meski ada hal baru juga yang menarik.Bersosialisasi sesama bangsawan ternyata tidak seburuk dugaanku, justru aku memiliki banyak teman dari berbagai kalangan di seluruh penjuru wilayah. Ya, meski tidak terlalu akrab, tapi sebagian besar kami berhasil menjalin hubungan dengan baik, kecuali dengan Carl. Hubungan kami masih dibayangi permusuhan akibat perang 20 tahun yang lalu.Jadwal hari ini adalah kelas dansa. Tepatnya di ballroom yang lokasinya dekat aula. Dalam kelas ini, sudah pasti semua akan berbaur menjadi satu dengan para gadis. Aku tak bisa membayangkan bagaimana sesaknya tempat itu.Hari ini, aku sudah bersiap padahal ada rasa sedikit enggan mengikuti kelas akhir pekan. Kurasa Henry pun begitu, tapi peraturan tetap peraturan. Akan ada sanksi bagi yang tak hadir tanpa alasan yang dibenarkan."Rein, kau sudah siap?" Henry mengetuk pintu. Cukup a
Aku sudah berada di arena latihan pagi ini, sesuai kesepakatan dengan Luna. Untung saja, kami diijinkan menggunakan arena latihan di luar jadwal. Gadis itu ternyata sudah menungguku lebih awal, lengkap mengenakan pakaian pelindung untuk berlatih."Maaf sudah membuatmu menunggu," ujarku, sembari mengenakan pakaian pelindung."Tidak masalah, Yang Mulia. Maaf jika permintaan saya telah mengganggu waktu istirahat Anda di hari libur.""Sekarang, apa kita langsung mulai saja bertandingnya?"Luna mengangguk, lalu menyodorkan sebilah pedang dengan kedua tangannya padaku."Saya akan melawan Anda dengan sungguh-sungguh. Jadi, saya harap Anda pun begitu."Alisku terangkat sebelah. Untuk pertama kalinya aku ditantang oleh seorang gadis yang ingin melawanku dengan sungguh-sungguh. Sepertinya ini akan menjadi pertarungan yang menarik. Aku jadi penasaran seberapa besar kemampuannya menggunakan benda mematikan ini."Bersiaplah, Yang Mulia."Suara dentingan pedang kami memecah keheningan di arena yang
Setelah lama berdebat, akhirnya ia setuju untuk latihan denganku. Sebenarnya aku sedikit enggan, tapi aku sudah terlanjur menggandengnya.Aku berdansa dengan gelisah, tak tahu apa yang gadis ini pikirkan. Ekspresinya sangat mengkhawatirkan, seolah-olah sedang merencanakan sesuatu."Rein, sebenarnya aku tak terlalu mahir berdansa. Jangan salahkan aku jika latihanku sangat buruk, bahkan bisa merugikanmu," ujarnya di tengah gerakan.Alisku terangkat sebelah, membaca ekspresinya lebih intens. "Kita lihat seburuk apa dansamu."Alunan musik masih mengalun dalam hitungan konstan. Aku masih waspada pada tindakannya. Pasalnya, gadis ini sedikit cerdik untuk menjatuhkan lawan.Benar saja, dalam sekejap ia menyilangkan kakinya saat gerakan memutar, membuatku jatuh tersungkur.Aku yang sudah membaca gerakannya, tak tinggal diam. Kukencangkan rengkuhan di pinggangnya hingga ia ikut jatuh saat aku tersungkur.Kami menjadi tontonan banyak orang dan kami berdua saling menatap sengit satu sama lain. A
"Kau tahu betapa khawatirnya kami?" maki Vincent saat kami sudah berkumpul di asrama. "Kau tiba-tiba hilang dan kami mencarimu ke mana-mana sampai melewatkan makan malam!"Ya, sudah kuduga. Mereka pasti mencariku. Aku hanya terdiam, membiarkan kakak-beradik itu meluapkan kekesalannya padaku."Jika kau ada urusan mendesak yang membuatmu harus pulang, seharusnya kau memberi tahu kami. Jangan pulang sendiri dan meninggalkan kami tanpa memberi tahu apa-apa!" imbuhnya."Ya, aku minta maaf. Tadi itu ... sangat mendesak," sahutku seadanya. Tidak mungkin 'kan kuberi tahu pertemuanku dengan Zora. "Lain kali takan kuulangi.""Kak, kau sudah dipanggil oleh penjaga kamarmu." Henry muncul, menyembulkan kepala di pintu dan menginterupsi Vincent yang masih ingin meluapkan makiannya."Ah, sialan. Padahal aku masih ingin memakimu," gerutu Vincent padaku. "Baiklah, lain kali aku akan datang lagi dan aku takan lupa hari ini, Rein.""Apa kau akan membuat perhitungan denganku?""Tentu saja. Lain kali aku
"Rein, dari mana saja kau?"Aku terdiam di ambang pintu saat kudapati Henry sedang duduk di sofa dengan buku dan rambutnya yang berantakan. Tak kusangka, ia sudah bangun di pagi buta."Aku ... dari halaman belakang," jawabku dusta.Henry menutup buku dan menatapku curiga. "Dengan celana basah dan rambut acak-acakan seperti itu?" Ia mendekatiku perlahan. "Apa yang kau lakukan di sana?""Aku hanya mencari udara segar. Itu saja." Aku menutup pintu dan melepas sepatu."Kau ... mabuk?""Tidak. Aku tidak mabuk, sungguh.""Aku tahu kau minum anggur. Aromanya menyengat" Henry menghela sejenak. "Rein, kau pasti paham dengan aturan di sini.""Aku memang minum anggur, tapi tidak sampai mabuk. Lagi pula, aku minum di luar area akademi dan aku masuk dalam keadaan tidak mabuk.""Lalu kenapa kau basah kuyup begitu? Kau tidak terpleset dan jatuh ke kolam ikan, 'kan?""Itu--" Aku terdiam sejenak, tak tahu apa yang harus kukatakan lagi padanya. "Ya, aku jatuh ke kolam ikan saat kemari."Aku tidak mungk
Aku membuka mata perlahan dan menatap langit-langit beraroma serbuk kayu yang khas. Ukiran klasik nan megah terpampang begitu jelas. Di dinding terdapat logo Royale Academy. Butuh waktu sejenak untuk menyadari bahwa aku sudah berada di ruang kesehatan."Akhirnya Anda sadar juga, Yang Mulia."Aku menoleh ke sumber suara dan di sana sudah ada wanita dengan pakaian medis."Anda ditemukan di dasar jurang. Untung saja tidak ada luka fatal," lanjutnya lagi.Sejenak aku teringat kelompok itu. Ternyata mereka benar-benar melemparku ke jurang."Bagaimana dengan Vincent dan Henry?" tanyaku memastikan."Itu--" Ia terdiam sejenak. "Mereka berdua ditemukan terluka. Pangeran Vincent yang paling parah.""Lalu bagaimana kondisi mereka sekarang? Sudah ditangani dengan tepat?""Pangeran Henry sudah membaik, tapi Pangeran Vincent belum sadarkan diri dan masih membutuhkan perawatan intens. Saat ditemukan, beliau benar-benar sekarat," jawabnya."Di mana mereka sekarang? Apa mereka dirawat di sini?""Tidak
Seusai makan siang, aku segera menyendiri di perpustakaan untuk mengerjakan hukuman. Yang membuatku masih kesal karena ini jam tidurku. Semestinya detik ini aku sudah berada di kasur dengan nyaman, bukan berkelut dengan buku setebal ini.Benar saja, baru menulis dua lembar mataku sudah terasa berat. Kantuk menyerang tanpa ampun hingga kepalaku terasa pening jika dipaksa terjaga. Kuhela napas panjang lalu mengacak-acak rambut dengan lesu.Aku mengamati keadaan sekitar yang hening. Mungkin aku perlu tidur sebentar, sebelum melanjutkan hukuman. Kepalaku terkulai di atas meja dan terlelap, berharap masih bisa menyelesaikannya sebelum jam makan malam dimulai.* * *"Yang Mulia, bangunlah!"Aku mengerjap saat bahuku diguncang lembut oleh penjaga perpustakaan."Jam berapa sekarang?" tanyaku cemas."Sudah jam delapan malam.""Jam delapan malam?!" jeritku membeo. "Oh astaga, tugasku belum selesai."Aku semakin panik karena baru menyalin dua lembar. Jam delapan malam, berarti jam makan malam su
Aku seperti diseret ke lorong gelap sangat cepat , lalu seberkas cahaya muncul. Begitu menyilaukan. Udara dingin mendekap seketika dan kulihat ada salju bertebaran di mana-mana. Aku tidak tahu kenapa bisa berada di tempat ini, seperti mimpi. Ini adalah musim dingin dimana langit menjadi suram dengan hamparan putih sendu yang membeku. Suara ledakan menggema ramai diiringi dentingan pedang yang saling bersahutan. Bau anyir menyeruak di udara saat dua pasukan bertumbuk dan menciptakan genangan darah di salju. "Ini ... perang musim dingin yang pernah terjadi di masa lalu," gumamku dalam hati. Tanganku gemetar saat melihat dua sosok yang kukenal di antara pasukan. Mereka membantai pasukan lawan masing-masing dengan kalap sebelum akhirnya mereka berdua berhadapan berdua secara langsung. "Ayah, ibu!" Tubuhku hanya mematung saat mereka saling menyerang dan menyakiti. Luka sayatan bertebaran di sekejur tubuh mereka. Aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi, tapi yang membuatku terpaku s