Pada jam istirahat, di tengah keramaian kantin Laveire, Amira bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Debarannya menggila, membuat dia merasa jika semua orang mungkin bisa mendengarnya. “Ha … hahaha ….” Amira tertawa canggung. Habis mau bagaimana lagi? Dia tidak tahu cara merespon ucapan Raga yang mengatakan jika cowok itu akan memasak untuknya setiap hari. Ini ajakan nikah atau apa? “Lo pasti suka banget masak,” ucap Amira sambil menyendok makanan ke mulutnya cepat-cepat. Amira rela melakukan apapun, agar Raga berhenti menatapnya. Sekarang, dia merasa ingin salto karena saking bingungnya. “Emang,” jawab Raga tenang. Raga masih terus menatap Amira tanpa menoleh sama sekali. Sengaja, Raga ingin membuat Amira lebih salah tingkah lagi. “Gue suka banget masak, apalagi masak buat orang yang gue suka.” Tak. Sendok yang Amira pegang, jatuh begitu saja. Dia tidak bisa bergerak, sama sekali. Bahkan Amira hampir lupa caranya bernapas. “Uhuk!” Amira terbatuk. “Uhuk! Uhuk!” Semak
Raga menggeleng pelan. Dia tak ingin menyentuh makanannya lagi. Amira telah membuatnya kehilangan selera, membuat perasannya berantakan. “Ck!” Raga mengeluh dengan decakan. Sungguh, Raga masih tak habis pikir. Bagaimana bisa Amira yang berniat menolaknya, tapi tetap mengatakan Raga sebagai orang spesial yang paling dipercaya? Apa Amira sedang mempermainkannya? “Jadi, Kakak mau bicara apa?” Pertanyaan Amira menyadarkan Raga dari lamunan. Raga memandang Amira yang kini nampak penasaran. Sepertinya Amira sudah tidak sabar, ingin tahu apa yang hendak dikatakan oleh Febby. “Itu … sebenarnya … gue cuma mau tau apa yang lo omongin sama Pak Reynald.” Febby terlihat canggung saat bicara. Tangannya bergerak gelisah, seperti takut mendengar jawaban dari Amira. “Gue enggak ngomongin apa-apa sama Pak Reynald, Kak.” Amira sengaja menutupi kesepakatan yang dia buat dengan Reynald, tapi Raga menegurnya. “Ngomong aja yang jujur.” Raga memberikan saran yang sama sekali tidak Am
Amira mengernyit melihat Raga yang menggeleng. Sebenarnya dia tidak tahu apa yang Raga inginkan, Amira hanya menebaknya saja. “Ya udah, kita balik aja ke kelas, yuk,” ajak Amira. Raga tidak suka pembicaraan basa-basi dengan orang lain, jadi cowok itu pasti tidak akan keberatan untuk kembali ke kelas. Apalagi bel akan berbunyi, Amira juga tak berniat untuk ketinggalan kelas. “Tapi minum gue belum habis,” keluh Michelle. Michelle kelabakan saat Amira beranjak dari kursi. Jusnya belum selesai. Padahal, Michelle sengaja hanya memesan minuman. Dia yakin tidak akan sempat kalau makan. Namun, bahkan jus saja tak bisa dia habiskan. “Enggak apa, sambil jalan aja,” ajak Febby sambil menggandeng lengan Michelle. “Punya gue juga belum habis.” Michelle akhirnya mengangguk. Dia menerima tawaran Febby. Mereka berjalan di belakang Raga dan Amira yang sudah lebih dulu beranjak. Di belakang mereka, ada Reynald yang menyusul. “Nanti pulang, mau bareng?” Tanya Michelle pada Amira. Amira tidak
Raga sudah bersabar. Dia mengalah dengan membiarkan ketiga perempuan itu untuk menumpang dalam mobilnya. Namun, kemurahan hatinya ternyata masih belum cukup.“Lo duduk di depan, dong! Biar kita bisa duduk bertiga di belakang,” ucap Michelle pada Raga.Michelle sepertinya sudah kehilangan akal karena terbawa suasana. Dia begitu senang karena bisa hangout dengan teman-temannya. “Ini mobil gue! Kenapa lo yang ngatur?” Bentak Raga keras.Saat itu juga, Michelle langsung menutup mulut. Dia mengutuk dirinya sendiri karena sempat lupa jika Raga galaknya melebihi singa. “So-sorry,” ucap Michelle dalam suara panik dan ketakutan.Amira sampai turun tangan menengahi. Dia menarik Raga mundur, lalu menenangkan cowok itu. “Santai aja, kali. Michelle cuma mau elo enggak canggung di antara cewek-cewek,” imbuh Amira.Memang benar. Raga juga pasti tidak akan nyaman jika mereka duduk berempat di satu baris kursi. “I-iya ….” Sambung Michelle, tergagap. “Gue enggak bermaksud kurang ajar. Maafin gue ….
Febby dan Michelle berjalan bersisian, menjauh dari Raga. Michelle seperti mengalami trauma permanen karena disemprot Raga. Di dalam mall yang baru mereka masuki ini, keduanya memimpin jalan. Mereka membiarkan Amira dan Raga melangkah di belakang, diiringi Alex. “Coba gue cek,” ucap Amira sambil mengulurkan tangan.Meski Raga mengomel atau mengamuk, cowok itu tetap menurut saat Amira meminta tangannya. “Aman,” jawab Amira kemudian. Sempat Amira khawatir jika Raga akan menjadi incaran di tempat publik seperti ini. Namun, karena mall yang dipilih Febby adalah sebuah mall kelas atas, sepertinya Amira bisa sedikit tenang. “Mau liat sepatu, enggak?” Ajakan Febby memecah keheningan mereka. Salah satu tangan Febby menunjuk ke sebuah tenant sepatu yang tampak mewah dari luar. Bukannya Febby sengaja memilih toko yang mahal, tapi memang semua toko yang ada di dalam mall ini begitu adanya.“Mau,” sahut Michel sambil menggandeng tangan Febby. Saat Febby dan Michelle berjalan di depannya, A
“Kayaknya lo seneng banget dapat sepatu,” sindir Raga saat mereka sudah kembali ke dalam mobil.Acara jalan-jalan sudah selesai. Febby dan Michelle diantarkan pulang oleh Reynald karena searah. Sementara Amira, tetap bersama Raga seperti biasa. “Ya enggak nyangka aja dapat gratisan,” sahut Amira tenang. Tangan Amira meletakkan kembali kantong belanja yang sebelum ini dia belai. Amira kemudian memilih untuk memandang keluar jendela saja. Firasatnya mengatakan jika Raga akan mencari masalah setelah ini.“Kalo gratisannya dari gue, kenapa lo enggak pernah mau terima?”Amira menghela. Benar kan, dugaannya? “Karena gue tau, Pak Reynald enggak punya maksud lain,” jawab Amira.Memangnya siapa orang yang tidak suka diberikan hadiah? Namun, kalau hadiah itu diberikan dengan mengharapkan balasan, maka Amira tidak bisa. “Kalau gue bilang gue enggak punya maksud lain, gimana? Gue beneran cuma mau ngasih lo,” kilah Raga.Benarkah Amira tidak bisa melihat ketulusan Raga selama ini? Padahal Raga
Hari masih pagi, tapi suasana hati Raga sudah berantakan. Tidak juga membaik setelah semalam dia mengamuk. “Tuan, kita sudah sampai.” Alex memberikan informasi pada Raga. Raga melihat sepintas ke arah luar jendela. Dari dalam mobilnya, dia mendapati Amira yang sedang berjalan di kejauhan. Seperti biasa, Amira datang tepat waktu. “Silakan masuk, Nona Amira,” sapa Alex ramah. Tidak biasanya Alex mewakili Raga bicara. Keanehan itu membuat Amira memicing curiga pada Raga. “Pagi,” sapa Amira canggung. Setelah sibuk dengan konflik batin, Amira memilih untuk menyapa Raga duluan. Meski cowok itu tampak cuek dan tak menoleh padanya, Amira berusaha. “Pagi.” Jawaban singkat Raga membuat Amira mengernyit heran. Raga sangat berbeda hari ini. Tak ada lagi Raga yang penuh semangat menyambut Amira. Tak ada pula tarikan memaksa minta pengecekan setiap saat. Saat ini, Raga benar-benar bersikap tidak peduli. “Lo … enggak apa-apa?” Keanehan Raga membuat Amira ingin memastikan jika cowok i
Evan, salah satu cowok paling populer di Laveire, dengan wajah tampan dan statusnya sebagai anak pemilik hotel bintang lima paling mewah di kota. Evan, tertarik pada Amira. Nama Amira membuat Evan penasaran. Selalu ada berita tentang Amira yang membuat Evan gerah. Amira yang dekat dengan pewaris Exscales. Amira yang melawan pembullyan Michelle. Amira yang punya backingan guru. Amira yang bersahabat dengan kakak kelas. Kenapa selalu Amira? “Gue kelas XI-B,” ucap Evan, dengan tangan yang masih terulur menunggu balasan Amira. “Boleh kan kita kenalan?” Pertanyaan Evan sukses membuat lorong sekolah ramai. Amira menatap Evan curiga. Dia penasaran tentang apa yang membuat Evan menghampirinya. “Boleh,” jawab Amira, membalas uluran tangan Evan. Dalam sekejap, Amira bisa melihat apa yang terjadi di masa depan. Cowok di hadapannya ini akan– “Aw!” Amira memekik keras, merasakan sakit yang tiba-tiba di tangannya. Pandangan Amira tertuju pada orang yang menarik tangannya, Raga. “Siapa l
Amira menoleh ke sekeliling ruangan, panik. Tepat setelah Raga berucap ingin menampilkan sesuatu khusus untuknya, dia mendapatkan firasat buruk. Sejak kapan? Amira baru menyadari jika Alex tidak ada bersama mereka. Kenapa hanya ada Raga dan Amira di dalam ruangan ini?“Raga ….” Amira memanggil, hendak mengajak Raga untuk keluar.Namun, cowok itu sudah terlanjur duduk. Raga menempati kursi di depan piano, yang sebelumnya diduduki oleh Catherine.“Kalau Catherine tadi mainin Fur Elise buat lo, gue pilih yang beda,” ucap Raga sambil memandang Amira lembut. “Dengerin, ya. Gue yakin lo bakal suka.”Raga memberikan senyum terbaiknya pada Amira. “River Flows in You.”Setelah Raga menyebutkan judul lagunya, Amira jadi tidak bisa berpaling. Denting yang pertama terdengar di telinga Amira, langsung menarik hatinya.Lembut dan manisnya nada yang Raga mainkan, membuat Amira terbuai. Amira seolah bisa merasakan belaian yang memanjakan dalam setiap harmoni yang dia dengar. Begitu dalam, Amira terb
Di tempat yang tidak Amira kenali ini, dia melihat kedekatan antara Raga dengan Catherine. Hati Amira terasa dongkol. Kedua matanya enggan menatap. Meski begitu, Amira tak bisa mengabaikan tangan Catherine yang terulur. Rasanya tidak sopan jika Amira mengabaikan perkenalan tulus dari Catherine. “Hai,” sapa Amira. “Salam kenal, Kak.” Amira menyapa sopan. Dia menyambut tangan Catherine. Saat tangan Amira dan Catherine bersentuhan, Amira bisa melihat sekilas bayangan masa depan. Seketika dia menoleh ke arah Raga. Raga tersenyum miring. Dia bisa menebak jika Amira sudah mengetahui semuanya. “Udah liat?” Sindir Raga pada Amira. Amira mendengus. Bibirnya cemberut, kesal. Tatapannya memicing sinis. “Kenapa enggak bilang dari tadi?”Andai saja Raga mengatakan tentang Catherine, Amira tidak perlu menggalau segala. “Ada apa?” Catherine yang mendengar pembicaraan keduanya, jadi bertanya. “Terjadi sesuatu?” Dia penasaran.Raga menggeleng. “Enggak ada.” Tangan Raga menunjuk ke bagian dalam g
“Hari ini lo lembur,” ucap Raga pada Amira. Bel pulang baru saja berbunyi, dan Raga sudah menentukan apa yang harus Amira lakukan. Amira tidak akan bisa lolos darinya sama sekali. “Enggak usah sampai begitu,” sahut Amira tenang. “Gue juga emang enggak berniat buat Nerima ajakan Evan, kok.” Sayang sekali, Amira melakukan hal yang salah. Harusnya Amira tidak membantah Raga. Setelah jam istirahat tadi, Raga sudah mati-matian menahan emosinya sendiri. Amira tidak tahu saja, jika Raga sudah ingin memutar balikkan meja di detik Evan mengutarakan ajakannya untuk nonton bersama Amira. “Emang seharusnya gitu,” sindir Raga kesal. “Lo pasti bakalan nyesel kalau terima ajakan dia.” Raga menarik tangan Amira kemudian. Dia tidak berniat menunggu lebih lama. “Udah beres, kan? Kita pergi sekarang!” Raga memimpin jalan menuju ke tempat parkir. Amira menghela kesal karena diseret begini. Namun, dia memilih untuk tidak mengajukan protes lagi. Lewat tangan mereka yang tertaut, Amira bisa
Setelah insiden pengering rambut, Raga mencoba bersikap biasa saja. Dia tidak mau sampai Amira tahu tentang otaknya yang tidak bersih. Cukup dirinya dan Tuhan yang tahu. Beruntungnya, setelah semua kerusuhan itu, mereka tidak terlambat. Raga dan Amira sampai di Laveire, tepat sebelum bel masuk berbunyi. Mereka pun belajar dengan tenang di kelas, sampai sekarang. “Untuk persamaan yang ini–”Penjelasan guru yang ada di depan kelas disela oleh bunyi bel istirahat. Semua siswa di kelas XI-A berseru senang.Guru yang ada di depan kelas pun memilih untuk sadar diri. Beliau mengakhiri pembelajaran dan menutup kelas, seperti yang murid-muridnya inginkan. “Elo makan sama temen lo lagi?” Tanya Raga setelah guru mereka berjalan ke luar. Amira mengangguk. “Iya.” Tangannya menunjuk ke depan pintu. “Itu udah ditungguin.”Raga menghela saat melihat Michelle yang sudah menunggu di depan kelas XI-A seperti biasa. Helaan itu semakin keras saat Evan muncul di belakang Michelle. “Lo mau ikut ke kant
Di sudut kamar kontrakan Amira, Alex mengulum senyum. Tuan mudanya tampak sangat senang saat ini. “Pelit banget, sih!” Raga mengomel saat Amira menyumpalkan semua isi piring ke dalam mulutnya. Gadis itu dengan sengaja tidak menyisakan sama sekali.“Terus buat apa lo nawarin kalau enggak mau ngasih, heh?”Amira tak menjawab. Dia hanya mendengus. Sungguh, Raga adalah orang yang tak mengerti basa-basi.“Udah kering belum rambut gue? Udah telat, nih.”Sengaja, Amira mengalihkan pembicaraan. Berdebat dengan Raga, jelas tak akan ada habisnya. “Belum, lah!” Raga baru pertama kali mengeringkan rambut seorang perempuan. Ternyata memakan waktu yang lama, apalagi rambut Amira panjang dan tebal. Lutut Raga juga sudah terasa sakit. Raga terpaksa harus menggunakan lutut sebagai tumpuan di lantai, agar tingginya bisa sesuai dengan Amira yang duduk di depannya.“Maju dikit, coba!” Ketus Amira. Kabel pengering rambut yang Amira miliki memang tidak panjang. Jadi mereka tak bisa bergeser sama seka
Di saat Amira merasa canggung dengan suasana pembicaraan mereka. Terdengar suara dari pintu yang diketuk. Ruang VIP di restoran yang mereka tempati, sepertinya memiliki tamu.Raga mengalah dengan ketukan tersebut. Dia berseru memberikan izin. “Masuk aja.” Pintu terbuka, dan sebuah kereta dorong makanan terlihat. Para pelayan datang, membawa makanan yang mereka pesan. “Permisi, Tuan, Nona,” ucap salah satu pelayan. “Kami akan menyiapkan makanannya.”Raga tak repot merespon lebih banyak. Dia memilih untuk membiarkan para pelayan itu melakukan tugasnya. “Selamat menikmati, Tuan, Nona.”Para pelayan berpamitan pergi. Mereka sudah selesai mengisi meja sampai penuh dengan makanan. Seketika, perhatian Raga dan Amira beralih pada semua makanan itu. Tampilannya yang menggiurkan, juga harum yang menggelitik hidung, membuat mulut mereka berliur. “Makan, yuk.” Ajak Raga pada Amira. Tangannya dengan sigap mengambil sendok dan garpu. “Semuanya?” Amira menatap tak percaya. “Ini pesenan elo? Ba
Amira gelagapan. Dia mendorong kursinya mundur. Kedua mata Amira langsung tertuju ke arah pintu keluar. Dia ingin segera pergi dari ruang VIP restoran mewah ini. Secepatnya!“Jangan!” Ujar Raga saat Amira hendak beranjak. Tangan Raga terulur, mencegah Amira pergi. “Gue cuma bercanda,” ucapnya kemudian.Tangan Amira menepis Raga kasar. “Bercandaan elo enggak lucu!”Amira menatap Raga dengan wajah memerah. Sungguh, Amira benar-benar panik. Memori buruknya tentang lelaki, seketika menyeruak keluar bagai air bah. Terus membanjir membuatnya hilang arah.“Sorry ….” Raga mengucapkan maaf. Sudut mata Amira yang berair, membuat Raga semakin serba salah. Raga bergerak mendekat. Tangannya terulur pada Amira. “Gue enggak tau kalau lo bakalan takut begini.”Amira menunduk. Dia tidak mengucapkan satu kata pun. Tangannya sibuk meremas ujung roknya sendiri, begitu kencang sampai kusut tak berbentuk. Raga tidak bisa terus diam. Dia beranjak dari kursi, berlutut di samping Amira. “Maafin gue ….”Tak
Amira melihat ke segala arah. Di restoran mewah bernuansa merah ini, petunjuk yang Amira dapatkan hanyalah jenis makanannya. Pasti makanan oriental, karena ada tulisan Mandarin yang terukir pada dinding di hadapan mereka. “Raga, kenapa kita ke sini?” Tanya Amira cemas. Raga menoleh, menatap Amira. Namun, dia tidak menjawab. Hanya tangannya saja yang bergerak, mengangkat tangan Amira yang sedang tertaut dengannya. Benar, Amira sudah mengeceknya tadi. Mereka akan makan di tempat ini. “Gue pesen ruang VIP, biar aman.” Jari Raga menunjuk ke kening Amira. “Otak lo aja yang kotor.” “Enak aja!” Bantah Amira sambil menepis tangan Raga. “Gue juga enggak mikir apa-apa!” Amira menutupi rasa malunya dengan memalingkan wajah. Sayang sekali, di sisi lain malah ada Alex. Raga tidak melihat, tapi jadi Alex yang melihatnya. Sungguh memalukan! “Silakan, Tuan, Nona.” Untungnya sambutan para pelayan mengalihkan perhatian Raga dan Alex. Para pelayan itu membukakan pintu kayu di hadapan mereka.
Situasi saat ini sungguh berbahaya. Di atas kursi mobil yang sempit ini, Amira menindih Raga. Amira tidak peduli dengan kakinya yang sudah naik ke atas kursi dengan begitu kurang ajarnya. Wajah Amira menatap Raga, tapi tatapannya kosong entah kemana.Raga tahu apa yang terjadi. Amira sedang melihat masa depan, dengan pose yang menantang begini.“Gue bukan orang yang bisa tahan godaan,” ucap Raga pelan. Tangan Raga menarik Amira yang masih melamun. Dia meraih pinggang Amira, menjauhkan tubuh gadis itu. Raga mendudukkan Amira kembali ke tempatnya semula.“Kalau lo begitu lagi, gue enggak bisa jamin kelanjutannya bakal sama kayak sekarang ….”Amira tersentak. Dia yang baru sadar dari lamunan, hanya mendengar sebagian kalimat Raga. “Udahan liat masa depannya?” Tanya Raga pelan.Meski jantungnya serasa akan meledak, Raga memilih untuk bersikap biasa saja. Dia duduk bersandar di kursi, mencoba menenangkan kegilaannya sendiri. “Lo … cuma mau ngajak gue makan?” Tanya Amira heran. Raga ber