Setelah lama berdebat, akhirnya ia setuju untuk latihan denganku. Sebenarnya aku sedikit enggan, tapi aku sudah terlanjur menggandengnya.
Aku berdansa dengan gelisah, tak tahu apa yang gadis ini pikirkan. Ekspresinya sangat mengkhawatirkan, seolah-olah sedang merencanakan sesuatu.
"Rein, sebenarnya aku tak terlalu mahir berdansa. Jangan salahkan aku jika latihanku sangat buruk, bahkan bisa merugikanmu," ujarnya di tengah gerakan.
Alisku terangkat sebelah, membaca ekspresinya lebih intens. "Kita lihat seburuk apa dansamu."
Alunan musik masih mengalun dalam hitungan konstan. Aku masih waspada pada tindakannya. Pasalnya, gadis ini sedikit cerdik untuk menjatuhkan lawan.
Benar saja, dalam sekejap ia menyilangkan kakinya saat gerakan memutar, membuatku jatuh tersungkur.
Aku yang sudah membaca gerakannya, tak tinggal diam. Kukencangkan rengkuhan di pinggangnya hingga ia ikut jatuh saat aku tersungkur.
Kami menjadi tontonan banyak orang dan kami berdua saling menatap sengit satu sama lain. Aku menyeringai atas ekspresi kesalnya.
"Maaf, Yang Mulia. Dansaku memang sangat buruk," ucapnya pura-pura.
Aku tahu dia berusaha memantik emosiku, sama seperti yang ia lakukan pada Carl.
"Ya, tak kusangka memang seburuk itu," sahutku menyeringai, sementara ia hanya mengerutkan kening atas kalimatku.
"Pantas saja tak ada yang mau menjadi pasangan dansamu kali ini," imbuhku.
"Wah, Putri Zora mengulangi kesalahan yang sama." Telingaku tak sengaja mendengar salah satu bisikan.
"Benar. Kali ini korbannya Pangeran Rein? Benar-benar memalukan! Padahal tadi aku sempat iri pada karena bisa menjadi pasangan dansanya," sahut yang lain. "Dasar gadis tak tahu diri."
Aku tersenyum miring saat menyodorkan tangan padanya untuk bangkit dari lantai. "Bangunlah. Aku baik-baik saja."
Ia tertawa getir sejenak, lalu berbisik, "Benar-benar pangeran licik."
"Saat kau berniat mempermalukanku, seharusnya kau bersiap untuk kupermalukan kembali," balasku berbisik.
"Putri Zora, setelah latihan selesai datanglah ke ruanganku," tegur Putri Saraya.
"Baik," sahut Zora mengangguk.
Latihan kembali dilanjutkan dan kami kembali menari. Kutatap ekspresi sendunya yang tak bisa kubaca. Apa dia menyesal atas tindakannya tadi? Tapi sepertinya ada hal lain yang mengusiknya.
"Apa kau tidak puas dengan hasil usahamu untuk membuatku hampir mencium lantai?" tanyaku, masih memperhatikan wajahnya.
Ekspresi sendunya berubah seketika dan ia tersenyum miring. "Sebenarnya ... aku senang. Membuatmu jatuh ke lantai sudah cukup membuatku puas. Tak kusangka, orang yang memiliki harga diri setinggi langit sepertimu bisa kujungkir-balikkan."
Keningku mengerut, mencerna kalimatnya. "Ternyata ... itu yang kau pikirkan? Kau berkata seolah-olah kau bisa menjatuhkan siapa saja yang berada di ketinggian."
"Ya, karena semakin tinggi posisi seseorang, maka ia akan mati saat jatuh."
"Apa kau sedang membicarakan reputasiku?"
"Apa kau merasa begitu?"
"Ya," jawabku yakin. "Asal kau tahu, Zora. Jika aku jatuh, aku bisa saja menyeret balik orang itu agar jatuh bersamaku. Bahkan jika itu dirimu."
"Ya, dari tampangmu saja sudah memberitahuku kalau kau akan seperti itu," seringainya.
* * *
"Yang Mulia, saya benar-benar minta maaf atas kesalahan yang dilakukan adik saya hari ini," ujar Clara saat latihan usai.
"Dia yang salah, kenapa kau yang meminta maaf?"
"Saya merasa tak enak hati dengan Anda. Anda sudah berusaha menepati janji dengan Zora, tapi dia malah mengecewakan Anda."
"Tidak masalah. Sebenarnya ... dansanya cukup mahir. Mungkin tadi ada sedikit kesalahan dalam gerakannya. Gerakanku juga mungkin tak sempurna, bisa jadi tadi adalah kesalahanku juga."
"Ya, tapi--"
"Kau tidak ingin meminta maaf padaku, Putri Clara?"
Kami dikejutkan oleh sosok Carl yang tiba-tiba muncul mencegat kami.
"Kemarin adikmu juga melakukan hal serupa padaku, kenapa kau hanya meminta maaf padanya?" lanjutnya tersenyum miring.
"Baiklah, saya minta maaf atas tindakan adik saya minggu lalu."
Carl tersenyum puas sementara aku hanya menghela napas.
"Lain kali, ajarkan adikmu sedikit sopan santun. Akan sangat disayangkan jika Raja Aiden harus menanggung malu atas sikap salah satu putrinya." Carl melipat tangan ke depan dengan wajah angkuh.
"Anda tak harus memikirkan reputasi ayahku, Yang Mulia Carl."
Kini Zora muncul di belakang kami dengan wajah dingin.
"Dibanding memikirkan ayahku, lebih baik pikirkan reputasi kerajaanmu pasca perang. Bukankah saat ini Tryenthee masih menanggung malu akibat kalah dari kerajaan kecil di pesisir pantai itu?" tambahnya dengan senyum jahat.
Mataku menyipit saat ia menyebut spesifikasi kerajaanku dengan nada sinis. Sementara Carl kembali tersinggung atas peristiwa yang telah mencoreng nama baik kerajaannya.
"Dan kau--" Zora menatap kakaknya dengan tatapan tak suka. "Aku tak pernah memintamu untuk minta maaf atas kesalahku pada orang lain, Clara. Aku tahu kau tak sebaik itu."
Zora melengos pergi begitu saja setelah menegur kami bertiga. Jika dilihat dari sikapnya, sepertinya hubungan Zora dan Clara tidak terlalu baik.
Clara menghela napas sejenak, lalu berkata, "Bagaimana cara mengurus adik yang tak tahu terima kasih?"
"Memang tak ada cara," sahutku. "Lagi pula yang dikatakannya memang benar. Kau tak harus meminta maaf atas kesalahannya. Biarkan dia yang datang sendiri dan menundukkan kepala."
Aku berniat untuk pulang ke asrama, tapi langkahku sudah diinterupsi.
"Rein, urusan kita belum selesai."
"Ya, aku tahu. Kau ingin membahas kekalahan Tryenthee waktu itu?" sahutku menebak. "Jujur, aku sedikit bosan mendengarnya."
"Kalau begitu, tunggu kehancuranmu."
Aku menyeringai atas kalimatnya yang menyerupai gertakan. "Kita lihat saja nanti."
* * *
Aku berkuda sambil sesekali menguap, merutuki kantukku yang belum terpuaskan sepenuhnya. Rasanya sedikit sebal saat Vincent dan Henry mengajakku ke kota sore hari. Aku bahkan masih ingat bagaimana mereka berdua membangunkanku saat masih terlelap.
"Rein, anggap saja kami sedang membantumu untuk mengubah kebiasaanmu. Kurangi tidur siang dan perbanyak tidur malam," ujar Vincent saat membangunkanku tadi.
Meski aku membenarkan kalimatnya, tetap saja aku sedikit kesal.
"Ya," sahutku tak acuh.
Kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru kota kecil yang tengah kulewati. Suasana akhir pekan membuatnya terlihat ramai layaknya festival. Berbagai jenis aroma memenuhi penciumanku silih berganti.
Rasa engganku perlahan memudar saat mulai menikmati suasana senja di langit berwarna sendu. Sebentar lagi hari menjelang malam dan kami masih berkeliling mencari tempat untuk makan malam.
Mataku menyipit seketika saat tak sengaja melihat sosok gadis memborong lima botol anggur. Matanya menatap liar sekelilingnya dengan waspada saat anggur-anggur itu ia sembunyikan di balik mantel.
Namun, yang membuatku terus memperhatikannya karena aku mengenalnya. Tuan putri bermasalah itu lagi. Entah kenapa, dia hobi berkeliaran untuk memburu anggur. Apakah separah itu candunya untuk mabuk?
"Kalian lihat gadis itu?" tunjukku.
Tak ada jawaban. Aku mengedarkan pandangan dengan syok karena Vincent dan Henry sudah tidak ada dan aku kehilangan jejak mereka.
Rasanya seperti kehilangan arah saat menyadari kesendirianku di tengah kota yang ramai. Aku mengedarkan pandangan lagi dengan cemas, sembari bergantian menatap keberadaan Zora.
Ya, mau tidak mau aku harus mendekati gadis itu daripada tersesat sendirian.
"Zora?" panggilku saat di dekatnya.
Gadis yang sedari tadi sibuk memasukkan botol-botol itu ke dalam tas di balik mantel, kini matanya melebar saat menoleh.
"Kau?" Dia tampak terkejut dan ketakutan saat melihatku. "Ka-kau tidak mengikutiku, 'kan?"
"Untuk apa aku mengikutimu?" jawabku tersenyum miring. "Kebetulan sekali kita bertemu di sini."
"Kalau kau tidak mengikutiku, sedang apa kau di sini?" Kali ini nadanya terdengar sinis dengan pandangan menuduh.
"Aku hanya sedang jalan-jalan sekaligus mencari tempat makan yang enak untuk makan malam. Kau sendiri? Apa kau keluar hanya untuk itu?" tunjukku pada isi tasnya.
"Bukan urusanmu," jawabnya dingin.
"Apa malam ini kau akan mabuk-mabukan di sungai seperti waktu itu?"
"Kau tak perlu tahu."
"Sepertinya iya." Aku menghela napas sejenak. "Tidak baik terlalu sering minum anggur, apa lagi kau seorang wanita."
"Terima kasih sudah menasehatiku. Tapi maaf, itu bukan urusanmu!" tegasnya.
Zora memacu kudanya tanpa mempedulikanku. Terpaksa aku mengikutinya.
"Kenapa kau mengikutiku?" Ia tampak terusik.
"Aku terpisah dengan teman-temanku dan aku belum terlalu mengenal tempat ini," jawabku jujur. "Daripada tersesat, akan lebih baik jika aku mengikutimu."
Ia menyeringai sambil menggelengkan kepala. "Kalimatmu terlihat seperti anak kecil yang dibuang oleh keluarganya di pasar."
"Ya, terserah apa katamu. Yang jelas aku harus ikut denganmu," sahutku, membuang rasa maluku.
"Bagaimana kalau aku keberatan?"
"Aku tidak peduli, yang penting aku ikut denganmu."
Dia tertawa getir dan tersenyum mengejek. "Jangan salahkan aku jika kau semakin tersesat."
"Kalau begitu, mari kita tersesat bersama."
Kuda kami berjalan berdampingan dan sepanjang jalan kami hanya terdiam. Aku tidak tahu dia akan membawaku keliling kemana, tapi sepertinya dia menyukai banyak hal. Tak jarang aku berhenti untuk mengikutinya berbelanja.
"Aku ingin makan di tempat ini. Kalau kau tidak suka, sebaiknya berhenti mengikutiku," ujarnya saat kami berada di halaman kedai yang ramai.
"Tidak masalah, aku bisa makan di mana saja."
Untuk pertama kalinya kami makan malam bersama di tempat terbuka dan hanya berdua dengan wanita. Vincent dan Henry pasti akan mengejekku habis-habisan jika mereka tahu.
Kami menikmati makan malam tanpa suara, membuatku fokus pada rasa hidangan yang tersaji. Menurutku, tak ada makanan yang tak lezat saat kucicipi, padahal ini adalah yang pertama. Axiandra terasa seperti surganya kuliner.
Setelah makan malam usai, kami masih saling diam. Aku tidak tahu kemana lagi gadis ini pergi. Namun, sepertinya kami akan segera pulang ke Royale Academy.
Mataku menatap sekeliling untuk mencari dua sosok yang terpisah denganku. Aku yakin Vincent dan Henry pasti sedang mencariku.
"Kau sudah makan?"
Kini pandanganku teralihkan saat Zora menanyai anak kecil dengan tampang kumuh. Ia sudah menuruni kudanya dan menyodorkan roti yang ia bawa pada anak itu.
Aku segera menuruni kuda dan mendekatinya. Tak kusangka di balik sikap menyebalkannya, ternyata gadis ini cukup baik dan peduli. Menampik sebagian prasangka burukku selama ini.
"Terima kasih, Nona. Berhubung Anda sudah baik pada saya, saya ingin memberi hadiah pada Anda." Gadis kecil itu tersenyum.
"Tidak perlu. Simpan saja barangmu untuk sesuatu yang kau butuhkan."
"Hadiah yang akan kuberikan bukan sebuah barang, tapi jasa."
"Apa itu?" Zora bertekuk lutut agar tinggi mereka setara. "Apa kau seorang peramal?"
"Berikan tangan Anda."
Zora menuruti permintaan gadis cilik itu, sementara aku masih berdiri dan menunggu apa yang akan anak itu lakukan.
Gadis kecil itu mulai membaca mantera dan tak lama, muncul lingkaran sihir di bawah kaki Zora. Keningku mengerut saat tanah yang kupijaki juga terdapat lingkaran sihir yang sama. Tiba-tiba sebuah kilatan cahaya menyambar pergelangan tanganku layaknya petir.
Kulihat pergelangan tanganku sudah terdapat ukiran sihir yang aneh seperti gelang yang menempel di kulit. Zora pun menatap pergelangan tangannya dan di sana terdapat tanda sihir yang sama.
"Apa ini?"
"Itu sihir ikatan. Dengan sihir itu, Anda akan terikat dengan pasangan Anda."
Zora tampak bingung sejenak. "Pasangan? Maksudnya ... aku dan dia?" tunjuknya ke arahku.
"Bukankah kalian sepasang kekasih yang sedang kencan?" tanya anak itu dengan wajah polos.
"Nak, sepertinya kau salah paham," sahutku. "Dia bukan pacarku."
"Oh, jadi bukan, ya?" Anak itu terlihat salah tingkah lalu menunduk dengan malu. "Ma-maafkan saya, Tuan dan Nona. Saya tidak tahu."
"Kau seorang penyihir?" tanya Zora untuk mengalihkan pembicaraan agar gadis itu tak terlihat sedih.
Ia mengangguk sendu. "Maafkan saya, Nona. Anda sudah baik pada saya, tapi saya malah melakukan kesalahan pada Anda."
"Bagaimana cara kerja sihir ini?" Zora nampak serius. "Apa efeknya sangat fatal?"
"Sebenarnya tidak juga. Sihir ini akan membuat Anda dan pria itu saling merasakan satu sama lain. Misalnya ... seperti ini--"
Aku terdiam saat pipiku terasa dibelai lembut ketika anak itu membelai pipi Zora.
"Bagaimana, Tuan? Anda juga merasakannya, 'kan?"
"Ya," sahutku.
"Ah, kalau begitu coba pukul wajahku dengan sangat keras." Zora terlihat antusias. "Anggap saja itu sebagai balas budimu atas rotiku."
"Ma-mana berani saya melakukannya."
"Anggap saja itu permintaanku."
"Hei, Zora!" sergahku.
Anak itu mengangguk ragu. "Maafkan saya."
"Hei!"
Aku terhuyung beberapa langkah saat kurasakan pukulan keras di wajahku. Kudapati sudut bibirku berdarah karena tergores gigi, begitu pun dengan Zora yang sudah mengusap darahnya.
"Wah, ini hebat." Zora tertawa sejenak, kemudian menatapku. "Dengan begini aku bisa melakukan apa pun padamu tanpa harus menyentuhmu, 'kan?"
"Jangan macam-macam! Aku tidak punya masalah denganmu!" desisku mulai kesal.
"Masih ingat kejadian tadi siang di ballroom? Tentu saja kau memiliki masalah denganku. Bukan hanya itu, kau juga sering melihatku membeli anggur, bahkan kau juga pernah melihatku mabuk secara langsung. Bagiku, itu adalah masalah."
"Dan kau akan memakai sihir ini untuk melakukan sesuatu padaku?"
Ia tak menjawab, tapi senyum jahatnya sudah memberitahuku.
"Berapa lama sihir ini bertahan?" tanyanya pada anak itu.
"Jika kalian bukan sepasang kekasih, sihir itu akan hilang dengan sendirinya besok."
"Oh, begitu? Ya, itu sudah lebih dari cukup. Terima kasih."
Zora menaiki kudanya setelah berpamitan pada anak itu, begitu pun denganku.
"Apa yang akan kau lakukan padaku? Bukankah itu akan mengenaimu juga?"
"Ya, aku tahu. Tapi sepertinya ini sangat seru."
Zora menggenggam tanaman berduri dalam keadaan melaju hingga tangannya tergores. Aku meringis kesakitan saat tanganku juga turut tergores dengan luka yang sama.
"Kau benar-benar sinting!" desisku.
"Salahmu karena terlibat urusanku," sahutnya tersenyum miring. "Aku jadi ingin melakukan banyak hal untuk mengerjaimu."
_______To be Continued_______
"Kau tahu betapa khawatirnya kami?" maki Vincent saat kami sudah berkumpul di asrama. "Kau tiba-tiba hilang dan kami mencarimu ke mana-mana sampai melewatkan makan malam!"Ya, sudah kuduga. Mereka pasti mencariku. Aku hanya terdiam, membiarkan kakak-beradik itu meluapkan kekesalannya padaku."Jika kau ada urusan mendesak yang membuatmu harus pulang, seharusnya kau memberi tahu kami. Jangan pulang sendiri dan meninggalkan kami tanpa memberi tahu apa-apa!" imbuhnya."Ya, aku minta maaf. Tadi itu ... sangat mendesak," sahutku seadanya. Tidak mungkin 'kan kuberi tahu pertemuanku dengan Zora. "Lain kali takan kuulangi.""Kak, kau sudah dipanggil oleh penjaga kamarmu." Henry muncul, menyembulkan kepala di pintu dan menginterupsi Vincent yang masih ingin meluapkan makiannya."Ah, sialan. Padahal aku masih ingin memakimu," gerutu Vincent padaku. "Baiklah, lain kali aku akan datang lagi dan aku takan lupa hari ini, Rein.""Apa kau akan membuat perhitungan denganku?""Tentu saja. Lain kali aku
"Rein, dari mana saja kau?"Aku terdiam di ambang pintu saat kudapati Henry sedang duduk di sofa dengan buku dan rambutnya yang berantakan. Tak kusangka, ia sudah bangun di pagi buta."Aku ... dari halaman belakang," jawabku dusta.Henry menutup buku dan menatapku curiga. "Dengan celana basah dan rambut acak-acakan seperti itu?" Ia mendekatiku perlahan. "Apa yang kau lakukan di sana?""Aku hanya mencari udara segar. Itu saja." Aku menutup pintu dan melepas sepatu."Kau ... mabuk?""Tidak. Aku tidak mabuk, sungguh.""Aku tahu kau minum anggur. Aromanya menyengat" Henry menghela sejenak. "Rein, kau pasti paham dengan aturan di sini.""Aku memang minum anggur, tapi tidak sampai mabuk. Lagi pula, aku minum di luar area akademi dan aku masuk dalam keadaan tidak mabuk.""Lalu kenapa kau basah kuyup begitu? Kau tidak terpleset dan jatuh ke kolam ikan, 'kan?""Itu--" Aku terdiam sejenak, tak tahu apa yang harus kukatakan lagi padanya. "Ya, aku jatuh ke kolam ikan saat kemari."Aku tidak mungk
Aku membuka mata perlahan dan menatap langit-langit beraroma serbuk kayu yang khas. Ukiran klasik nan megah terpampang begitu jelas. Di dinding terdapat logo Royale Academy. Butuh waktu sejenak untuk menyadari bahwa aku sudah berada di ruang kesehatan."Akhirnya Anda sadar juga, Yang Mulia."Aku menoleh ke sumber suara dan di sana sudah ada wanita dengan pakaian medis."Anda ditemukan di dasar jurang. Untung saja tidak ada luka fatal," lanjutnya lagi.Sejenak aku teringat kelompok itu. Ternyata mereka benar-benar melemparku ke jurang."Bagaimana dengan Vincent dan Henry?" tanyaku memastikan."Itu--" Ia terdiam sejenak. "Mereka berdua ditemukan terluka. Pangeran Vincent yang paling parah.""Lalu bagaimana kondisi mereka sekarang? Sudah ditangani dengan tepat?""Pangeran Henry sudah membaik, tapi Pangeran Vincent belum sadarkan diri dan masih membutuhkan perawatan intens. Saat ditemukan, beliau benar-benar sekarat," jawabnya."Di mana mereka sekarang? Apa mereka dirawat di sini?""Tidak
Seusai makan siang, aku segera menyendiri di perpustakaan untuk mengerjakan hukuman. Yang membuatku masih kesal karena ini jam tidurku. Semestinya detik ini aku sudah berada di kasur dengan nyaman, bukan berkelut dengan buku setebal ini.Benar saja, baru menulis dua lembar mataku sudah terasa berat. Kantuk menyerang tanpa ampun hingga kepalaku terasa pening jika dipaksa terjaga. Kuhela napas panjang lalu mengacak-acak rambut dengan lesu.Aku mengamati keadaan sekitar yang hening. Mungkin aku perlu tidur sebentar, sebelum melanjutkan hukuman. Kepalaku terkulai di atas meja dan terlelap, berharap masih bisa menyelesaikannya sebelum jam makan malam dimulai.* * *"Yang Mulia, bangunlah!"Aku mengerjap saat bahuku diguncang lembut oleh penjaga perpustakaan."Jam berapa sekarang?" tanyaku cemas."Sudah jam delapan malam.""Jam delapan malam?!" jeritku membeo. "Oh astaga, tugasku belum selesai."Aku semakin panik karena baru menyalin dua lembar. Jam delapan malam, berarti jam makan malam su
Aku seperti diseret ke lorong gelap sangat cepat , lalu seberkas cahaya muncul. Begitu menyilaukan. Udara dingin mendekap seketika dan kulihat ada salju bertebaran di mana-mana. Aku tidak tahu kenapa bisa berada di tempat ini, seperti mimpi. Ini adalah musim dingin dimana langit menjadi suram dengan hamparan putih sendu yang membeku. Suara ledakan menggema ramai diiringi dentingan pedang yang saling bersahutan. Bau anyir menyeruak di udara saat dua pasukan bertumbuk dan menciptakan genangan darah di salju. "Ini ... perang musim dingin yang pernah terjadi di masa lalu," gumamku dalam hati. Tanganku gemetar saat melihat dua sosok yang kukenal di antara pasukan. Mereka membantai pasukan lawan masing-masing dengan kalap sebelum akhirnya mereka berdua berhadapan berdua secara langsung. "Ayah, ibu!" Tubuhku hanya mematung saat mereka saling menyerang dan menyakiti. Luka sayatan bertebaran di sekejur tubuh mereka. Aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi, tapi yang membuatku terpaku s
Aku masih menunggunya selesai makan siang. Dari cara makannya yang lahap membuatku tahu kalau dia belum makan dari pagi. Kulirik sesekali yang hanya memakai dress mini, menampakkan bahunya yang memar.Aku menarik napas panjang, merasa bersalah karena tiba-tiba memeluknya seperti tadi. Benar-benar tak beretika.Kuedarkan pandangan sejenak, hanya hutan belantara yang lebat. Tak ada jalan setapak sama sekali, yang berarti tempat ini tak terjamah oleh manusia. Ini akan sedikit menyulitkan kami untuk pulang. Aku juga tidak tahu seberapa luas hutan ini."Rein, sepertinya mau turun hujan lagi."Aku menatap langit saat mendengar kalimatnya, begitu temaram di pertengahan hari yang seharusnya cerah."Kita harus segera pergi dari sini. Setidaknya kita harus cari tempat berlindung sebelum hujan turun. Kau sudah selesai makan?""Ya."Aku menggenggam ranting berukuran sedang untuk membuka jalan. Kabut mulai menutupi sebagian hutan yang kami lalui dan udara terasa dingin. Kutatap pohon jenjang yang
Aku berdiri di tengah taman mawar putih yang asing, terheran dengan lingkungan sekitar tanpa kata. Udara di sini terasa sejuk, juga nyaman.Kulihat seorang wanita duduk di kursi, membelakangiku. Aku mengenali postur tubuh itu dan gaya rambutnya yang tak asing, seperti--mendiang ibuku.Pikiran rasionalku mengatakan, jika sosok ini muncul di hadapanku berarti tempat ini hanya mimpi.Aku mendekatinya perlahan dengan hati bergetar sedih. Rinduku tumpah seperti air bah. Ia menoleh sebelum aku sampai padanya, lalu tersenyum melihatku.Di tangannya terdapat setangkai mawar merah kesukaannya, terlihat kontras di tengah hamparan mawar putih."Rein."Napasku tercekat saat ia memanggil namaku."Ibu senang melihatmu dewasa. Tapi--" Ibu terdiam menatapku tersenyum sendu. Ia tak melanjutkan kalimatnya."Tapi?" tanyaku penasaran.Ibu masih terdiam, lalu berkata, "Sini, duduklah, Nak!"Tangannya membentang untuk menyambutku agar duduk di sisinya. Aku masih menatapnya lekat dan duduk sesuai permintaann
Kami berdua duduk di antara barang di kereta. Jika dicium aromanya, sepertinya mereka membawa makanan. Perkiraanku, mungkin mereka hendak membawa pasokan makanan ini ke gudang istana.Aku memperhatikan Zora yang sibuk sendiri dengan barang-barang di sekitarnya. Selain untuk membetulkan posisi, ternyata ia sedang mencari makanan yang bisa dimakan."Jangan," cegahku sambil menahan tangannya yang hendak memakan apel. "Kalau ketahuan kau bisa dihukum gantung.""Aku lapar sekali.""Tahanlah sebentar lagi. Saat sampai di istana, kita temui yang mulia raja."Zora menghela napas sejenak, lalu meletakkan apel itu ke tempatnya lagi. Aku merangkulnya dan menepuk-nepuk bahunya agar dia terkulai."Tidurlah sebentar. Nanti kubangunkan jika sudah sampai di istana."Zora mengangguk dan menyandarkan kepalanya di bahuku. Situasinya membuatku ingin tersenyum. Ada perasaan hangat yang mengalir di hatiku perlahan, begitu menyenangkan.* * *Setelah beberapa lama, akhirnya kami memasuki gerbang istana. Ban