Ruang guru di Laveire kembali memanas. Di depan sebuah meja bundar, seorang guru dan lima siswi sedang berdiskusi untuk mencari pemecahan dari masalah yang mereka hadapi. Hanya ada mereka, di saat yang lain sudah pulang karena jam sekolah telah berakhir. “Setiap perbuatan pasti ada konsekuensinya kan, Pak?” Claudia terus menyudutkan Amira. Memang, bagi Claudia tidak masalah jika dia mendapatkan satu baris kasus di dalam buku rapornya. Tapi bagi Amira, ini bisa menjadi masalah besar. “Saya menarik tangannya karena dia mengejek saya duluan, Pak.” Amira masih berusaha membela diri. Sungguh, hari ini benar-benar hari sial untuk Amira. Kenapa juga dia mencari masalah? Kenapa dia menyerang duluan? Dan kenapa pula dia ketahuan? “Pak, saya mau bicara sebentar.” Hari ini adalah hari paling gila dalam hidup Amira, jadi mungkin Amira bisa menjadi gila juga. Tangan Amira menarik Reynald mendekat. Dia berbisik tepat di telinga guru itu. “Jangan laporkan kasus ini, atau saya akan melapo
Di rumahnya, Amira menghela lelah. Senja sudah berakhir dan dia baru saja selesai mengobati luka di dahinya. “Duh! Muka gue jadi tambah jelek, nih!” Gerutu Amira pada dirinya sendiri. Amira terus saja menatap cermin di hadapan. Dia berusaha menutupi plester di dahinya dengan menurunkan sebagian poni. “Tetep keliatan,” gumam Amira pelan. “Atau enggak usah pake plester aja gitu?” Tangan Amira meraba pelan bekas luka di dahinya. Hanya sesaat, sampai dia kemudian berhenti. Kepalanya menggeleng. “Nanti ada bekasnya!” Daripada terus kesal sendiri, Amira memilih untuk menyiapkan makan malam saja. Dia membuka kulkas, lalu mengambil stok bahan makanan dari sana. Tangan Amira bergerak terampil memotong sayur yang akan dimasak. Hari ini dia akan membuat tumis sawi dengan telur dadar. “Apa Raga masih marah sama gue?” Ucap Amira begitu saja. Menggunakan semua barang pemberian Raga, membuat Amira jadi teringat pada cowok itu. “Dia juga enggak ada hubungin gue sama sekali,” gumam Ami
Raga sudah menunggu di depan gang rumah Amira seperti biasa. Dia meneror gadis itu dengan pesan singkat dan panggilan, menyuruh Amira datang secepatnya. “Lama!” Gerutu Raga saat pintu mobil terbuka. Terlihat Amira yang mengusap peluh karena lelah berlari. Dia gegas masuk ke dalam mobil, sebelum Raga mengomel lebih banyak. “Salah lo! Ini masih pagi banget!” Amira memaki kesal. Raga memang melakukan hal yang tidak masuk akal, menjemput terlalu pagi. Kalau mereka berangkat sekarang, mereka akan sampai di sekolah satu jam sebelum bel masuk. “Emang mau ngapain ke sekolah buru-buru? Ada apaan?” Pertanyaan Amira tidak bisa dijawab oleh Raga. Sebenarnya, dia bukan ingin datang ke sekolah buru-buru, tapi dia mau segera bertemu dengan Amira. “Enggak ada apa-apa. Gue cuma mau cepet sampe sekolah, biar enggak telat.” Amira memicing sinis. Dia tidak percaya dengan jawaban konyol Raga. “Kita enggak bakal telat, Raga. Kita mungkin bakal jadi yang pertama dateng.” Wajah Raga berubah can
Michelle menunggu di depan pintu kelas XI-A seperti biasa. Bel istirahat sudah berbunyi sejak tadi, harusnya Amira sudah keluar. “Kenapa lama?” Michelle mengintip ke dalam kelas Amira. Lewat jendela, Michelle bisa melihat Amira yang sedang sibuk di depan meja guru. Amira sedang menumpuk buku tugas, berniat membawanya. “Amira!” Panggil Michelle riang. Dengan senyum lebar, Michelle langsung menghampiri dan berdiri di depan Amira. “Mau ke ruang guru? Sini gue bantuin.” Tangan Michelle hendak meraih sebagian buku yang Amira bawa, tapi Raga langsung mengambil alih semuanya. “Eh?” Michelle menatap Raga bingung. Dia tidak sadar jika Raga sudah ada bersama mereka. “Hai, Raga,” sapa Michelle sopan. Namun, Raga sama sekali tidak balas menyapa, atau bahkan bicara. “Kemaren gimana?” Tanya Amira mengalihkan pembicaraan. Amira kasihan pada Michelle yang diabaikan Raga, tapi dia juga tahu betapa sulitnya untuk membuat Raga bersikap baik. Apalagi pada perempuan. “Aman sampe rumah
Amira ikut menoleh. Dia memeriksa keadaan di sekitar lorong perpustakaan, memastikan jika benar sepi. “Perjanjian seperti apa yang Bapak tawarkan?” Tanya Amira penasaran. Sebenarnya, Amira sendiri tidak masalah dengan perjanjian apapun. Dia tetap akan mendapatkan keuntungan. Reynald saja yang terlalu panik jika Amira akan membeberkan hubungan rahasianya. Padahal Amira hanya tahu secuil tentang hal itu. “Saya bisa memberikan berapapun nilai yang kamu mau, asalkan kamu tutup mulut.” Amira mendengus. Itu sama sekali tidak menarik untuknya. “Tapi nilai saya sudah bagus di mata pelajaran Bapak,” ucap Amira datar. Amira memang tidak sebodoh itu, apalagi sekarang dia tambah rajin belajar. Sejak Raga mengetahui kelebihan yang Amira miliki, Amira mulai membatasi dirinya untuk tidak melihat masa depan yang berkaitan dengan tugas atau jawaban. “Duh!” Reynald mengeluh tanpa dia sadari. Sekarang dia memasang wajah bingung sendiri. Amira sedikit kasihan pada Reynald yang tampak kalang
Di lorong perpustakaan yang sepi, Amira disudutkan oleh Raga. Cowok itu terus melangkah mendekat sampai punggung Amira menabrak rak buku di belakangnya. “Menurut lo, gue gimana?” Tanya Raga, tanpa berkedip. Amira memalingkan wajah. Dia bingung, apa sekarang dia harusnya lari saja? Atau lebih baik jawab? “Kenapa enggak jawab?” Desak Raga. Amira jadi kehilangan kesempatan. Saat ini, Raga sudah kepalang memegang tangannya. Dia tidak bisa melarikan diri. “Lo itu ….” Amira berusaha memikirkan jawaban, tapi tidak ada satupun kata yang terlintas. Tak sabar menunggu, Raga menarik Amira mendekat. Dia membuat jarak wajah mereka hanya terpaut beberapa inchi. “Lo ganteng,” cicit Amira, hampir tanpa suara. Sumpah, Amira malu setengah mati. Namun, tidak ada hal lain yang bisa dia pikirkan sekarang. “Lo juga cantik,” balas Raga sambil mengulum senyum. Senyum Raga membuat Amira salah tingkah. Perut Amira terasa geli, seolah ada ribuan kupu-kupu menggelitik di dalamnya. Mata Amira beruba
Pada jam istirahat, di tengah keramaian kantin Laveire, Amira bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Debarannya menggila, membuat dia merasa jika semua orang mungkin bisa mendengarnya. “Ha … hahaha ….” Amira tertawa canggung. Habis mau bagaimana lagi? Dia tidak tahu cara merespon ucapan Raga yang mengatakan jika cowok itu akan memasak untuknya setiap hari. Ini ajakan nikah atau apa? “Lo pasti suka banget masak,” ucap Amira sambil menyendok makanan ke mulutnya cepat-cepat. Amira rela melakukan apapun, agar Raga berhenti menatapnya. Sekarang, dia merasa ingin salto karena saking bingungnya. “Emang,” jawab Raga tenang. Raga masih terus menatap Amira tanpa menoleh sama sekali. Sengaja, Raga ingin membuat Amira lebih salah tingkah lagi. “Gue suka banget masak, apalagi masak buat orang yang gue suka.” Tak. Sendok yang Amira pegang, jatuh begitu saja. Dia tidak bisa bergerak, sama sekali. Bahkan Amira hampir lupa caranya bernapas. “Uhuk!” Amira terbatuk. “Uhuk! Uhuk!” Semak
Raga menggeleng pelan. Dia tak ingin menyentuh makanannya lagi. Amira telah membuatnya kehilangan selera, membuat perasannya berantakan. “Ck!” Raga mengeluh dengan decakan. Sungguh, Raga masih tak habis pikir. Bagaimana bisa Amira yang berniat menolaknya, tapi tetap mengatakan Raga sebagai orang spesial yang paling dipercaya? Apa Amira sedang mempermainkannya? “Jadi, Kakak mau bicara apa?” Pertanyaan Amira menyadarkan Raga dari lamunan. Raga memandang Amira yang kini nampak penasaran. Sepertinya Amira sudah tidak sabar, ingin tahu apa yang hendak dikatakan oleh Febby. “Itu … sebenarnya … gue cuma mau tau apa yang lo omongin sama Pak Reynald.” Febby terlihat canggung saat bicara. Tangannya bergerak gelisah, seperti takut mendengar jawaban dari Amira. “Gue enggak ngomongin apa-apa sama Pak Reynald, Kak.” Amira sengaja menutupi kesepakatan yang dia buat dengan Reynald, tapi Raga menegurnya. “Ngomong aja yang jujur.” Raga memberikan saran yang sama sekali tidak Am
"Akhirnya kalian datang juga!” Michelle berseru sambil melambai pada Amira dan Raga yang baru masuk ke dalam kelas. “Ada apa?” Amira mendapati suasana kelas yang tampak berbeda. Beberapa siswa sibuk mengobrol. Amira mendengar sebagian topiknya, pemilihan.“Kita diminta buat kampanye.” Ucapan Evan membuat Amira memandang cowok itu bingung. Amira sampai harus terdiam sebentar untuk mencernanya. Evan tadi bilang apa?"Kampanye?" Amira mengerutkan kening. Rasanya Amira dan Raga baru pergi sebentar. Dalam waktu sesingkat itu, mereka tiba-tiba saja diminta untuk kampanye. “Kampanye apa?” Amira masih tidak mengerti. Pemilihan apa yang akan dilakukan oleh Laveire? Ding!Nada untuk pengumuman terdengar lewat speaker di dalam kelas. Suara Reynald bergema setelahnya. “Kepada siswa kelas XI bernama Evan, Amira, Raga, dan Michelle, segera datang ke ruang kepala sekolah. Sekarang.”Raga yang pertama berdecak keras. Padahal baru hari pertama, tapi Laveire sudah merepotkan begini. “Yuk!” Evan
Setelah acara makan mereka selesai, Amira membereskan sisa makanan. Michelle dan Febby pun ikut membantu. Belum juga meja di depan mereka bersih, Raga sudah menarik tangan Amira. “Ikut gue,” ujar Raga, dengan nada memerintah. Evan berdiri, hendak menyela. Namun, Amira mencegahnya. Raga berdiri tepat di depan Evan. “Jangan ganggu.” Dia memberikan peringatan. “Gue pingin pacaran.”Amira bisa mendengar decak kesal dari Evan. Meski begitu, Evan tidak mengejar sama sekali. “Kita cari tempat yang lebih tenang,” sambung Raga. “Biar bisa ngomong, tanpa gangguan.”Amira mengangguk pelan, meskipun matanya tampak ragu. Mereka berjalan menyusuri lorong-lorong sekolah yang sepi, langkah kaki keduanya bergema di sepanjang jalan. Beberapa siswa lain sudah kembali ke kelas, membuat lorong menjadi lebih lengang.Raga berhenti di sebuah lorong yang jarang dilalui, jauh dari ruang kelas dan sudut sekolah yang biasanya ramai. “Di sini aja.” Raga memilih sudut lorong. “Gak bakal ada yang lewat.”Amir
“Kak Dina enggak begitu!” Dika akhirnya membuka suara. Dia tidak bisa terus melihat kakaknya disudutkan. Dika melihat sendiri bagaimana Dina berusaha. Dina secara teratur membersihkan makam keluarga Amira. Dia tidak pernah absen. Bahkan, untuk bisa sekolah di Laveire, Dina sampai membantah kedua orang tua mereka. Dina bersikeras ingin pergi meski ayah dan ibu mereka tak mengizinkan. Bahkan, Dina sampai nekat untuk masuk ke Laveire meski hanya berbekal beasiswa. “Kalian enggak tau apa yang Kak Dina lakukan biar bisa ketemu sama Kak Amira!”Evan mendelik. Dia melipat kedua tangannya sambil memicing tak percaya. “Coba bilang, apa aja yang udah dia lakuin.”Evan, Michelle, dan Febby sudah siap menyimak. Mereka mengharapkan jawaban yang memuaskan. Namun, belum juga Dika menjawab, Dina sudah menghentikannya. “Aku akan buktikan.” Dina tak ingin kedatangannya sia-sia. Dia sudah sejauh ini. “Coba aja,” jawab Evan, menantang. “Buktiin kalau lo bisa lebih baik dari kita sebagai teman Amira!
“Lo … mau apa?” Hidup Amira sudah nyaman di sini. Dia tidak peduli lagi dengan masa lalu. Apa pun yang terjadi pada kampung halaman atau orang-orang di sana, Amira tak ingin tahu. “Apa tujuan lo? Kenapa ganggu gue?”Dina hanya tersenyum mendengar pertanyaan Amira. Perangainya tenang, bibirnya terbuka pelan, memberikan alasan. “Karena aku menyesal,” jawab Dina. “Aku menyesal karena belum sempat meminta maaf ke kamu.”Amira menatap tak percaya. Dia menilik wajah Dina, mencoba mencari setitik saja kebohongan yang nyatanya tidak bisa dia temukan. “Aku minta maaf buat semua tuduhan yang dulu tertuju ke kamu.” Dina menjelaskan apa yang terjadi setelah Amira pergi. Pencuri uang sudah ditemukan. Begitu juga dengan Anto, pria yang dahulu menuduh Amira sebagai perayu. Sudah terbukti, Anto sendiri yang adalah seorang hidung belang. “Aku harusnya percaya sama kamu. Kamu selama ini enggak pernah sekali pun bohong sama kita.” Dina memandang Amira penuh penyesalan. “Aku tidak sempat minta ma
“Pelan-pelan,” keluh Michelle saat Amira menarik tangannya kencang. “Emang udah laper banget?” Amira baru melepaskan Michelle saat mereka sampai di kantin. Dia menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Ayo cari tempat duduk,” ujar Amira, dengan senyum terpaksa di wajah. Mereka berkeliling kantin sebelum akhirnya menemukan tempat yang cocok. Ada satu meja besar–yang cukup untuk mereka semua, tepat di sudut kantin Laveire. “Kak Amira, seneng bisa ketemu Kakak lagi!” Dika tak mau membuang kesempatan untuk berbincang dengan Amira. Dia langsung menyapa di detik pertama mereka duduk. Terlihat jelas jika Raga memberikan tatapan sinis pada sapaan Dika. Dia merasa terancam. Tangan Raga bergerak meraih tangan Amira mendekat, menunjukkan kepemilikannya. “Iya,” sahut Amira. “Gue juga enggak nyangka kalian pindah ke sekolah ini.”Lebih tepatnya, Amira tidak mengerti. Apa tujuan Dika dan Dina pindah ke Laveire? “Iya, Kak Dina yang ajak!” Seru Dika jujur. Dia berucap riang d
“Hai,” ucap Amira dengan senyum di wajah. Amira berusaha untuk menepikan sementara rasa tidak suka yang dia miliki. Untuk sementara saja, karena Sonya dan Reynald menatapnya sekarang. “Silakan lanjutkan pelajarannya,” ucap Reynald seraya berpamitan. Sonya mengangguk sopan. Dia mengantar Reynald sampai ke pintu kelas sebelum kembali pada murid-muridnya. “Sampai di mana tadi?” Sonya mencoba mengingat materi yang tengah dia berikan. “Ah ya, soal.”Tangan Sonya meraih kembali spidol di tangan. Kali ini, dia benar-benar menuliskan soal. Saat Sonya sudah sibuk, Raga menyenggol lengan Amira pelan. Tangan Raga menyodorkan buku tulisnya sendiri. Buku yang sudah dia tulis dengan sebuah kalimat untuk Amira. [Lagi kesel?]Amira hanya melengos. Dia tidak membalas, hanya mendorong kembali buku Raga kepada sang pemilik. Raga tidak menyerah. Dia menulis kalimat lain di atas bukunya, lalu mendorong buku itu kembali pada Amira. [Kesel sama cewek itu? Dia siapa? Beneran temen?]Raga ingin menuli
“Anak-anak, duduk di tempat kalian!” Sapaan dari Sonya, membuat siswa kelas XI duduk.Amira menoleh sekilas ke belakang. Dia memastikan teman-teman sekelasnya sudah duduk, sebelum memimpin salam. “Terima kasih, Amira,” ucap Sonya kemudian. “Ibu sebelumnya bingung memilih ketua kelas untuk kelas gabungan baru ini,” aku Sonya, jujur. “Tapi sekarang Ibu bisa lega. Sepertinya Amira yang akan menjadi ketua kelas.”Tatapan Sonya tertuju ke seluruh siswa yang duduk di depannya, memastikan. “Apa ada yang keberatan jika Amira yang menjadi ketua kelas?”Terdengar hening. Tidak ada suara sama sekali. Sepuluh orang yang ada di dalam kelas tidak mengeluarkan suara. Sonya mengangguk kemudian. Dia juga sama tidak keberatannya seperti siswa yang ada di dalam kelas. Sonya sangat setuju. Amira bertanggung jawab dan mampu memimpin kelas dengan baik seperti yang sudah-sudah. “Baiklah. Ibu anggap kalian setuju. Untuk selanjutnya, Amira yang akan menjadi ketua kelas. Lalu ….” Sonya mengangkat daftar ab
“Akhirnya!” Michelle berseru senang. Tangannya menyenggol Amira, sambil menunjuk ke arah panggung yang ada di depan mereka. “Kita masuk sekolah lagi!” Seru Michelle senang. Entah sudah berapa kali gadis itu mengatakannya. Amira bahkan sudah tidak menghitung. Sejak pertama Amira masuk ke wilayah Laveire, dia sudah melihat Michelle, menunggunya di lorong.Michelle langsung mengambil alih Amira yang memang datang ke sekolah bersama Raga. Dia memonopoli Amira sampai mereka duduk di aula. “Ini emang lama begini?” Raga yang sedari tadi sudah menahan diri, akhirnya mengomel juga. “Mau kasih pengumuman apa sih?” Tanya Raga, tidak sabar. Mereka diminta berkumpul di aula sejak tadi, tapi tidak ada yang terjadi. “Enggak tau,” jawab Michelle sambil mengangkat bahu. “Tadi Evan bilang dia juga lagi sibuk siapin pengumuman.”Akhirnya, Raga hanya bisa mengeluh. Apa yang dia lakukan, tak jauh berbeda dengan murid lain yang duduk di aula. Memang tidak ada banyak murid yang kembali masuk ke Lavei
“Kita belum pernah foto bareng!” Amira tertawa. Dia mengikuti langkah Raga, masuk ke dalam kotak photobox bersama. “Padahal kita ketemu hampir setiap hari. Kenapa ya?” Tanya Amira sambil berkedip tak percaya. Raga menyambut dengan senyum lebar. Dia menghampiri mesin photobox dan mulai menekan beberapa tombol. Amira, yang memang tidak pernah menggunakan mesin seperti itu, membiarkan Raga yang mengambil alih. “Di sini,” ucap Raga setelah dia selesai dengan mesinnya. Raga meminta Amira mendekat padanya. Jarinya menunjuk ke arah layar besar di depan mereka. “Liat ke kamera.”Tampilan wajah Amira dan Raga terlihat jelas di depan keduanya. Sekarang, Amira jadi malu sendiri melihat wajah mereka. “Senyum, dong.” Raga menoleh ke arah Amira yang tegang. Raga menggerakkan tangannya, mencubit pipi Amira gemas. “Lo lebih cantik kalau senyum.”Amira sedikit terkejut saat tangan Raga merangkulnya. Dia sampai menoleh, menatap dengan tatapan protes. Timer di mesin menyala. Hitungan mundur dimu