Di lorong perpustakaan yang sepi, Amira disudutkan oleh Raga. Cowok itu terus melangkah mendekat sampai punggung Amira menabrak rak buku di belakangnya. “Menurut lo, gue gimana?” Tanya Raga, tanpa berkedip. Amira memalingkan wajah. Dia bingung, apa sekarang dia harusnya lari saja? Atau lebih baik jawab? “Kenapa enggak jawab?” Desak Raga. Amira jadi kehilangan kesempatan. Saat ini, Raga sudah kepalang memegang tangannya. Dia tidak bisa melarikan diri. “Lo itu ….” Amira berusaha memikirkan jawaban, tapi tidak ada satupun kata yang terlintas. Tak sabar menunggu, Raga menarik Amira mendekat. Dia membuat jarak wajah mereka hanya terpaut beberapa inchi. “Lo ganteng,” cicit Amira, hampir tanpa suara. Sumpah, Amira malu setengah mati. Namun, tidak ada hal lain yang bisa dia pikirkan sekarang. “Lo juga cantik,” balas Raga sambil mengulum senyum. Senyum Raga membuat Amira salah tingkah. Perut Amira terasa geli, seolah ada ribuan kupu-kupu menggelitik di dalamnya. Mata Amira beruba
Pada jam istirahat, di tengah keramaian kantin Laveire, Amira bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Debarannya menggila, membuat dia merasa jika semua orang mungkin bisa mendengarnya. “Ha … hahaha ….” Amira tertawa canggung. Habis mau bagaimana lagi? Dia tidak tahu cara merespon ucapan Raga yang mengatakan jika cowok itu akan memasak untuknya setiap hari. Ini ajakan nikah atau apa? “Lo pasti suka banget masak,” ucap Amira sambil menyendok makanan ke mulutnya cepat-cepat. Amira rela melakukan apapun, agar Raga berhenti menatapnya. Sekarang, dia merasa ingin salto karena saking bingungnya. “Emang,” jawab Raga tenang. Raga masih terus menatap Amira tanpa menoleh sama sekali. Sengaja, Raga ingin membuat Amira lebih salah tingkah lagi. “Gue suka banget masak, apalagi masak buat orang yang gue suka.” Tak. Sendok yang Amira pegang, jatuh begitu saja. Dia tidak bisa bergerak, sama sekali. Bahkan Amira hampir lupa caranya bernapas. “Uhuk!” Amira terbatuk. “Uhuk! Uhuk!” Semak
Raga menggeleng pelan. Dia tak ingin menyentuh makanannya lagi. Amira telah membuatnya kehilangan selera, membuat perasannya berantakan. “Ck!” Raga mengeluh dengan decakan. Sungguh, Raga masih tak habis pikir. Bagaimana bisa Amira yang berniat menolaknya, tapi tetap mengatakan Raga sebagai orang spesial yang paling dipercaya? Apa Amira sedang mempermainkannya? “Jadi, Kakak mau bicara apa?” Pertanyaan Amira menyadarkan Raga dari lamunan. Raga memandang Amira yang kini nampak penasaran. Sepertinya Amira sudah tidak sabar, ingin tahu apa yang hendak dikatakan oleh Febby. “Itu … sebenarnya … gue cuma mau tau apa yang lo omongin sama Pak Reynald.” Febby terlihat canggung saat bicara. Tangannya bergerak gelisah, seperti takut mendengar jawaban dari Amira. “Gue enggak ngomongin apa-apa sama Pak Reynald, Kak.” Amira sengaja menutupi kesepakatan yang dia buat dengan Reynald, tapi Raga menegurnya. “Ngomong aja yang jujur.” Raga memberikan saran yang sama sekali tidak Am
Amira mengernyit melihat Raga yang menggeleng. Sebenarnya dia tidak tahu apa yang Raga inginkan, Amira hanya menebaknya saja. “Ya udah, kita balik aja ke kelas, yuk,” ajak Amira. Raga tidak suka pembicaraan basa-basi dengan orang lain, jadi cowok itu pasti tidak akan keberatan untuk kembali ke kelas. Apalagi bel akan berbunyi, Amira juga tak berniat untuk ketinggalan kelas. “Tapi minum gue belum habis,” keluh Michelle. Michelle kelabakan saat Amira beranjak dari kursi. Jusnya belum selesai. Padahal, Michelle sengaja hanya memesan minuman. Dia yakin tidak akan sempat kalau makan. Namun, bahkan jus saja tak bisa dia habiskan. “Enggak apa, sambil jalan aja,” ajak Febby sambil menggandeng lengan Michelle. “Punya gue juga belum habis.” Michelle akhirnya mengangguk. Dia menerima tawaran Febby. Mereka berjalan di belakang Raga dan Amira yang sudah lebih dulu beranjak. Di belakang mereka, ada Reynald yang menyusul. “Nanti pulang, mau bareng?” Tanya Michelle pada Amira. Amira tidak
Raga sudah bersabar. Dia mengalah dengan membiarkan ketiga perempuan itu untuk menumpang dalam mobilnya. Namun, kemurahan hatinya ternyata masih belum cukup.“Lo duduk di depan, dong! Biar kita bisa duduk bertiga di belakang,” ucap Michelle pada Raga.Michelle sepertinya sudah kehilangan akal karena terbawa suasana. Dia begitu senang karena bisa hangout dengan teman-temannya. “Ini mobil gue! Kenapa lo yang ngatur?” Bentak Raga keras.Saat itu juga, Michelle langsung menutup mulut. Dia mengutuk dirinya sendiri karena sempat lupa jika Raga galaknya melebihi singa. “So-sorry,” ucap Michelle dalam suara panik dan ketakutan.Amira sampai turun tangan menengahi. Dia menarik Raga mundur, lalu menenangkan cowok itu. “Santai aja, kali. Michelle cuma mau elo enggak canggung di antara cewek-cewek,” imbuh Amira.Memang benar. Raga juga pasti tidak akan nyaman jika mereka duduk berempat di satu baris kursi. “I-iya ….” Sambung Michelle, tergagap. “Gue enggak bermaksud kurang ajar. Maafin gue ….
Febby dan Michelle berjalan bersisian, menjauh dari Raga. Michelle seperti mengalami trauma permanen karena disemprot Raga. Di dalam mall yang baru mereka masuki ini, keduanya memimpin jalan. Mereka membiarkan Amira dan Raga melangkah di belakang, diiringi Alex. “Coba gue cek,” ucap Amira sambil mengulurkan tangan.Meski Raga mengomel atau mengamuk, cowok itu tetap menurut saat Amira meminta tangannya. “Aman,” jawab Amira kemudian. Sempat Amira khawatir jika Raga akan menjadi incaran di tempat publik seperti ini. Namun, karena mall yang dipilih Febby adalah sebuah mall kelas atas, sepertinya Amira bisa sedikit tenang. “Mau liat sepatu, enggak?” Ajakan Febby memecah keheningan mereka. Salah satu tangan Febby menunjuk ke sebuah tenant sepatu yang tampak mewah dari luar. Bukannya Febby sengaja memilih toko yang mahal, tapi memang semua toko yang ada di dalam mall ini begitu adanya.“Mau,” sahut Michel sambil menggandeng tangan Febby. Saat Febby dan Michelle berjalan di depannya, A
“Kayaknya lo seneng banget dapat sepatu,” sindir Raga saat mereka sudah kembali ke dalam mobil.Acara jalan-jalan sudah selesai. Febby dan Michelle diantarkan pulang oleh Reynald karena searah. Sementara Amira, tetap bersama Raga seperti biasa. “Ya enggak nyangka aja dapat gratisan,” sahut Amira tenang. Tangan Amira meletakkan kembali kantong belanja yang sebelum ini dia belai. Amira kemudian memilih untuk memandang keluar jendela saja. Firasatnya mengatakan jika Raga akan mencari masalah setelah ini.“Kalo gratisannya dari gue, kenapa lo enggak pernah mau terima?”Amira menghela. Benar kan, dugaannya? “Karena gue tau, Pak Reynald enggak punya maksud lain,” jawab Amira.Memangnya siapa orang yang tidak suka diberikan hadiah? Namun, kalau hadiah itu diberikan dengan mengharapkan balasan, maka Amira tidak bisa. “Kalau gue bilang gue enggak punya maksud lain, gimana? Gue beneran cuma mau ngasih lo,” kilah Raga.Benarkah Amira tidak bisa melihat ketulusan Raga selama ini? Padahal Raga
Hari masih pagi, tapi suasana hati Raga sudah berantakan. Tidak juga membaik setelah semalam dia mengamuk. “Tuan, kita sudah sampai.” Alex memberikan informasi pada Raga. Raga melihat sepintas ke arah luar jendela. Dari dalam mobilnya, dia mendapati Amira yang sedang berjalan di kejauhan. Seperti biasa, Amira datang tepat waktu. “Silakan masuk, Nona Amira,” sapa Alex ramah. Tidak biasanya Alex mewakili Raga bicara. Keanehan itu membuat Amira memicing curiga pada Raga. “Pagi,” sapa Amira canggung. Setelah sibuk dengan konflik batin, Amira memilih untuk menyapa Raga duluan. Meski cowok itu tampak cuek dan tak menoleh padanya, Amira berusaha. “Pagi.” Jawaban singkat Raga membuat Amira mengernyit heran. Raga sangat berbeda hari ini. Tak ada lagi Raga yang penuh semangat menyambut Amira. Tak ada pula tarikan memaksa minta pengecekan setiap saat. Saat ini, Raga benar-benar bersikap tidak peduli. “Lo … enggak apa-apa?” Keanehan Raga membuat Amira ingin memastikan jika cowok i
"Akhirnya kalian datang juga!” Michelle berseru sambil melambai pada Amira dan Raga yang baru masuk ke dalam kelas. “Ada apa?” Amira mendapati suasana kelas yang tampak berbeda. Beberapa siswa sibuk mengobrol. Amira mendengar sebagian topiknya, pemilihan.“Kita diminta buat kampanye.” Ucapan Evan membuat Amira memandang cowok itu bingung. Amira sampai harus terdiam sebentar untuk mencernanya. Evan tadi bilang apa?"Kampanye?" Amira mengerutkan kening. Rasanya Amira dan Raga baru pergi sebentar. Dalam waktu sesingkat itu, mereka tiba-tiba saja diminta untuk kampanye. “Kampanye apa?” Amira masih tidak mengerti. Pemilihan apa yang akan dilakukan oleh Laveire? Ding!Nada untuk pengumuman terdengar lewat speaker di dalam kelas. Suara Reynald bergema setelahnya. “Kepada siswa kelas XI bernama Evan, Amira, Raga, dan Michelle, segera datang ke ruang kepala sekolah. Sekarang.”Raga yang pertama berdecak keras. Padahal baru hari pertama, tapi Laveire sudah merepotkan begini. “Yuk!” Evan
Setelah acara makan mereka selesai, Amira membereskan sisa makanan. Michelle dan Febby pun ikut membantu. Belum juga meja di depan mereka bersih, Raga sudah menarik tangan Amira. “Ikut gue,” ujar Raga, dengan nada memerintah. Evan berdiri, hendak menyela. Namun, Amira mencegahnya. Raga berdiri tepat di depan Evan. “Jangan ganggu.” Dia memberikan peringatan. “Gue pingin pacaran.”Amira bisa mendengar decak kesal dari Evan. Meski begitu, Evan tidak mengejar sama sekali. “Kita cari tempat yang lebih tenang,” sambung Raga. “Biar bisa ngomong, tanpa gangguan.”Amira mengangguk pelan, meskipun matanya tampak ragu. Mereka berjalan menyusuri lorong-lorong sekolah yang sepi, langkah kaki keduanya bergema di sepanjang jalan. Beberapa siswa lain sudah kembali ke kelas, membuat lorong menjadi lebih lengang.Raga berhenti di sebuah lorong yang jarang dilalui, jauh dari ruang kelas dan sudut sekolah yang biasanya ramai. “Di sini aja.” Raga memilih sudut lorong. “Gak bakal ada yang lewat.”Amir
“Kak Dina enggak begitu!” Dika akhirnya membuka suara. Dia tidak bisa terus melihat kakaknya disudutkan. Dika melihat sendiri bagaimana Dina berusaha. Dina secara teratur membersihkan makam keluarga Amira. Dia tidak pernah absen. Bahkan, untuk bisa sekolah di Laveire, Dina sampai membantah kedua orang tua mereka. Dina bersikeras ingin pergi meski ayah dan ibu mereka tak mengizinkan. Bahkan, Dina sampai nekat untuk masuk ke Laveire meski hanya berbekal beasiswa. “Kalian enggak tau apa yang Kak Dina lakukan biar bisa ketemu sama Kak Amira!”Evan mendelik. Dia melipat kedua tangannya sambil memicing tak percaya. “Coba bilang, apa aja yang udah dia lakuin.”Evan, Michelle, dan Febby sudah siap menyimak. Mereka mengharapkan jawaban yang memuaskan. Namun, belum juga Dika menjawab, Dina sudah menghentikannya. “Aku akan buktikan.” Dina tak ingin kedatangannya sia-sia. Dia sudah sejauh ini. “Coba aja,” jawab Evan, menantang. “Buktiin kalau lo bisa lebih baik dari kita sebagai teman Amira!
“Lo … mau apa?” Hidup Amira sudah nyaman di sini. Dia tidak peduli lagi dengan masa lalu. Apa pun yang terjadi pada kampung halaman atau orang-orang di sana, Amira tak ingin tahu. “Apa tujuan lo? Kenapa ganggu gue?”Dina hanya tersenyum mendengar pertanyaan Amira. Perangainya tenang, bibirnya terbuka pelan, memberikan alasan. “Karena aku menyesal,” jawab Dina. “Aku menyesal karena belum sempat meminta maaf ke kamu.”Amira menatap tak percaya. Dia menilik wajah Dina, mencoba mencari setitik saja kebohongan yang nyatanya tidak bisa dia temukan. “Aku minta maaf buat semua tuduhan yang dulu tertuju ke kamu.” Dina menjelaskan apa yang terjadi setelah Amira pergi. Pencuri uang sudah ditemukan. Begitu juga dengan Anto, pria yang dahulu menuduh Amira sebagai perayu. Sudah terbukti, Anto sendiri yang adalah seorang hidung belang. “Aku harusnya percaya sama kamu. Kamu selama ini enggak pernah sekali pun bohong sama kita.” Dina memandang Amira penuh penyesalan. “Aku tidak sempat minta ma
“Pelan-pelan,” keluh Michelle saat Amira menarik tangannya kencang. “Emang udah laper banget?” Amira baru melepaskan Michelle saat mereka sampai di kantin. Dia menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Ayo cari tempat duduk,” ujar Amira, dengan senyum terpaksa di wajah. Mereka berkeliling kantin sebelum akhirnya menemukan tempat yang cocok. Ada satu meja besar–yang cukup untuk mereka semua, tepat di sudut kantin Laveire. “Kak Amira, seneng bisa ketemu Kakak lagi!” Dika tak mau membuang kesempatan untuk berbincang dengan Amira. Dia langsung menyapa di detik pertama mereka duduk. Terlihat jelas jika Raga memberikan tatapan sinis pada sapaan Dika. Dia merasa terancam. Tangan Raga bergerak meraih tangan Amira mendekat, menunjukkan kepemilikannya. “Iya,” sahut Amira. “Gue juga enggak nyangka kalian pindah ke sekolah ini.”Lebih tepatnya, Amira tidak mengerti. Apa tujuan Dika dan Dina pindah ke Laveire? “Iya, Kak Dina yang ajak!” Seru Dika jujur. Dia berucap riang d
“Hai,” ucap Amira dengan senyum di wajah. Amira berusaha untuk menepikan sementara rasa tidak suka yang dia miliki. Untuk sementara saja, karena Sonya dan Reynald menatapnya sekarang. “Silakan lanjutkan pelajarannya,” ucap Reynald seraya berpamitan. Sonya mengangguk sopan. Dia mengantar Reynald sampai ke pintu kelas sebelum kembali pada murid-muridnya. “Sampai di mana tadi?” Sonya mencoba mengingat materi yang tengah dia berikan. “Ah ya, soal.”Tangan Sonya meraih kembali spidol di tangan. Kali ini, dia benar-benar menuliskan soal. Saat Sonya sudah sibuk, Raga menyenggol lengan Amira pelan. Tangan Raga menyodorkan buku tulisnya sendiri. Buku yang sudah dia tulis dengan sebuah kalimat untuk Amira. [Lagi kesel?]Amira hanya melengos. Dia tidak membalas, hanya mendorong kembali buku Raga kepada sang pemilik. Raga tidak menyerah. Dia menulis kalimat lain di atas bukunya, lalu mendorong buku itu kembali pada Amira. [Kesel sama cewek itu? Dia siapa? Beneran temen?]Raga ingin menuli
“Anak-anak, duduk di tempat kalian!” Sapaan dari Sonya, membuat siswa kelas XI duduk.Amira menoleh sekilas ke belakang. Dia memastikan teman-teman sekelasnya sudah duduk, sebelum memimpin salam. “Terima kasih, Amira,” ucap Sonya kemudian. “Ibu sebelumnya bingung memilih ketua kelas untuk kelas gabungan baru ini,” aku Sonya, jujur. “Tapi sekarang Ibu bisa lega. Sepertinya Amira yang akan menjadi ketua kelas.”Tatapan Sonya tertuju ke seluruh siswa yang duduk di depannya, memastikan. “Apa ada yang keberatan jika Amira yang menjadi ketua kelas?”Terdengar hening. Tidak ada suara sama sekali. Sepuluh orang yang ada di dalam kelas tidak mengeluarkan suara. Sonya mengangguk kemudian. Dia juga sama tidak keberatannya seperti siswa yang ada di dalam kelas. Sonya sangat setuju. Amira bertanggung jawab dan mampu memimpin kelas dengan baik seperti yang sudah-sudah. “Baiklah. Ibu anggap kalian setuju. Untuk selanjutnya, Amira yang akan menjadi ketua kelas. Lalu ….” Sonya mengangkat daftar ab
“Akhirnya!” Michelle berseru senang. Tangannya menyenggol Amira, sambil menunjuk ke arah panggung yang ada di depan mereka. “Kita masuk sekolah lagi!” Seru Michelle senang. Entah sudah berapa kali gadis itu mengatakannya. Amira bahkan sudah tidak menghitung. Sejak pertama Amira masuk ke wilayah Laveire, dia sudah melihat Michelle, menunggunya di lorong.Michelle langsung mengambil alih Amira yang memang datang ke sekolah bersama Raga. Dia memonopoli Amira sampai mereka duduk di aula. “Ini emang lama begini?” Raga yang sedari tadi sudah menahan diri, akhirnya mengomel juga. “Mau kasih pengumuman apa sih?” Tanya Raga, tidak sabar. Mereka diminta berkumpul di aula sejak tadi, tapi tidak ada yang terjadi. “Enggak tau,” jawab Michelle sambil mengangkat bahu. “Tadi Evan bilang dia juga lagi sibuk siapin pengumuman.”Akhirnya, Raga hanya bisa mengeluh. Apa yang dia lakukan, tak jauh berbeda dengan murid lain yang duduk di aula. Memang tidak ada banyak murid yang kembali masuk ke Lavei
“Kita belum pernah foto bareng!” Amira tertawa. Dia mengikuti langkah Raga, masuk ke dalam kotak photobox bersama. “Padahal kita ketemu hampir setiap hari. Kenapa ya?” Tanya Amira sambil berkedip tak percaya. Raga menyambut dengan senyum lebar. Dia menghampiri mesin photobox dan mulai menekan beberapa tombol. Amira, yang memang tidak pernah menggunakan mesin seperti itu, membiarkan Raga yang mengambil alih. “Di sini,” ucap Raga setelah dia selesai dengan mesinnya. Raga meminta Amira mendekat padanya. Jarinya menunjuk ke arah layar besar di depan mereka. “Liat ke kamera.”Tampilan wajah Amira dan Raga terlihat jelas di depan keduanya. Sekarang, Amira jadi malu sendiri melihat wajah mereka. “Senyum, dong.” Raga menoleh ke arah Amira yang tegang. Raga menggerakkan tangannya, mencubit pipi Amira gemas. “Lo lebih cantik kalau senyum.”Amira sedikit terkejut saat tangan Raga merangkulnya. Dia sampai menoleh, menatap dengan tatapan protes. Timer di mesin menyala. Hitungan mundur dimu