"Kau tahu betapa khawatirnya kami?" maki Vincent saat kami sudah berkumpul di asrama. "Kau tiba-tiba hilang dan kami mencarimu ke mana-mana sampai melewatkan makan malam!"
Ya, sudah kuduga. Mereka pasti mencariku. Aku hanya terdiam, membiarkan kakak-beradik itu meluapkan kekesalannya padaku.
"Jika kau ada urusan mendesak yang membuatmu harus pulang, seharusnya kau memberi tahu kami. Jangan pulang sendiri dan meninggalkan kami tanpa memberi tahu apa-apa!" imbuhnya.
"Ya, aku minta maaf. Tadi itu ... sangat mendesak," sahutku seadanya. Tidak mungkin 'kan kuberi tahu pertemuanku dengan Zora. "Lain kali takan kuulangi."
"Kak, kau sudah dipanggil oleh penjaga kamarmu." Henry muncul, menyembulkan kepala di pintu dan menginterupsi Vincent yang masih ingin meluapkan makiannya.
"Ah, sialan. Padahal aku masih ingin memakimu," gerutu Vincent padaku. "Baiklah, lain kali aku akan datang lagi dan aku takan lupa hari ini, Rein."
"Apa kau akan membuat perhitungan denganku?"
"Tentu saja. Lain kali aku akan memberimu pelajaran."
Vincent keluar kamar masih dengan rasa kesal, sementara aku hanya terdiam dan merasa bersalah. Namun, sepertinya pertengkaran ini takan lama, aku tahu mereka akan memaklumi perbuatanku hari ini.
Malam semakin larut dan seperti biasa, aku takan terlelap pada waktu yang gelap.
Kubuka kembali lembaran kabar berita yang telah usang. Ini tentang perjanjian damai Axylon dan Vainea, awal hubungan orang tuaku terjalin dengan pernikahan politik.
Kuhela napas panjang sejenak. Meski sudah membacanya berulang kali, tapi pikiranku masih sedikit terusik tentang mereka.
Kubaca lagi bagian-bagian terpenting dari lembaran-lembaran itu. Kini tentang perjanjian kerja sama antara Vainea dan Tryenthee. Ayah menikah lagi dengan putri dari Tryenthee dan setelah itu, Vainea dan Axylon berperang.
Jujur, aku masih tak menyangka dengan apa yang terjadi di masa lalu, membuatku bertanya-tanya. Apa saat perang ini terjadi ayah dan ibu sempat bercerai? Kalau tidak, kenapa perang ini bisa terjadi?
Bibi Erina sudah menceritakan sebagiannya, tapi aku merasa ada ketidak-cocokan berita ini dengan logikaku. Apa lagi pada berita perang terakhir mereka, Ratu Selena alias ibuku dinyatakan tewas dan itu yang membuat Vainea menang telak.
Lalu setelahnya, ada berita di mana ibuku mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ratu Axylon, yang berarti beliau masih hidup saat itu. Lantas, kenapa di berita sebelumnya beliau dinyatakan tewas?
Bahkan kudengar, banyak pasukan dari kedua kerajaan yang menyaksikan bagaimana ayah membunuhnya di medan perang.
"Ah, sial. Ini benar-benar rumit. Pasalnya, Bibi Erina tidak mau bersuara pada bagian ini," gumamku lirih.
Aku seperti kehilangan plot besar di bagian ini. Apa yang sebenarnya kulewatkan?
Aku duduk bersandar sejenak dan mataku tak sengaja melihat lingkaran sihir di pergelangan tangan. Kini pikiranku sedikit teralihkan pada Zora.
Kulihat jam dinding sudah menunjukkan waktu tengah malam.
Awalnya aku mengabaikan lingkaran sihir itu dan kembali fokus pada lembaran berita di tangan. Hingga pada akhirnya, aku sedikit merasa tak enak badan dan mulai terasa panas.
Semakin lama, ada yang aneh dengan tubuhku. Rasa panasnya semakin kuat dan membakar, membuatku ingin berendam di air yang sedingin es.
Ada rasa pedih yang menyayat di punggungku, rasa sakitnya benar-benar menembus tulang, seolah-olah tubuhku akan hancur.
"Zora," lirihku. Ya, ini pasti karena kondisinya.
Segera kuraih mantel dan mengendap-endap keluar menuju air terjun itu. Aku yakin dia ada di sana.
Langkahku tertatih saat melewati halaman belakang. Bahkan aku sempat ambruk saat melompati pagar yang rendah.
Di hutan, aku terus menyeret kaki untuk sampai di sana. Semakin lama semakin berat, seperti ada rantai yang menahan langkahku. Rasa sakitnya mulai menyebar hingga ke bahu dan leher, seperti diikat dengan kuat.
Napasku kini terengah ketika sampai di bawah pohon rindang di dekat sungai. Sesuai dugaanku, Zora ada di sana, merintih kesakitan dengan kepala terkulai di atas batu sambil memegang sebotol anggur.
Tanda sihir di punggungnya menyala pijar. Begitu kontras di bawah cahaya bulan. Ia meneguk lagi anggurnya sambil menahan sakit. Mungkin menurutnya, mabuk adalah satu-satunya jalan agar sakitnya tak terlalu terasa.
"Zora, dimana anggurnya?" tanyaku, masih menyengkeram salah satu dahan pohon.
Gadis itu langsung menoleh dengan wajah syok. Tatapannya begitu sendu sambil menyembunyikan rasa sakit. Ekspresinya begitu dingin, seolah-olah tak ingin ada orang lain yang melihat kondisinya seperti itu.
"Kenapa kau ke sini?"
"Bukankah kau bilang aku boleh ke sini kapan saja?"
Zora terdiam sejenak, lalu menunjuk batu berukuran sedang di bawah pohon. "Angkat saja batu itu."
Aku mengangkat batu yang dimaksud dan di sana sudah terdapat tiga botol anggur.
Ternyata Zora menyembunyikan anggurnya dengan cara ditimbun dan ditutup batu. Benar-benar cerdik.
"Apa kau biasa menghabiskan lima botol sekaligus?" Aku menarik satu botol dari lubang tanah.
"Itu persediaan untuk dua kali minum."
"Kalau begitu, aku berjanji akan menggantinya."
"Aku tidak suka adu minum. Tapi jika kau hanya ingin menemani, kupersilahkan."
Aku melepas baju sebelum masuk ke air dan berendam. Rasa panas yang membakar kini justru terasa pedih saat menyentuh air bagaikan cambukan. Aku terus memaksakan diri sampai tubuhku mampu menyesuaikan rasa sakitnya.
"Ada yang ingin kau katakan?" tanyanya, masih dengan mata sendu.
"Sakit sekali, Zora," jawabku, masih meringis menahan sakit. "Sungguh, ini sakit sekali. Apa kau selalu merasakan sakit seperti ini setiap malam?"
"Bukan setiap malam. Lebih tepatnya ... hampir." Zora kembali meletakkan kepalanya di atas batu. "Rasa sakit ini selalu datang pada malam ganjil."
Aku meneguk anggur sejenak, lalu mengernyit. Ternyata kadar alkoholnya tinggi. Aku tak menyangka dia sudah mampu minum sampai level ini, seolah-olah sudah kebal dengan semua anggur.
Jika aku minum lebih dari satu botol, sudah pasti aku akan mabuk berat, bahkan muntah. Dalam hal ini, dia ternyata bukan tandinganku. Sudah dipastikan aku yang akan kalah telak jika harus adu minum dengannya.
"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanyaku ingin tahu. "Kenapa kau bisa seperti ini?"
"Maaf, ini bukan urusanmu," jawabnya, lalu meneguk anggur. "Lagi pula ... ikatan sihir ini akan hilang besok. Kau takan merasakan sakit lagi dan setelah itu, tolong lupakan masalah ini."
"Jujur, aku penasaran dengan tanda sihir di punggungmu."
"Kenapa kau begitu penasaran?"
"Aku ... seperti pernah melihatnya, tapi entah di mana."
Ia terkekeh sejenak. "Mungkin di tubuh orang tuamu," jawabnya asal, lalu meneguk anggurnya lagi.
Jawabannya membuatku terdiam. Pikiranku berputar cepat dan membangkitkan kilatan bayangan tentang tanda sihir itu.
Ya, sekarang aku ingat. Aku pernah melihat tanda sihir itu di dada ayahku, tepatnya di dada kiri, dekat jantung. Juga, sepertinya ibu memiliki tanda itu di tempat yang sama. Aku pernah melihatnya saat tak sengaja masuk ke kamar mereka dan ibu sedang berganti pakaian. Waktu itu aku memang masih bocah yang sembarangan masuk ke kamar orang tua.
"Sial, kenapa aku baru ingat sekarang? Dan ... aku juga baru sadar kalau tanda itu hilang setelah mereka berdua dinyatakan meninggal dunia," racauku dalam hati.
"Hei!"
Tubuhku mengerjap saat cipratan air mengenai wajah. Rasanya seperti ditarik kembali ke dunia nyata.
"Jangan terlalu dipikirkan. Aku hanya bercanda," ujar Zora tertawa sejenak. "Maaf kalau aku menyinggungmu. Aku tak bermaksud membahas orang tuamu dan membuatmu sedih. Aku tahu kalau---" Tawanya mereda perlahan dan sedikit salah tingkah. "Bercandaku memang tidak lucu."
"Hmm ... ya," sahutku seadanya. Padahal tebakannya memang benar, hanya aku saja yang memang lupa.
"Kalau boleh tahu, dari mana kau mendapat tanda sihir itu?" tanyaku mengalihkan.
"Tentu saja dari penyihir."
"Maksudku ... bagaimana bisa tanda itu menempel di punggungmu? Dan ... siapa penyihir itu?"
Zora menatapku curiga. "Kau seperti tertarik dengan hal ini?"
"Sudah kubilang, aku pernah melihat tanda itu, tapi aku lupa di mana," jawabku, kali ini berdusta.
"Yang jelas ... penyihir itu memiliki kekuatan Necromancy. Penyihir yang seharusnya tak boleh ada karena bisa mengganggu arus kematian."
Mendengar kata 'Necromancy', tubuhku membeku di tengah sakit yang masih mendera.
"Jadi ... penyihir itu benar-benar ada? Bagaimana kau bisa berurusan dengannya?"
Zora terdiam sejenak, masih dengan mata sayu akibat anggur yang ia minum. "Apa kau bisa dipercaya?"
Aku terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Aku berjanji akan menyimpan masalahmu dengan baik."
Zora menarik napas sejenak dan mulai bercerita.
"Dulu terjadi perang saudara di Keylion. Ayahku berhasil mengeksekusi saudara tirinya yang terbukti melakukan kejahatan. Aku tak tahu persis apa masalah mereka. Yah, anak perempuan mana boleh tahu hal-hal seperti itu, 'kan?" Ia tersenyum pahit.
"Lalu?"
"Dan satu bulan setelahnya, ternyata orang itu hidup lagi dan melakukan pemberontakkan untuk menggulingkan ayahku. Tentu saja, kami semua sangat heran. Bagaimana bisa orang yang telah dieksekusi mati tiba-tiba muncul lagi di hadapan semua orang?"
"Ya, memang tidak masuk akal," sahutku merespons, lalu meneguk anggur lagi.
"Setelah diselidiki, ternyata orang itu dihidupkan kembali oleh seorang Necromancer dengan biaya yang tinggi, tentunya. Ayahku marah saat mengetahui hal itu dan mengirim banyak orang untuk memburu sepasang penyihir itu."
"Sepasang? Jadi penyihir itu tidak hanya satu?"
"Ya, katanya mereka sepasang suami istri dengan kemampuan yang sama."
"Oh, begitu?"
"Kau tahu? Butuh waktu hampir dua tahun untuk menangkap mereka. Ayahku berhasil menyeret mereka berdua, tapi ternyata tidak semudah itu menaklukannya. Penyihir itu murka saat ayahku tak sengaja membunuh bayi mereka yang baru berusia satu minggu. Mereka berdua berhasil lolos setelah ditangkap dan mereka bilang akan menuntut balas dengan mengirim kutukan."
"Kutukan seperti apa?"
"Aku dikutuk menderita kesakitan seumur hidup" Zora menunjuk tanda sihir di punggungnya dengan ibu jari ke arah belakang.
"Mereka mengirim sihir ke istana Keylion. Tadinya sihir ini mengincar Clara. Tapi waktu itu Clara menjebakku dan sihir itu justru mengenaiku," lanjutnya.
"Apa kau mendapat informasi tentang mereka dan keberadaannya?"
"Tak ada catatan apapun tentang mereka. Entah dari wilayah mana mereka berasal, benar-benar tak ada yang tahu sama sekali. Tapi di antara sepasang penyihir itu, yang perempuan bernama Lavina. Hanya itu yang kutahu."
"Lavina?" gumamku membeo.
"Selama ini aku juga berusaha mencarinya. Tapi data yang kutemukan hanya Lavina yang ... seorang putri bangsawan dari Axylon. Itu pun berkasnya tidak lengkap. Rumornya, pihak Axylon sengaja memusnahkan datanya karena keluarga Lavina terlibat sebuah ritual kerajaan yang ... entah apa itu. Yang jelas ritual itu sudah berlangsung sebelum pemerintahan mendiang Raja Zealda dan itu sudah lama sekali."
Aku terdiam sejenak sembari mengumpulkan segala informasi yang baru pernah kudengar.
"Dari mana kau tahu kalau si penyihir wanitanya bernama Lavina?"
"Aku pernah mendengar suaminya sempat berteriak memanggil nama istrinya ketika mereka melarikan diri. Kebetulan aku ada di sana waktu itu."
"Berarti kau sudah pernah melihat wajah mereka?"
"Tentu saja. Mereka ... bisa dibilang hampir seumuran denganmu saat terakhir aku melihatnya. Mungkin sekarang sudah jauh lebih tua, itu pun kalau mereka bisa menua." Zora mengedikkan bahu.
"Apa ... Raja Aiden tahu mengenai kondisimu?"
Zora menggeleng lesu. "Aku tidak ingin membuat ayahku khawatir. Beliau sudah mengurusi banyak hal dan aku tak ingin menambahnya." Ia tersenyum getir. "Hanya aku dan Clara yang tahu. Juga ... kau."
"Tapi jika beliau tahu, mungkin akan ada jalan keluar untukmu, 'kan?"
"Akan lebih baik jika orang tuaku tidak tahu." Zora terdiam sejenak. "Rasa sakit ini cukup aku saja yang merasakannya. Aku rela menanggung kemarahan penyihir itu terhadap ayahku karena sudah membunuh anak mereka yang tak berdosa."
"Tapi, Zora--"
"Ada kalanya aku ingin menanggung kesalahan orang tuaku," pungkasnya.
Aku menghela napas sejenak dan meneguk anggur untuk terakhir kali. Selain rasa sakit yang mendera, kepalaku juga mulai pening, padahal baru menghabiskan setengah botol. Aku tak mungkin menghabiskan semuanya atau aku akan benar-benar mabuk.
"Butuh waktu berapa lama rasa sakit ini akan hilang?" tanyaku yang sebenarnya tak tahan.
"Sebelum fajar," jawabnya semakin lesu dan mabuk.
"Kalau begitu--" Aku mendekatinya perlahan dan menatapnya.
"Mau apa kau?"
"Menunggumu menangis."
Ia terkekeh seketika. "Aku takan menangis semudah itu hanya karena rasa sakit seperti ini."
"Bohong," sahutku. "Kau pikir aku tidak tahu kalau kau sering menangis kesakitan saat sendiri? Tadi pun juga sama, 'kan? Sebelum aku datang."
"Oh, jadi kau melihatnya, ya?" Ia berdecak lesu. "Tolong rahasiakan."
Aku mematung saat ia perlahan menyandarkan kepalanya di dadaku. "Zora?"
"Berhubung kau sudah tahu, harusnya kau takan keberatan jika aku bersandar padamu, 'kan? Aku ... lelah sekali."
Ya, perasaan darinya turut mengalir saat dahinya menyentuh dadaku. Rasa sedih dan putus asa, juga ... kesendirian tanpa batas yang tengah ia rasakan. Semua mengalir padaku, benar-benar hampa dan getir. Perasaan kehilangan arah dan tak tahu harus berbuat apa selain bertahan hidup yang ia sendiri tidak tahu tujuannya ke arah mana.
Zora mulai sesenggukan dan mendekapku. "Izinkan aku seperti ini ... sebentar saja."
Aku menarik napas sejenak karena ikatan sihir ini membuatku merasakan hal yang sama.
"Menangislah sepuasmu. Aku akan merahasiakannya," ujarku, seraya menahan diri agar tak membalas pelukannya.
"Terima kasih, Rein."
_______To be Continued_______
"Rein, dari mana saja kau?"Aku terdiam di ambang pintu saat kudapati Henry sedang duduk di sofa dengan buku dan rambutnya yang berantakan. Tak kusangka, ia sudah bangun di pagi buta."Aku ... dari halaman belakang," jawabku dusta.Henry menutup buku dan menatapku curiga. "Dengan celana basah dan rambut acak-acakan seperti itu?" Ia mendekatiku perlahan. "Apa yang kau lakukan di sana?""Aku hanya mencari udara segar. Itu saja." Aku menutup pintu dan melepas sepatu."Kau ... mabuk?""Tidak. Aku tidak mabuk, sungguh.""Aku tahu kau minum anggur. Aromanya menyengat" Henry menghela sejenak. "Rein, kau pasti paham dengan aturan di sini.""Aku memang minum anggur, tapi tidak sampai mabuk. Lagi pula, aku minum di luar area akademi dan aku masuk dalam keadaan tidak mabuk.""Lalu kenapa kau basah kuyup begitu? Kau tidak terpleset dan jatuh ke kolam ikan, 'kan?""Itu--" Aku terdiam sejenak, tak tahu apa yang harus kukatakan lagi padanya. "Ya, aku jatuh ke kolam ikan saat kemari."Aku tidak mungk
Aku membuka mata perlahan dan menatap langit-langit beraroma serbuk kayu yang khas. Ukiran klasik nan megah terpampang begitu jelas. Di dinding terdapat logo Royale Academy. Butuh waktu sejenak untuk menyadari bahwa aku sudah berada di ruang kesehatan."Akhirnya Anda sadar juga, Yang Mulia."Aku menoleh ke sumber suara dan di sana sudah ada wanita dengan pakaian medis."Anda ditemukan di dasar jurang. Untung saja tidak ada luka fatal," lanjutnya lagi.Sejenak aku teringat kelompok itu. Ternyata mereka benar-benar melemparku ke jurang."Bagaimana dengan Vincent dan Henry?" tanyaku memastikan."Itu--" Ia terdiam sejenak. "Mereka berdua ditemukan terluka. Pangeran Vincent yang paling parah.""Lalu bagaimana kondisi mereka sekarang? Sudah ditangani dengan tepat?""Pangeran Henry sudah membaik, tapi Pangeran Vincent belum sadarkan diri dan masih membutuhkan perawatan intens. Saat ditemukan, beliau benar-benar sekarat," jawabnya."Di mana mereka sekarang? Apa mereka dirawat di sini?""Tidak
Seusai makan siang, aku segera menyendiri di perpustakaan untuk mengerjakan hukuman. Yang membuatku masih kesal karena ini jam tidurku. Semestinya detik ini aku sudah berada di kasur dengan nyaman, bukan berkelut dengan buku setebal ini.Benar saja, baru menulis dua lembar mataku sudah terasa berat. Kantuk menyerang tanpa ampun hingga kepalaku terasa pening jika dipaksa terjaga. Kuhela napas panjang lalu mengacak-acak rambut dengan lesu.Aku mengamati keadaan sekitar yang hening. Mungkin aku perlu tidur sebentar, sebelum melanjutkan hukuman. Kepalaku terkulai di atas meja dan terlelap, berharap masih bisa menyelesaikannya sebelum jam makan malam dimulai.* * *"Yang Mulia, bangunlah!"Aku mengerjap saat bahuku diguncang lembut oleh penjaga perpustakaan."Jam berapa sekarang?" tanyaku cemas."Sudah jam delapan malam.""Jam delapan malam?!" jeritku membeo. "Oh astaga, tugasku belum selesai."Aku semakin panik karena baru menyalin dua lembar. Jam delapan malam, berarti jam makan malam su
Aku seperti diseret ke lorong gelap sangat cepat , lalu seberkas cahaya muncul. Begitu menyilaukan. Udara dingin mendekap seketika dan kulihat ada salju bertebaran di mana-mana. Aku tidak tahu kenapa bisa berada di tempat ini, seperti mimpi. Ini adalah musim dingin dimana langit menjadi suram dengan hamparan putih sendu yang membeku. Suara ledakan menggema ramai diiringi dentingan pedang yang saling bersahutan. Bau anyir menyeruak di udara saat dua pasukan bertumbuk dan menciptakan genangan darah di salju. "Ini ... perang musim dingin yang pernah terjadi di masa lalu," gumamku dalam hati. Tanganku gemetar saat melihat dua sosok yang kukenal di antara pasukan. Mereka membantai pasukan lawan masing-masing dengan kalap sebelum akhirnya mereka berdua berhadapan berdua secara langsung. "Ayah, ibu!" Tubuhku hanya mematung saat mereka saling menyerang dan menyakiti. Luka sayatan bertebaran di sekejur tubuh mereka. Aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi, tapi yang membuatku terpaku s
Aku masih menunggunya selesai makan siang. Dari cara makannya yang lahap membuatku tahu kalau dia belum makan dari pagi. Kulirik sesekali yang hanya memakai dress mini, menampakkan bahunya yang memar.Aku menarik napas panjang, merasa bersalah karena tiba-tiba memeluknya seperti tadi. Benar-benar tak beretika.Kuedarkan pandangan sejenak, hanya hutan belantara yang lebat. Tak ada jalan setapak sama sekali, yang berarti tempat ini tak terjamah oleh manusia. Ini akan sedikit menyulitkan kami untuk pulang. Aku juga tidak tahu seberapa luas hutan ini."Rein, sepertinya mau turun hujan lagi."Aku menatap langit saat mendengar kalimatnya, begitu temaram di pertengahan hari yang seharusnya cerah."Kita harus segera pergi dari sini. Setidaknya kita harus cari tempat berlindung sebelum hujan turun. Kau sudah selesai makan?""Ya."Aku menggenggam ranting berukuran sedang untuk membuka jalan. Kabut mulai menutupi sebagian hutan yang kami lalui dan udara terasa dingin. Kutatap pohon jenjang yang
Aku berdiri di tengah taman mawar putih yang asing, terheran dengan lingkungan sekitar tanpa kata. Udara di sini terasa sejuk, juga nyaman.Kulihat seorang wanita duduk di kursi, membelakangiku. Aku mengenali postur tubuh itu dan gaya rambutnya yang tak asing, seperti--mendiang ibuku.Pikiran rasionalku mengatakan, jika sosok ini muncul di hadapanku berarti tempat ini hanya mimpi.Aku mendekatinya perlahan dengan hati bergetar sedih. Rinduku tumpah seperti air bah. Ia menoleh sebelum aku sampai padanya, lalu tersenyum melihatku.Di tangannya terdapat setangkai mawar merah kesukaannya, terlihat kontras di tengah hamparan mawar putih."Rein."Napasku tercekat saat ia memanggil namaku."Ibu senang melihatmu dewasa. Tapi--" Ibu terdiam menatapku tersenyum sendu. Ia tak melanjutkan kalimatnya."Tapi?" tanyaku penasaran.Ibu masih terdiam, lalu berkata, "Sini, duduklah, Nak!"Tangannya membentang untuk menyambutku agar duduk di sisinya. Aku masih menatapnya lekat dan duduk sesuai permintaann
Kami berdua duduk di antara barang di kereta. Jika dicium aromanya, sepertinya mereka membawa makanan. Perkiraanku, mungkin mereka hendak membawa pasokan makanan ini ke gudang istana.Aku memperhatikan Zora yang sibuk sendiri dengan barang-barang di sekitarnya. Selain untuk membetulkan posisi, ternyata ia sedang mencari makanan yang bisa dimakan."Jangan," cegahku sambil menahan tangannya yang hendak memakan apel. "Kalau ketahuan kau bisa dihukum gantung.""Aku lapar sekali.""Tahanlah sebentar lagi. Saat sampai di istana, kita temui yang mulia raja."Zora menghela napas sejenak, lalu meletakkan apel itu ke tempatnya lagi. Aku merangkulnya dan menepuk-nepuk bahunya agar dia terkulai."Tidurlah sebentar. Nanti kubangunkan jika sudah sampai di istana."Zora mengangguk dan menyandarkan kepalanya di bahuku. Situasinya membuatku ingin tersenyum. Ada perasaan hangat yang mengalir di hatiku perlahan, begitu menyenangkan.* * *Setelah beberapa lama, akhirnya kami memasuki gerbang istana. Ban
Aku menatap langit hitam yang kelam. Benar-benar gulita saat kurapatkan selimut. Malam ini sepertinya tidurku kembali seperti semula, dimana mataku takan bisa terpejam dalam kegelapan.Masih kurenungi pembicaraanku bersama Raja Leon. Beliau bilang ayahku tak bisa melindungi ibu sampai bayinya gugur sebelum lahir ke dunia. Aku mengacak-acak rambut sejenak, mulai frustrasi. Sebenarnya sepelik apa masalah mereka?Aku tahu itu sudah berlalu dan seharusnya aku tak perlu memikirkan urusan orang tua. Lagi pula, aku tahu mereka mencintaiku."Ah, tetap saja semua itu terasa mengganjal!" racauku lirih.Raja Leon seperti mengetahui semuanya tentang orang tuaku. Namun, karena rasa kecewa pada beliau, membuatku tak ingin bertanya lebih walau penasaran. Astaga, ini menyebalkan sekali.Aku bangkit dari kursi dan mendekati jendela. Udara berembus sejuk saat membukanya sedikit.Kusipitkan mata saat tak sengaja melihat seseorang yang memakai mantel, keluar menuju halaman belakang. Ia berjalan mengenda
_50 TAHUN KEMUDIAN_ -Kota Luna, Ibukota Vainea-.'Aku mencintaimu pada pandangan pertama. Aku mencintaimu untuk kedua kalinya. Aku juga mencintaimu di kehidupanku sebelumnya. Gapailah tanganku, maka kau dan aku akan terus bersama.'.Fiant Wayner, adalah identitas baru setelah aku turun takhta sebagai kaisar dengan memalsukan kematianku. Bukan istana lagi, kini aku menetap di lantai lima sebuah perpustakaan kota yang dibangun oleh Bibi Erina. Aku memakai kacamata, serta syal merah yang warnanya telah pudar. Kugenggam sebutir mutiara dengan uap putih yang menguar dari mulut. Kurapatkan jaket beserta topi untuk menutupi sedikit wajahku, lalu memasukkan mutiara itu ke saku. Vainea kini semakin maju seiring perkembangan jaman. Generasi pemerintahan telah berganti. Akhirnya bibi kesayanganku menikah juga, walau sangat sulit untuk memenuhi kriterianya.Terkadang aku rindu pada suasana di istana karena banyak kenangan yang tertinggal di sana. Beruntung, tak ada yang bisa mengenaliku sete
Aku dan Putri Clara duduk di ruang tamu istana Keylion yang dijaga ketat oleh beberapa pengawalku. Kami duduk saling berhadapan dengan suasana tegang, tanpa teh dan kudapan. Kurogoh saku dan meletakkan lencana Ratu Keylion di meja dengan sedikit melemparnya. "Saat terjadi keributan di Keylion karena perebutan takhta, seharusnya kau menjadi Ratu Keylion. Sesuai dengan urutan pewaris, posisimu ada di bawah Raja Luen," ujarku. "Pakailah! Sekarang kau adalah penguasa." Ia terkejut atas kalimatku. "Kenapa? Bukankah Anda melakukan perang penaklukan agar bisa menguasai Keylion?" "Musuhku adalah Zora, bukan Keylion." "Jadi Anda melakukan perang penaklukan hanya untuk membunuh Zora?" Clara tak habis pikir. "Apa Anda tahu bahwa tindakan Anda akan membuat Vainea dimusuhi banyak kerajaan lain?" "Kau menanyakan keputusanku?" "Maaf jika saya lancang, hanya saja ... jika Anda memang dari awal mengincar Zora, seharusnya Anda bisa melakukannya tanpa harus membuat perang besar." "Aku tidak tahu
Hanya dalam satu bulan, aku berhasil mempelajari sihir yang dipinjamkan padaku. Meski ada bagian yang sulit dan bahkan hampir merenggut nyawa, tapi pada akhirnya aku bisa menguasainya. Hari ini, tepat awal musim dingin, kudaku melaju bersama seribu pasukan di belakang. Baju zirah mereka telah kuberi batu sihir klon agar jumlahnya berlipat. Masing-masing satu orang bisa dikloning seratus kali lipat.Jika aku membawa seribu, jumlahnya akan bertambah menjadi seratus ribu. Itu jumlah yang cukup untuk memporakporandakan satu kota di perbatasan. Bukan hanya itu, batu sihir di baju zirah mereka juga terkoneksi dengan kekuatan sihirku agar stamina mereka tak surut dengan mudah. Setelah berkuda sejak dini hari, akhirnya kami sampai di perbatasan Keylion. Ribuan pasukan sudah menghadang dengan senjata dan alat tempur mereka.Hanya menunggu waktu hingga pasukan kami saling membentur kematian. "Tembak!" Sebuah bola api raksasa melesat dari benteng dan untungnya aku sudah mengantisipasi
Pada umumnya, masa duka hanya berlangsung satu sampai dua minggu. Namun, hingga satu bulan masa dukaku belum juga usai. Tak jarang aku mendengar gunjingan bahwa Raja Vainea berubah menjadi pendiam dan mulai gila.Berkat telingaku yang peka akibat kekuatan baru, aku juga bisa mendengar gunjingan para pelayan mengenai diriku.'Yang mulia raja sudah menjadi mayat hidup karena terlalu bersedih. Tubuhnya kurus dan pucat.''Yang mulia raja sedang dihukum akibat skandal yang membuatnya melanggar ritual.''Yang mulia raja mulai gila dan terus meminta pelayan untuk menyiapkan keperluan mendiang ratu yang telah tiada. Para pelayan diharuskan tetap menyediakan makan malam untuk ratu meski beliau tahu, makanan itu takan ada yang menyentuhnya.''Sungguh kasihan raja kami. Kekayaan dan kekuasaan seolah tak ada artinya tanpa ada yang mulia ratu di sisinya.'Ya, gunjingan-gunjingan itu memenuhi kepalaku, tapi aku enggan untuk merespons. Bagiku, mereka boleh berpendapat asal tak bersikap lancang di ha
____Serangan di Hari ke Lima Belas___ Aku berdiri di atas menara perbatasan untuk melihat langusng situasi dari kejauhan. Rupanya, pasukan yang dikerahkan Zora cukup banyak. Namun, wanita itu tak terlihat. Mungkin saja dia ada di barisan belakang.Aku menghela napas saat puluhan meriam tengah menembaki dinding untuk meruntuhkan benteng. Namun, nihil. Inilah alasan mengapa aku tak menggunakan meriam saat perang penaklukan, karena aku tahu takan bisa meruntuhkan dinding ini. Beruntung, aku berhasil mendapat pasokan bahan peledak dari Axylon. Kini sudah 15 hari aku berada di sini untuk memantau situasi, tapi rasanya seperti sia-sia. Kalau seperti ini terus, Vainea akan mengalami masa krisis yang parah. "Yang Mulia, utusan yang Anda kirim untuk menemui Ratu Zora tewas dibunuh," ujar Eleanor. "Tampaknya beliau enggan untuk melakukan negosiasi." "Tak kusangka rencanaku meleset jauh." Aku menarik napas sembari berpikir. "Berdasarkan karakternya, seharusnya ia akan menerima permintaanku un
Kabar skandal kami akhirnya tersebar setelah kunjunganku ke Keylion beberapa hari yang lalu. Ya, sesuai dugaanku sebelumnya.Aku senang karena rencanaku berhasil, tapi akibat dari berita skandal itu, masyarakat mulai mempertanyakan kesetiaanku. Bahkan ada yang melontarkan serapah atas pengkhianatan ritual yang mereka anggap suci.Juga, ada yang membanding-bandingkan kesetiaanku dengan mendiang ayah yang pernah menikah lagi dengan Putri Lucia dari Tryenthee karena politik. Namun, beliau tak menyentuh istri ke-duanya sama sekali demi menjaga ritual pernikahannya dengan ibu.Luna sangat bersabar dengan kabar yang beredar, terutama cemoohan para gadis yang iri atas kedudukannya.Sebenarnya aku sedikit tak terima atas cemoohan yang ditujukan padanya. Dalam hal ini, sepenuhnya adalah salahku, tapi ia ikut justru terkena imbasnya.Mungkin saat ini Zora juga mengira aku akan panik atas menyebarnya berita skandal ini. Namun, nyatanya tidak. Semua ini sudah termasuk bagian dari rencanaku walau
Aku terbangun dengan perih di sekujur tubuh. Perabot yang berantakan membuatku tersadar betapa gilanya kami memadu kasih semalam.Tubuhku dipenuhi cakaran dan gigitan Luna, serta serpihan beling yang sebagian masih menancap. Luna memekik sakit, ia pun terbangun seraya meringis. Tubuhnya dipenuhi luka lebam berbaur bekas cumbuan."Kau baik-baik saja?"Luna terdiam sejenak. "Ada beling di kakiku."Aku segera memeriksa telapak kakinya. Benar saja, satu lempengan runcing nan bening menancap di sana, disertai darah yang mengering.Luna memekik saat kucabut benda tajam itu. Kini darahnya kembali menetes, menambah bercak merah pada sprei yang sudah ternoda."Yang Mulia, sarapan sudah tersedia," ujar Vajira dari balik pintu."Kami akan menyusul!" sahutku. "Oh, Vajira. Tolong panggil tabib dan beberapa pelayan lain!""Baik, Yang Mulia," sahutnya.Aku memekik saat Luna menyabut salah satu beling di punggungku."Astaga, banyak sekali yang tertancap," gumamnya.Luna segera meraih ujung sprei dan
Aroma darah mengudara di medan perang nan suram. Aku bersimpuh di tengah ratusan mayat yang bergelimpangan, merengkuh sosok Luna yang tak bernyawa dengan kegelapan yang menyelimuti hati. Tangisan pilu menguasai diriku pada tangan yang ternoda, begitu menyesakkan dada. Angin berbisik. 'Hukuman telah dimulai' Aku membuka mata dengan tubuh mengerjap. Kudapati langit-langit kamar dengan peluh yang membasahi dahi. Sial, aku mimpi buruk lagi. Biasanya aku mimpi jika tidur malam, tapi anehnya ini terjadi saat tidur siang. Sudah ke tiga kali aku bermimpi hal serupa dan sampai sekarang, hubunganku dan Luna masih begitu dingin. "Anda baik-baik saja?" Aku teduduk saat Ezra bertanya. "Hanya mimpi buruk." "Awalnya saya hendak membangunkan Anda, tapi Anda sudah bangun lebih dulu," ujarnya. "Anda sangat gelisah dalam tidur Anda." Kutatap anak berusia sepuluh tahunan itu. "Bocah, tidak biasanya kau membangunkanku. Apa ada sesuatu yang sangat penting?" "Benar, Yang Mulia. Maaf jika saya tak sop
Katanya, pagi hari merupakan awal yang baru. Sepertinya itu benar. Ini awal baru dimana penderitaanku dimulai. Setelah ini hidupku akan dipenuhi kutukan dan hukuman. Juga, mungkin aku takan mendapat pengampunan.Semua para tamu dari berbagai kerajaan mulai berpamitan dan bersiap untuk pulang ke negara masing-masing, begitu pun denganku. Di antara puluhan penguasa, mungkin hanya aku yang tak memberi penghormatan terakhir pada tuan rumah."Padahal matahari begitu cerah, tapi kenapa aku merasa kedinginan di dekatmu?" sindir Raja Leon dengan nada bercanda, sementara aku tak merespons.Kemudian ia menatap putranya yang baru saja datang. "Kau juga terlihat muram, Hans.""Aku sedikit lelah," sahutnya ikut bergabung.Raja Leon menepuk bahu putranya yang tampak lesu, kemudian ia terdiam sejenak lalu menyeringai. "Kau semalam bercinta penuh semangat?"Raja Hans segera menepis tangan ayahnya dengan wajah malu. "Jangan sembarangan membaca pikiranku, Ayah."Sepertinya Zora memang memberi obat di m