"Rein, dari mana saja kau?"
Aku terdiam di ambang pintu saat kudapati Henry sedang duduk di sofa dengan buku dan rambutnya yang berantakan. Tak kusangka, ia sudah bangun di pagi buta.
"Aku ... dari halaman belakang," jawabku dusta.
Henry menutup buku dan menatapku curiga. "Dengan celana basah dan rambut acak-acakan seperti itu?" Ia mendekatiku perlahan. "Apa yang kau lakukan di sana?"
"Aku hanya mencari udara segar. Itu saja." Aku menutup pintu dan melepas sepatu.
"Kau ... mabuk?"
"Tidak. Aku tidak mabuk, sungguh."
"Aku tahu kau minum anggur. Aromanya menyengat" Henry menghela sejenak. "Rein, kau pasti paham dengan aturan di sini."
"Aku memang minum anggur, tapi tidak sampai mabuk. Lagi pula, aku minum di luar area akademi dan aku masuk dalam keadaan tidak mabuk."
"Lalu kenapa kau basah kuyup begitu? Kau tidak terpleset dan jatuh ke kolam ikan, 'kan?"
"Itu--" Aku terdiam sejenak, tak tahu apa yang harus kukatakan lagi padanya. "Ya, aku jatuh ke kolam ikan saat kemari."
Aku tidak mungkin memberi tahu tentang pertemuan rahasiaku bersama Zora. Sampai sekarang, air terjun itu masih banyak yang menganggapnya wilayah terlarang.
"Aku tidak mencium bau amis di pakaianmu."
"Aku sudah membilasnya dengan air."
"Rambut dan celanamu basah kuyup, tapi baju dan sepatumu kering. Sudah dipastikan di luar sana kau melepas baju dan sepatumu," ujarnya menyelidik. "Sebenarnya apa yang kau lakukan?"
"Tidak semua aktivitasku menjadi urusanmu, 'kan?" kataku mulai jengah.
"Tentu saja itu urusanku, kita masih satu ruangan. Ya, walaupun beda kamar. Tidak ada salahnya 'kan jika aku tahu apa yang kau lakukan?"
"Termasuk jika aku melanggar aturan, apa kau akan mengadukanku agar dihukum?"
"Justru itu yang kukhawatirkan," jawabnya. "Jika hanya aku yang tahu, mungkin aku akan tutup mata dan pura-pura tidak tahu. Tapi bagaimana kalau orang lain yang melihatmu?"
"Ya, pastinya aku akan dihukum. Lagi pula aku takan lari jika memang ketahuan bersalah."
"Dan membiarkan reputasimu merosot?"
"Oh, astaga," desahku mulai kesal. Pasalnya, aku tidak suka jika harus membahas reputasi yang bahkan aku sendiri tak peduli. "Kau tak terlu mengurusi hal itu," lanjutku.
"Tapi, Rein--"
"Aku mau ganti pakaian," potongku cepat. "Oh ya, jika kalian ingin mengajakku pergi hari ini, tolong jangan ajak aku saat sedang tidur."
"Salahmu sendiri kenapa harus tidur di siang hari."
"Tenang saja. Aku tak mungkin menghabiskan hari libur dengan tidur seharian, meski sebenarnya ingin. Tapi aku juga tak menolak jika kalian ingin mengajakku pergi."
"Baiklah, kita lihat saja nanti. Mungkin saja kakakku sudah bersiap untuk memberimu pelajaran."
Aku yang tadinya hendak menaiki tangga, kini berhenti sejenak. "Kuharap kalian tidak mengerjaiku dengan sesuatu yang aneh."
* * *
Tubuhku tersentak ketika sepasang tangan melingkar di pinggang dengan wangi yang menyengat. Lalu ada tangan lain yang membelai pipiku lembut dengan wangi yang berbeda. Jika dirasa dari sentuhannya, tangan itu sudah pasti wanita.
"Selamat siang, Yang Mulia."
Aku membuka mata perlahan dan benar saja, sudah ada dua wanita berpakaian minim mengerubungiku. Kulepas dekapan wanita satunya lalu melompat dari tempat tidur.
"Apa-apaan ini?" tanyaku geram. "Siapa kalian? Berani sekali masuk ke kamar--"
"Kejutan!!"
Pintu kamar terbuka dan Vincent muncul dengan gaya sambutan pesta, sementara aku terdiam atas tingkahnya.
"Lihat wajahnya! Sepertinya kakak berhasil membuatnya kesal." Henry terkekeh.
"Ha ha ha, ekspresi dingin yang tampan. Membuat hatiku terpesona," sindir Vincent menggoda dengan nada datar. "Tapi sayangnya, aku pria tulen yang tidak tertarik."
"Kau yang mengirim mereka?" tunjukku pada dua wanita yang masih di ranjang.
"Bagaimana? Kau menyukainya?" jawabnya dengan bertanya.
"Oh, astaga!" gerutuku, bersiap memaki. "Bukankah sudah kubilang, jangan mengerjaiku dengan sesuatu yang aneh?"
"Mereka hanya wanita. Apanya yang aneh?" Vincent melipat tangan ke depan, lalu bersandar di dinding. "Sudah kuduga, dengan cara seperti ini kau pasti langsung bangun dari kematian singkatmu," cibirnya.
"Tidak harus dengan mengirim wanita ke ranjangku, 'kan?"
"Kalau tidak seperti itu, kau takan mau lepas dari ranjangmu seperti kemarin. Kau tahu? Kami sering kesulitan membangunkanmu. Kucingku saja langsung bangun saat diguncang tempat tidurnya."
Aku menghela napas panjang, bagaimana bisa aku dibandingkan dengan kucingnya yang galak itu?
"Ah, baiklah. Kali ini usahamu berhasil membuatku kesal. Sekarang, bawa mereka pergi dari sini." Aku duduk di sofa dengan rambut berantakan.
"Kita bisa dihukum kalau petugas di sini tahu ada wanita di asrama pria," imbuhku.
"Ya, itu sudah menjadi konsekuensinya."
"Kau mengambil risiko besar hanya untuk membangunkanku?"
Vincent mengendikkan bahu. "Setidaknya berhasil, 'kan?"
Aku mendesah kesal dengan kepala terkulai pada sandaran sofa. "Kalian berdua benar-benar sinting!"
"Tugas kalian sudah selesai," ujar Henry. "Kalian boleh pergi."
"Baiklah kami pamit, Yang Mulia." Dua wanita itu segera keluar dari kamarku.
"Terima kasih sudah memberi pemandangan yang langka," bisik salah satu dari mereka pada Henry sembari menatapku.
"Rambut berantakannya cukup menggoda. Lain kali panggil kami kemari," bisik satunya lagi yang juga terdengar olehku, sementara Henry hanya meringis setuju.
"Terima kasih atas bantuannya, Nona-Nona manis," sahut Henry ramah.
"Nah, sekarang kalian mau apa?" tanyaku setelah para wanita itu pergi. "Tidak mungkin kalian membangunkanku tanpa alasan."
"Ikut kami ke kota. Kau pasti akan menyukainya," jawab Vincent, lalu keluar kamar.
"Bersiaplah untuk wisata kuliner." Kini Henry menyusul kakaknya.
Aku masih terdiam setelah kamar sepi. Mataku masih sedikit mengantuk, tapi pikiranku sudah membayangkan berbagai makanan enak yang takan pernah kuduga.
Kutatap pergelangan tangan sejenak dan lingkaran sihir itu sudah tidak ada, yang berarti ikatan sihirnya sudah berakhir. Aku menghela napas lega, tapi pikiranku sedikit terusik jika harus mengingat rasa sakit yang menderaku waktu itu.
Tak kusangka, gadis itu selalu mengalami rasa sakit itu hampir setiap malam dan parahnya, tak ada orang yang tahu kondisinya. Aku tak bisa membayangkan jika Raja Aiden tahu, sudah pasti beliau akan langsung mengambil tindakan.
"Ah, sial. Kenapa aku jadi memikirkannya? Itu tak ada sangkut pautnya denganku," makiku pada diri sendiri, sembari mengacak-acak rambut sebelum bergegas mandi.
* * *
Sama seperti minggu kemarin, kami berkuda di hari libur. Menjajaki seluruh makanan di sebuah bazar kuliner yang terasa seperti pasar. Suasananya begitu ramai, diiringi aroma lezat yang saling bersahutan.
"Selamat datang di bazar kuliner masyarakat," ujar Henry dengan wajah semringah. "Keistimewaannya adalah kau takan bisa menemui satu pun bangsawan di tempat ini."
"Karena ini surganya makanan para rakyat biasa," sahut Vincent. "Kau tidak keberatan untuk melepas status pangeranmu di tempat ini, 'kan?"
"Sepertinya menarik," jawabku, memandang keramaian di depan mata. "Asalkan rasanya sesuai, mungkin aku takan keberatan."
"Baiklah, perburuan dimulai."
Kami menempatkan kuda di tempat penitipan, lalu berjalan kaki menuju keramaian. Suara bising memenuhi telinga, disertai aroma makanan dari berbagai penjuru.
"Sepertinya kue di baki itu enak," gumam Henry
"Oh, demi semesta! Daging panggang itu tampak menggoda." Vincent mendekati makanan yang membuatnya tertarik.
"Aku akan ke sana sebentar." Henry juga turut mendekati kue yang sedari tadi diliriknya.
Aku terdiam dengan tingkah dua temanku yang meninggalkanku begitu saja. Sampai sekarang, aku masih bingung mau makan apa. Hingga pada akhirnya, mataku tertuju pada sekumpulan makanan laut yang tampak merona.
"Nah, ini dia."
Pikiranku sudah membayangkan hidangan gurita mungil itu. Warna jingganya membangkitkan selera makanku seketika.
"Silakan dipilih, Tuan," ujar si Penjual. "Ada banyak menu hidangan laut yang tersedia dan masih hangat."
"Ya."
Aku segera mengambil beberapa makanan yang membuatku tergiur. Di Royale Academy tidak ada menu makanan laut dan itu membuatku sesikit bosan pada daging. Jadi, incaranku hari ini adalah makanan yang jarang tersaji di meja makanku.
Mataku tak sengaja melihat sebuah kantung kecil jatuh dari tas seseorang dan sepertinya orang itu tak menyadarinya. Aku segera memungut kantung itu dan mengejar pemiliknya.
"Tuan!" panggilku. "Permisi, Tuan. Maaf, barang Anda jatuh," lanjutku sembari menyodorkan kantung kecil itu padanya.
Pria itu menatap kantung di tanganku dan berkata, "Oh, terima kasih banyak, Tu--" Ia menatapku sejenak. "Anda ... Yang Mulia Rein?"
Keningku mengerut seketika. "Anda mengenal saya?"
"Ya, tentu saja. Rakyat Vainea mana yang tak mengenal calon rajanya sendiri?"
"Oh, jadi Anda dari Vainea?"
"Benar, Yang Mulia. Kebetulan saya ada urusan bisnis keluarga di tempat ini."
"Oh, begitu rupanya," gumamku termanggut.
"Tapi, Yang Mulia. Bukankah seharusnya Anda ada di Royale Academy? Ditambah, tempat ini bukan tempat yang cocok untuk bangsawan kelas atas seperti Anda."
"Saya hanya sedang mencari suasana baru di akhir pekan. Karena itu, saya dan beberapa temanku menyamar di sini. Jadi, bersikaplah informal pada saya selama di tempat ini, Tuan."
"Ah, baiklah." Pria itu mengangguk dengan wajah ramah. "Jujur, Anda mengingatkan saya pada mendiang yang mulia ratu. Beliau juga terkadang suka berada di tempat seperti ini dengan menyamar. Persis seperti Anda saat ini."
"Benarkah? Saya justru baru tahu mengenai hal itu. Saya tidak tahu aktivitas mendiang ratu selain menjalankan tugasnya di luar istana."
"Ya, saya cukup mengerti."
Jika dilihat, sepertinya pria ini masih di bawah usia 30 tahun, tapi dia sudah berkeliling untuk menjalankan bisnis keluarga? Benar-benar luar biasa. Dari penampilannya, sudah dipastikan ia pebisnis yang sukses.
"Kalau boleh tahu, siapa nama Anda?"
"Nama saya ... Aleea, Yang Mulia."
"Aleea?" Aku memiringkan kepala sejenak. "Aku seperti baru mendengar nama itu."
Ia tertawa sejenak. "Saya bukan bangsawan. Jadi wajar jika Anda tak terlalu mengenal saya di Vainea."
"Meski bukan bangsawan, sepertinya Anda seorang pebisnis yang sukses. Itu sangat luar biasa. Apa selama ini Anda tinggal di luar negeri?"
"Tidak. Saya tinggal di pinggiran kota, dekat hutan Zenia. Tapi terkadang saya juga menetap di luar negeri beberapa hari."
"Oh, begitu."
Aku termanggut dengan kening mengerut. Hutan Zenia merupakan hutan terlarang di Vainea. Aku tak menyangka ada pria sukses yang tinggal di dekat sana.
"Kalau begitu, saya permisi, Yang Mulia. Masih ada yang harus saya kerjakan."
"Ya, lain kali berhati-hatilah dengan barang bawaan Anda, Tuan."
"Sekali lagi, terima kasih banyak. Silakan nikmati libur akhir pekan Anda, Yang Mulia. Ada banyak makanan lezat di tempat ini."
"Baik. Semoga kita bisa bertemu lagi saat saya kembali ke Vainea."
Aku terdiam menatap kepergiannya, hingga ada tangan yang menepuk bahuku.
"Rein, kau sudah menemukan makananmu?" tanya Vincent.
Aku mengangkat makanan yang sedari tadi kubawa. "Gurita pedas dan teripang manis."
"Oh ya, Rein. Tadi ... kau berbicara dengan siapa?" tanya Henry penasaran.
"Dengan Tuan Aleea," jawabku. "Dia dari Vainea dan katanya, ada urusan bisnis di sini."
"Demi semesta, aku melihatmu berbicara sendiran, Rein." Kali ini Henry memasang wajah serius.
Aku terdiam sejenak, lalu terkekeh karena merasa lucu. "Kau pikir aku akan terpancing dengan humormu yang seperti itu?"
"Tapi sungguh, aku juga melihatmu bicara sendirian." Kini Vincent juga menatapku serius dan membenarkan kalimat Henry.
"Ck, kalian benar-benar kompak untuk mengerjaiku, ya." Aku mendengkus tertawa. "Maaf, candaan seperti itu takan mempan padaku."
"Apa kau bisa melihat hantu atau semacamnya?" Henry kembali bertanya.
"Kau pikir aku paranormal?" jawabku sambil duduk di kursi yang tersedia, lalu mengunyah potongan teripang manis.
"Atau jangan-jangan ... kau seorang penyihir?" Kali ini, Vincent yang bertanya. "Biasanya penyihir bisa melihat sesuatu yang tak kasat mata."
"Oh ayolah, berhenti membuat lelucon seperti itu," sergahku jengah. "Apa tampangku seperti penyihir?"
"Saat ini ... tampangmu seperti rakyat jelata," sahut Henry gamblang, lalu duduk berhadapan denganku sembari mengunyah kue.
"Ya, sama seperti kalian," balasku gamblang.
"Sepertinya ... aku harus pergi."
Aku dan Henry menoleh ke arah Vincent seketika. Pasalnya, kita baru saja sampai.
Kulihat ekspresinya sudah tegang dan berkeringat. Kami berdua menatap ke arah yang dituju Vincent dan melihat gerak-gerik sekelompok orang yang mencurigakan.
"Gawat!" desis Henry, langsung bangkit dari kursinya. "Kakak, ayo kita pergi!"
"Hei, ada apa?" tanyaku bingung.
"Maaf, Rein. Sebaiknya kau tak perlu terlibat. Jika sudah sore, pulanglah duluan. Kami akan menyusul," jawab Vincent terburu-buru.
"Hei!" teriakku, tapi tak digubris mereka berdua.
Aku menatap kepergian mereka, masih tak mengerti. Padahal mereka tadi antusias mengajakku, sekarang aku ditinggal begitu saja?
Dengan penasaran, kulihat kelompok itu lagi yang ternyata juga sudah pergi, mengejar mereka berdua.
"Mereka dalam bahaya," gumamku sejenak.
Segera kuhabiskan makanan dengan cepat dan sialnya, tenggorokanku tersedak tentakel gurita, membuatku terbatuk sampai merana.
Aku meneguk segelas air setelah batuk mereda, lalu kususul mereka berdua dengan memacu kuda secepat mungkin.
Aku tahu, aku tak berhak ikut campur masalah di Axiandra. Namun, saat ini mereka berdua adalah temanku. Meski mereka memintaku agar tak terlibat, aku ingin sekali membantunya.
Kami saling mengejar satu sama lain. Sebagian kelompok yang menyadari keberadaanku di belakang mereka, kini berhenti mengadang. Sisanya masih mengejar Vincent dan Henry.
"Jangan ikut campur jika Anda ingin kembali dengan selamat!" ujar salah satu dari mereka.
"Ya, aku tahu tapi--" Aku mengerang saat panah bius mengenai bahuku dari belakang. "Sial!"
"Selir Ravien?" Orang-orang di hadapanku terpana dengan sesuatu di belakangku.
"Biarkan saja dia dan lanjutkan pengejaran bersama yang lain," sahut wanita yang asalnya memang dari belakangku.
"Putra mahkota adalah prioritasku. Kalau bisa, bunuh kedua pangeran itu," lanjut wanita itu.
"Baik!"
Kini rombongan yang tadi mengadangku kembali melanjutkan pengejaran mereka, sementara tubuhku jatuh dari kuda dan ambruk di tanah.
Dalam keadaan setengah sadar, kulihat ada rombongan lain di belakangku. Di sana sudah ada wanita paruh baya dengan ekspresi jahat dengan busur panah bius yang tadi ditembakkan ke arahku.
"Nyonya, beliau adalah putra mahkota dari Kerajaan Vainea. Sebaiknya kita harus apakan dia?"
Tubuhku berangsur lemas dan kesadaranku perlahan memudar, tapi aku masih bisa mendengar pembicaraan mereka. Setidaknya untuk terakhir kali sebelum aku benar-benar tak sadarkan diri.
"Lempar saja tubuhnya ke jurang," jawabnya ketus. "Dasar merepotkan!"
_______To be Continued_______
Aku membuka mata perlahan dan menatap langit-langit beraroma serbuk kayu yang khas. Ukiran klasik nan megah terpampang begitu jelas. Di dinding terdapat logo Royale Academy. Butuh waktu sejenak untuk menyadari bahwa aku sudah berada di ruang kesehatan."Akhirnya Anda sadar juga, Yang Mulia."Aku menoleh ke sumber suara dan di sana sudah ada wanita dengan pakaian medis."Anda ditemukan di dasar jurang. Untung saja tidak ada luka fatal," lanjutnya lagi.Sejenak aku teringat kelompok itu. Ternyata mereka benar-benar melemparku ke jurang."Bagaimana dengan Vincent dan Henry?" tanyaku memastikan."Itu--" Ia terdiam sejenak. "Mereka berdua ditemukan terluka. Pangeran Vincent yang paling parah.""Lalu bagaimana kondisi mereka sekarang? Sudah ditangani dengan tepat?""Pangeran Henry sudah membaik, tapi Pangeran Vincent belum sadarkan diri dan masih membutuhkan perawatan intens. Saat ditemukan, beliau benar-benar sekarat," jawabnya."Di mana mereka sekarang? Apa mereka dirawat di sini?""Tidak
Seusai makan siang, aku segera menyendiri di perpustakaan untuk mengerjakan hukuman. Yang membuatku masih kesal karena ini jam tidurku. Semestinya detik ini aku sudah berada di kasur dengan nyaman, bukan berkelut dengan buku setebal ini.Benar saja, baru menulis dua lembar mataku sudah terasa berat. Kantuk menyerang tanpa ampun hingga kepalaku terasa pening jika dipaksa terjaga. Kuhela napas panjang lalu mengacak-acak rambut dengan lesu.Aku mengamati keadaan sekitar yang hening. Mungkin aku perlu tidur sebentar, sebelum melanjutkan hukuman. Kepalaku terkulai di atas meja dan terlelap, berharap masih bisa menyelesaikannya sebelum jam makan malam dimulai.* * *"Yang Mulia, bangunlah!"Aku mengerjap saat bahuku diguncang lembut oleh penjaga perpustakaan."Jam berapa sekarang?" tanyaku cemas."Sudah jam delapan malam.""Jam delapan malam?!" jeritku membeo. "Oh astaga, tugasku belum selesai."Aku semakin panik karena baru menyalin dua lembar. Jam delapan malam, berarti jam makan malam su
Aku seperti diseret ke lorong gelap sangat cepat , lalu seberkas cahaya muncul. Begitu menyilaukan. Udara dingin mendekap seketika dan kulihat ada salju bertebaran di mana-mana. Aku tidak tahu kenapa bisa berada di tempat ini, seperti mimpi. Ini adalah musim dingin dimana langit menjadi suram dengan hamparan putih sendu yang membeku. Suara ledakan menggema ramai diiringi dentingan pedang yang saling bersahutan. Bau anyir menyeruak di udara saat dua pasukan bertumbuk dan menciptakan genangan darah di salju. "Ini ... perang musim dingin yang pernah terjadi di masa lalu," gumamku dalam hati. Tanganku gemetar saat melihat dua sosok yang kukenal di antara pasukan. Mereka membantai pasukan lawan masing-masing dengan kalap sebelum akhirnya mereka berdua berhadapan berdua secara langsung. "Ayah, ibu!" Tubuhku hanya mematung saat mereka saling menyerang dan menyakiti. Luka sayatan bertebaran di sekejur tubuh mereka. Aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi, tapi yang membuatku terpaku s
Aku masih menunggunya selesai makan siang. Dari cara makannya yang lahap membuatku tahu kalau dia belum makan dari pagi. Kulirik sesekali yang hanya memakai dress mini, menampakkan bahunya yang memar.Aku menarik napas panjang, merasa bersalah karena tiba-tiba memeluknya seperti tadi. Benar-benar tak beretika.Kuedarkan pandangan sejenak, hanya hutan belantara yang lebat. Tak ada jalan setapak sama sekali, yang berarti tempat ini tak terjamah oleh manusia. Ini akan sedikit menyulitkan kami untuk pulang. Aku juga tidak tahu seberapa luas hutan ini."Rein, sepertinya mau turun hujan lagi."Aku menatap langit saat mendengar kalimatnya, begitu temaram di pertengahan hari yang seharusnya cerah."Kita harus segera pergi dari sini. Setidaknya kita harus cari tempat berlindung sebelum hujan turun. Kau sudah selesai makan?""Ya."Aku menggenggam ranting berukuran sedang untuk membuka jalan. Kabut mulai menutupi sebagian hutan yang kami lalui dan udara terasa dingin. Kutatap pohon jenjang yang
Aku berdiri di tengah taman mawar putih yang asing, terheran dengan lingkungan sekitar tanpa kata. Udara di sini terasa sejuk, juga nyaman.Kulihat seorang wanita duduk di kursi, membelakangiku. Aku mengenali postur tubuh itu dan gaya rambutnya yang tak asing, seperti--mendiang ibuku.Pikiran rasionalku mengatakan, jika sosok ini muncul di hadapanku berarti tempat ini hanya mimpi.Aku mendekatinya perlahan dengan hati bergetar sedih. Rinduku tumpah seperti air bah. Ia menoleh sebelum aku sampai padanya, lalu tersenyum melihatku.Di tangannya terdapat setangkai mawar merah kesukaannya, terlihat kontras di tengah hamparan mawar putih."Rein."Napasku tercekat saat ia memanggil namaku."Ibu senang melihatmu dewasa. Tapi--" Ibu terdiam menatapku tersenyum sendu. Ia tak melanjutkan kalimatnya."Tapi?" tanyaku penasaran.Ibu masih terdiam, lalu berkata, "Sini, duduklah, Nak!"Tangannya membentang untuk menyambutku agar duduk di sisinya. Aku masih menatapnya lekat dan duduk sesuai permintaann
Kami berdua duduk di antara barang di kereta. Jika dicium aromanya, sepertinya mereka membawa makanan. Perkiraanku, mungkin mereka hendak membawa pasokan makanan ini ke gudang istana.Aku memperhatikan Zora yang sibuk sendiri dengan barang-barang di sekitarnya. Selain untuk membetulkan posisi, ternyata ia sedang mencari makanan yang bisa dimakan."Jangan," cegahku sambil menahan tangannya yang hendak memakan apel. "Kalau ketahuan kau bisa dihukum gantung.""Aku lapar sekali.""Tahanlah sebentar lagi. Saat sampai di istana, kita temui yang mulia raja."Zora menghela napas sejenak, lalu meletakkan apel itu ke tempatnya lagi. Aku merangkulnya dan menepuk-nepuk bahunya agar dia terkulai."Tidurlah sebentar. Nanti kubangunkan jika sudah sampai di istana."Zora mengangguk dan menyandarkan kepalanya di bahuku. Situasinya membuatku ingin tersenyum. Ada perasaan hangat yang mengalir di hatiku perlahan, begitu menyenangkan.* * *Setelah beberapa lama, akhirnya kami memasuki gerbang istana. Ban
Aku menatap langit hitam yang kelam. Benar-benar gulita saat kurapatkan selimut. Malam ini sepertinya tidurku kembali seperti semula, dimana mataku takan bisa terpejam dalam kegelapan.Masih kurenungi pembicaraanku bersama Raja Leon. Beliau bilang ayahku tak bisa melindungi ibu sampai bayinya gugur sebelum lahir ke dunia. Aku mengacak-acak rambut sejenak, mulai frustrasi. Sebenarnya sepelik apa masalah mereka?Aku tahu itu sudah berlalu dan seharusnya aku tak perlu memikirkan urusan orang tua. Lagi pula, aku tahu mereka mencintaiku."Ah, tetap saja semua itu terasa mengganjal!" racauku lirih.Raja Leon seperti mengetahui semuanya tentang orang tuaku. Namun, karena rasa kecewa pada beliau, membuatku tak ingin bertanya lebih walau penasaran. Astaga, ini menyebalkan sekali.Aku bangkit dari kursi dan mendekati jendela. Udara berembus sejuk saat membukanya sedikit.Kusipitkan mata saat tak sengaja melihat seseorang yang memakai mantel, keluar menuju halaman belakang. Ia berjalan mengenda
Kereta kuda melaju untuk mengantar kami ke Royale Academy, entah akan ada rumor apa ketika kami sampai di sana. Aku sudah membayangkan betapa ributnya situasi di tempat itu saat mereka tahu aku dan Zora hilang dalam waktu beberapa hari. Aku melamun sambil menyangga dagu, masih memikirkan apa yang Raja Leon katakan padaku. Entah peristiwa apa yang kulewatkan di masa lalu, aku sangat terkejut saat tahu bahwa aku pernah hampir memiliki saudara. Ayah benar-benar menyembunyikan peristiwa itu dengan baik dengan membungkam para jurnalis. Pening mulai bergelayut, terpaksa kualihkan pikiran sejenak. Kulirik Zora yang juga melamun sambil menatap ke luar. Wajahnya terlihat bersemu malu, membuatku berpikir kalau ia masih mengingat kejadian semalam. Sialnya, wajahku turut memanas saat bayangan semalam tak sengaja melintas di kepala. Ekspresinya yang menggoda saat itu, membuatku hampir tak bisa mengendalikan diri. Beruntung, tak ada yang melihatnya keluar dari kamarku pagi buta tadi. "Rein," pan
_50 TAHUN KEMUDIAN_ -Kota Luna, Ibukota Vainea-.'Aku mencintaimu pada pandangan pertama. Aku mencintaimu untuk kedua kalinya. Aku juga mencintaimu di kehidupanku sebelumnya. Gapailah tanganku, maka kau dan aku akan terus bersama.'.Fiant Wayner, adalah identitas baru setelah aku turun takhta sebagai kaisar dengan memalsukan kematianku. Bukan istana lagi, kini aku menetap di lantai lima sebuah perpustakaan kota yang dibangun oleh Bibi Erina. Aku memakai kacamata, serta syal merah yang warnanya telah pudar. Kugenggam sebutir mutiara dengan uap putih yang menguar dari mulut. Kurapatkan jaket beserta topi untuk menutupi sedikit wajahku, lalu memasukkan mutiara itu ke saku. Vainea kini semakin maju seiring perkembangan jaman. Generasi pemerintahan telah berganti. Akhirnya bibi kesayanganku menikah juga, walau sangat sulit untuk memenuhi kriterianya.Terkadang aku rindu pada suasana di istana karena banyak kenangan yang tertinggal di sana. Beruntung, tak ada yang bisa mengenaliku sete
Aku dan Putri Clara duduk di ruang tamu istana Keylion yang dijaga ketat oleh beberapa pengawalku. Kami duduk saling berhadapan dengan suasana tegang, tanpa teh dan kudapan. Kurogoh saku dan meletakkan lencana Ratu Keylion di meja dengan sedikit melemparnya. "Saat terjadi keributan di Keylion karena perebutan takhta, seharusnya kau menjadi Ratu Keylion. Sesuai dengan urutan pewaris, posisimu ada di bawah Raja Luen," ujarku. "Pakailah! Sekarang kau adalah penguasa." Ia terkejut atas kalimatku. "Kenapa? Bukankah Anda melakukan perang penaklukan agar bisa menguasai Keylion?" "Musuhku adalah Zora, bukan Keylion." "Jadi Anda melakukan perang penaklukan hanya untuk membunuh Zora?" Clara tak habis pikir. "Apa Anda tahu bahwa tindakan Anda akan membuat Vainea dimusuhi banyak kerajaan lain?" "Kau menanyakan keputusanku?" "Maaf jika saya lancang, hanya saja ... jika Anda memang dari awal mengincar Zora, seharusnya Anda bisa melakukannya tanpa harus membuat perang besar." "Aku tidak tahu
Hanya dalam satu bulan, aku berhasil mempelajari sihir yang dipinjamkan padaku. Meski ada bagian yang sulit dan bahkan hampir merenggut nyawa, tapi pada akhirnya aku bisa menguasainya. Hari ini, tepat awal musim dingin, kudaku melaju bersama seribu pasukan di belakang. Baju zirah mereka telah kuberi batu sihir klon agar jumlahnya berlipat. Masing-masing satu orang bisa dikloning seratus kali lipat.Jika aku membawa seribu, jumlahnya akan bertambah menjadi seratus ribu. Itu jumlah yang cukup untuk memporakporandakan satu kota di perbatasan. Bukan hanya itu, batu sihir di baju zirah mereka juga terkoneksi dengan kekuatan sihirku agar stamina mereka tak surut dengan mudah. Setelah berkuda sejak dini hari, akhirnya kami sampai di perbatasan Keylion. Ribuan pasukan sudah menghadang dengan senjata dan alat tempur mereka.Hanya menunggu waktu hingga pasukan kami saling membentur kematian. "Tembak!" Sebuah bola api raksasa melesat dari benteng dan untungnya aku sudah mengantisipasi
Pada umumnya, masa duka hanya berlangsung satu sampai dua minggu. Namun, hingga satu bulan masa dukaku belum juga usai. Tak jarang aku mendengar gunjingan bahwa Raja Vainea berubah menjadi pendiam dan mulai gila.Berkat telingaku yang peka akibat kekuatan baru, aku juga bisa mendengar gunjingan para pelayan mengenai diriku.'Yang mulia raja sudah menjadi mayat hidup karena terlalu bersedih. Tubuhnya kurus dan pucat.''Yang mulia raja sedang dihukum akibat skandal yang membuatnya melanggar ritual.''Yang mulia raja mulai gila dan terus meminta pelayan untuk menyiapkan keperluan mendiang ratu yang telah tiada. Para pelayan diharuskan tetap menyediakan makan malam untuk ratu meski beliau tahu, makanan itu takan ada yang menyentuhnya.''Sungguh kasihan raja kami. Kekayaan dan kekuasaan seolah tak ada artinya tanpa ada yang mulia ratu di sisinya.'Ya, gunjingan-gunjingan itu memenuhi kepalaku, tapi aku enggan untuk merespons. Bagiku, mereka boleh berpendapat asal tak bersikap lancang di ha
____Serangan di Hari ke Lima Belas___ Aku berdiri di atas menara perbatasan untuk melihat langusng situasi dari kejauhan. Rupanya, pasukan yang dikerahkan Zora cukup banyak. Namun, wanita itu tak terlihat. Mungkin saja dia ada di barisan belakang.Aku menghela napas saat puluhan meriam tengah menembaki dinding untuk meruntuhkan benteng. Namun, nihil. Inilah alasan mengapa aku tak menggunakan meriam saat perang penaklukan, karena aku tahu takan bisa meruntuhkan dinding ini. Beruntung, aku berhasil mendapat pasokan bahan peledak dari Axylon. Kini sudah 15 hari aku berada di sini untuk memantau situasi, tapi rasanya seperti sia-sia. Kalau seperti ini terus, Vainea akan mengalami masa krisis yang parah. "Yang Mulia, utusan yang Anda kirim untuk menemui Ratu Zora tewas dibunuh," ujar Eleanor. "Tampaknya beliau enggan untuk melakukan negosiasi." "Tak kusangka rencanaku meleset jauh." Aku menarik napas sembari berpikir. "Berdasarkan karakternya, seharusnya ia akan menerima permintaanku un
Kabar skandal kami akhirnya tersebar setelah kunjunganku ke Keylion beberapa hari yang lalu. Ya, sesuai dugaanku sebelumnya.Aku senang karena rencanaku berhasil, tapi akibat dari berita skandal itu, masyarakat mulai mempertanyakan kesetiaanku. Bahkan ada yang melontarkan serapah atas pengkhianatan ritual yang mereka anggap suci.Juga, ada yang membanding-bandingkan kesetiaanku dengan mendiang ayah yang pernah menikah lagi dengan Putri Lucia dari Tryenthee karena politik. Namun, beliau tak menyentuh istri ke-duanya sama sekali demi menjaga ritual pernikahannya dengan ibu.Luna sangat bersabar dengan kabar yang beredar, terutama cemoohan para gadis yang iri atas kedudukannya.Sebenarnya aku sedikit tak terima atas cemoohan yang ditujukan padanya. Dalam hal ini, sepenuhnya adalah salahku, tapi ia ikut justru terkena imbasnya.Mungkin saat ini Zora juga mengira aku akan panik atas menyebarnya berita skandal ini. Namun, nyatanya tidak. Semua ini sudah termasuk bagian dari rencanaku walau
Aku terbangun dengan perih di sekujur tubuh. Perabot yang berantakan membuatku tersadar betapa gilanya kami memadu kasih semalam.Tubuhku dipenuhi cakaran dan gigitan Luna, serta serpihan beling yang sebagian masih menancap. Luna memekik sakit, ia pun terbangun seraya meringis. Tubuhnya dipenuhi luka lebam berbaur bekas cumbuan."Kau baik-baik saja?"Luna terdiam sejenak. "Ada beling di kakiku."Aku segera memeriksa telapak kakinya. Benar saja, satu lempengan runcing nan bening menancap di sana, disertai darah yang mengering.Luna memekik saat kucabut benda tajam itu. Kini darahnya kembali menetes, menambah bercak merah pada sprei yang sudah ternoda."Yang Mulia, sarapan sudah tersedia," ujar Vajira dari balik pintu."Kami akan menyusul!" sahutku. "Oh, Vajira. Tolong panggil tabib dan beberapa pelayan lain!""Baik, Yang Mulia," sahutnya.Aku memekik saat Luna menyabut salah satu beling di punggungku."Astaga, banyak sekali yang tertancap," gumamnya.Luna segera meraih ujung sprei dan
Aroma darah mengudara di medan perang nan suram. Aku bersimpuh di tengah ratusan mayat yang bergelimpangan, merengkuh sosok Luna yang tak bernyawa dengan kegelapan yang menyelimuti hati. Tangisan pilu menguasai diriku pada tangan yang ternoda, begitu menyesakkan dada. Angin berbisik. 'Hukuman telah dimulai' Aku membuka mata dengan tubuh mengerjap. Kudapati langit-langit kamar dengan peluh yang membasahi dahi. Sial, aku mimpi buruk lagi. Biasanya aku mimpi jika tidur malam, tapi anehnya ini terjadi saat tidur siang. Sudah ke tiga kali aku bermimpi hal serupa dan sampai sekarang, hubunganku dan Luna masih begitu dingin. "Anda baik-baik saja?" Aku teduduk saat Ezra bertanya. "Hanya mimpi buruk." "Awalnya saya hendak membangunkan Anda, tapi Anda sudah bangun lebih dulu," ujarnya. "Anda sangat gelisah dalam tidur Anda." Kutatap anak berusia sepuluh tahunan itu. "Bocah, tidak biasanya kau membangunkanku. Apa ada sesuatu yang sangat penting?" "Benar, Yang Mulia. Maaf jika saya tak sop
Katanya, pagi hari merupakan awal yang baru. Sepertinya itu benar. Ini awal baru dimana penderitaanku dimulai. Setelah ini hidupku akan dipenuhi kutukan dan hukuman. Juga, mungkin aku takan mendapat pengampunan.Semua para tamu dari berbagai kerajaan mulai berpamitan dan bersiap untuk pulang ke negara masing-masing, begitu pun denganku. Di antara puluhan penguasa, mungkin hanya aku yang tak memberi penghormatan terakhir pada tuan rumah."Padahal matahari begitu cerah, tapi kenapa aku merasa kedinginan di dekatmu?" sindir Raja Leon dengan nada bercanda, sementara aku tak merespons.Kemudian ia menatap putranya yang baru saja datang. "Kau juga terlihat muram, Hans.""Aku sedikit lelah," sahutnya ikut bergabung.Raja Leon menepuk bahu putranya yang tampak lesu, kemudian ia terdiam sejenak lalu menyeringai. "Kau semalam bercinta penuh semangat?"Raja Hans segera menepis tangan ayahnya dengan wajah malu. "Jangan sembarangan membaca pikiranku, Ayah."Sepertinya Zora memang memberi obat di m