Aku berdiri di tengah taman mawar putih yang asing, terheran dengan lingkungan sekitar tanpa kata. Udara di sini terasa sejuk, juga nyaman.Kulihat seorang wanita duduk di kursi, membelakangiku. Aku mengenali postur tubuh itu dan gaya rambutnya yang tak asing, seperti--mendiang ibuku.Pikiran rasionalku mengatakan, jika sosok ini muncul di hadapanku berarti tempat ini hanya mimpi.Aku mendekatinya perlahan dengan hati bergetar sedih. Rinduku tumpah seperti air bah. Ia menoleh sebelum aku sampai padanya, lalu tersenyum melihatku.Di tangannya terdapat setangkai mawar merah kesukaannya, terlihat kontras di tengah hamparan mawar putih."Rein."Napasku tercekat saat ia memanggil namaku."Ibu senang melihatmu dewasa. Tapi--" Ibu terdiam menatapku tersenyum sendu. Ia tak melanjutkan kalimatnya."Tapi?" tanyaku penasaran.Ibu masih terdiam, lalu berkata, "Sini, duduklah, Nak!"Tangannya membentang untuk menyambutku agar duduk di sisinya. Aku masih menatapnya lekat dan duduk sesuai permintaann
Kami berdua duduk di antara barang di kereta. Jika dicium aromanya, sepertinya mereka membawa makanan. Perkiraanku, mungkin mereka hendak membawa pasokan makanan ini ke gudang istana.Aku memperhatikan Zora yang sibuk sendiri dengan barang-barang di sekitarnya. Selain untuk membetulkan posisi, ternyata ia sedang mencari makanan yang bisa dimakan."Jangan," cegahku sambil menahan tangannya yang hendak memakan apel. "Kalau ketahuan kau bisa dihukum gantung.""Aku lapar sekali.""Tahanlah sebentar lagi. Saat sampai di istana, kita temui yang mulia raja."Zora menghela napas sejenak, lalu meletakkan apel itu ke tempatnya lagi. Aku merangkulnya dan menepuk-nepuk bahunya agar dia terkulai."Tidurlah sebentar. Nanti kubangunkan jika sudah sampai di istana."Zora mengangguk dan menyandarkan kepalanya di bahuku. Situasinya membuatku ingin tersenyum. Ada perasaan hangat yang mengalir di hatiku perlahan, begitu menyenangkan.* * *Setelah beberapa lama, akhirnya kami memasuki gerbang istana. Ban
Aku menatap langit hitam yang kelam. Benar-benar gulita saat kurapatkan selimut. Malam ini sepertinya tidurku kembali seperti semula, dimana mataku takan bisa terpejam dalam kegelapan.Masih kurenungi pembicaraanku bersama Raja Leon. Beliau bilang ayahku tak bisa melindungi ibu sampai bayinya gugur sebelum lahir ke dunia. Aku mengacak-acak rambut sejenak, mulai frustrasi. Sebenarnya sepelik apa masalah mereka?Aku tahu itu sudah berlalu dan seharusnya aku tak perlu memikirkan urusan orang tua. Lagi pula, aku tahu mereka mencintaiku."Ah, tetap saja semua itu terasa mengganjal!" racauku lirih.Raja Leon seperti mengetahui semuanya tentang orang tuaku. Namun, karena rasa kecewa pada beliau, membuatku tak ingin bertanya lebih walau penasaran. Astaga, ini menyebalkan sekali.Aku bangkit dari kursi dan mendekati jendela. Udara berembus sejuk saat membukanya sedikit.Kusipitkan mata saat tak sengaja melihat seseorang yang memakai mantel, keluar menuju halaman belakang. Ia berjalan mengenda
Kereta kuda melaju untuk mengantar kami ke Royale Academy, entah akan ada rumor apa ketika kami sampai di sana. Aku sudah membayangkan betapa ributnya situasi di tempat itu saat mereka tahu aku dan Zora hilang dalam waktu beberapa hari. Aku melamun sambil menyangga dagu, masih memikirkan apa yang Raja Leon katakan padaku. Entah peristiwa apa yang kulewatkan di masa lalu, aku sangat terkejut saat tahu bahwa aku pernah hampir memiliki saudara. Ayah benar-benar menyembunyikan peristiwa itu dengan baik dengan membungkam para jurnalis. Pening mulai bergelayut, terpaksa kualihkan pikiran sejenak. Kulirik Zora yang juga melamun sambil menatap ke luar. Wajahnya terlihat bersemu malu, membuatku berpikir kalau ia masih mengingat kejadian semalam. Sialnya, wajahku turut memanas saat bayangan semalam tak sengaja melintas di kepala. Ekspresinya yang menggoda saat itu, membuatku hampir tak bisa mengendalikan diri. Beruntung, tak ada yang melihatnya keluar dari kamarku pagi buta tadi. "Rein," pan
Satu minggu telah berlalu. Hubunganku dengan Zora telah menyebar luas di Royale Academy, entah siapa yang menyebarkannya.Tak sehari pun namaku luput dalam perbincangan para gadis dan semenjak itu, Zora semakin banyak diserang secara verbal, sesuai prediksi.Namun, kami sama-sama saling menguatkan satu sama lain agar hubungan ini tetap bertahan hingga hari bahagia itu tiba."Rein, ada surat untukmu." Henry meletakkan secarik amplop kecil di meja dekat ranjang. "Hari sudah sore, cepat bangun!"Aku bangkit dari pembaringan yang nyaman dengan lesu, lalu meraih surat itu dan membacanya...Untuk Pangeran Rein Vainea yang saya hormati.Hari ini saya ingin memberi tahu bahwa saya resmi lulus dari Royale Academy. Saya ingin menraktir Anda, tapi sayangnya aturan di sini sudah lebih ketat dari sebelumnya.Yang Mulia, bolehkan saya bertemu Anda sebelum pulang ke Vainea? Jika Anda berkenan, datanglah ke perpustakaan setelah makan malam. Saya akan menunggu Anda.Maaf jika permintaan saya sedikit
Dua minggu telah berlalu, seharusnya masa duka telah usai. Namun, Zora masih mengenakan gaun hitam. Bukan hanya itu, akhir-akhir ini hampir semua pakaiannya di dominasi warna hitam, termasuk mantel hangatnya.Juga, sikapnya jadi lebih dingin dan cenderung pendiam, seolah-olah kesedihan telah merenggut hari-hari cerahnya. Meski begitu, sikapnya padaku masih normal dan mesra seperti biasa.Aku jadi bertekad untuk membuat harinya penuh warna seperti dulu. Dia yang kadang ceroboh dan blak-blakan, aku merindukannya yang seperti itu. Dengan begitu, aku seperti tak memiliki batas apa pun karena sikap terbukanya.Hari ini, aku hampir tidur seharian dari pagi hingga sore, bahkan sampai melewatkan makan siang. Kuusap rambut yang basah setelah mandi sambil menikmati langit jingga yang sendu."Rein, ada yang ingin bertemu denganmu."Lagi-lagi Henry membuka pintu kamarku begitu saja tanpa permisi. Meski sudah terbiasa, tapi ada kalanya aku sedikit sebal dengan kebiasaannya."Bisakah kau ketuk dulu
Keesokan harinya, aku sudah bersiap untuk pulang. Jika menggunakan kereta kuda, sebenarnya bisa memakan waktu lebih dari satu minggu jika ditambah waktu istirahat.Waktu keberangkatanku ke Axiandra pertama kali, keretaku ditarik 10 ekor kuda sekaligus, itu lah kenapa waktu yang kubutuhkan hanya tiga sampai empat hari saja.Namun, kali ini Luna membawa kereta kuda yang ditarik oleh 14 kuda perang yang memiliki kecepatan lari lebih tinggi dan fisik lebih tangguh. Selain itu, ia juga membawa 20 pengawal bersenjata lengkap.Dengan begini, sudah dipastikan kami akan sampai di Vainea hanya dalam waktu dua hari saja. Atau bahkan tidak sampai dua hari jika kami terus melaju tanpa istirahat.Aku membuka tirai jendela saat kuda melaju, menampakkan pemandangan indah di luar sana. Rasanya begitu penat karena ini akan menjadi perjalanan panjang. Selain itu, ada dua rasa yang kini bergelayut dalam benakku.Di satu sisi aku ingin segera sampai karena cemas dengan situasi di sana, tapi di sisi lain ak
Seminggu telah berlalu sejak sampai di Vainea. Aku masih menunggu surat balasan dari Zora, hanya itu satu-satunya pengobat rindu. Sayangnya, surat darinya belum kunjung datang, membuatku bertanya-tanya apa suratku sampai padanya?Aku berkuda sambil melamun, menahan gejolak rindu yang membuatku gelisah akhir-akhir ini. Setidaknya aku perlu tahu bagaimana kabarnya di sana, apa dia menjalani hari-harinya dengan baik atau tidak. Ah, rasanya ingin sekali berlari untuk menemuinya."Yang Mulia!"Aku tersentak saat Luna berteriak. Butuh waktu untuk sadar bahwa aku menabrak seorang wanita. Kudaku meringkik keras saat wanita itu tersungkur.Aku turun dari kuda dan menghampiri sosok itu dengan cemas. "Anda baik-baik saja, Nyonya?"Wanita itu awalnya terlihat marah, tapi ekspresinya berubah saat melihatku. "Ka-kau?""Lavina! kau baik-baik saja?!" Seorang pria paruh baya yang seumuran dengannya nampak khawatir dan membantu wanita itu berdiri."Lavina?" Mataku menyipit sejenak saat nama itu terden