Aku sadar memang terkadang kejam, tapi itu berkaitan dengan para pengkhianat di kerajaanku. Aku takan bersikap seperti itu tanpa alasan. Apa—nantinya akan ada pengkhianat di Vainea?
"Rein, kau percaya pada peramal itu?" tanya Henry memecah keheningan.
"Sebenarnya ... tidak terlalu," sahutku, masih setengah melamun. "Kau sendiri?"
Henry mengendikkan bahu. "Entahlah. Aku sedikit percaya, tapi juga tidak. Kebanyakan orang Axiandra sangat mempercayai ramalan." Ia menghela napas sejenak dengan mata menerawang. "Gadis bangsawan dengan cinta yang tulus dan rela mengorbankan apa pun untukmu. Ah, manis sekali. Dia pasti gadis lembut dan penuh kasih sayang."
"Itu akan menjadi misteri yang memusingkan. Pasalnya, gadis bangsawan yang dikenalkan padaku sangat banyak dan mereka terlihat lembut saat berhadapan denganku. Itu sama saja seperti mencari jarum di tengah tumpukan jerami."
"Hmm ... ya, kau benar. Kita tidak bisa menilai seseorang dari sikap luarnya saja, jadi kau harus mengenal mereka dengan baik. Coba kau sapa mereka dan mulai akrab, jadi kau bisa menilai mana yang sesuai dengan kriteria pasanganmu dan yang tidak," ujarnya. "Ah, mungkin saja di Royale Academy kau bisa menemukannya."
"Itu akan semakin mempersulit pencarianku. Gadis bangsawan yang ada di sini jumlahnya sangat banyak dan dari berbagai kerajaan."
"Harusnya tadi kau bertanya gadis itu bangsawan kelas menengah atas atau ke bawah."
"Mana terpikirkan olehku yang seperti itu," sahutku penat.
"Ah, padahal kau sudah harus menikah sebelum naik tahta, 'kan?"
"Menemukan kriteria yang disebut peramal itu tidah mudah. Jika yang disebutkan berupa ciri-ciri fisik mungkin aku bisa menemukannya, masalahnya yang kakek sebutkan itu masalah hati dan karakter. Sedangkan aku tak bisa sembarang menilai seseorang dari luarnya."
Ia mengerang gemas seketika. "Kau itu rumit sekali. Padahal tinggal tunjuk satu wanita saja semua sudah beres."
"Meski aku memiliki wewenang untuk itu, tapi aku tak ingin menikah dengan wanita asal pilih. Seperti yang kau tahu, pernikahan di Vainea itu rumit."
"Ya, pasti karena ritual aneh itu, 'kan? Ya ... ya... aku mengerti."
"Dan sekarang mengenai ramalanmu. Aku curiga kalau masa depanmu berkaitan dengan Vincent. Aku paham betul masalah pelik yang terjadi di istanamu terutama kekuasaan pangeran dan juga ratu. Aku pernah mendengar kalau selir-selir di harem ayahmu itu penuh persaingan."
Ia menghela sejenak. "Tak kusangka aib seperti itu bisa terdengar olehmu yang jaraknya paling jauh dari Axiandra. Tapi ... memang benar, selama ini aku memang menutupi semua kemampuanku untuk melindungi kakakku. Aku bersedia melakukan apa saja asal kakakku bisa hidup dengan aman."
"Berarti ... kau rela menjadi mata-mata untuk musuh kakakmu?"
"Ya, itu lah kenapa aku berusaha bersikap polos dan pura-pura bodoh agar tak ada yang tahu jika aku mengetahui banyak hal. Kau adalah orang yang tahu mengenaiku selain Vincent."
"Ya, aku cukup mengerti situasimu. Tenang saja, rahasiamu aman padaku."
"Terima kasih, Rein. Tapi—" Ia menatapku sejenak. "Aku tak tahu bagaimana kau bisa menjadi penguasa kejam. Aku jadi khawatir dengan apa yang akan terjadi padamu."
"Soal itu ... aku juga tidak tahu. Tapi aku yakin, ada kesalahan dalam ramalan itu," sahutku yang juga berpikir. Entah pencapaian apa yang akan kudapat di masa depan, tapi—sepertinya itu di luar kendaliku.
* * *
"Yang Mulia, sudah waktunya makan malam."
Aku membuka mata saat bahuku diguncang dengan lembut. Senja telah ditelan oleh gelapnya malam saat kesadaran menyergap.
"Makan malam sudah siap. Pangeran Henry sudah menunggu Anda."
"Ya," sahutku, sambil terduduk lesu.
Di tempat ini tidak ada pelayan pribadi, tapi setiap ruangan di sediakan pelayan masing-masing untuk melayani penghuni kamar dalam ruangan mereka.
"Ah, bisa-bisanya kau langsung tidur setelah pulang dari perjalanan tadi. Kau seperti tidak tidur semalaman." Henry muncul dan bersandar di ambang pintu. "Lihat, ada banyak lipatan bantal di wajahmu."
"Aku memang tidak pernah tidur malam."
Ia memiringkan kepala dengan heran. "Pantas saja wajahmu terlihat suram sepanjang hari. Apa yang membuatmu seperti itu? Apa ada trauma yang membuatmu takut tidur malam?"
Aku melengos ke arah Henry dan menatapnya. Ya, dia tak sepolos kelihatannya dan mampu membaca situasi tanpa orang lain duga. Sangat wajar jika langsung menebak situasiku hanya karena sepatah kata dariku.
"Ada banyak hal yang tak perlu kau tahu tentangku," jawabku dengan wajah muram dan sedikit lemas.
"Ah, dari jawabanmu sepertinya ... itu hal yang menakutkan dan menyakitkan," ujarnya tersenyum miring. "Baiklah, aku takan memaksamu. Sebaiknya kau bersiap untuk makan malam."
"Ya," cicitku. "Aku akan menyusul.
* * *
Aku duduk di kursi dengan sebuah buku yang tengah terbuka. Kalimat dari peramal itu membuatku berpikir tentang penyihir Necromancer itu. Tak banyak buku yang menuliskan tentang mereka dan cara kerja kekuatannya yang bisa dengan mudah membolak-balikan kematian.
Meski dalam beberapa buku sihir ada yang membenarkan keberadaan mereka, tapi tak banyak yang tahu ciri khas kekuatan sihir mereka. Yang tertulis hanya kalimat dimana mereka tak boleh ada, itu lah kenapa para penyihir dengan kekuatan Necromancy banyak diburu untuk dibunuh.
Malam semakin larut dengan udara sunyi yang mencekam. Papan peringatan yang tadi kulihat membuat suara air terjun di dekat tempatku terdengar memiliki rahasia yang mengerikan.
Entah apa yang membuat tempat itu menjadi kawasan terlarang. Padahal aku sudah membayangkan tempat itu sangat indah di siang hari.
Aku menyeruput teh dengan asap yang masih mengepul, memberi kesan hangat di tengah udara malam yang dingin.
Sejenak, aku dilanda cemas untuk hari esok, khawatir jika aku akan mengantuk saat jam belajar dimulai. Aku tak tahu bagaimana cara mengubah kebiasaan yang telah kulakukan selama bertahun-tahun untuk mengubah jam tidur.
Kuteguk teh sekali lagi dan mataku tak sengaja melihat seorang gadis membawa lentera memasuki wilayah terlarang itu. Aku terdiam untuk mengamati gadis itu. Kegelapan membuat sosoknya sedikit tersamarkan. Namun, dari pakaiannya aku yakin dia seorang wanita.
Benakku kini dipenuhi tanya, siapa gadis itu? Kenapa dia menerobos wilayah itu? Apa dia gadis dari Royale Academy yang tidak tahu bahwa wilayah itu terlarang? Atau penduduk asli sini? Tapi untuk apa dia ke tempat itu malam-malam seperti ini?
Aku menyangga dagu di meja, masih menatap sosoknya hingga benar-benar hilang ditelan hutan yang gelap. Kuusap dahi yang berkeringat karena terlalu banyak berpikir. Rasa penasaran kini melanda, membuatku ingin mengikutinya. Namun, aku juga takut jika keingintahuanku malah berakibat fatal.
"Ya, sebaiknya kuabaikan saja orang itu. Semua yang terjadi di sini bukan urusanku," gumamku, menampik semua rasa penasaran.
Aku melanjutkan aktivitas membolak-balikkan buku, tapi pikiranku tak terpaut pada lembaran yang kini terbuka sejak melihat sosok yang masuk ke area terlarang itu. Seketika frustrasi melanda, membuatku kesal atas diriku yang tak bisa tenang jika sudah terusik.
Aku terus melihat keluar jendela, menatap hutan gelap itu dengan penuh harap menemukan sesuatu. Namun, tak ada tanda-tanda lagi.
Hingga pagi menjelang, aku masih mengawasi tempat itu sambil sesekali melihat buku dengan pikiran kalut. Mataku menyipit saat kulihat sosok gadis keluar dari tempat itu. Wajahnya tak terlihat begitu jelas karena tertutup tudung kepala.
Langkahnya sedikit limbung. Ia membawa lentera dan berjalan menuju salah satu tempat yang sepertinya—bagian dari Royale Academy. Dilihat dari arahnya, gadis itu menuju ke asrama Putri.
Benakku kembali dipenuhi tanya, siapa dia dan apa yang ia lakukan di wilayah terlarang malam-malam?
Aku menggelengkan kepala dengan frustrasi, berharap beban dalam pikiranku berkurang. Kuhela napas panjang agar tenang dan kini, sosok itu telah menghilang sepenuhnya ditelan kabut.
* * *
Setengah jam lagi, sarapan akan disiapkan dan aku masih sibuk membereskan semua buku dan menatanya dengan rapi ke dalam rak. Bayangan bukit air terjun membuat kamarku sedikit teduh dan menghalangi hangatnya mentari pagi. Ini adalah hari pertama belajar dimulai. Aku bergegas untuk mandi dan bersiap.
Tubuhku kembali segar saat air sejuk mengguyur. Pikiranku sedikit ringan dan tenang. Ada banyak bayangan yang berkelebat di pelupuk mata. Pikiranku mulai melalang buana, memikirkan beberapa hal. Aku segera memakai pakaian saat pelayan memberi tahu bahwa sarapan telah siap.
Langkahku menggema saat menuruni tangga dan kulihat Henry sudah duduk di meja makan tepat waktu. Sangat disiplin dan rajin, tidak sepertiku yang terkadang lamban jika pikiranku sedang terusik.
"Kau tidak tidur semalaman lagi?" tanyanya membuka percakapan.
"Sudah kubilang, aku tak pernah tidur malam," sahutku, lalu duduk di kursi makan.
"Ya ... ya, itu kebiasaan aneh. Aku tak bisa membayangkan jika kau nanti dinobatkan menjadi raja. Kau akan menghabiskan waktu siangmu untuk tidur dan bekerja di malam hari?" celotehnya. "Masyarakat pasti akan berpikir bagaimana jadinya kalau kerajaan mereka dipimpin oleh raja tukang tidur sepertimu, sedangkan mereka tak mengerti masalahmu."
Aku menghela napas sejenak dan memikirkan hal itu seketika. Aku pernah memikirkannya dari dulu, tapi aku selalu menganggapnya remeh karena saat itu waktuku masih lama.
"Sebaiknya, kau ubah kebiasaanmu selagi masih ada waktu. Jangan sampai kau ketiduran di singgasanamu atau reputasimu akan merosot."
"Aku sama sekali tidak mempedulikan reputasi, tapi ... kau benar. Mungkin aku harus mengubah kebiasaanku perlahan."
"Perlu bantuan?" tawarnya dengan seringai mencurigakan.
"Apa kau akan memberiku obat tidur? Itu tidak akan mempan untukku."
"Bagaimana kalau sesuatu yang menyenangkan?"
Alisku terangkat sejenak, menebak pikirannya. "Tolong jangan lakukan hal yang aneh. Ini di sekolah."
Ia terkekeh seketika. "Oh astaga, sebagai Pangeran Axiandra, Royale Academy adalah rumah keduaku. Aku bisa melakukan apa saja, apa lagi dengan teman seruanganku."
"Kau boleh melakukan apa pun sesukamu, asal tak melawan aturan dan membuat masalah," tegasku curiga dan ia makin terkekeh atas reaksiku.
* * *
Kami menyusuri koridor menuju ruang belajar. Seperti yang sudah kuduga, meski di asrama status kami tak dibedakan, tapi kelas kami tetap berbeda antara pangeran keturunan raja dengan putra bangsawan lain. Begitu pun dengan kelas tuan putri.
Untuk latihan pedang, kami berlatih di area yang sama dengan yang lainnya. Selain itu, kami baru satu ruangan dengan para siswi hanya di aula dalam latihan dansa dan sesuatu yang berkaitan dengan pesta. Itu pun hanya pada akhir pekan.
Aku memasuki ruangan dengan meja bertingkat yang tersusun rapi. Untuk pertama kalinya aku bertemu dan berkumpul dengan keturunan raja lain secara langsung. Dalam ruangan yang kini kutempati, ada 25 pangeran keturunan raja dengan berbagai status. Ada yang seorang putra mahkota, ada juga yang hanya putra dari selir.
Kami saling memperkenalkan diri saat kelas dimulai. Walau di tempat ini status kami disama-ratakan, tapi sikap dari antar pangeran masih menunjukkan beberapa kesenjangan. Ya, belajar di satu ruangan seperti ini adalah hal baru bagi kami.
"Lama tidak bertemu, Rein," sapa pangeran Carl, Putra Mahkota Tryenthee. Ia duduk bersebelahan denganku. Sambil tersenyum miring, ia berkata lirih, "Bagaimana kabar Vainea setelah menang dari Tryenthee?"
Aku menatapnya dingin sejenak, lalu tersenyum. "Seperti yang kau tahu, kehidupan kami semakin membaik setelah terlepas dari politik Tryenthee."
"Kalau begitu ... bagaimana jika kita berperang sekali lagi? Aku penasaran bagaimana kau akan menghadapiku setelah kau naik takhta."
Keningku mengerut seketika atas kalimatnya yang janggal. "Menghadapimu? Apa kau akan menyerang Vainea di luar perintah Yang Mulia Raja Tryenthee?"
Ia tersenyum miring sejenak dengan ekspresi samar. "Untuk pertama kalinya kami dipermalukan karena kalah oleh kerajaan kecil. Ayahku masih menanggung malu akibat kekalahan 20 tahun yang lalu, jadi aku yang akan mengambil alih militer untuk membalas semuanya."
Aku mendengkus tertawa lalu menyeringai. "Ah, mengerikan sekali. Tapi ... sepertinya masalahmu bukan hanya karena kekalahan Tryenthee waktu itu. Kurasa lebih bersifat pribadi." Aku menatapnya lekat. "Kau seperti orang yang sedang tak percaya diri."
Ia mengerutkan kening seketika dan menatapku tak suka. "Jangan bertingkah seolah-olah kau mengetahui tentangku."
"Aku memang tidak tahu apa-apa tentangmu, kecuali tentang ... kau yang mendapat kedudukan putra mahkota setelah putra mahkota terdahulu tewas terbunuh."
"Kau pikir kematian putra mahkota terdahulu karena siapa?" Ia menunjukkan seringai liciknya lagi dan menatapku tajam. "Meski dalam rumornya beliau tewas karena perang saudara, tapi aku tahu kalau pembunuhan beliau direncanakan oleh mendiang Raja Azura. Aku paham betul taktik ayah dan ibumu yang memanfaatkan kondisi Tryenthee yang sedang carut-marut waktu itu."
Keningku berkerut untuk kesekian kali. Ini adalah hal yang baru kudengar jika ayahku terlibat dalam pembunuhan mendiang Putra Mahkota Tryenthee, tapi akal sehatku masih menyangkal.
"Aku terkadang heran dengan Yang Mulia Raja Tryenthee. Kenapa menyerang Vainea di saat kondisi kerajaannya sedang tak stabil? Dan sekarang kau menuduh ayahku terlibat dalam kasus pembunuhan putra mahkota yang disebabkan oleh perang saudara?" Aku tertawa sejenak. "Lucu sekali, Carl."
Ia mendengkus tertawa sambil membuka buku di hadapannya "Aku jadi sedih denganmu. Ternyata kau bocah yang tidak tahu apa-apa."
Kami saling terdiam saat pria di hadapan kami berbicara. "Perkenalkan nama saya Andrew, saya adalah mentor yang akan mengajari ilmu etika, hukum dan juga politik. Saya dikhususkan untuk mendidik para putra bangsawan dari keturunan raja seperti kalian."
"Meski setiap kerajaan memiliki aturan hukum, kedisiplinan dan standar yang berbeda, tapi ada beberapa hal mendasar yang perlu kalian kuasai," lanjutnya.
Kami semua mengeluarkan beberapa buku catatan saat pelajaran dimulai dan jujur, rasanya—seperti mempelajari ulang hal-hal yang pernah kupelajari saat usiaku 13 tahun. Ayah dan ibuku sudah mengajariku banyak hal mengenai hukum, politik dan etika tanpa guru pembimbing.
Bisa dikatakan mereka yang langsung mengajariku, tapi entahlah. Bagaimana dengan pangeran yang lain? Apa mereka diajari langsung oleh orang tua mereka atau menyewa guru pembimbing?
* * *
Kami semua digiring ke sebuah ruangan yang menyajikan menu makanan. Ya, ini adalah bagian dari aturan Royale Academy, yaitu makan siang bersama setelah jam belajar selesai. Kegiatan ini bertujuan untuk mengasah komunikasi dan sosialisasi antar sesama dengan baik.
Kami sudah duduk di kursi yang tersedia dan kebetulan Vincent duduk bertepatan di sebelahku. Kami saling menyapa dengan hangat sebelum menyantap hidangan.
"Aku tadi memperhatikanmu dengan Pangeran Carl," ujarnya sambil mengelap garpu. "Aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan, tapi sepertinya serius sekali. Kau tahu? Kalian seperti dua anak kecil yang ingin berkelahi."
"Ya, mungkin bisa saja kami berkelahi jika kami tidak sadar akan status kami di sini," sahutku, menyeruput sup.
"Apa ... berkaitan dengan perang Vainea dengan Tryenthee waktu itu? Sepertinya dia sangat membencimu."
"Ya, seperti yang kau tahu, perang itu pihak Tryenthee yang memulai. Tapi dia tidak terima dengan kekalahan yang mereka alami dan menuduh Vainea melakukan taktik licik yang menyebabkan kekalahan mereka."
Vincent menghela napas sejenak. "Aku tahu tak sepatutnya mengurusi masalah kalian. Tapi ... jika aku boleh menilai, mungkin dia juga benar. Vainea takan menang dari Tryenthee jika hanya mengandalkan kekuatan."
"Maksudmu?"
"Ratu Selena dan Raja Azura, mereka berdua adalah kombinasi terbaik dalam sejarah. Mereka tahu bagaimana cara bertahan dan cara menyerang, itu saja belum cukup jika tidak disertai strategi dan politik yang bagus. Maaf jika harus membahas tentang orang tuamu yang telah tiada," jelasnya.
"Ayahku adalah teman ibumu, begitu pun dengan Raja Hans, beliau juga mengenal ibumu. Aku sering mendengar cerita tentang mereka berdua dan ayahku pernah bilang kalau Vainea menang dari Tryenthee berkat kecerdasan politik dan strategi yang bagus," lanjutnya, sembari memotong daging di hadapannya.
"Tapi aku masih tak percaya jika ayahku terlibat dalam kematian Putra Mahkota Tryenthee terdahulu. Apa mungkin ayahku benar-benar memanfaatkan keadaan dan mengambil kesempatan itu atau memang hanya bualan belaka. Aku bahkan baru tahu tentang hal itu."
"Ya, aku sendiri juga tidak bisa berspekulasi banyak. Hanya saja, yang kutahu ... orang tuamu adalah dua sosok yang pandai melihat peluang. Ditambah kondisi Tryenthee memang sedang carut marut akibat perang saudara waktu itu. Kematian putra mahkota adalah pukulan terbesar untuk Tryenthee. Mungkin kematian beliau memang sudah termasuk bagian rencana ayahmu untuk membuat Tryenthee semakin kalut."
Aku menggigit sepotong daging sembari berpikir, ternyata masalah mereka lebih rumit dari yang kubayangkan. Soal perang itu, sungguh, aku tak tahu apa pun selain berita tentang kemenangan Vainea atas Tryenthee. Aku tak tahu bagaimana ayah memenangkan perang itu dan—aku masih tak menyangka.
Ya, ini sangat menarik. Di sini aku bisa mencari sumber informasi dari berbagai pihak, termasuk orang-orang di tempat ini.
_______To be Continued_______
Suara dentuman palu menggema saat para murid berjalan melewati aula utama usai makan siang. Di sana ada seorang petugas yang sedang memaku papan kecil dalam daftar pelanggaran.Suasananya begitu ramai, bukan hanya dari kalangan pangeran yang berkumpul untuk melihatnya, tapi juga dari kalangan tuan putri.“Hari pertama sudah ada yang melanggar aturan?” gumam Vincent tak menyangka.Kulihat sosok gadis memakai pita merah di lengannya, itu adalah simbol hukuman atas pelanggaran yang ia lakukan. Namun, yang membuatku terpaku gadis itu adalah—Putri Zora. Gadis menyebalkan yang pernah menemuiku waktu itu.Aku menatap papan kecil yang terpasang dan di sana menjelaskan bahwa gadis itu mabuk. Itu merupakan pelanggaran ringan, tapi tetap saja akan memperburuk citra Kerajaan Keylion.Suara bisikkan menggema, sosoknya kini menjadi bahan pembicaraan dari kalangan para gadis yang tak menyangka atas perbuatannya.“Bagaimana bisa putri sepertimu mabuk di malam pertama tinggal di sini?” tanya salah sat
Tak terasa sudah akhir pekan sejak masuk di Royale Academy. Tak banyak hal berarti dari pelajaran yang menurutku sedikit membosankan, meski ada hal baru juga yang menarik.Bersosialisasi sesama bangsawan ternyata tidak seburuk dugaanku, justru aku memiliki banyak teman dari berbagai kalangan di seluruh penjuru wilayah. Ya, meski tidak terlalu akrab, tapi sebagian besar kami berhasil menjalin hubungan dengan baik, kecuali dengan Carl. Hubungan kami masih dibayangi permusuhan akibat perang 20 tahun yang lalu.Jadwal hari ini adalah kelas dansa. Tepatnya di ballroom yang lokasinya dekat aula. Dalam kelas ini, sudah pasti semua akan berbaur menjadi satu dengan para gadis. Aku tak bisa membayangkan bagaimana sesaknya tempat itu.Hari ini, aku sudah bersiap padahal ada rasa sedikit enggan mengikuti kelas akhir pekan. Kurasa Henry pun begitu, tapi peraturan tetap peraturan. Akan ada sanksi bagi yang tak hadir tanpa alasan yang dibenarkan."Rein, kau sudah siap?" Henry mengetuk pintu. Cukup a
Aku sudah berada di arena latihan pagi ini, sesuai kesepakatan dengan Luna. Untung saja, kami diijinkan menggunakan arena latihan di luar jadwal. Gadis itu ternyata sudah menungguku lebih awal, lengkap mengenakan pakaian pelindung untuk berlatih."Maaf sudah membuatmu menunggu," ujarku, sembari mengenakan pakaian pelindung."Tidak masalah, Yang Mulia. Maaf jika permintaan saya telah mengganggu waktu istirahat Anda di hari libur.""Sekarang, apa kita langsung mulai saja bertandingnya?"Luna mengangguk, lalu menyodorkan sebilah pedang dengan kedua tangannya padaku."Saya akan melawan Anda dengan sungguh-sungguh. Jadi, saya harap Anda pun begitu."Alisku terangkat sebelah. Untuk pertama kalinya aku ditantang oleh seorang gadis yang ingin melawanku dengan sungguh-sungguh. Sepertinya ini akan menjadi pertarungan yang menarik. Aku jadi penasaran seberapa besar kemampuannya menggunakan benda mematikan ini."Bersiaplah, Yang Mulia."Suara dentingan pedang kami memecah keheningan di arena yang
Setelah lama berdebat, akhirnya ia setuju untuk latihan denganku. Sebenarnya aku sedikit enggan, tapi aku sudah terlanjur menggandengnya.Aku berdansa dengan gelisah, tak tahu apa yang gadis ini pikirkan. Ekspresinya sangat mengkhawatirkan, seolah-olah sedang merencanakan sesuatu."Rein, sebenarnya aku tak terlalu mahir berdansa. Jangan salahkan aku jika latihanku sangat buruk, bahkan bisa merugikanmu," ujarnya di tengah gerakan.Alisku terangkat sebelah, membaca ekspresinya lebih intens. "Kita lihat seburuk apa dansamu."Alunan musik masih mengalun dalam hitungan konstan. Aku masih waspada pada tindakannya. Pasalnya, gadis ini sedikit cerdik untuk menjatuhkan lawan.Benar saja, dalam sekejap ia menyilangkan kakinya saat gerakan memutar, membuatku jatuh tersungkur.Aku yang sudah membaca gerakannya, tak tinggal diam. Kukencangkan rengkuhan di pinggangnya hingga ia ikut jatuh saat aku tersungkur.Kami menjadi tontonan banyak orang dan kami berdua saling menatap sengit satu sama lain. A
"Kau tahu betapa khawatirnya kami?" maki Vincent saat kami sudah berkumpul di asrama. "Kau tiba-tiba hilang dan kami mencarimu ke mana-mana sampai melewatkan makan malam!"Ya, sudah kuduga. Mereka pasti mencariku. Aku hanya terdiam, membiarkan kakak-beradik itu meluapkan kekesalannya padaku."Jika kau ada urusan mendesak yang membuatmu harus pulang, seharusnya kau memberi tahu kami. Jangan pulang sendiri dan meninggalkan kami tanpa memberi tahu apa-apa!" imbuhnya."Ya, aku minta maaf. Tadi itu ... sangat mendesak," sahutku seadanya. Tidak mungkin 'kan kuberi tahu pertemuanku dengan Zora. "Lain kali takan kuulangi.""Kak, kau sudah dipanggil oleh penjaga kamarmu." Henry muncul, menyembulkan kepala di pintu dan menginterupsi Vincent yang masih ingin meluapkan makiannya."Ah, sialan. Padahal aku masih ingin memakimu," gerutu Vincent padaku. "Baiklah, lain kali aku akan datang lagi dan aku takan lupa hari ini, Rein.""Apa kau akan membuat perhitungan denganku?""Tentu saja. Lain kali aku
"Rein, dari mana saja kau?"Aku terdiam di ambang pintu saat kudapati Henry sedang duduk di sofa dengan buku dan rambutnya yang berantakan. Tak kusangka, ia sudah bangun di pagi buta."Aku ... dari halaman belakang," jawabku dusta.Henry menutup buku dan menatapku curiga. "Dengan celana basah dan rambut acak-acakan seperti itu?" Ia mendekatiku perlahan. "Apa yang kau lakukan di sana?""Aku hanya mencari udara segar. Itu saja." Aku menutup pintu dan melepas sepatu."Kau ... mabuk?""Tidak. Aku tidak mabuk, sungguh.""Aku tahu kau minum anggur. Aromanya menyengat" Henry menghela sejenak. "Rein, kau pasti paham dengan aturan di sini.""Aku memang minum anggur, tapi tidak sampai mabuk. Lagi pula, aku minum di luar area akademi dan aku masuk dalam keadaan tidak mabuk.""Lalu kenapa kau basah kuyup begitu? Kau tidak terpleset dan jatuh ke kolam ikan, 'kan?""Itu--" Aku terdiam sejenak, tak tahu apa yang harus kukatakan lagi padanya. "Ya, aku jatuh ke kolam ikan saat kemari."Aku tidak mungk
Aku membuka mata perlahan dan menatap langit-langit beraroma serbuk kayu yang khas. Ukiran klasik nan megah terpampang begitu jelas. Di dinding terdapat logo Royale Academy. Butuh waktu sejenak untuk menyadari bahwa aku sudah berada di ruang kesehatan."Akhirnya Anda sadar juga, Yang Mulia."Aku menoleh ke sumber suara dan di sana sudah ada wanita dengan pakaian medis."Anda ditemukan di dasar jurang. Untung saja tidak ada luka fatal," lanjutnya lagi.Sejenak aku teringat kelompok itu. Ternyata mereka benar-benar melemparku ke jurang."Bagaimana dengan Vincent dan Henry?" tanyaku memastikan."Itu--" Ia terdiam sejenak. "Mereka berdua ditemukan terluka. Pangeran Vincent yang paling parah.""Lalu bagaimana kondisi mereka sekarang? Sudah ditangani dengan tepat?""Pangeran Henry sudah membaik, tapi Pangeran Vincent belum sadarkan diri dan masih membutuhkan perawatan intens. Saat ditemukan, beliau benar-benar sekarat," jawabnya."Di mana mereka sekarang? Apa mereka dirawat di sini?""Tidak
Seusai makan siang, aku segera menyendiri di perpustakaan untuk mengerjakan hukuman. Yang membuatku masih kesal karena ini jam tidurku. Semestinya detik ini aku sudah berada di kasur dengan nyaman, bukan berkelut dengan buku setebal ini.Benar saja, baru menulis dua lembar mataku sudah terasa berat. Kantuk menyerang tanpa ampun hingga kepalaku terasa pening jika dipaksa terjaga. Kuhela napas panjang lalu mengacak-acak rambut dengan lesu.Aku mengamati keadaan sekitar yang hening. Mungkin aku perlu tidur sebentar, sebelum melanjutkan hukuman. Kepalaku terkulai di atas meja dan terlelap, berharap masih bisa menyelesaikannya sebelum jam makan malam dimulai.* * *"Yang Mulia, bangunlah!"Aku mengerjap saat bahuku diguncang lembut oleh penjaga perpustakaan."Jam berapa sekarang?" tanyaku cemas."Sudah jam delapan malam.""Jam delapan malam?!" jeritku membeo. "Oh astaga, tugasku belum selesai."Aku semakin panik karena baru menyalin dua lembar. Jam delapan malam, berarti jam makan malam su
_50 TAHUN KEMUDIAN_ -Kota Luna, Ibukota Vainea-.'Aku mencintaimu pada pandangan pertama. Aku mencintaimu untuk kedua kalinya. Aku juga mencintaimu di kehidupanku sebelumnya. Gapailah tanganku, maka kau dan aku akan terus bersama.'.Fiant Wayner, adalah identitas baru setelah aku turun takhta sebagai kaisar dengan memalsukan kematianku. Bukan istana lagi, kini aku menetap di lantai lima sebuah perpustakaan kota yang dibangun oleh Bibi Erina. Aku memakai kacamata, serta syal merah yang warnanya telah pudar. Kugenggam sebutir mutiara dengan uap putih yang menguar dari mulut. Kurapatkan jaket beserta topi untuk menutupi sedikit wajahku, lalu memasukkan mutiara itu ke saku. Vainea kini semakin maju seiring perkembangan jaman. Generasi pemerintahan telah berganti. Akhirnya bibi kesayanganku menikah juga, walau sangat sulit untuk memenuhi kriterianya.Terkadang aku rindu pada suasana di istana karena banyak kenangan yang tertinggal di sana. Beruntung, tak ada yang bisa mengenaliku sete
Aku dan Putri Clara duduk di ruang tamu istana Keylion yang dijaga ketat oleh beberapa pengawalku. Kami duduk saling berhadapan dengan suasana tegang, tanpa teh dan kudapan. Kurogoh saku dan meletakkan lencana Ratu Keylion di meja dengan sedikit melemparnya. "Saat terjadi keributan di Keylion karena perebutan takhta, seharusnya kau menjadi Ratu Keylion. Sesuai dengan urutan pewaris, posisimu ada di bawah Raja Luen," ujarku. "Pakailah! Sekarang kau adalah penguasa." Ia terkejut atas kalimatku. "Kenapa? Bukankah Anda melakukan perang penaklukan agar bisa menguasai Keylion?" "Musuhku adalah Zora, bukan Keylion." "Jadi Anda melakukan perang penaklukan hanya untuk membunuh Zora?" Clara tak habis pikir. "Apa Anda tahu bahwa tindakan Anda akan membuat Vainea dimusuhi banyak kerajaan lain?" "Kau menanyakan keputusanku?" "Maaf jika saya lancang, hanya saja ... jika Anda memang dari awal mengincar Zora, seharusnya Anda bisa melakukannya tanpa harus membuat perang besar." "Aku tidak tahu
Hanya dalam satu bulan, aku berhasil mempelajari sihir yang dipinjamkan padaku. Meski ada bagian yang sulit dan bahkan hampir merenggut nyawa, tapi pada akhirnya aku bisa menguasainya. Hari ini, tepat awal musim dingin, kudaku melaju bersama seribu pasukan di belakang. Baju zirah mereka telah kuberi batu sihir klon agar jumlahnya berlipat. Masing-masing satu orang bisa dikloning seratus kali lipat.Jika aku membawa seribu, jumlahnya akan bertambah menjadi seratus ribu. Itu jumlah yang cukup untuk memporakporandakan satu kota di perbatasan. Bukan hanya itu, batu sihir di baju zirah mereka juga terkoneksi dengan kekuatan sihirku agar stamina mereka tak surut dengan mudah. Setelah berkuda sejak dini hari, akhirnya kami sampai di perbatasan Keylion. Ribuan pasukan sudah menghadang dengan senjata dan alat tempur mereka.Hanya menunggu waktu hingga pasukan kami saling membentur kematian. "Tembak!" Sebuah bola api raksasa melesat dari benteng dan untungnya aku sudah mengantisipasi
Pada umumnya, masa duka hanya berlangsung satu sampai dua minggu. Namun, hingga satu bulan masa dukaku belum juga usai. Tak jarang aku mendengar gunjingan bahwa Raja Vainea berubah menjadi pendiam dan mulai gila.Berkat telingaku yang peka akibat kekuatan baru, aku juga bisa mendengar gunjingan para pelayan mengenai diriku.'Yang mulia raja sudah menjadi mayat hidup karena terlalu bersedih. Tubuhnya kurus dan pucat.''Yang mulia raja sedang dihukum akibat skandal yang membuatnya melanggar ritual.''Yang mulia raja mulai gila dan terus meminta pelayan untuk menyiapkan keperluan mendiang ratu yang telah tiada. Para pelayan diharuskan tetap menyediakan makan malam untuk ratu meski beliau tahu, makanan itu takan ada yang menyentuhnya.''Sungguh kasihan raja kami. Kekayaan dan kekuasaan seolah tak ada artinya tanpa ada yang mulia ratu di sisinya.'Ya, gunjingan-gunjingan itu memenuhi kepalaku, tapi aku enggan untuk merespons. Bagiku, mereka boleh berpendapat asal tak bersikap lancang di ha
____Serangan di Hari ke Lima Belas___ Aku berdiri di atas menara perbatasan untuk melihat langusng situasi dari kejauhan. Rupanya, pasukan yang dikerahkan Zora cukup banyak. Namun, wanita itu tak terlihat. Mungkin saja dia ada di barisan belakang.Aku menghela napas saat puluhan meriam tengah menembaki dinding untuk meruntuhkan benteng. Namun, nihil. Inilah alasan mengapa aku tak menggunakan meriam saat perang penaklukan, karena aku tahu takan bisa meruntuhkan dinding ini. Beruntung, aku berhasil mendapat pasokan bahan peledak dari Axylon. Kini sudah 15 hari aku berada di sini untuk memantau situasi, tapi rasanya seperti sia-sia. Kalau seperti ini terus, Vainea akan mengalami masa krisis yang parah. "Yang Mulia, utusan yang Anda kirim untuk menemui Ratu Zora tewas dibunuh," ujar Eleanor. "Tampaknya beliau enggan untuk melakukan negosiasi." "Tak kusangka rencanaku meleset jauh." Aku menarik napas sembari berpikir. "Berdasarkan karakternya, seharusnya ia akan menerima permintaanku un
Kabar skandal kami akhirnya tersebar setelah kunjunganku ke Keylion beberapa hari yang lalu. Ya, sesuai dugaanku sebelumnya.Aku senang karena rencanaku berhasil, tapi akibat dari berita skandal itu, masyarakat mulai mempertanyakan kesetiaanku. Bahkan ada yang melontarkan serapah atas pengkhianatan ritual yang mereka anggap suci.Juga, ada yang membanding-bandingkan kesetiaanku dengan mendiang ayah yang pernah menikah lagi dengan Putri Lucia dari Tryenthee karena politik. Namun, beliau tak menyentuh istri ke-duanya sama sekali demi menjaga ritual pernikahannya dengan ibu.Luna sangat bersabar dengan kabar yang beredar, terutama cemoohan para gadis yang iri atas kedudukannya.Sebenarnya aku sedikit tak terima atas cemoohan yang ditujukan padanya. Dalam hal ini, sepenuhnya adalah salahku, tapi ia ikut justru terkena imbasnya.Mungkin saat ini Zora juga mengira aku akan panik atas menyebarnya berita skandal ini. Namun, nyatanya tidak. Semua ini sudah termasuk bagian dari rencanaku walau
Aku terbangun dengan perih di sekujur tubuh. Perabot yang berantakan membuatku tersadar betapa gilanya kami memadu kasih semalam.Tubuhku dipenuhi cakaran dan gigitan Luna, serta serpihan beling yang sebagian masih menancap. Luna memekik sakit, ia pun terbangun seraya meringis. Tubuhnya dipenuhi luka lebam berbaur bekas cumbuan."Kau baik-baik saja?"Luna terdiam sejenak. "Ada beling di kakiku."Aku segera memeriksa telapak kakinya. Benar saja, satu lempengan runcing nan bening menancap di sana, disertai darah yang mengering.Luna memekik saat kucabut benda tajam itu. Kini darahnya kembali menetes, menambah bercak merah pada sprei yang sudah ternoda."Yang Mulia, sarapan sudah tersedia," ujar Vajira dari balik pintu."Kami akan menyusul!" sahutku. "Oh, Vajira. Tolong panggil tabib dan beberapa pelayan lain!""Baik, Yang Mulia," sahutnya.Aku memekik saat Luna menyabut salah satu beling di punggungku."Astaga, banyak sekali yang tertancap," gumamnya.Luna segera meraih ujung sprei dan
Aroma darah mengudara di medan perang nan suram. Aku bersimpuh di tengah ratusan mayat yang bergelimpangan, merengkuh sosok Luna yang tak bernyawa dengan kegelapan yang menyelimuti hati. Tangisan pilu menguasai diriku pada tangan yang ternoda, begitu menyesakkan dada. Angin berbisik. 'Hukuman telah dimulai' Aku membuka mata dengan tubuh mengerjap. Kudapati langit-langit kamar dengan peluh yang membasahi dahi. Sial, aku mimpi buruk lagi. Biasanya aku mimpi jika tidur malam, tapi anehnya ini terjadi saat tidur siang. Sudah ke tiga kali aku bermimpi hal serupa dan sampai sekarang, hubunganku dan Luna masih begitu dingin. "Anda baik-baik saja?" Aku teduduk saat Ezra bertanya. "Hanya mimpi buruk." "Awalnya saya hendak membangunkan Anda, tapi Anda sudah bangun lebih dulu," ujarnya. "Anda sangat gelisah dalam tidur Anda." Kutatap anak berusia sepuluh tahunan itu. "Bocah, tidak biasanya kau membangunkanku. Apa ada sesuatu yang sangat penting?" "Benar, Yang Mulia. Maaf jika saya tak sop
Katanya, pagi hari merupakan awal yang baru. Sepertinya itu benar. Ini awal baru dimana penderitaanku dimulai. Setelah ini hidupku akan dipenuhi kutukan dan hukuman. Juga, mungkin aku takan mendapat pengampunan.Semua para tamu dari berbagai kerajaan mulai berpamitan dan bersiap untuk pulang ke negara masing-masing, begitu pun denganku. Di antara puluhan penguasa, mungkin hanya aku yang tak memberi penghormatan terakhir pada tuan rumah."Padahal matahari begitu cerah, tapi kenapa aku merasa kedinginan di dekatmu?" sindir Raja Leon dengan nada bercanda, sementara aku tak merespons.Kemudian ia menatap putranya yang baru saja datang. "Kau juga terlihat muram, Hans.""Aku sedikit lelah," sahutnya ikut bergabung.Raja Leon menepuk bahu putranya yang tampak lesu, kemudian ia terdiam sejenak lalu menyeringai. "Kau semalam bercinta penuh semangat?"Raja Hans segera menepis tangan ayahnya dengan wajah malu. "Jangan sembarangan membaca pikiranku, Ayah."Sepertinya Zora memang memberi obat di m