Cerita Amira dan Raga selesai sampai di sini. Tak bisa dilanjutkan lagi karena nanti jadi 18+. Hehe 🤭 Yang mau aku melanjutkan Amira dan Raga versi dewasa, like aja ya! ❤️ Aku janji tulis lanjutannya kalau sudah 1000 like. Terima kasih untuk semua yang sudah membaca. Salam sayang 🫶🏻 -Dewiluna-
“Gue enggak ngerasa ini beneran,” ucap Amira. Setelah Amira dinyatakan benar-benar sembuh, Raga mengajaknya masuk ke dalam kediaman keluarga Wijaya. Raga tidak membiarkan Amira berhenti di depan pintu. Dia menarik Amira masuk ke dalam. Kali ini, tangan Amira tak terlepas dari genggaman. “Udah gue bilang, kan? Lo percaya aja sama gue,” sahut Raga sombong. Gavin dan Andini datang kemudian. Mereka menyambut Amira. “Kamu langsung bersiap saja.” Andini mendorong Amira masuk ke dalam salah satu ruangan. Di sana, sudah ada penata rias lengkap dengan para pelayan yang membantunya bersiap. Amira terus-menerus curiga, tapi tidak ada yang terjadi. Bahkan dia sudah mengecek masa depan dengan memegang semua orang, dan hasilnya sama. Tak akan terjadi apa pun. Semuanya berjalan lancar seperti seharusnya. “Sudah selesai.” Ucapan penata rias itu membuat Amira tertegun sesaat. Dia menghadap cermin lalu mendapati pantulan dirinya di sana. “Apa ada yang mau diperbaiki?” Penata rias it
“Nama gue, Raga Kendrick Wijaya. Panggil aja Raga!"Kelas XI-A kedatangan murid baru. Namanya Raga. Dia pindahan dari Bellva School. Suasana di dalam kelas mendadak ricuh. Sepertinya, Raga berhasil mencuri perhatian seluruh penghuni kelas, terkecuali seorang siswi yang duduk di samping jendela baris pertama, tepat di depan meja guru. Siswi itu bernama Amira Putri. Dia adalah murid beasiswa yang menjabat sebagai ketua kelas. “OMG! Dia ganteng banget!”"Mukanya cute kayak oppa-oppa Korea!"Astaga! Bibirnya tebal dan sangat seksi!”"Dia tinggi. Raga pantes jadi kapten basket sekolah!"Amira mendengar celoteh kekaguman dari beberapa siswi. Mungkin saja, Raga akan menjadi siswa terganteng di sekolahnya, Laveire.Sebenarnya, Amira pun mengakui. Semua orang bersemangat menyambut Raga, kecuali dia sendiri. “Raga, kamu duduk di samping Amira, ya!"Sayangnya, takdir suka bercanda. Amira tidak tertarik pada Raga, tapi cowok itu justru duduk di sampingnya. “Ibu harap, kamu bisa bantu Raga ya
"Gue enggak punya musuh.” Raga berucap sinis. “Tapi lo bisa jadi salah satunya kalau mau.”Amira menggeleng. “Enggak, makasih.” Dia memilih untuk kembali pada tugas matematikanya. Amira berusaha berkonsentrasi di kursinya sendiri. Tapi itu tidak bertahan lama.“Gue enggak mungkin salah,” gumam Amira pelan. “Gue enggak pernah salah.”Selama dua tahun, apa yang Amira lihat hanya kenyataan. Tidak pernah ada pengecualian.Amira memang bisa melihat masa depan. Entah itu adalah anugerah atau kutukan. Semua berawal saat Amira kehilangan sang nenek, Ida, di usianya yang ke-16. “Nenek ….” Amira menangis pilu. “Kenapa nenek meninggalkan Amira juga? Ayah dan ibu sudah tidak ada. Nenek juga pergi. Amira sama siapa sekarang?”Sebuah kecelakaan membuat Amira menjadi yatim piatu. Amira pun tinggal bersama dengan sang nenek. Tapi sekarang Ida meninggalkannya juga. “Kenapa kalian pergi? Bawa aku juga …. Aku mau ikut bersama kalian ….” Ya, Amira pernah merasa ingin mati saja. Dia tidak peduli dengan
Raga membiarkan Amira menariknya. Mereka berlari tanpa arah sebelum akhirnya Amira melihat sebuah jalan kecil.“Lewat sini!” Amira berteriak sambil menunjuk ke sisi kiri. Dia menyempatkan diri menoleh ke belakang, hanya untuk mendapati jika mobil hitam yang mengejar mereka semakin dekat. Mobil itu telah berhenti sempurna di jalan. Lima orang berpakaian hitam lengkap turun dari mobil dan mulai mengejar.“Cepat!” pekik Amira. Dia membuat kedua kakinya melaju lebih kencang. Raga menoleh ke belakang. Kali ini ia melihat dengan kedua matanya sendiri jika nemang ada gerombolan yang mengejar mereka. “Sembunyi!” Raga tidak ragu lagi setelah melihat bukti. Kali ini dia yang menarik Amira.Amira tidak protes saat Raga memimpin dan menariknya melewati jalan kecil berkelok. Dia tahu jika Raga sedang mencoba untuk membuat mereka terbebas dari pengejaran. “Naik!” Perintah Raga membuat Amira melotot. Amira menatap pagar di depannya. Tidak tinggi tapi cukup untuk membuatnya meloncat. Masalahnya
Saat ini, Raga dan Amira sedang duduk di kursi belakang. Keduanya ada di dalam mobil Raga yang tengah melaju di jalan. Suasana hening beberapa detik sebelum akhirnya Amira membuka mulut. “Enggak punya musuh kepala lo!” Cemooh Amira. “Tadi semuanya ngejar kita!”Raga menanggapi Amira santai. Dia bersandar di kursi mobil nyaman, memandang Amira dengan tatapan datar. “Ya mana gue tau. Gue nggak kenal mereka siapa,” jawab Raga jujur. Raga meraih handphone dari saku. Tangannya mengangkat benda itu tinggi, menunjukkan layar yang menyala di depan Amira. “Ini gue baru mau bilang ke bokap gue. Biar dia yang urus. Tapi ….”Ucapan Raga terhenti sesaat. Wajahnya kini menoleh ke Amira, menatap penuh curiga. “Lo sendiri gimana bisa tau kalau ada yang ngejar gue?”Amira mengalihkan pandang, menghindar dari tatapan menyudutkan Raga. Tapi tetap saja, Amira tidak bisa lepas dari cowok itu. “Kok lo bisa tau? Gue penasaran.”Raga terus membuat Amira terdesak. Amira jadi menyesal. Berada di dalam sa
Amira terkejut. Dia tidak suka keputusan Raga untuk mengantar. Amira bergerak gelisah di kursinya, di dalam mobil Raga yang masih melaju cepat di jalan.“Enggak!” Amira menggeleng kuat. “Turunin aja gue di sini. Gue bisa pulang sendiri!”Penolakan yang Amira katakan terdengar aneh di telinga Raga. Kenapa cewek itu mati-matian menolaknya? Padahal ada banyak perempuan yang rela mengantri untuk diantar pulang oleh Raga. Amira tegas menggeleng. Berulang kali dia mengucapkan tidak. Kedua tangannya memegang handle pintu mobil Raga kuat-kuat. “Berhenti! Berhenti di sini!”Raga menyerah dengan teriakan Amira. Dia menuruti Amira dengan meminta supirnya untuk menepi.“Buka pintunya, Raga!” Mohon Amira.Tapi kali ini Raga mengatakan tidak. Dia membuat Amira menoleh, menatapnya.“Kalo lo enggak mau gue anterin, kasih nomor lo.” Raga menyodorkan handphone miliknya. “Gue mau pastiin lo aman sampe di rumah.”Amira menatap lama sebelum dia menerima handphone milik Raga. Jarinya mengetikkan nomor di
Keesokan harinya sebelum bel berbunyi, kelas XI-A di Laveire masih sepi. Hanya ada beberapa siswa yang sedang mengobrol atau sekedar bermain handphone di kursi mereka masing-masing. Diantara beberapa siswa itu, ada Raga. Raga sengaja datang lebih awal hari ini. Dia menunggu seseorang. Siapa lagi kalau bukan Amira. “Hai!” Raga menyapa Amira di kursinya. Amira terkejut mendapat sapaan pagi dari Raga. Dia sempat memicing sesaat untuk kemudian menoleh ke belakang. Siapa tahu sapaan itu bukan untuk Amira, tapi untuk orang lain. “Gue ngomong sama elo. Emang siapa lagi?” Raga jadi kesal sendiri. Belum-belum Raga sudah naik darah. Dia sudah cukup diabaikan oleh Amira. Semua panggilan juga pesan singkat yang dikirim Raga sejak kemarin tidak berbalas sama sekali. Sampai seperti itu Amira menghindar darinya. “Itu kuping masih ada, kan?” Sindir Raga. Padahal Raga sudah menurunkan sedikit kadar egonya untuk menyapa Amira duluan, tapi cewek itu malah tidak menggubrisnya sama sekali.
Saat kembali ke kelas XI-A, Amira melirik ke sudut ruangan. Di tempat duduknya, Raga tampak kesal dengan bibir berkerut sempurna. Amira melangkah masuk. Dia berjalan ke tempat duduknya santai. Amira pura-pura tidak melihat wajah Raga yang cemberut. Dia cuek saja mendengar Raga yang menggerutu di sampingnya. Bel sudah berbunyi sejak tadi. Amira memang sengaja datang bersamaan dengan guru yang masuk ke kelas. “Buka buku kalian!” Guru di depan kelas memberi perintah. Perintah yang menjadi bencana untuk Amira.“Liat, dong! Gue kan belum punya buku!” Nah, ini bencananya. Raga.Raga si murid baru yang belum punya buku. Raga ingin Amira berbagi. Dia dengan sengaja mendekat, membuat kursinya dengan kursi Amira tidak berjarak. Raga memepet Amira, membuat Amira jadi keki sendiri. Andai tidak ada guru di depan sana, dia ingin menempeleng Raga. Puas sekali Raga saat mendengar Amira berdecak kesal. Dia berbohong dengan mengatakan kalau dirinya tidak punya buku. Dia cuma ingin Amira tidak men
“Gue enggak ngerasa ini beneran,” ucap Amira. Setelah Amira dinyatakan benar-benar sembuh, Raga mengajaknya masuk ke dalam kediaman keluarga Wijaya. Raga tidak membiarkan Amira berhenti di depan pintu. Dia menarik Amira masuk ke dalam. Kali ini, tangan Amira tak terlepas dari genggaman. “Udah gue bilang, kan? Lo percaya aja sama gue,” sahut Raga sombong. Gavin dan Andini datang kemudian. Mereka menyambut Amira. “Kamu langsung bersiap saja.” Andini mendorong Amira masuk ke dalam salah satu ruangan. Di sana, sudah ada penata rias lengkap dengan para pelayan yang membantunya bersiap. Amira terus-menerus curiga, tapi tidak ada yang terjadi. Bahkan dia sudah mengecek masa depan dengan memegang semua orang, dan hasilnya sama. Tak akan terjadi apa pun. Semuanya berjalan lancar seperti seharusnya. “Sudah selesai.” Ucapan penata rias itu membuat Amira tertegun sesaat. Dia menghadap cermin lalu mendapati pantulan dirinya di sana. “Apa ada yang mau diperbaiki?” Penata rias it
“Pergi, dulu.” Setelah meminta izin pada Gavin, Andini, dan Heri, Raga dan Amira diantar oleh Ken. Alex sedang cuti untuk sementara waktu.Di asrama, Dika dan Dina menyambut Amira. Memang sedang libur semester, jadi suasana sekolah sepi. “Kak Amira mau pindah ke mana?” Dika bertanya penasaran. Amira tidak bisa memikirkan jawaban, jadi Raga yang mewakili.“Apartemen,” jawab Raga singkat. “Di sini ternyata enggak aman.”Amira tidak membantah. Dia biarkan saja Raga semaunya merangkai kebohongan tentang status juga tempat tinggal mereka.Terdengar hela kecewa dari mulut Dika. Meski begitu, Dika tetap membantu Amira berkemas. Dina pun melakukan hal yang sama. Dia tidak masalah di mana pun Amira tinggal, selama hubungan mereka baik.“Hati-hati di jalan ya!” Dina dan Dika melambai bersamaan. Kedua bersaudara itu mengantar Amira sampai ke depan gerbang. Amira memang tidak membawa semua barangnya. Dia cuma mengambil baju dan barang-barang penting. Sisanya bisa diambil nanti. “Dah!” Amira
“Gimana keadaan Bapak?” Tanya Amira saat menjenguk Reynald. Amira langsung menyeret Raga ke ruang rawat Reynald setelah tahu gurunya sudah sadar. Reynald tersenyum. “Baik.”Febby yang kemudian mewakili Reynald bicara lebih banyak. “Keadaannya udah stabil, jadi lo enggak perlu khawatir lagi.”Dia menepuk lengan Amira lembut. “Jangan merasa bersalah lagi, ya,” sambungnya. Amira mengangguk pelan. Melihat Febby yang tak lagi menangis membuat Amira merasa lega. “Mending lo istirahat, sana.” Febby membalikkan badan Amira. Dia menunjuk pintu keluar. “Tidur di atas kasur.”Amira menggeleng–menolak, tapi Febby memaksa. “Harus!”Perintah itu akhirnya dituruti Amira. Dia dibimbing Raga kembali ke dalam ruang rawatnya. Di sana, Raga langsung menyuruh Amira berbaring. “Akhirnya!” Raga ikut naik ke atas ranjang, berbaring di samping Amira. “Gue bisa tidur juga.”“Raga! Turun, ih!” Pekik Amira.Amira berusaha mendorong Raga menjauh, tapi pacarnya itu tidak bergerak. “Raga, gue tendang ya!” An
“Pendarahannya parah,” gumam Febby, dengan suara putus asa. Amira menarik napas dalam, mencoba meredam rasa bersalah yang menyesakkan. Namun, dia tahu jika ini bukan waktunya untuk lemah, apalagi mengeluh.“Ayo kita berdoa, Kak. Gue yakin, Pak Reynald pasti bisa melalui ini semua.”Febby hanya mengangguk dengan tatapan kosong. Dia tidak ingin berharap, tapi hanya harapan yang tersisa untuknya. Amira ikut berdoa dalam hati. Dia sungguh tidak bisa membayangkan jika Reynald benar-benar pergi. Amira tak mampu hidup dalam rasa bersalah.“Amira,” panggil Raga lembut. Raga duduk di samping Amira, menemaninya. “Sini, deketan sama gue,” ucap Raga seraya memberikan satu bahunya agar Amira bisa bersandar.“Gue enggak ngantuk,” jawab Amira, keras kepala.Amira mungkin mengatakan jika dia tidak lelah, tapi wajahnya sudah kusut dan kedua matanya hampir terpejam.Hanya butuh beberapa menit sebelum akhirnya Amira be
“Bangkeee!” Evan menjulurkan tangan, ingin menempeleng Raga. Namun, luka di tangannya membuat dia mengurungkan niat. Michelle sampai membantu Evan duduk kembali dengan tenang di kursinya. “Elo serius enggak punya rencana apa-apa?!” Evan memekik tak percaya. Padahal lagak Raga tadi sudah seperti orang serius. “Ada,” jawab Raga singkat. “Ini Amira lagi ngeliat rencana gue.” Amira yang mewakili Evan menyikut Raga. Dia juga kesal pada sikap pacarnya yang seenak udel begini. “Ngomongnya mau bikin perusahaan saingan. Hampir aja gue percaya!” Evan misuh-misuh. Sementara Raga, masih santai di samping Amira. Dia cuma mengangkat bahu sambil menjawab tenang. “Ya bagus, kan! Artinya tampang gue meyakinkan.” Raga menggampangkan masalah yang dia buat. Evan sudah sibuk mengomel. Michelle pun sama. Keduanya menatap Raga tak percaya. Mereka tidak pintar, tapi juga tidak bodoh untuk menyadari jika Raga hanya melakukan tindakan impulsif tanpa persiapan.“Terserah lo aja, deh!” Evan jadi lelah s
“Raga!” Heri akhirnya berteriak menghentikan Raga. Padahal, saat itu Raga baru mengambil dua langkah. Ternyata, cepat juga.“Ya?” Raga menoleh tanpa berbalik. Raga mengira Heri akan menyerah, tapi kakeknya itu tak mengiyakan. “Sembuhkan dulu lukamu.”Raga menggeleng kecewa. “Jawaban yang salah.” Kali ini Raga tidak menunggu lagi. Dia mendahului Evan, berdiri tepat di samping mobil temannya itu. Evan pun menyusul langkah Raga bersama Michelle. Terlihat wajah ayah Evan yang kebingungan. Meski begitu, pria paruh baya itu tetap mengikuti anaknya. “Berhenti!” Tangan Heri menghalangi Raga yang hendak membuka pintu mobil.Raga menoleh. Dia bisa melihat wajah Heri yang masam menahan amarah. Heri terlihat sangat tidak senang kali ini. “Apa, Kek?” Raga menggeleng sekilas. Dia memperbaiki kalimatnya kemudian. “Ada apa Tuan Heri Wijaya?” Tanya Raga, tanpa rasa bersalah. Heri menggeram. Dia
“Kakek lama sekali!” Keluh Raga. Dia menyambut Heri yang datang bersama banyak pengawal di belakang. “Akhirnya ….” Amira menghela lega.Senjata yang sebelum ini selalu dia pegang erat, akhirnya terlepas. Amira terhuyung ke belakang. “Amira!” Raga menangkap Amira tepat sebelum pacarnya itu terjatuh. “Sorry, gue lemes banget,” ucap Amira penuh penyesalan. Dia mencoba berdiri, tapi kakinya terasa lembek layaknya jelly.“Udah jangan dipaksa.” Raga membawa Amira ke dalam pangkuan. “Pegangan.” Raga berdiri dengan Amira di kedua tangannya. Amira menurut. Dia melingkarkan kedua tangannya di leher Raga, membiarkan sang pacar menggendongnya. Heri tidak bisa menegur Raga saat itu. Dia sedang sibuk menatap Vivian yang menangis sambil memohon. Suara sirine memecah keheningan. Mobil polisi, juga ambulans datang berturut-turut. Lalu, satu mobil mewah menyusul di belakang.“Evan!” Se
“Tuan Raga! Awas!” Alex berusaha untuk mencegah Raga yang ikut campur dalam pertarungannya. Namun, tuan mudanya itu begitu keras kepala ingin membantu.Buk!Raga menendang Charly sekeras yang dia bisa. Tendangannya tepat mengenai perut pria itu. Namun, Charly tidak bergerak sama sekali.“Gelinya,” sindir Charly pada Raga. Dia meledek tendangan Raga yang menurutnya lembut seperti bantal bulu angsa. “Biar aku ajari cara menendang yang baik.” Charly menggerakkan kakinya. Raga melompat mundur, tapi dia tetap tidak bisa menghindar.“Argh!” Raga terpental. Dia berguling kesakitan di atas tanah yang keras.Alex langsung berdiri. Dia berlari menghampiri Raga. “Tuan!” Alex panik memeriksa keadaan Raga. Dia membantu Raga bangkit. “Gue enggak apa-apa,” ucap Raga, berusaha menenangkan Alex. Raga menunjuk ke arah Charly kemudian. “Fokus aja kalahin dia. Secepatnya.”Alex mengangguk patuh. Dia menunggu sampai Raga berdiri tegak sebelum memasang kuda-kuda untuk menyerang. Buk!Alex mencoba m
“Raga!” Amira tidak bisa menghentikan langkah Raga. Pacarnya itu langsung pergi berlalu. Memang, hanya tinggal Charly yang tersisa. Seluruh anak buahnya sudah tumbang. Meski begitu, seorang Charly mungkin saja mampu melenyapkan mereka semua. Alex dan Evan terluka, tersisa Raga. Amira dan Michelle mungkin tidak masuk hitungan jika harus menghadapi lelaki dengan tubuh raksasa, lengkap dengan kemampuan profesional dalam menggunakan senjata.Charly, memang bukan lawan yang mudah. Bahkan untuk seorang Alex. “Enggak. Gue harus cari cara lain.” Amira menggumam pelan. Saat itulah, dia mendengar suara grasak-grusuk dari kegelapan. Sosok Vivian tertangkap dalam penglihatannya. “Benar juga.” Amira mengangguk puas. “Gue bisa pakai dia, kayak dia pakai gue!”Vivian menculik Amira untuk menarik Raga keluar. Jadi tidak salah jika Amira menyandera Vivian untuk membuat Charly tidak berdaya.“Itu rencana bagus,” ucap Amira pada dirinya sendiri. Dengan senjata di tangan, Amira mendekat. Dia haru