Dua minggu telah berlalu, seharusnya masa duka telah usai. Namun, Zora masih mengenakan gaun hitam. Bukan hanya itu, akhir-akhir ini hampir semua pakaiannya di dominasi warna hitam, termasuk mantel hangatnya.Juga, sikapnya jadi lebih dingin dan cenderung pendiam, seolah-olah kesedihan telah merenggut hari-hari cerahnya. Meski begitu, sikapnya padaku masih normal dan mesra seperti biasa.Aku jadi bertekad untuk membuat harinya penuh warna seperti dulu. Dia yang kadang ceroboh dan blak-blakan, aku merindukannya yang seperti itu. Dengan begitu, aku seperti tak memiliki batas apa pun karena sikap terbukanya.Hari ini, aku hampir tidur seharian dari pagi hingga sore, bahkan sampai melewatkan makan siang. Kuusap rambut yang basah setelah mandi sambil menikmati langit jingga yang sendu."Rein, ada yang ingin bertemu denganmu."Lagi-lagi Henry membuka pintu kamarku begitu saja tanpa permisi. Meski sudah terbiasa, tapi ada kalanya aku sedikit sebal dengan kebiasaannya."Bisakah kau ketuk dulu
Keesokan harinya, aku sudah bersiap untuk pulang. Jika menggunakan kereta kuda, sebenarnya bisa memakan waktu lebih dari satu minggu jika ditambah waktu istirahat.Waktu keberangkatanku ke Axiandra pertama kali, keretaku ditarik 10 ekor kuda sekaligus, itu lah kenapa waktu yang kubutuhkan hanya tiga sampai empat hari saja.Namun, kali ini Luna membawa kereta kuda yang ditarik oleh 14 kuda perang yang memiliki kecepatan lari lebih tinggi dan fisik lebih tangguh. Selain itu, ia juga membawa 20 pengawal bersenjata lengkap.Dengan begini, sudah dipastikan kami akan sampai di Vainea hanya dalam waktu dua hari saja. Atau bahkan tidak sampai dua hari jika kami terus melaju tanpa istirahat.Aku membuka tirai jendela saat kuda melaju, menampakkan pemandangan indah di luar sana. Rasanya begitu penat karena ini akan menjadi perjalanan panjang. Selain itu, ada dua rasa yang kini bergelayut dalam benakku.Di satu sisi aku ingin segera sampai karena cemas dengan situasi di sana, tapi di sisi lain ak
Seminggu telah berlalu sejak sampai di Vainea. Aku masih menunggu surat balasan dari Zora, hanya itu satu-satunya pengobat rindu. Sayangnya, surat darinya belum kunjung datang, membuatku bertanya-tanya apa suratku sampai padanya?Aku berkuda sambil melamun, menahan gejolak rindu yang membuatku gelisah akhir-akhir ini. Setidaknya aku perlu tahu bagaimana kabarnya di sana, apa dia menjalani hari-harinya dengan baik atau tidak. Ah, rasanya ingin sekali berlari untuk menemuinya."Yang Mulia!"Aku tersentak saat Luna berteriak. Butuh waktu untuk sadar bahwa aku menabrak seorang wanita. Kudaku meringkik keras saat wanita itu tersungkur.Aku turun dari kuda dan menghampiri sosok itu dengan cemas. "Anda baik-baik saja, Nyonya?"Wanita itu awalnya terlihat marah, tapi ekspresinya berubah saat melihatku. "Ka-kau?""Lavina! kau baik-baik saja?!" Seorang pria paruh baya yang seumuran dengannya nampak khawatir dan membantu wanita itu berdiri."Lavina?" Mataku menyipit sejenak saat nama itu terden
Keesokan harinya di ruang tamu istana, Luna datang menemuiku dengan membawa gulungan perkamen yang elegan. Besi yang digunakan untuk menggulungnya dihiasi dengan ukiran elok dan menawan.Luna bilang, ia menggunakan perkamen khusus agar tulisannya tak pudar dan mampu bertahan hingga puluhan tahun.Aku menerima kemudian membacanya. Kalimat yang ia gunakan membuat wajahku memanas seketika saking indahnya...Aku yang tengah berlayar di atas harapan yang terhampar luas, kini mengarungi deburan rindu yang menggelegak. Mengantarku pada ujung dermaga, kala angin bertiup lembut bersama kidung merah merona dalam sebuah penantian.Dariku, sebongkah hati yang kau tawan.Rein Vainea...Aku segera memunggungi Luna untuk menutupi wajah yang tengah merona, walau dengan ekspresi datar. Hatiku tersenyum senang saat membaca bait paling akhir yang sangat menyentuh itu.Sial, kenapa aku malah terpesona oleh kalimat yang mewakili perasaanku sendiri?"Bagaimana, Yang Mulia? Apa ... kalimatnya terlalu be
___Empat bulan kemudian___.Aktivitas yang padat membuatku tak sadar bahwa waktu cepat berlalu. Kini Vainea mulai mendekati stabil dengan cepat berkat bantuan Axylon. Mereka juga membantu Vainea mengirim bahan dan peralatan untuk memperbaiki perahu nelayan yang rusak.Selain itu, minggu ini aku akan mendapat surat kelulusan setelah menjalani ujian yang panjang. Beruntung, sebelumnya pihak sekolah memberi izin padaku untuk ujian di rumah dan aku berhasil menyelesaikannya dalam waktu kurang dari tiga bulan. Ya, bisa dibilang aku lebih bodoh sebulan dari Luna.Namun, aku juga dilanda resah. Zora tak lagi membalas suratku. Bahkan puisi indah yang pernah dikirim tiga bulan sebelumnya sama sekali tak ada tanggapan.Aku yang tengah dilanda rindu hanya bisa bersabar menanti sambil bertanya-tanya, apa yang terjadi padanya?Banyak prasangka yang mengusik layaknya parasit yang membuatku khawatir, berharap ia baik-baik saja.Aku menyetujui saran Bibi Erina untuk datang ke Keylion dan meminang Zo
Aku menatap lembaran-lembaran kertas usang yang menumpuk di meja. Kutata berdasarkan urutan tanggal terbit media berita itu satu persatu. Rasa penasaran terhadap kematian kedua orang tuaku begitu kuat, sampai aku tak bisa tidur karena memikirkannya.Kuhela napas untuk beristirahat sejenak sambil menatap lukisan wajah mereka. Tak habis pikir dengan berita-berita tentang mereka di masa lalu yang penuh kejanggalan."Rein, kau sedang sibuk?"Aku menoleh ketika seorang wanita membuka pintu kamar. Segera kubereskan semua kertas-kertas itu secepat mungkin. "Bisakah ketuk pintu sebelum masuk ke kamarku?"Bibi Erina melangkah masuk sambil memperhatikan kertas-kertas di tanganku lalu bertanya, "Sepenasaran itu kau dengan kisah kedua orang tuamu?" Ia menarik selembar kertas yang berada di tumpukan teratas. "Tidakkah kau mempercayai rumor yang beredar?"Aku menghela napas sejenak, lalu menunjukkan salah satu kertas yang memberitakan perang terakhir mereka."Rumornya, mereka saling mencintai. Tapi
"Yang Mulia, kita sudah masuk ke perbatasan Axiandra."Mataku mengerjap saat kusir di depan bersuara. Kulihat hari sudah senja dengan cahaya keemasan di ufuk barat. Aku menguap sejenak dan meregangkan tubuh setelah beberapa jam tertidur di kereta. Punggungku sedikit pegal karena terlalu lama tidur dalam posisi duduk dan meringkuk.Kulempar pandangan ke luar jendela. Peristiwa saat bertemu Putri Zora sedikit melekat dalam ingatan dan membuatku tak habis pikir, tapi aku berusaha mengabaikannya.Sebuah monumen besar kini terpampang di hadapanku dengan keramaian kota yang sangat padat. Untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Axiandra, kerajaan terjauh dari Vainea. Aroma kayu manis menguar dari salah satu kedai, juga—aroma biskuit jahe. Memberi kesan hangat pada bangunan unik itu.Axiandra, salah satu kerajaan besar dengan wilayah yang luas membuat perjalananku semakin terasa lama. Hingga akhirnya, aku sampai di Royale Academy pada malam harinya.Kedatanganku langsung disambut oleh
Aku sadar memang terkadang kejam, tapi itu berkaitan dengan para pengkhianat di kerajaanku. Aku takan bersikap seperti itu tanpa alasan. Apa—nantinya akan ada pengkhianat di Vainea?"Rein, kau percaya pada peramal itu?" tanya Henry memecah keheningan."Sebenarnya ... tidak terlalu," sahutku, masih setengah melamun. "Kau sendiri?"Henry mengendikkan bahu. "Entahlah. Aku sedikit percaya, tapi juga tidak. Kebanyakan orang Axiandra sangat mempercayai ramalan." Ia menghela napas sejenak dengan mata menerawang. "Gadis bangsawan dengan cinta yang tulus dan rela mengorbankan apa pun untukmu. Ah, manis sekali. Dia pasti gadis lembut dan penuh kasih sayang.""Itu akan menjadi misteri yang memusingkan. Pasalnya, gadis bangsawan yang dikenalkan padaku sangat banyak dan mereka terlihat lembut saat berhadapan denganku. Itu sama saja seperti mencari jarum di tengah tumpukan jerami.""Hmm ... ya, kau benar. Kita tidak bisa menilai seseorang dari sikap luarnya saja, jadi kau harus mengenal mereka deng