Terima kasih sudah membaca ^^ Jadwal up : Senin, Rabu dan Jum'at
Satu minggu telah berlalu. Hubunganku dengan Zora telah menyebar luas di Royale Academy, entah siapa yang menyebarkannya.Tak sehari pun namaku luput dalam perbincangan para gadis dan semenjak itu, Zora semakin banyak diserang secara verbal, sesuai prediksi.Namun, kami sama-sama saling menguatkan satu sama lain agar hubungan ini tetap bertahan hingga hari bahagia itu tiba."Rein, ada surat untukmu." Henry meletakkan secarik amplop kecil di meja dekat ranjang. "Hari sudah sore, cepat bangun!"Aku bangkit dari pembaringan yang nyaman dengan lesu, lalu meraih surat itu dan membacanya...Untuk Pangeran Rein Vainea yang saya hormati.Hari ini saya ingin memberi tahu bahwa saya resmi lulus dari Royale Academy. Saya ingin menraktir Anda, tapi sayangnya aturan di sini sudah lebih ketat dari sebelumnya.Yang Mulia, bolehkan saya bertemu Anda sebelum pulang ke Vainea? Jika Anda berkenan, datanglah ke perpustakaan setelah makan malam. Saya akan menunggu Anda.Maaf jika permintaan saya sedikit
Dua minggu telah berlalu, seharusnya masa duka telah usai. Namun, Zora masih mengenakan gaun hitam. Bukan hanya itu, akhir-akhir ini hampir semua pakaiannya di dominasi warna hitam, termasuk mantel hangatnya. Juga, sikapnya jadi lebih dingin dan cenderung pendiam, seolah-olah kesedihan telah merenggut hari-hari cerahnya. Meski begitu, sikapnya padaku masih normal dan mesra seperti biasa. Aku jadi bertekad untuk membuat harinya penuh warna seperti dulu. Dia yang kadang ceroboh dan blak-blakan, aku merindukannya yang seperti itu. Dengan begitu, aku seperti tak memiliki batas apa pun karena sikap terbukanya. Hari ini, aku hampir tidur seharian dari pagi hingga sore, bahkan sampai melewatkan makan siang. Kuusap rambut yang basah setelah mandi sambil menikmati langit jingga yang sendu. "Rein, ada yang ingin bertemu denganmu." Lagi-lagi Henry membuka pintu kamarku begitu saja tanpa permisi. Meski sudah terbiasa, tapi ada kalanya aku sedikit sebal dengan kebiasaannya. "Bisakah kau ketuk
Keesokan harinya, aku sudah bersiap untuk pulang. Jika menggunakan kereta kuda, sebenarnya bisa memakan waktu lebih dari satu minggu jika ditambah waktu istirahat.Waktu keberangkatanku ke Axiandra pertama kali, keretaku ditarik 10 ekor kuda sekaligus, itu lah kenapa waktu yang kubutuhkan hanya tiga sampai empat hari saja.Namun, kali ini Luna membawa kereta kuda yang ditarik oleh 14 kuda perang yang memiliki kecepatan lari lebih tinggi dan fisik lebih tangguh. Selain itu, ia juga membawa 20 pengawal bersenjata lengkap.Dengan begini, sudah dipastikan kami akan sampai di Vainea hanya dalam waktu dua hari saja. Atau bahkan tidak sampai dua hari jika kami terus melaju tanpa istirahat.Aku membuka tirai jendela saat kuda melaju, menampakkan pemandangan indah di luar sana. Rasanya begitu penat karena ini akan menjadi perjalanan panjang. Selain itu, ada dua rasa yang kini bergelayut dalam benakku.Di satu sisi aku ingin segera sampai karena cemas dengan situasi di sana, tapi di sisi lain ak
Seminggu telah berlalu sejak sampai di Vainea. Aku masih menunggu surat balasan dari Zora, hanya itu satu-satunya pengobat rindu. Sayangnya, surat darinya belum kunjung datang, membuatku bertanya-tanya apa suratku sampai padanya?Aku berkuda sambil melamun, menahan gejolak rindu yang membuatku gelisah akhir-akhir ini. Setidaknya aku perlu tahu bagaimana kabarnya di sana, apa dia menjalani hari-harinya dengan baik atau tidak. Ah, rasanya ingin sekali berlari untuk menemuinya."Yang Mulia!"Aku tersentak saat Luna berteriak. Butuh waktu untuk sadar bahwa aku menabrak seorang wanita. Kudaku meringkik keras saat wanita itu tersungkur.Aku turun dari kuda dan menghampiri sosok itu dengan cemas. "Anda baik-baik saja, Nyonya?"Wanita itu awalnya terlihat marah, tapi ekspresinya berubah saat melihatku. "Ka-kau?""Lavina! kau baik-baik saja?!" Seorang pria paruh baya yang seumuran dengannya nampak khawatir dan membantu wanita itu berdiri."Lavina?" Mataku menyipit sejenak saat nama itu terden
Keesokan harinya di ruang tamu istana, Luna datang menemuiku dengan membawa gulungan perkamen yang elegan. Besi yang digunakan untuk menggulungnya dihiasi dengan ukiran elok dan menawan.Luna bilang, ia menggunakan perkamen khusus agar tulisannya tak pudar dan mampu bertahan hingga puluhan tahun.Aku menerima kemudian membacanya. Kalimat yang ia gunakan membuat wajahku memanas seketika saking indahnya...Aku yang tengah berlayar di atas harapan yang terhampar luas, kini mengarungi deburan rindu yang menggelegak. Mengantarku pada ujung dermaga, kala angin bertiup lembut bersama kidung merah merona dalam sebuah penantian.Dariku, sebongkah hati yang kau tawan.Rein Vainea...Aku segera memunggungi Luna untuk menutupi wajah yang tengah merona, walau dengan ekspresi datar. Hatiku tersenyum senang saat membaca bait paling akhir yang sangat menyentuh itu.Sial, kenapa aku malah terpesona oleh kalimat yang mewakili perasaanku sendiri?"Bagaimana, Yang Mulia? Apa ... kalimatnya terlalu be
___Empat bulan kemudian___ . Aktivitas yang padat membuatku tak sadar bahwa waktu cepat berlalu. Kini Vainea mulai mendekati stabil dengan cepat berkat bantuan Axylon. Mereka juga membantu Vainea mengirim bahan dan peralatan untuk memperbaiki perahu nelayan yang rusak. Selain itu, minggu ini aku akan mendapat surat kelulusan setelah menjalani ujian yang panjang. Beruntung, sebelumnya pihak sekolah memberi izin padaku untuk ujian di rumah dan aku berhasil menyelesaikannya dalam waktu kurang dari tiga bulan. Ya, bisa dibilang aku lebih bodoh sebulan dari Luna. Namun, aku juga dilanda resah. Zora tak lagi membalas suratku. Bahkan puisi indah yang pernah dikirim tiga bulan sebelumnya sama sekali tak ada tanggapan. Aku yang tengah dilanda rindu hanya bisa bersabar menanti sambil bertanya-tanya, apa yang terjadi padanya? Banyak prasangka yang mengusik layaknya parasit yang membuatku khawatir, berharap ia baik-baik saja. Aku menyetujui saran Bibi Erina untuk datang ke Keylion dan memin
Perkataan Luna sedikit membuka pikiranku. Cukup menghibur ditengah hatiku yang kacau. Rasa sakit ini benar-benar membuatku tak berdaya.Kini ia kembali menunggangi kuda, berjalan hampir sejajar dengan jendela keretaku."Luna, temani aku ke suatu tempat," ujarku datar, setelah lama saling diam.Luna mengatur laju kudanya untuk menyamai posisi wajahku. "Baik, saya akan mengantar Anda ke tempat itu.""Perintahkan para pengawal untuk pulang lebih dulu."Luna tertegun. "Anda ... tidak akan membawa pengawal ke tempat itu?""Tidak. Membawa pengawal justru akan membuatku terlihat mencolok. Aku akan pergi berkuda.""Baik, saya akan memberi perintah pada mereka."Luna melaju ke depan dan tak lama semua pengawal berhenti. Ia memberi insturksi yang tadi kuperintahkan serta menyiapkan kuda untukku.Aku menuruni kereta kuda dan duduk di atas pelana. Memberi mereka instruksi agar mereka bergegas pulang. Sementara aku meminta Luna untuk mengikuti jalanku."Apa ada keperluan di suatu tempat, Yang Muli
Aku terduduk lesu dengan kepala terkulai di meja kerja, masih meratapi pernikahan Zora yang terasa seperti mimpi buruk. Hati ini masih menggetarkan kepedihannya meski pernikahan itu sudah berlalu selama dua pekan.Sepanjang pesta pernikahannya waktu itu, aku hanya menyendiri di tepi ruangan, menatap Zora dari sudut gelap dan melihatnya bahagia. Juga, masih berandai-andai bahwa aku yang bersanding dengannya.Aku menghela napas sejenak lalu menuang teh ke cangkir. Pikiranku kembali melayang pada masa-masa kebersamaan kami di Royale Academy. Kami yang saling berbagi rasa sakit di bawah air terjun, juga berbagi kehangatan di goa yang dingin.Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya? Rasanya aku ingin mengulang kembali masa-masa itu.Aku tersenyum masam saat mengingat rona wajahnya ketika kugoda. Meski ditimpali dengan kata-kata kasar yang lantang, tapi ia terlihat menggemaskan."Yang Mulia, cukup!"Tubuhku tersentak saat Luna sudah menahan poci yang sedang kutuang."Perkamen di meja Anda b
_50 TAHUN KEMUDIAN_ -Kota Luna, Ibukota Vainea-.'Aku mencintaimu pada pandangan pertama. Aku mencintaimu untuk kedua kalinya. Aku juga mencintaimu di kehidupanku sebelumnya. Gapailah tanganku, maka kau dan aku akan terus bersama.'.Fiant Wayner, adalah identitas baru setelah aku turun takhta sebagai kaisar dengan memalsukan kematianku. Bukan istana lagi, kini aku menetap di lantai lima sebuah perpustakaan kota yang dibangun oleh Bibi Erina. Aku memakai kacamata, serta syal merah yang warnanya telah pudar. Kugenggam sebutir mutiara dengan uap putih yang menguar dari mulut. Kurapatkan jaket beserta topi untuk menutupi sedikit wajahku, lalu memasukkan mutiara itu ke saku. Vainea kini semakin maju seiring perkembangan jaman. Generasi pemerintahan telah berganti. Akhirnya bibi kesayanganku menikah juga, walau sangat sulit untuk memenuhi kriterianya.Terkadang aku rindu pada suasana di istana karena banyak kenangan yang tertinggal di sana. Beruntung, tak ada yang bisa mengenaliku sete
Aku dan Putri Clara duduk di ruang tamu istana Keylion yang dijaga ketat oleh beberapa pengawalku. Kami duduk saling berhadapan dengan suasana tegang, tanpa teh dan kudapan. Kurogoh saku dan meletakkan lencana Ratu Keylion di meja dengan sedikit melemparnya. "Saat terjadi keributan di Keylion karena perebutan takhta, seharusnya kau menjadi Ratu Keylion. Sesuai dengan urutan pewaris, posisimu ada di bawah Raja Luen," ujarku. "Pakailah! Sekarang kau adalah penguasa." Ia terkejut atas kalimatku. "Kenapa? Bukankah Anda melakukan perang penaklukan agar bisa menguasai Keylion?" "Musuhku adalah Zora, bukan Keylion." "Jadi Anda melakukan perang penaklukan hanya untuk membunuh Zora?" Clara tak habis pikir. "Apa Anda tahu bahwa tindakan Anda akan membuat Vainea dimusuhi banyak kerajaan lain?" "Kau menanyakan keputusanku?" "Maaf jika saya lancang, hanya saja ... jika Anda memang dari awal mengincar Zora, seharusnya Anda bisa melakukannya tanpa harus membuat perang besar." "Aku tidak tahu
Hanya dalam satu bulan, aku berhasil mempelajari sihir yang dipinjamkan padaku. Meski ada bagian yang sulit dan bahkan hampir merenggut nyawa, tapi pada akhirnya aku bisa menguasainya. Hari ini, tepat awal musim dingin, kudaku melaju bersama seribu pasukan di belakang. Baju zirah mereka telah kuberi batu sihir klon agar jumlahnya berlipat. Masing-masing satu orang bisa dikloning seratus kali lipat.Jika aku membawa seribu, jumlahnya akan bertambah menjadi seratus ribu. Itu jumlah yang cukup untuk memporakporandakan satu kota di perbatasan. Bukan hanya itu, batu sihir di baju zirah mereka juga terkoneksi dengan kekuatan sihirku agar stamina mereka tak surut dengan mudah. Setelah berkuda sejak dini hari, akhirnya kami sampai di perbatasan Keylion. Ribuan pasukan sudah menghadang dengan senjata dan alat tempur mereka.Hanya menunggu waktu hingga pasukan kami saling membentur kematian. "Tembak!" Sebuah bola api raksasa melesat dari benteng dan untungnya aku sudah mengantisipasi
Pada umumnya, masa duka hanya berlangsung satu sampai dua minggu. Namun, hingga satu bulan masa dukaku belum juga usai. Tak jarang aku mendengar gunjingan bahwa Raja Vainea berubah menjadi pendiam dan mulai gila.Berkat telingaku yang peka akibat kekuatan baru, aku juga bisa mendengar gunjingan para pelayan mengenai diriku.'Yang mulia raja sudah menjadi mayat hidup karena terlalu bersedih. Tubuhnya kurus dan pucat.''Yang mulia raja sedang dihukum akibat skandal yang membuatnya melanggar ritual.''Yang mulia raja mulai gila dan terus meminta pelayan untuk menyiapkan keperluan mendiang ratu yang telah tiada. Para pelayan diharuskan tetap menyediakan makan malam untuk ratu meski beliau tahu, makanan itu takan ada yang menyentuhnya.''Sungguh kasihan raja kami. Kekayaan dan kekuasaan seolah tak ada artinya tanpa ada yang mulia ratu di sisinya.'Ya, gunjingan-gunjingan itu memenuhi kepalaku, tapi aku enggan untuk merespons. Bagiku, mereka boleh berpendapat asal tak bersikap lancang di ha
____Serangan di Hari ke Lima Belas___ Aku berdiri di atas menara perbatasan untuk melihat langusng situasi dari kejauhan. Rupanya, pasukan yang dikerahkan Zora cukup banyak. Namun, wanita itu tak terlihat. Mungkin saja dia ada di barisan belakang.Aku menghela napas saat puluhan meriam tengah menembaki dinding untuk meruntuhkan benteng. Namun, nihil. Inilah alasan mengapa aku tak menggunakan meriam saat perang penaklukan, karena aku tahu takan bisa meruntuhkan dinding ini. Beruntung, aku berhasil mendapat pasokan bahan peledak dari Axylon. Kini sudah 15 hari aku berada di sini untuk memantau situasi, tapi rasanya seperti sia-sia. Kalau seperti ini terus, Vainea akan mengalami masa krisis yang parah. "Yang Mulia, utusan yang Anda kirim untuk menemui Ratu Zora tewas dibunuh," ujar Eleanor. "Tampaknya beliau enggan untuk melakukan negosiasi." "Tak kusangka rencanaku meleset jauh." Aku menarik napas sembari berpikir. "Berdasarkan karakternya, seharusnya ia akan menerima permintaanku un
Kabar skandal kami akhirnya tersebar setelah kunjunganku ke Keylion beberapa hari yang lalu. Ya, sesuai dugaanku sebelumnya.Aku senang karena rencanaku berhasil, tapi akibat dari berita skandal itu, masyarakat mulai mempertanyakan kesetiaanku. Bahkan ada yang melontarkan serapah atas pengkhianatan ritual yang mereka anggap suci.Juga, ada yang membanding-bandingkan kesetiaanku dengan mendiang ayah yang pernah menikah lagi dengan Putri Lucia dari Tryenthee karena politik. Namun, beliau tak menyentuh istri ke-duanya sama sekali demi menjaga ritual pernikahannya dengan ibu.Luna sangat bersabar dengan kabar yang beredar, terutama cemoohan para gadis yang iri atas kedudukannya.Sebenarnya aku sedikit tak terima atas cemoohan yang ditujukan padanya. Dalam hal ini, sepenuhnya adalah salahku, tapi ia ikut justru terkena imbasnya.Mungkin saat ini Zora juga mengira aku akan panik atas menyebarnya berita skandal ini. Namun, nyatanya tidak. Semua ini sudah termasuk bagian dari rencanaku walau
Aku terbangun dengan perih di sekujur tubuh. Perabot yang berantakan membuatku tersadar betapa gilanya kami memadu kasih semalam.Tubuhku dipenuhi cakaran dan gigitan Luna, serta serpihan beling yang sebagian masih menancap. Luna memekik sakit, ia pun terbangun seraya meringis. Tubuhnya dipenuhi luka lebam berbaur bekas cumbuan."Kau baik-baik saja?"Luna terdiam sejenak. "Ada beling di kakiku."Aku segera memeriksa telapak kakinya. Benar saja, satu lempengan runcing nan bening menancap di sana, disertai darah yang mengering.Luna memekik saat kucabut benda tajam itu. Kini darahnya kembali menetes, menambah bercak merah pada sprei yang sudah ternoda."Yang Mulia, sarapan sudah tersedia," ujar Vajira dari balik pintu."Kami akan menyusul!" sahutku. "Oh, Vajira. Tolong panggil tabib dan beberapa pelayan lain!""Baik, Yang Mulia," sahutnya.Aku memekik saat Luna menyabut salah satu beling di punggungku."Astaga, banyak sekali yang tertancap," gumamnya.Luna segera meraih ujung sprei dan
Aroma darah mengudara di medan perang nan suram. Aku bersimpuh di tengah ratusan mayat yang bergelimpangan, merengkuh sosok Luna yang tak bernyawa dengan kegelapan yang menyelimuti hati. Tangisan pilu menguasai diriku pada tangan yang ternoda, begitu menyesakkan dada. Angin berbisik. 'Hukuman telah dimulai' Aku membuka mata dengan tubuh mengerjap. Kudapati langit-langit kamar dengan peluh yang membasahi dahi. Sial, aku mimpi buruk lagi. Biasanya aku mimpi jika tidur malam, tapi anehnya ini terjadi saat tidur siang. Sudah ke tiga kali aku bermimpi hal serupa dan sampai sekarang, hubunganku dan Luna masih begitu dingin. "Anda baik-baik saja?" Aku teduduk saat Ezra bertanya. "Hanya mimpi buruk." "Awalnya saya hendak membangunkan Anda, tapi Anda sudah bangun lebih dulu," ujarnya. "Anda sangat gelisah dalam tidur Anda." Kutatap anak berusia sepuluh tahunan itu. "Bocah, tidak biasanya kau membangunkanku. Apa ada sesuatu yang sangat penting?" "Benar, Yang Mulia. Maaf jika saya tak sop
Katanya, pagi hari merupakan awal yang baru. Sepertinya itu benar. Ini awal baru dimana penderitaanku dimulai. Setelah ini hidupku akan dipenuhi kutukan dan hukuman. Juga, mungkin aku takan mendapat pengampunan.Semua para tamu dari berbagai kerajaan mulai berpamitan dan bersiap untuk pulang ke negara masing-masing, begitu pun denganku. Di antara puluhan penguasa, mungkin hanya aku yang tak memberi penghormatan terakhir pada tuan rumah."Padahal matahari begitu cerah, tapi kenapa aku merasa kedinginan di dekatmu?" sindir Raja Leon dengan nada bercanda, sementara aku tak merespons.Kemudian ia menatap putranya yang baru saja datang. "Kau juga terlihat muram, Hans.""Aku sedikit lelah," sahutnya ikut bergabung.Raja Leon menepuk bahu putranya yang tampak lesu, kemudian ia terdiam sejenak lalu menyeringai. "Kau semalam bercinta penuh semangat?"Raja Hans segera menepis tangan ayahnya dengan wajah malu. "Jangan sembarangan membaca pikiranku, Ayah."Sepertinya Zora memang memberi obat di m